4

763 Words
Astagaa, jawaban macam apa itu? Aku memberanikan diri memandangnya. Om Satria ternyata tengah menatapku. Aku makan dengan kikuk merasa ia sedang mengawasiku. Uhuk uhuk Aku tersedak-sedak. Dengan cepat kuambil gelas di meja, meneguknya cepat. "Makan itu pelan-pelan saja, jangan seperti orang tidak pernah makan selama bertahun-tahun." Aku membeliak heran. Kalau gak makan bertahun-tahun pasti sekarang aku sudah tidak bernyawa. Heran. Aku tersedak juga karenanya. "Ini karena Om. Ngapain juga mandengin aku terus? Seolah aku bakalan ngabisin semua makanan di sini." Dia menghela napas dengan berlebihan. "Terserah saya mau tatap kamu atau tidak. Mata-mata saya, kenapa situ yang repot?" Tangannya menudingku. Oh astaga. Benar-benar tidak mencerminkan orang tua sama sekali. Bisa-bisanya berkata begitu. Dia mandang aku terus buat aku semakin grogi saja. Aku mendesah kuat melampiaskan kesal. Dia beda sekali dengan anaknya yang selalu ramah dan baik hati. Heran, kenapa ada ayah dan anak yang wataknya beda jauh. Aku melanjutkan makan, tentu saja dengan grogi tapi terus mencoba bersikap biasa saja. Bisa bayangkan, kan, kalau jadi aku? Dipandangi terus saat sedang makan tentu tak enak rasanya. "Sudah selesai?" tanyanya saat kuletakkan sendok ke piring mengakhiri makan. "Om bisa lihat sendiri gak ada makanan tersisa di piringku." Dia mengangguk. "Baik. Berangkat sekarang kalau begitu." Om Satria berjalan ke belakangku, mendorong kursi roda. Dia membantuku naik ke mobil, melipat kursi roda lantas meletakkan di bagasi. Kini ia mengemudi pelan. Tak lama, kami tiba di rumah sakit. Aku langsung diperiksa, lalu dokter menulis resep obat yang harus ditebus sambil menjelaskan kondisiku. Katanya, aku bisa pulih jika mau berusaha. "Bukannya aku lumpuh permanen, Dok?" Dokter menggeleng. "Siapa yang bilang?" Aku menoleh pada Om Satria, dia juga menoleh menatapku lalu kembali memandang dokter. "Jika dengan fisioterapi, kira-kira berapa lama dia bisa sembuh?" "Tergantung." Om Satria terus bertanya ini itu, sementara aku sebentar-sebentar menyentak napas, terang-terangan menunjukkan rasa kesalku padanya. Dia sengaja menikahiku agar aku diharamkan menikah dengan Zaki, dan sekarang terbukti dia juga berbohong mengenai penyakitku. Selesai dari dokter, dia mendorong kursi roda menuju mobil, membantuku masuk lalu meletakkan kursi roda ke bagasi. Aku mengalihkan pandang ke luar jendela saat berkata, "Om benar-benar licik banget." Om Satria menatap lurus ke jalanan, mengemudi dengan pelan. "Saya akan lakukan apa pun yang terbaik untuk Zaki. Dia harus berpendidikan agar jadi anak yang bisa diharapkan." "Tapi Om gak seharusnya bohongi aku juga! Bohongi ibu, juga bohongi Zaki dengan bilang bahwa aku lumpuh permanen." "Ha ha." Ia tertawa kecil. "Saya menggunakan logika. Jika saya bilang yang sebenarnya, kamu pasti tidak mau saya nikahi. Zaki juga belum tentu mau kuliah. Di sini paham?" Aku menggigit bibir menahan rasa menyesakkan di d**a. Heran, kok ada manusia sepertinya. Aku menyentak napas kuat-kuat berharap rasa menyesakkan di d**a ini segera minggat. Om Satria mengurangi laju kecepatan, sebentar-sebentar menoleh memandangiku. Aku mendesah kuat-kuat. "Saya harus kondangan ke SP 6." "Ya. Antar saja aku ke rumah ibuku." "Kamu ikut. Saya tidak suka basa-basi dengan tamu-tamu yang kebetulan kenal saja." "Apa hubungannya sama aku?" "Kamu bisa saya jadikan alasan saya tidak bisa berlama-lama di sana. Teman-teman saya pasti merasa prihatin dengan kondisimu." Benar-benar sadis. Kalau saja kakiku saat ini berfungsi normal, pasti sudah kusepak kakinya. "Tapi saya malu kalau kamu berpakaian seperti itu. Kita beli baju dulu." Dia menghentikan mobil, membuka pintu lantas melangkah ke belakang. Aku menghela napas saat Om Satria mengulurkan tangan membantuku naik ke kursi roda. Didorongnya kursi roda menuju toko pakaian. Seorang perempuan seumuranku langsung mengambil baju yang dituding Om Satria di manekin. Diberikan pada Om Satria, dan ia memberikannya padaku. "Kamu coba di kamar ganti." Om Satria mendorong kursi roda ke kamar ganti, menutup pintunya dari luar. Aku bisa membuka baju, tapi kesulitan melepas celana yang kukenakan karena kakiku mati rasa dan dan bisa digerakkan. "Lama sekali. Kamu sedang ganti baju atau sedang semedi?" "Aku sedang tidur." "Cepat, jangan lama-lama." "Om tau kan kaki aku lumpuh? Aku gak bisa angkat kaki." Pintu didorong membuka, aku membeliak kaget. "Keluar! Om ngapain ke sini?! m***m!" "Saya ke sini mau bantu kamu." Dia mendekat, sedikit membungkuk lalu tangannya bergerak ke pinggangku. Aku mendorongnya. "Keluar!" "Kamu jangan sok sok an tidak butuh saya. Tenang saja, saya tidak suka dengan anak kecil. Bodi lurus, d**a pun tidak ada." Aku menggeretakkan gigi menahan kesal. Benar-benar. Tidak ada d**a bagaimana? Ngaco sekali bilangnya. Tubuhku juga proporsional, wanita banget bukannya lurus saja seperti yang dikatakannya. Aku menoleh mengalihkan pandang darinya karena wajahnya begitu dekat saat ia mulai membantuku memakaikan dres lalu mengamatiku dari atas ke bawah. "Tidak cocok dikamu. Kamu tunggu sini, saya pilih model lain." Aku mendelik, mengembuskan napas kasar. Lalu dia menggantikan aku baju lagi, begitu? Astagaaa. Bisa-bisa aku jadi gila.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD