3

1103 Words
Putri menatapku sambil cemberut. Sahabatku itu berjalan takut-takut mendekati Om Satria lalu meraih beha yang mengalung di leher lelaki itu sambil memejamkan mata. Om Satria seperti patung hidup tak bereaksi apa-apa. Ia menyentak napas saat sahabatku ini membalikkan badan berjalan ke arahku. Putri melempar beha dan celana dalam ke pangkuanku, lalu ia menatap ke arah Om Satria yang terus membisu. Digenggamnya tanganku. "Kamu yang sabar ya, Nin? Kalau si Om berbuat macam-macam sama kamu, kamu lapor aja sama polisi, ya?" Ucapan Putri cukup keras. Aku melebarkan mata dan jadi membayangkan yang tidak-tidak sementara Om Satria menyipitkan mata, gurat wajahnya begitu tak senang. Putri nyengir kecil saat berpandangan dengan ayah pacarku itu. "Nin, aku pergi dulu, yaa? Bie bie." Putri melambaikan tangan. "Put, jangan tinggalin aku. Please." Putri membalikkan badan tepat di depan pintu. Aku menatapnya memohon, sungguh berharap ia tak pergi. "Nin, aku gak bisa bantuin kamu karena, kan, kamu udah jadi istrinya Om Satria. Aku pulang dulu, deh, bie bie." Putri kembali melambai dan melangkah pergi. Saat tak sengaja bertemu pandang dengan Om Satria, aku mendesah kuat. Tadinya, aku menghargainya sebagai ayah pacarku yang akan jadi mertuaku. Tapi begitu tahu aku gak boleh nikah sama Zaki karena udah menikah dengannya, dan Om Satria sengaja melakukan itu, aku jadi malas menghargainya lagi. Aku sangat membencinya kini. Ia manusia berhati jahat. "Om pasti puas banget karena udah berhasil misahin aku sama Zaki." "Tentu," sahutnya dengan penuh kemenangan. Aku benar-benar tak percaya dengan reaksinya. Aku kembali mendesah kuat. "Semua orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya." Aku tahu itu. Ibu pun ingin yang terbaik untukku. Karena ia ingin anaknya ini sembuh, maka dibolehkannya aku nikah dengan Om Satria, dengan begitu biaya berobatku ada yang menanggung. Tapi cara Om Satria melakukan yang terbaik untuk Zaki picik sekali. Ia memaksa Zaki kuliah dan berjanji akan merestui kami begitu aku sembuh bisa jalan lagi. Baik aku dan Zaki sama-sama tidak tahu bahwa kami tak akan boleh menikah karena aku sudah jadi ibu tirinya. Benar-benar licik manusia di hadapanku ini. Melihat wajahnya yang tanpa perasaan seperti titisan iblis membuatku muak saja. "Sekarang juga, pulangin aku ke rumah ibu. Aku nggak sudi tinggal serumah dengan orang berhati busuk penuh muslihat seperti Om!" Bibirnya melekuk sinis, dengan langkah pelan berjalan mendekat lalu duduk santai di bibir ranjang menghadap ke arahku. Aku berpaling darinya. "Segera setelah kamu bisa kembali jalan, saya akan pulangkan kamu ke rumah ibumu." "Nggak perlu nunggu aku sembuh, Om! Aku mau pulang sekarang juga!" "Tidak. Aku ini lelaki sejati, aku bertanggungjawab. Pikir, anak kecil. Bagaimana kamu berobat supaya bisa sembuh jika tinggal bersama ibumu?" Aku menatapnya tak percaya. "Om barusan bilang bahwa Om adalah lelaki sejati akan bertanggung jawab." "Iya, tapi tidak jika kamu minta kembali ke rumah ibumu sekarang. Saya juga memberi ibumu uang tiap bulan, ibumu hidup enak berkat saya. Sekarang, pikirkan jika kamu kembali ke rumah sekarang, saya tidak akan beri uang untuk ibu kamu, juga tidak akan memberimu uang untuk berobat." Mulutku nganga, tak menyangka ia begitu penuh muslihat seperti kancil. Bedanya kancil lucu, kalau dia seperti setan. "Nggak ada untungnya juga aku tinggal di sini! Aku gak bisa ngapa-ngapain dalam keadaan cacat seperti ini, gak bisa masak, gak bisa nyapu-nyapu, gak bisa ngepel,dan di sini, aku hanya akan nyusahin Om. Aku gak ada manfaatnya tinggal di sini. Jadi, pulangin aku ke rumah ibuku dan aku gak akan mengusik Zaki kalau itu maunya Om." Aku menatapnya harap-harap cemas. Aku ingin sembuh ingin bisa berjalan lagi, jadi aku butuh uangnya. Dan yang menyebabkan aku seperti ini juga dia. Bisa-bisanya mengendara padahal rem blong. Om Satria bersidekap. Ia lagi-lagi tersenyum sinis. "Sudah saya katakan saya ini laki-laki sejati, jadi saya akan bertanggung jawab sampai akhir. Begitu kamu sembuh, kamu boleh pergi segera. Saya sendiri yang akan mengantarkan kamu pada ibumu." Lalu, berapa lama aku bisa sembuh? Membayangkan tinggal lebih lama bersama Om Satria membuatku bergidik ngeri. Hiiii "Kenapa?" Ia mengernyit heran. Aku memandang ke arah lain. "Sudah tidak ada yang ingin dibicarakan lagi? Kalau sudah tidak ada, saya akan ke dapur membuat sarapan." Ia pun melangkah keluar. Aku menyentak napas panjang-panjang. Aku memutar kursi roda menuju arah lemari, mengambil HP-ku yang ternyata banyak sekali pesan. Dari Zaki. Dadaku berdebar saat membuka pesan WA dari cinta pertamaku itu. Zaki mengirimkan foto memakai kemeja dan celana panjang hitam berdiri di depan gerbang kampus. Aku baru mau daftar, Nin. Aku akan kuliah yang benar, cari pekerjaan yang mapan lalu nikahin kamu. I live you Aku membekap mulut dan terisak kecil karena rasa menyesakkan di d**a. Zaki, andai kamu tahu kita tak boleh menikah. Kuhela napas panjang-panjang, d**a ini begitu sakit seperti ditikam-tikam sebilah pisau tajam. Zaki adalah cinta pertamaku. Sejak SMP, aku memendam rasaku padanya. Aku hanya mencintainya dalam diam. Sakit hatiku melihat saat duduk di bangku SMA, ia sering diam-diam mencuri pandang pada Putri, bahkan nekat mengatakan perasaannya walau aku udah nasehatin bahwa Putri udah nikah. Dan ketika akhirnya Zaki menembakku dan kami pacaran kurang dari dua bulan, inilah yang terjadi. Ini terjadi karena Om Satria yang memang sengaja memisahkan kami. Om Satria sangat licik dan kejam. Aku langsung melengos saat Om Satria berjalan mendekat membawa segelas besar s**u. Diulurkannya padaku. Aku membiarkan tangannya mengambang di udara dan sibuk nenyusut air mata yang lagi-lagi merembes keluar. Hatiku sakit. Rapuh. Seperti rating kering di musim kemarau terinjak kaki, krak, patah. Adakah yang lebih menyakitkan dari ini? "s**u bagus untuk tulang, kamu harus rajin minum s**u dan latihan jalan agar cepat sembuh." Om Satria kembali menyodorkannya padaku. Tatapan tajamnya yang terus terpatri ke wajahku karena aku terus membiarkan tangannya di udara, membuatku akhirnya meraih pemberiannya. Aku benar-benar tak nyaman saat ia mendorong kursi roda yang kududuk ke meja makan. Ia menggeser mundur kursi ke belakang dan mendudukinya. Mengambil piring mengisi dengan nasi juga ikan dan mengernyit memandangku. "Yang tidak berfungsi kaki kamu, kan?" Tatapannya semakin menyipit. "Makan, setelah makan, saya akan mengajakmu kontrol." Dia memperhatikanku. Aku akhirnya mengambil piring mengisinya dengan nasi dan ikan. Kuciduk juga sayur asam dan meletakkannya di piring. Aku menyuap perlahan. Rasanya enak. Sejak tinggal di sini, aku sama sekali tak melihat asisten rumah tangga. "Apa di sini gak ada orang, Om?" Ia menyipitkan mata. "Saya manusia." Ih, nyebelin banget. Yang bilang dia binatang juga siapa. "Maksud aku, apa gak ada pembantu, gitu? Yang beresin rumah, yang cuci piring, yang mas--" "Saya." Om Satria memotong ucapanku. "Kenapa gak pakai pembantu?" Kan kalau ada pembantu, aku gak perlu berpikir aneh-aneh. Om Satria lelaki aku perempuan, itu mengerikan. Aku bergidik teringat ucapan Putri tadi. "Suka-suka saya." Astagaa, jawaban macam apa itu? Aku memberanikan diri memandangnya. Om Satria ternyata tengah menatapku. Aku makan dengan kikuk merasa ia sedang mengawasiku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD