Kekecewaan memang selalu datang ketika tidak saling memiliki. Tetapi Alyn diam-diam tersenyum karena akhirnya Regan bisa menemukan orang yang tepat. Semua orang tidak henti memberikan dukungan moral kepada Alyn, bahkan ada yang secara terang-terangan menyindir Regan ketika datang ke rumah sakit namun untuk menemui Naura. Beberapa hari ini Regan memang sering datang ke rumah sakit untuk menemui Naura. Entah menjemput atau mengantar, kadangkala juga mengajak makan siang—seperti hari ini.
Regan sempat berpapasan dengan Alyn yang baru saja keluar dari ruangan UGD. Namun, Alyn tidak bicara apapun. Hanya sebuah senyuman tipis yang terlukis di wajahnya. Tidak lama kemudian, perempuan itu berjalan menjauh menuju ke kamar mandi.
Alyn membersihkan dirinya terlebih dulu sebelum ke kantin rumah sakit untuk makan siang. Perutnya sudah lapar sejak tadi, apalagi hari ini penuh dengan pasien. Ditambah dengan ajakan makan siang bareng yang diajukan beberapa rekan dokter—dari senior sampai seangkatan yang masih jomblo, membuat Alyn hanya bisa meminta maaf.
Untuk kali ini, Alyn mengatakan hal yang sebenarnya, bahwa dia ingin makan sendirian. Mereka maklum karena menganggap Alyn masih galau karena baru putus. Keadaan yang sebenarnya karena Alyn tidak bisa menolak mentah-mentah mereka semua.
Alyn berjalan sendirian menuju ke kantin rumah sakit. Beberapa rekan kerjanya menyapanya dengan ramah. Kadang Alyn akan bicara terlebih dahulu lalu melanjutkan kembali langkahnya menuju kantinnya. Alyn mengambil beberapa makanan lalu dibawanya ke salah satu tempat duduk yang berada di pojok.
Tepat, dua meja di depannya ada meja yang Regan dan Naura gunakan, tapi Alyn tidak merasa terganggu. Alyn sibuk memakan makan siangnya, sesekali menatap ponselnya yang bergetar, ada beberapa pesan dari Dimas dan Tito.
Sebenarnya Alyn bosan mendengar banyak mulut yang bergunjing di rumah sakit ketika melihat Alyn, Regan, dan Naura dalam satu ruang yang sama. Mungkin memang aneh dan sangat membingungkan, tetapi Alyn tidak merasa demikian. Dia bersikap santai karena memang keadaannya seperti ini. Alyn masih baik-baik saja walaupun ditinggal selingkuh Regan.
"Kak Alyn," sapa seorang perempuan dengan wajah cantik namun penuh dengan luka. Lengan kanannya juga lebam.
Alyn mengerutkan keningnya, lupa atau lebih tepatnya takut jika salah orang. Perempuan itu masih berdiri sambil tersenyum. Membuat banyak pasang mata menatap ke arah kedua perempuan itu.
"Disha," ucapnya, memperkenalkan dirinya kepada Alyn.
Wajah Alyn berubah ketika orang di depannya baru saja mengatakan siapa namanya. Alyn langsung berdiri dan memeluk Disha dengan erat. Alyn tampak senang, bahkan sampai ingin menangis rasanya. Sudah lama Alyn tidak bertemu dengan Disha setelah beberapa tahun. Bagi Alyn, Disha sudah seperti adik untuknya. Orang yang selalu menemaninya walaupun hanya dalam masa setahun mereka satu sekolah.
"Kamu cantik banget!" Heboh Alyn sambil menangkup wajah Disha yang begitu cantik.
Bagaimana tidak, walaupun penuh dengan luka, wajah Disha masih terlihat bersih, glowing, dan tampak bersinar. Rambutnya yang sengaja dipotong pendek dengan tubuhnya yang tinggi, membuat Disha sangat menawan.
Disha menggenggam tangan Alyn, mereka berpelukan lagi. Mungkin mereka saling merindukan satu sama lain. Sudah lama tidak saling memberi kabar dan tiba-tiba dipertemukan kembali. Rasanya sangat menyenangkan dan bahagia.
"Kak Alyn kemana aja? Aku susah banget cari kontak Kakak," keluh Disha yang baru saja duduk di kursi yang ada di depan Alyn.
"Nomorku masih sama padahal," jawab Alyn dengan wajah dibuat kesal.
Disha hanya tertawa, "maaf deh Kak, ilang waktu Hp ku rusak. Padahal paling enak 'kan curhat sama Kak Alyn. Bisa berbagi segala curhatan terus ngomongin masalah hidup."
Alyn tersenyum, dia juga rindu bisa berbagi cerita dengan Disha. Dulu, mereka sangat dekat dan sering bertukar cerita. Selain Rere, Disha juga menjadi tempat curhat Alyn. Walaupun banyak teman-temannya yang mengejek ketika Alyn sering bersama dengan Disha, nyatanya mereka tidak terpengaruh sama sekali.
"Oh iya, kamu kok bisa tahu kalau aku sekarang kerja di sini?" Tanya Alyn penasaran.
"Sebenarnya enggak tahu Kak, aku baru aja ngelihat Kakak jalan sendiri di koridor tadi. Sebenarnya aku baru aja masuk rumah sakit. Ada orang yang nyerempet aku tapi langsung kabur gitu aja. Untung tadi ada yang bantuin dibawa ke rumah sakit. Tapi untung enggak parah, cuma sedikit penanganan terus bisa rawat jalan."
Alyn sedikit khawatir, matanya fokus melihat luka Disha. Apakah sudah bisa dikatakan baik-baik saja atau masih membutuhkan perawatan yang intensif.
"Untungnya enggak parah banget kalau aku lihat sekilas. Ada yang sakit enggak badannya?" Tanya Alyn yang memastikan sekali lagi jika pasiennya ini tidak apa-apa.
Disha menghela napas panjang lalu menggeleng, "sakit karena jatuh aja, Kak. Bukan yang kaya kesakitan gitu. Cuma beberapa luka yang tergores kaya gini aja yang sakit. Selebihnya enggak ada masalah apa-apa. Jangan khawatir."
Alyn hanya menganggukkan kepalanya lalu tersenyum kembali. Keduanya menjadi pusat perhatian bagi beberapa orang yang sedang duduk di area kantin. Melihat kedua perempuan itu, seperti melihat surga dunia. Keduanya sama-sama cantik dan terlihat menyenangkan.
"Oh iya, mau pesan apa?" Tanya Alyn kepada Disha.
Disha sedikit berpikir lalu akhirnya beranjak dari duduknya, "aku yang pesan sendiri. Bentar Kak, habis ini kita ngobrol lagi ya."
Disha berjalan menjauh untuk memesan sesuatu. Sedangkan Alyn melanjutkan makannya sendirian. Tidak sengaja Alyn memandang Regan yang saat ini juga sedang menatapnya. Regan tersenyum kaku, lalu dibalas Alyn dengan senyuman juga.
"Udah?" Tanya Alyn ketika Disha baru saja kembali ke mejanya.
Perempuan itu hanya mengangguk lalu menyeruput minumannya. Mereka kembali bercerita, dari hal yang tidak mutu, sampai yang paling bermutu. Mengorek kenangan di masa lalu yang membuat mereka tertawa. Karena adanya Disha, Alyn bisa sedikit merasa bahagia.
"Kak Alyn, udah ada calon?" Tanya Disha sambil menatap Alyn. "Hm, maaf ya Kak, enggak usah dijawab enggak pa-pa, kelepasan!" Ralatnya setelah menatap wajah Alyn yang berubah ekspresinya.
Alyn hanya tersenyum tipis, "enggak pa-pa kok! Untuk calon, aku enggak punya sekarang. Kamu gimana? Mau nikah, ya?"
"Seharusnya," jawab Disha seadanya lalu meminum kopinya.
Disha—perempuan yang sejak jaman SMA memang menjadi incaran para laki-laki. Selain karena dia cantik, dia juga baik dan mudah bersosialisasi. Yang paling menonjol dari Disha adalah ketika berteman, tidak pernah membeda-bedakan teman. Semua teman asalkan baik, sama di matanya.
Alyn kadang merasa iri, betapa beruntungnya orang-orang. Mereka bisa menemukan orang yang sangat dicintai lalu berani memutuskan untuk menikah. Sedangkan dirinya? Masih tenggelam dalam perasaan di masa lalu. Bahkan untuk bangkit dan mencari laki-laki lain pun sangat sulit. Mengapa perasaannya serapuh ini? Terlalu sulit berpaling ketika sudah jatuh?
Alyn merasa menyesal sendiri! Ketika se-usianya, banyak orang menikah, bahkan punya anak, Alyn sendiri, belum bisa mengatakan apakah dia bisa jatuh cinta kembali.
###
Hujan sudah mengguyur kota sejak siang tadi. Tepat ketika Disha pamit untuk pulang, hujan mulai datang. Rasanya, menyenangkan ketika bisa melihat rintik hujan untuk pertama kalinya jatuh ke tanah. Aromanya yang menenangkan pun menjadi hal yang sangat Alyn rindukan ketika ada hujan. Alyn masih berdiri di dekat pintu keluar. Walaupun membawa payung, Alyn belum ingin berjalan menuju mobilnya yang hanya berjarak sekitar sepuluh meter dari halaman.
Alyn menguncir rambutnya asal, terkena air hujan akan membuat rambutnya lepek. Untunglah Alyn membawa jaket sehingga bisa digunakan untuk menghalau air hujan mengenai tubuhnya. Alyn merapatkan jaketnya pada tubuhnya, lalu mulai membuka payungnya.
Perempuan itu berjalan pelan untuk menuju ke mobilnya. Tidak mau jika sampai tanah bercampur air akan menyiprati celananya. Tidak lama kemudian, Alyn berhasil menjangkau mobilnya dan langsung masuk ke dalam. Walaupun sudah memakai payung sekalipun, masih tidak terlalu efektif untuk menghalau air hujan mengenainya.
Alyn masih sibuk membetulkan letak payungnya agar tidak membasahi mobilnya. Tidak sengaja matanya menangkap Regan yang sedang memayungi Naura untuk masuk ke dalam mobil laki-laki itu. Sebagai seorang pacar, Alyn mengakui jika Regan adalah laki-laki yang sangat romantis dan pengertian. Berbeda dengan Genta yang jarang sekali melakukan hal romantis untuknya.
Tetapi, Genta memiliki caranya sendiri untuk memperlihatkan bagaimana dirinya mencintai Alyn. Ketika hujan begini, Alyn akan sangat mengingat kenangan ketika mereka berada di gang. Ketika Genta menggunakan tangannya sebagai payung untuk Alyn. Atau dekapan yang membuat Alyn nyaman.
Ah, tidak ada gunanya membuat perbandingan antara sikap Genta dan Regan padanya. Toh, mereka berdua bukan miliknya lagi. Tetapi, masalah Regan, Alyn tidak masalah, namun apakah jika itu Genta tidak masalah juga?
Alyn menstater mobilnya untuk segera meninggalkan parkiran rumah sakit. Dia tidak mau terlalu banyak pikiran sehingga memicu dirinya sendiri untuk berjalan terlalu jauh. Sebenarnya hari ini Alyn janjian dengan Dimas, namun tiba-tiba Dimas memiliki pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan sehingga Alyn harus pergi sendirian.
Alyn membelokkan mobilnya ke parkiran toko buku. Sebenarnya, sudah lama sekali Alyn ingin datang kesana untuk melihat-lihat, apakah ada novel bagus saat ini. Sekalian ingin melihat apakah novelnya masih menjadi mega best seller di beberapa toko buku di kotanya.
Baru saja masuk ke dalam toko buku, sudah ada beberapa orang yang mengenalnya. Remaja-remaja yang baru saja selesai membayar novel Menepi di kasir langsung mendekat padanya. Meminta tanda tangan karena novelnya belum ditandatangani.
Dengan sabar Alyn menandatangani buku mereka satu-persatu, memberi senyuman rasa terima kasih karena mereka telah menyisihkan uang hanya untuk membeli buku karyanya yang tentunya tidak sebagus novel penulis kondang lainnya. Tetapi pasaran berkata lain, ketika novel Menepi masuk toko buku, penjualannya sudah mengalahkan novel karya penulis lainnya yang biasa mejeng di sana.
Setelah selesai, Alyn berjalan-jalan untuk melihat apakah ada novel yang bisa dibawa pulang untuk sekedar menemani dirinya ketika bosan. Alyn menyukai novel, tentu saja novel percintaan dengan konflik yang lumayan berat namun tidak bertele-tele.
Alyn memegang novelnya yang saat ini digemari oleh kaum remaja. Dia tidak pernah mengira akan banyak mendapatkan uang dari penjualan bukunya. Karena menurut Alyn, masuk ke dapur penerbit saja susahnya minta ampun. Apalagi bermimpi karyanya mejeng di toko buku dengan peminat yang sangat banyak.
Sebuah pertanyaan terlintas di kepala Alyn, apakah Genta sudah melihat buku ini? Pasalnya, buku ini ada di mana-mana, jika Genta datang ke Indonesia, pasti akan menemukan buku ini, bukan? Harusnya Genta tahu jika buku ini pernah dilihatnya beberapa tahun lalu walaupun tidak lengkap sampai selesai. Karena waktu itu, Alyn belum memberikan salinan novel dalam bentuk utuh.
Alyn berulang kali mengelus sampul buku baru yang masih terlapisi plastik. Dia ingin bertemu sekali saja dengan laki-laki itu walaupun harus berpisah kembali. Tetapi, masih adakah kesempatan untuknya?
Tidak sengaja Alyn menatap ke arah samping kanannya. Seorang laki-laki berdiri di sana dengan memegang novelnya. Matanya tidak bisa lepas dari laki-laki itu, bahkan rasanya matanya panas dan pedas. Laki-laki itu tidak asing di matanya. Masih sama seperti sepuluh tahun yang lalu, bedanya hanya tubuhnya yang semakin tegap.
Merasa dirinya ditatap oleh Alyn, laki-laki itu menoleh dan sama kagetnya dengan Alyn. Laki-laki itu hanya diam, sedangkan Alyn memaksa kakinya untuk mendekat. Untuk kali ini, Alyn tidak akan salah orang walaupun sudah lama tidak bertemu.
Mereka bertatapan cukup lama, namun tidak ada yang bicara sama sekali.
"Gema," sapa Alyn lirih walaupun laki-laki yang disapa Gema itu bisa mendengarnya dengan baik.
Gema meletakkan novel yang dirinya pegang ke dalam rak kembali.
"Kamu, nulis novel ini?" Tanya Gema kepada Alyn yang berdiri menatap dirinya dengan wajah tidak percaya.
Alyn mengangguk, "kamu pulang ke Indonesia?"
"Hm, iya." Jawabnya seadanya.
"Bisa kita bicara sebentar?" Tanya Alyn kepada Gema yang diam saja.
Gema menghela napas panjang lalu tersenyum tipis. "Masih belum bisa move on? Mau tanya tentang kabar? Atau ... Genta?"
Alyn diam, matanya rasanya panas sekali. Rasanya membuncah ketika melihat Gema berada di sini. Entah ini takdir atau memang kebetulan yang mempermainkannya.
"Aku ... Cuma mau ngobrol sama kamu," jawab Alyn sambil menundukkan kepalanya.
Gema tertawa, masih angkuh dan menyebalkan seperti dulu rupanya. Namun, akhirnya Gema meredakan tawanya dan menatap Alyn yang menunggu jawabannya.
"Aku enggak mau dengar kata munafik kaya gitu. Kamu enggak akan repot-repot ngajak aku ngobrol cuma buat tanya kabar atau lainnya, 'kan? Masih aja kaya dulu? Gengsi buat tanya hal sebesar itu? Sepuluh tahun udah berlalu, Lyn. Apa kamu enggak bisa jujur sama diri sendiri."
Gema hendak berjalan keluar tapi Alyn menahannya, "iya, aku mau tanya tentang—"
Belum selesai ucapan Alyn, Gema sudah memotongnya terlebih dulu.
"Kalau memang ingin membahas hal itu, aku juga enggak bisa bantu, Lyn. Mendingan kamu lupain Genta dan memulai hidup baru! Genta sudah berubah Lyn, dia enggak sama kaya Genta yang kamu kenal. Kamu akan sakit hati sendiri kalau tahu, Genta bukan laki-laki yang hidup di masa lalu kamu! Belajar melupakan ya, sama seperti Genta yang sudah jauh meninggalkan kenangan kalian."
###