c h a p t e r [2]

1129 Words
Keenan's pov Aku masih tidak bisa menyembunyikan kekagetanku saat melihat sesuatu dihadapanku. Seorang dokter muda yang tampak luar biasa. Rambutnya, matanya, hidungnya, rahangnya, semuanya sempurna. Ya Allah, nggak ada ruginya juga Keenan bolos sekolah hari ini. Batinku bersyukur. Kekagetanku bertambah saat sepasang mata hitam mengkilat itu menatapku dengan seksama. Membuatku jadi ingin berteriak lebay seperti mama. Aku melihat dengan jelas bagaimana dokter itu menarik dan menghembuskan napasnya. Rasanya aku ingin mati saja. "Ehem." Aku tersadar saat dokter itu berdehem kecil. "Eh." Kenapa aku mendadak salah tingkah begini? "Silahkan duduk." Loh? Kok dia jutek? Kok dokternya dingin sih? Kok ganteng-ganteng cuek sih? Awalnya aku mengira bahwa dokter ini begitu hangat, tidak jauh berbeda denganku. "Sakit apa?" tanyanya padaku. Kenapa mata itu menatapku malas? Apa aku bau? Atau aku jelek? Nggak. Aku nggak bau, yang bau kan cuma si Mikha. Aku juga cantik kok, buktinya setiap malam papa selalu bilang aku cantik kalau aku mau tidur. "Saya pusing, dok. Terus saya juga sakit perut." Dokter itu melihat ke arahku sekilas lalu beralih pada sebuah kertas dan mencatat keluhanku pada kertas tersebut. "Baring disana." Perintahnya dengan nada dingin. Haa? Baring? Maksudnya apa? "Nggak mau, dok." Tolakku ketus. Gila ni dokter, m***m juga pikirannya. Masa disuruh baring sih. Si dokter mau ngapain coba. Batinku tidak terima. "Saya bilang baring disana." Aku masih menggeleng semangat. "Baring disana." Perintahnya makin galak. Dan itu langsung membuatku merinding. Aku melangkahkan kakiku dengan ragu ke arah kasur tersebut. Dan pelan-pelan membaringkan diriku. Dokter tersebut bersiap-siap dengan stetoskopnya. Dan aku tersentak saat kulit tangannya menyentuh permukaan kulit perutku dan itu membuatku kegelian. Dokter ini ingin membuka bajuku? Langsung saja kutepis tangannya. Dan dokter itu malah menatapku bingung. "Kamu belum pernah ke rumah sakit terus di periksa dokter ya?" Aku menggeleng, masih dengan semangat '45. Memang benar, aku belum pernah memeriksakan penyakitku ke rumah sakit. Karena biasanya aku akan pergi ke rumah tante Nola. "Kalo di periksa dokter pernah dok, tapi kalo ke rumah sakit buat meriksa beginian belum pernah." Dokter itu sepertinya bingung dengan perkataanku. Aku kembali tersentak saat tangan dokter itu ingin mengangkat bajuku. "Dokter mau ngapain sih?" tanyaku curiga. "Kamu bisa diam nggak sih? Biarin ini berjalan cepat dan setelah itu kamu bisa pulang." Perkataan itu langsung membuatku terdiam dan membiarkan dokter itu memeriksaku. Jantungku berdegup kencang saat dokter itu meletakkan benda dingin itu di atas perutku. Menggeserkannya ke kanan lalu ke kiri. Aku tidak dapat menyembunyikan diriku yang kegelian dan langsung bergetar. Tapi sepertinya dokter itu tidak melihat getaran yang dihasilkan oleh tubuhku. Aku menghela napas saat dokter itu menyuruhku turun dari kasur tersebut. Kemudian, aku kembali duduk di depan kursi dokter itu. Melihat wajahnya yang serius entah mengapa membuatku tersenyum tipis. Dia ganteng, tapi sayangnya cuek. Gimana bisa punya pacar kalau cueknya kayak gitu. Aku melihat nama dokter itu, Ferdian Adnan Bagasditya. Namanya keren, seperti orangnya. Tapi senyumku langsung hilang saat mataku melihat dokter itu yang ternyata sedang menatapku tajam. "Ini." Dokter itu memberiku sebuah kertas yang kuyakin itu adalah sebuah resep. "Kamu bisa keluar." Ucapnya lagi. "Dan, semoga cepat sembuh." Kali ini dokter itu berkata dengan senyum aneh. Kenapa si dokter? Kesambet setan apa dianya? Sebelum keluar dari ruangan itu, aku melihat kertas resep yang diberikan dokter tadi. Mataku terbelalak kaget saat melihat tulisan dokter itu yang sangat rapi, ya, memang rapi, jauh beda dari tulisan dokter biasanya. Dan tulisan yang ditulis membuatku malu setengah mati, 'kamu nggak malu sama orang tua kamu, Keenan? Mereka kerja keras, tapi kamunya malah bolos sekolah dan pura-pura sakit. Oh iya, jangan lupa istirahat!' Aku langsung menoleh ke belakang, dan seketika itu pula, tawa dokter gila itu terdengar. Mukaku merah padam dan cepat-cepat menyembunyikan kertas resep itu di saku celanaku lalu keluar. "Udah selesai?" aku hanya mengangguk saat mama bertanya. "Gimana?" tanya mama lagi. "Nggak gimana-gimana, mama. Kee nggak apa-apa kok." "Maksudnya?" tanya mama bingung sambil mengikuti langkahku yang berjalan keluar rumah sakit. "Kita langsung pulangkan, ma?" tanyaku tiba-tiba membuat mama bingung. "Kenapa?" "Ngga kenapa-napa." Tanyaku berusaha menyembunyikan kegugupanku. "Eh, tapikan kita harus ambil obat kamu dulu." Ucap mama teringat sesuatu. "Beli di apotek ajalah, ma." Ucapku lalu masuk ke mobil. "Kee? Kamu ngga kenapa-napakan?" tanya mama saat ia telah duduk di kursi kemudi. "Keenan nggak apa-apa mama sayang." Ucapku lalu mengalihkan pandanganku keluar jendela. Saat itu, entah kenapa aku terus memikirkan dokter gila tadi. Dari mana dia tau kalau aku bohong? Aduh, Keenan bodoh. Jelas ajalah dia tau, dia kan dokter. Aku hanya bisa mengerutu kecil. Tapi kenapa dokter itu bisa tertawa lebar seperti tadi? Beda saat pertama kali aku masuk, karna wajah itu hanya menunjukkan kesan datar. Aku hanya diam saat telfonku bergetar. Drrtt, drrtt, drrtt Satu pesan baru dari Mikha. From: Mikha Lo dimana? Kok ga masuk? Dengan malas aku membalas pesan itu. To: Mikha Gue sakit. Besok deh gue ceritain, lagi males ngapa-ngapain ni. Bye. Aku kemudian memasukkan kembali ponselku di saku jacketku. Ferdian, ferdian, ferdian, nahlo, kenapa nama si dokter bolak balik gitu di fikiran aku. Dasar dokter gila, dia yang buat aku jadi kayak gini. Awas aja kalo aku kenapa-napa. Dia harus tanggung jawab. Tiba-tiba aku tersadar saat kami berhenti di depan sebuah apotek. Kulihat mama ingin keluar lalu aku cepat-cepat mencegahnya. Aku tak mungkin membiarkan mama membeli obat dan melihat kertas resep tadi. Bisa-bisa aku digantung. "Biar Keenan aja, ma." Ucapku tersenyum tulus. Aduuh, kayaknya aku emang bakat deh buat jadi artis. "Nggak apa-apa, Kee." Ucap mama ingin keluar tapi langsung kutarik tangannya. "Mama disini, biar Keenan yang beli obatnya. Duitnya mana, ma?" ucapku menengadahkan telapak tangan pada mama. Mama hanya menarik nafas panjang, lalu mengambil dompet yang berada di dalam tasnya. Setelah itu mama memberiku beberapa lembar uang. Kemudian aku keluar dengan senyum kemenangan. Maafin Keenan ya, ma. Aku masuk ke dalam apotek. Dan dapat kulihat seorang wanita berjilbab berdiri di balik etalase kaca tempat dimana obat-obat itu diletak. Aku tersenyum dan wanita itu membalas senyumku. "Ada yang bisa saya bantu?" ucapnya ramah dengan senyum tulus. Aku menganggukan kepala sambil nyengir. Setelah menyebutkan apa yang aku butuhkan, wanita itu mengambilkannya dan memberikannya padaku. Aku langsung memberikan uang pas sebagaimana harga obat tersebut. Setelah mengucapkan terima kasih, aku keluar lalu bergegas masuk ke mobil. Mama menatapku dengan kening berkerut. Langsung saja aku mengembalikan sisa uang yang mama berikan tadi. "Liat obatnya?" mama langsung menyambar plastik berisi obat yang aku pegang. Dapat kulihat wajah mama yang mengeluarkan aura kebingungan. Dengan cepat aku mengambil plastik itu lalu mengalihkan perhatian mama. "Ke supermarket yok,ma!" ajakku pada mama. Dan sedetik kemudian senyum mama merekah. Aku bingung, kenapa setiap diajak ke supermarket, mama langsung tersenyum. Mama terlihat sangat senang. Pernah aku bertanya tentang itu pada papa, dan papa hanya tertawa lalu mencium pipiku kemudian menjawab. "Suatu saat kamu akan tau." Ucap papa sok kalem. Eh, papa kan emang kalem. Tbc... Jangan tiru Keenan ya teman-teman, gabaik  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD