Roda selalu berputar, begitupula roda kehidupan. Alyn pernah mendengar tentang kehidupan Tito di masa SMA dulu. Tito termasuk siswa pemegang beasiswa di sekolah mereka, bukan dari kalangan berada. Bahkan orang tuanya pun hanya berprofesi sebagai pembuat makanan yang dijual di depan rumah. Kadang teman-teman satu kelasnya menggunjing masalah kekurangan Tito sebagai orang yang kurang mampu. Alyn seringkali mendengar karena di selalu berada di dalam kelas untuk merenung.
Beberapa diantara mereka kadang juga sok baik kepada Tito agar bisa menyontek tugas atau satu kelompok dengan Tito karena laki-laki itu salah satu siswa yang paling pintar di kelas dan juga sekolah mereka. Walaupun begitu, Tito merupakan ketua kelas yang bijaksana, sehingga tidak ada yang melakukan perundungan terhadapnya. Tito juga seringkali membantu teman-temannya yang kesulitan dan aktif dalam segala kegiatan sekolah.
Dan yang paling mencolok lagi adalah Tito berteman dengan Genta dan Zidan yang pada saat itu lumayan populer di sekolah mereka. Apalagi Zidan si ketua basket paling tangguh dan ganteng yang digemari banyak perempuan. Genta pun tidak kalah famous karena banyak orang yang mengenalnya. Pembawaannya yang santai dan ramah kepada siapa saja membuatnya mempunyai banyak teman.
Alyn bisa melihat dengan matanya sendiri, roda selalu berputar. Rumah megah dua lantai dengan halaman luas walaupun tidak berada di kota besar, tetap menjadi rumah paling mewah. Rumah Tito juga sama dengan Alyn, jauh dari keramaian, berada di dekat pedesaan biasa. Di depan rumahnya ditumbuhi pohon besar, garasinya pun penuh dengan mobil. Ada sekitar lima mobil dengan warna yang berbeda.
Rumah ini juga unik, beberapa sisi rumah tidak terbuat dari batu bata, namun hanya terlapisi kaca tebal. Cat rumahnya pun berwarna krem dan putih, menambah kesan mewah dan mahal.
"Lyn, ayo masuk," ajak Tito karena melihat Alyn masih terkagum pada rumahnya.
"Eh, iya." Ucap Alyn yang mengikuti langkah Tito untuk masuk ke dalam rumah laki-laki itu.
Alyn masih mengagumi rumah itu dengan banyak keunikan yang jarang dimiliki oleh rumah lain.
"Rumah kamu oke banget, To. Aku sampai kagum banget dengan bentuk dan dekorasinya. Benar-benar rumah yang sempurna dan istimewa." Puji Alyn yang memasuki ruang tamu.
Tito terdengar tertawa, "duduk Lyn, aku ambilin minuman dulu. Eh, iya, mau minum apa?"
"Apa aja deh, To. Yang penting jangan es ya, udaranya baru panas." Jawab Alyn seraya tersenyum.
"Siap Bu Dokter," ledek Tito yang hanya ditertawakan oleh Alyn.
Tito pergi ke belakang, lalu Alyn masih mengamati ruang tamu milik Tito. Ada beberapa pajangan bingkai foto yang lumayan besar di sana, ada foto Tito ketika wisuda S1 dan S2, lalu ada foto Tito bersama dengan mamaknya. Di ujung ruangan, ada foto yang membuatnya penasaran.
Alyn berjalan mendekat, menatap foto tersebut. Foto lama yang masih menampilkan wajah seseorang yang sangat Alyn rindukan. Mata, pipi, hidung, bibir, dan semuanya akan sangat dia rindukan. Alyn mengelus foto laki-laki di depannya itu. Sangat manis dengan balutan seragam SMA. Bahkan tawanya masih bisa Alyn ingat dengan baik.
"Genta selalu menjadi pencair suasana kalau salah satu diantara kita baru panas. Dia teman yang baik dan pengertian, sering bantu temannya tanpa mikirin dirinya sendiri. Genta tipikal orang yang akan membela orang-orang yang disayanginya mati-matian."
Alyn menatap ke belakang dan menatap Tito yang membawa dua gelas teh hangat. Tito memberikan satu gelas kepada Alyn yang masih berdiri di depan bingkai foto tiga anak SMA berseragam—Tito, Genta, dan Zidan—mereka saling tertawa dan merangkul satu sama lain.
Alyn menyeruput teh itu pelan dan kembali menatap foto Genta yang begitu bahagia. Mengapa semua harus berakhir waktu itu? Alyn benar-benar menyesal karena sudah melepaskan Genta.
"Aku menyesal karena mutusin dia dulu. Seharusnya, aku enggak pernah mutusin dia 'kan, To? Kalau tahu aku bakalan sakit sendiri, pasti aku enggak akan melepaskan dia karena masalah sepele. Aku kangen banget sama dia," curhat Alyn yang masih setia menatap senyuman Genta.
"Dia di mana ya kira-kira, To? Apa Genta masih ingat sama aku? Atau mungkin dia udah lupain aku sejak keluar negeri. Semenjak Genta enggak ada, semuanya berantakan. Enggak cuma masalah perasaanku yang berantakan, tapi hubungan kamu sama Zidan juga!" Sambung Alyn lalu menatap Tito.
Tito mengangguk, "Zidan kecewa karena aku enggak ngasih tahu dia kalau Genta mau pindah sekolah. Katanya, dia udah bela-belain aku mati-matian, tapi aku enggak bisa balas kebaikan dia dengan memberi tahu soal Genta. Tapi aku udah janji sama Genta kalau enggak bakal bilang sama siapa-siapa."
Tito berjalan menuju sofa lalu duduk di sana. Jika mengenang semuanya, terasa menyedihkan. Genta pergi dan persahabatannya dengan Zidan juga berantakan. Tito tahu betul jika Zidan merasa kehilangan dan merasa sangat bersalah dengan Genta. Sebelum Zidan sempat meminta maaf, Genta sudah pergi dan tidak pulang-pulang lagi.
Alyn menepuk pundak Tito pelan lalu mengambil duduk di depan Tito. Ada yang mengganjal di hati mereka saat ini.
"Setelah Genta pergi dan setelah kita lulus SMA, banyak hal yang membuat aku sedih. Kehilangan Genta, Zidan, dan bapakku. Mereka seakan hilang dan mungkin enggak ada pernah aku temui lagi. Zidan, paling dekat karena masih satu kota, tapi tetap menutup pertemanan kami. Semuanya enggak akan ada artinya kalau mereka semua enggak ada! Rasanya masih hampa, Lyn." Ucap Tito yang terdengar frustasi.
"Kamu juga pengen ketemu Genta, To?" Tanya Alyn ragu.
Tito menganggukkan kepalanya seraya tersenyum, "kalau bisa aku mau ketemu sama dia. Setidaknya meluruskan semuanya di masa lalu. Aku mau mengakui kesalahan dan meminta maaf karena terlambat menyadari pertemanan kami ini sangat penting. Kesuksesan seperti yang kamu lihat ini, untuk apa aku pamerkan ke orang lain. Harusnya mereka berdua yang tahu, mereka bisa ikut menikmatinya. Karena ketika aku susah, enggak bisa jajan di kantin, HP atau laptop rusak pasti bakalan dipinjamin sama mereka. Bahkan, mereka berdua pernah datang malam-malam sampai kehujanan cuma mau nganterin buku latihan olimpiade yang aku pengen."
Tito menangis, meluapkan semua rasa sesak di dadanya. Sudah lama tidak menangis seperti ini, namun jika mengingat semuanya, rasanya makin sesak.
"Aku punya banyak teman, tapi enggak ada yang sama seperti Genta dan Zidan. Mereka selalu membawa kebahagiaan yang enggak pernah aku rasain. Mereka berdua enggak cuma menyuguhkan pertemanan tapi persaudaraan. Aku sedih Lyn, kenapa kami harus berakhir seperti ini! Kenapa kami tidak bisa saling memperbaikinya?"
Alyn menghapus air matanya juga, rasanya dadanya juga sesak ketika mendengar luapan emosi yang selama ini Tito simpan rapat-rapat di dalam hatinya.
Alyn menyodorkan kotak tisu pada Tito yang tidak berhenti menangis. Tito menarik gulungan tisu itu dan mengusap air matanya pelan.
"Bahkan, setelah aku punya semua ini, kebahagiaanku hanya rata-rata. Tidak seindah ketika bersama Genta dan Zidan. Harusnya aku menikmati waktu bermain bersama dengan mereka. Enggak menghabiskan waktuku sendiri untuk belajar dan belajar. Aku kehilangan segalanya, semenjak aku kehilangan sahabatku, Lyn." Lirih Tito.
Alyn termenung, "aku juga sudah kehilangan seluruh hidupku. Genta membawa semua harapan dan cinta itu. Mungkin itu alasan mengapa aku belum bisa melupakan dia. Karena dia mengambil hatiku, seluruhnya!"
###
Bekerja kembali dengan semangat yang penuh kembali. Alyn tengah sibuk di ruangan UGD, menangani pasien adalah keahliannya. Setelah semua selesai, Alyn membersihkan diri di kamar mandi lalu bertemu dengan teman-temannya. Mereka bercengkrama dan bercerita hal-hal penting sampai tidak penting disela makan siang. Beberapa hari ini, Alyn mendapatkan banyak dukungan dari teman-temannya di rumah sakit.
Kebanyakan tenaga medis di ruang UGD sudah tahu jika pacar Alyn atau Regan telah kencan dengan Naura—dokter koas yang dianggap sebagai orang yang paling dekat dengan Alyn. Mereka tahu bukan karena Alyn yang bercerita, namun karena Regan diam-diam sering datang untuk menjemput Naura.
Naura juga dijauhi oleh temannya sesama anak koas karena merasa kelakuan Naura sudah kelewatan kepada Alyn. Padahal mereka semua tahu jika Alyn sudah sangat baik pada Naura. Bahkan pernah membela Naura mati-matian dan balasannya? Sebuah pengkhianatan.
Alyn tidak mau ambil pusing, tidak menyapa seperti biasanya karena tidak mau sok baik, dia juga tidak cuek. Alyn masih menjawab apa yang Naura tanyakan jika itu seputar kedokteran. Dia tidak akan menjadi senior yang galak atau pelit materi hanya karena dirinya kecewa.
"Dokter Ralyn?" Sapa Naura dengan suara yang lirih.
Alyn mendongak ketika namanya dipanggil. Perempuan itu bahkan tidak tersenyum, tidak menatap dengan baik, atau melakukan hal seperti biasanya. Naura sangat takut melihat ekspresi Alyn yang seperti saat ini.
"Boleh kita bicara?" Tanya Naura dengan keberanian yang tinggal setengah.
Beberapa teman Alyn menyindirnya dengan kata-kata pedas. Mungkin karena Naura masih berani untuk bicara dengan Alyn.
"Boleh, mau bicara di mana?" Tanya Alyn balik. Memang, Alyn sangat butuh bicara setelah emosinya mulai reda.
"Ke kantin, bisa?"
"Bisa,"
Mereka berjalan menuju kantin, di sana sudah ada Regan yang tengah duduk di meja paling pojok. Alyn menarik salah satu kursi lalu mendudukinya. Begitupula dengan Naura yang duduk disamping Regan dengan wajah yang tertunduk.
"Lyn," ucap Regan memulai perkataannya. "Aku tahu, kamu enggak pengen pesan makanan atau minuman 'kan. Jadi, aku bakalan langsung aja." Sambungnya.
Alyn menganggukkan kepalanya, setuju.
"Aku mau minta maaf sama kamu, karena kejadian kemarin. Mungkin, kamu juga kecewa sama aku karena aku kurang ajar sama kamu. Maaf karena ngomongku jadi kasar dan bikin kamu sedih. Aku sadar Lyn, selama ini aku juga udah banyak nyakitin kamu. Sejak awal aku juga maksa kamu buat menerima aku dan bisa pacaran sama aku. Seharusnya, kalau aku memang serius suka sama kamu, aku enggak perlu maksa kamu dan akhirnya nyakitin kamu juga."
"Aku bikin semuanya tambah rumit dengan kelakuanku sendiri. Terus aku nyalahin kamu soal Genta. Padahal aku harusnya sadar, sejak awal kamu memang cuma suka sama dia. Aku yang salah karena maksa dan aku juga yang kurang ajar karena suka selingkuh. Lyn, semenjak aku ketemu Naura, semuanya beda. Aku mulai jatuh cinta sama dia, makanya aku sampai nekat ngelakuin itu sama kamu. Ketika kamu enggak perhatian, Naura perhatian sama aku, ketika kamu enggak ada, Naura yang ada." Ucap Regan menatap Alyn.
Alyn menghela napasnya panjang lalu menatap balik ke arah Regan yang berada di depannya.
"Hm, aku udah maafin Kak Regan. Aku enggak mau masa lalu bersama Kak Regan juga, membuatku kembali terjebak seperti bersama dengan Genta. Aku akan berusaha untuk berdamai dengan masa lalu. Apalagi pengorbanan Kak Regan selama lima tahun, enggak cuma sedikit." Jawab Alyn serius.
"Jadi, apa kamu bisa menjelaskan kepada teman-teman kamu lainnya untuk berhenti membicarakan Naura?" Tanya Regan hati-hati.
Alyn menatap Naura yang semakin menunduk, "sekarang jawab, Naura. Siapa yang membuat masalah ini diketahui orang-orang di rumah sakit? Aku enggak paham, gimana caranya aku meminta mereka untuk tidak bicara macam-macam, tetapi nyatanya kalian bertemunya diam-diam di lingkungan rumah sakit. Kalian bisa bertemu di tempat lain, kalian juga bisa melakukan apapun sesuka kalian, tapi kenapa harus muncul di rumah sakit? Apa itu juga salahku? Apa aku yang harus klarifikasi?"
Tidak pernah Alyn sekesal ini, dia benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikiran Regan.
"Kamu bisa bilang kalau kita udah putus dan aku baru jadian sama Naura." Pinta Regan.
Alyn tersenyum sinis, "kenapa kalian enggak melakukannya sendiri? Apa tidak ada orang yang percaya dan peduli?"
"Dokter Ralyn," panggil Naura pelan sekali. "Saya mohon! Saya minta maaf atas kejadian ini. Tapi saya mohon untuk memberikan klarifikasi soal hubungan saya dan Regan. Saya tidak mau dijauhi oleh teman-teman saya juga." Sambungnya.
"Enggak perlu, Lyn!"
Alyn menoleh dan menatap Dimas yang berada di belakangnya.
"Aku kira, kamu bisa jagain Ralyn. Aku kira, kamu laki-laki yang baik, tapi ternyata kamu kurang ajar juga. Selingkuh, sama teman kerjanya di rumah sakit pula. Aneh, kamu, Gan. Kamu yang minta Alyn jadi pacarmu, tapi kamu juga yang selingkuhin dia. Kamu bilang salahnya Alyn, padahal kamu sendiri yang memang udah suka main perempuan sana-sini." Sindir Dimas.
"Enggak usah sok tahu deh," ketus Regan.
"Udah ... Enggak usah pakai acara berantem. Intinya Kak Regan, aku udah maafin karena jujur aja aku merasa lega kita selesai. Tapi maaf, aku enggak bisa bikin klarifikasi di depan teman-teman yang lain. Itu terlalu berlebihan, bukan? Masalah percintaan itu 'kan sifatnya pribadi. Jadi, Naura tentu saja bisa segera membereskannya. Aku maaf karena enggak bisa bantu. Permisi!" Alyn meninggalkan kantin dengan santai.
Nada bicara Alyn pun sudah mulai berubah melembut seperti biasanya. Untuk apa marah-marah? Toh, Alyn juga merasa nyaman seperti ini. Tidak ada orang yang menyebut dirinya sebagai pacar Alyn.
Mulai hari ini, Alyn akan membuka lembaran baru hidupnya.
###