c h a p t e r [3]

1062 Words
Keenan's POV Malamnya aku makan dengan semangat. Besok aku akan sekolah. Ditambah lagi pelajaran olahraga sudah berlalu. Aku memasukkan nasi putih ke mulutku dengan santai. Lalu mataku menangkap mama, papa, yang sedang menatapku bingung. "Kenapa mama, papa ngeliatin Keenan kayak gitu?" tanyaku menatap papa dan mama curiga. "Mama masih ngga ngerti, kenapa tadi kamu cuma beli vitamin? Seharusnya ada obat yang lain dong! Ditambah kamu tadi juga pusing. Terus ni ya, kalo yang ngasih kamu vitamin itu tante Nola, mama sih percaya aja. Tapi tadi kan kamu cuma masuk sendiri ke ruangan itu. Terus resepnya cuma kamu yang tau." Aku menelan ludah susah payah. "Ya dokternya nulis resep yang isinya cuma vitamin," ucapku pura-pura terlihat senang. Padahal sebenarnya jantungku sudah ketar-ketir ingin meloncat dari tadi. "Coba mama liat," Permintaan mama membuatku tambah gugup. "Ha? Itu-- itu-- resepnya udah Keenan buang di tempat sampah di depan apotek. Iya, udah Keenan buang. Mama kok nggak percaya sih sama Kee," ucapku pura-pura cemberut. "Yaudah, lanjutin makan kamu, Kee," perintah mama membuatku tersenyum. "Pa, besok Keenan nebeng papa ya?" pintaku pada papa yang sejak tadi hanya diam, tapi walaupun begitu, aku tau kalau papa sangat romantis pada mama, oke salah fokus. "Tumben, Kee? Biasanya diajak pergi sama papa nggak mau. Kamu lebih milih jalan kan," ucap Papa. "Iyasih, pa. Lagi males aja. Tapi liat besok deh, pa. Oh iya, Keenan udah selesai, Keenan tidur dulu ya. Good night, ma, pa." Aku lalu mencium pipi mama kemudian mencium pipi papa. "Good night, sayang." ucap mama. "Good night, cantik." ucap papa, nah kan, aku itu emang cantik. Papa aja manggil aku cantik. Tu dokter katarak kali ya? Nahlo, kok malah mikirin si dokter datar sih? Aku menaiki tangga dengan cepat dan kemudian masuk ke kamar. Setelah menutup pintu, aku langsung berjalan ke balkon. Menikmati angin malam dan melihat bintang adalah hobiku sebelum tidur. Kadang, aku juga bisa tertidur disini, tapi papa atau kak Ryan akan memindahkan ke dalam, karna mereka memang sering melihat keadaanku sebelum mereka tidur. Aku kembali melihat langit. Memang tidak terlalu banyak bintang yang terlihat di langit. Aku kembali memikirkan Gibran. Selalu Gibran yang akan kupikirkan disaat aku melamun seperti ini. Tunggu aku besok pangeran Gibran. Tapi pandanganku malah jatuh pada rumah sebelah. Sejak kapan rumah itu jadi terang? Sejak kapan kamar itu gordennya berganti menjadi warna abu-abu? Sejak kapan ada kehidupan di rumah itu? Sejak kapan rumah itu ada yang beli? Aaa! jadi ada tetangga baru dong! Asyik! Aku nyengir lebar. Besok pagi, aku akan tau siapa yang tinggal di rumah itu. - "Kee. Kee. Keenan." Kurasakan seseorang menepuk pipiku pelan. Ugh, mengganggu tidurku saja. "Keenan pindah ya ke dalam." Aku masih diam menikmati tidurku. Lalu kurasakan badanku melayang. Kubuka mataku perlahan, dan bayangan kak Ryan yang kudapatkan. "Kak Ryan," ucapku kaget masih di dalam pelukannya. "Hmm, lagi?" tanya kak Ryan yang kujawab dengan kekehan kecil. Ya, aku kembali tertidur di balkon kamarku. Di atas kursi ayunan yang sungguh membuatku nyaman. "Kakak kapan pulang?" tanyaku setelah kak Ryan meletakkanku di tempat tidur. "Barusan." jawab kak Ryan sambil merapikan rambutku. "Ada tetangga baru loh, kak," ucapku histeris. "Dimana?" tanya kak Ryan bingung. "Dimana lagi kalo bukan di sebelah kita!" jawabku semangat. "Ooh, yaudah. Lanjutin tidurnya. Good night!" ucap Kak Ryan setelah itu mencium dahiku dan menghilang dibalik pintu kamarku. Aku kembali melihat ke arah sebelah lewat jendela. Lampu di kamar sebelah sudah mati, dan kemudian, aku kembali memilih untuk tidur. - Aku terbangun saat mama kembali mengeluarkan suaranya yang cetar membahana di kamarku. Langsung saja aku terduduk dan cepat-cepat ke kamar mandi. Niatku untuk melihat tetangga baru harus kesampaian. Dan setelah itu cepat-cepat ke sekolah untuk melihat pangeran Gibran. Aku selesai mandi dan shalat subuh. Lalu merapikan semuanya sebelum menuju meja makan. Sesampainya disana, ternyata semuanya berkumpul. Aku melihat kak Ryan yang hanya memakai pakaian santainya. "Pagi," sapaku pada mereka semua. Kemudian memilih duduk di kursi kosong di sebelah kak Ryan. "Tumben tadi nggak ngajak mama kelahi dulu, Kee," ucap mama membuatku nyengir lebar. "Ada, deh." ucapku lalu melanjutkan memakan sarapanku. "Jadi berangkat sama papa?" tanya papa. Oh iya, tadi malam kan aku bilang mau nebeng sama papa. "Nggak jadi deh pa. Keenan jalan aja," ucapku tersenyum. "Bener?" tanya papa seperti meyakinkan. "Iya, papa. Emangnya kenapa sih, pa? Kan Keenan juga udah biasa jalan kaki." "Nggak ada. Yaudah lanjut makannya," suruh papa dan aku kemudian lanjut sarapan. Beberapa menit kemudian, aku selesai, setelah mencium dan menyalami mama, papa, dan kak Ryan. Aku memilih langsung keluar rumah. "Keenan pergi sekolah dulu, Assalamualaikum," teriakku. Lalu berjalan keluar pagar. Aku melewati rumah tetangga baru, mencoba mengintip. Aku melihat seorang lelaki yang sedang membelakangiku dengan tubuh tegap sedang mencuci mobilnya. Aku dapat melihat wajah lelaki itu walau hanya dari samping. Saat aku ingin menyapa, tiba-tiba sebuah suara menginstrupsiku. "Eh, kunti." Aku tau siapa orang ini. "Apa-apaan sih lo, Rem?" tanyaku sambil melihat ke belakang dengan sebal. Disana Remy sudah berdiri dengan gaya khasnya. "Kemana lo kemarin?" tanyanya. "Kepo lo." jawabku lalu memeletkan lidah ke arahnya. "Sialan lo." "Blek, biarin." "Kemana sih lo kemarin?" "Gue sakit, Rem. Terus ni ya, kemarin gue ke rumah sakit. Terus dokter yang meriksa gue itu ganteng banget. Lo lewat deh, Rem," ucapku membayangi wajah si dokter gila. Kenapa aku jadi bangga-banggain si dokter gila? Ah mama, Keenan ikutan gila ni! "Oh, terus gue peduli?!" "Harus dong. Yok cabut!" ajakku lalu menarik tangan Remy. "Kenapa ngga naik motor gue aja sih?" tanyanya sambil melihatkan wajah tak sukanya padaku. "Eh, Remy kunyuk. Dari sini ke sekolah kita itu cuma lima belas menitan. Lebay banget sih lo, jalan dikit doang juga. Kalo lo ngga mau yaudah, ambil tu motor lo." Tunjukku ke arah motor Remy yang sedang terparkir manis di halaman rumahku. "Iye-iye." Kemudian kami berdua berjalan dengan mulut yang tak pernah bisa diam. Saat sampai di depan gerbang, dapat kudengar suara teriakan seseorang yang begitu ku kenal. "Woi, mak lampir! Kemana aja lo kemaren? Sok-sok males ngejelasin ke gue lewat sms lagi." ucap Mikha sambil melihatkan muka kesalnya. "Gue sakit. Emangnya lo ngga liat bokap gue dateng ya?" tanyaku. "Nggak. Gue ngga ada liat om Kendra kemarin. Tante Nanda juga." jawab Mikha. "Kalo mamasih, dia nemenin gue ke rumah sakit. Kalo papa, lo bener-bener ngga liat papa??" tanyaku bingung. "Nggak." kali ini Remy yang bersuara. Sedangkan Mikha, dia hanya menggeleng. "Keenan Adelia?" panggil seseorang dan itu membuatku refleks melihat ke belakang. "Gibran?" ucapku tanpa sadar. Tbc...  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD