8. GRUP REUNI

1925 Words
Kadang, kita sudah berusaha untuk bangkit sampai terjatuh lagi, terjatuh lagi, dan bangkit lagi. Namun, tidak semudah itu untuk bangkit setelah terjatuh beberapa kali. Percayalah, setiap manusia memiliki momen di mana dirinya terjatuh namun tidak bisa bangkit. Memerlukan waktu tentunya. Tetapi, waktu yang orang butuhkan, berbeda-beda. Ada yang sebentar, ada yang cukup lama, ada juga yang selamanya. Perempuan selalu bilang begini : mungkin sakit akan hilang, namun bekasnya belum tentu. Selalu saja begitu, sampai muak jika terus-menerus didengarkan. Kenapa harus membawa perasaan seperti itu dengan keyakinan yang setengahnya saja tidak ada. Perempuan memang kerap kali menjadi orang yang paling menderita, tersakiti, kadang tidak jarang menjadi pelaku bermental korban. Pernah dengar? Perempuan menyakiti laki-laki lalu menyalahkan laki-laki jika laki-laki yang membuat mereka terluka. Jadi, bukan pada quotes yang selalu saja mengarah kepada perempuan. Ada, quotes yang selalu diagung-agungkan oleh para kaum hawa dan kadang itu salah kaprah. Pertama, perempuan selalu benar. Kedua, adanya Mas-alah bukan Mbak-salah. Dua hal itu sama, selalu dijadikan tameng untuk pembenaran sikap perempuan yang acap kali keterlaluan. Ah, bukan berarti kaum adam juga tidak salah. Mereka juga salah dan sama halnya dengan perempuan. Bukankah, semua manusia sama di mata Tuhan? Benar, Tuhan sangat memuliakan perempuan. Tetapi, perempuan tidak boleh berlaku sombong. Menyalahkan orang lain, terutama laki-laki, menjadikan diri mereka orang yang paling tersakiti, itu juga hal yang salah. Perempuan kadang suka lupa jika laki-laki juga berhak menyalahkan. Laki-laki juga berhak meninggalkan, bukan karena laki-laki selalu salah. Tetapi, laki-laki juga manusia. Sering khilaf, layaknya perempuan. "Kenapa sih bagian ini terdengar memojokkan perempuan," gerutu Alyn yang tampak dongkol ketika membaca sebuah novel lawas yang salah satu perawat pinjamkan. Belum apa-apa, perempuan sudah menyalahkan orang lain. Terkadang yang lebih miris lagi, mereka sering menyalahkan kaum mereka sendiri. Saling ejek masalah fisik, namun kadang sok malaikat dengan berusaha membela salah satunya. Bugh. Alyn menutup novel lawas karya 'Asmarandana' dengan sebuah judul 'Perempuan Juga Salah'. Dari banyaknya novel karya penulis kondang itu, mungkin hanya novel inilah yang membuat Alyn merasa dongkol. Dari bab pertama sampai hampir bab terakhir, isinya menusuk hatinya. Kisah tentang perempuan yang memperlakukan laki-laki seenaknya sendiri. Entah, Alyn tidak setuju karena tidak menganggap hal demikian, atau karena Alyn cukup merasa jika dirinya juga salah satu perempuan yang diceritakan oleh Asmarandana. Jam di tangannya menunjukkan pukul tujuh malam. Sebenarnya dia bisa langsung pulang. Tetapi karena tergiur membaca novel yang salah satu perawat di UGD bawa, Alyn mengurungkan niatnya. Seandainya dulu dia punya banyak uang, mungkin Alyn sudah memiliki semua karya penulis itu. Alyn pernah membaca beberapa novel yang limited edition pada masanya. Rere sering diberikan Zidan, jadi Alyn meminjamnya setelah Rere selesai membaca. Mungkin, orang-orang di jamannya akan sangat merindukan sentuhan seorang Asmarandana di dunia kepenulisan. Karyanya yang ringan dan memuat banyak pembelajaran, menjadi candu untuk siapa saja yang membacanya. "Kesel 'kan, Dok?" Tanya perawat yang memiliki novel yang Alyn genggam saat ini. Alyn mengangguk, "kaya dendam gitu enggak sih Asmarandana sama kaum perempuan?" "Dokter Ralyn, menurut Dokter, Asmarandana itu laki-laki atau perempuan?" Tanya sang perawat sambil mengaduk jus jeruknya. "Laki-laki, orang nadanya begini kok. Dia membahas kaum laki-laki kalau memang perempuan!" Jawab Alyn mantap. "Tapi menurut saya, Asmarandana itu perempuan. Dia bisa se-detail itu menjelaskan tentang kaum kita." Alyn menghela napas panjang, dia tidak suka disebut dengan kata 'kaum'. Baru dibahas sedikit saja sudah sensitif. Ingat, namanya juga perempuan. Kalau mau emosi pun, harus ditahan. Helaan napasnya terdengar kasar, Alyn menatap layar ponselnya yang beberapa kali berdering namun tidak dia hiraukan. Jujur saya, Alyn sedang sibuk membaca novel itu sampai mengabaikan ponselnya. Ada beberapa pesan dari Regan yang mengatakan akan telat menjemput dan ada satu lagi yang membuatnya tidak bisa menahan debaran jantungnya. Sejak kapan? Itu yang selalu Alyn pikirkan. Bagaimana mungkin ada pesan itu jika Alyn tidak pernah merasa masuk ke grup tersebut. Klik. Alyn meng-klik aplikasi pesan miliknya. Tatapannya tertuju pada sebuah nama grup yang membuat Alyn terpaksa bernostalgia dengan masa SMA-nya. Mungkinkah? Alyn sudah berusaha untuk melupakan, namun mengapa tiba-tiba sebuah pesan grup masuk? SMA GARUDA SAKTI ANGKATAN '52 ---------------------------------------------------------- 087838XXXXXX : Halo guys, apa kabar kalian semua? Aku sama anak-anak OSIS mau ajak kalian semua buat reunian angkatan nih di SMA kita. Kemarin aku dapat beberapa rekomendasi perwakilan dari beberapa kelas. Nah, sebelumnya aku harus tanya dulu nih. Apa kalian bisa? Kalau memang 50% pada bisa, aku bakalan langsung hubungin Pak Anwar. Beliau mau mencoba melobi kepala sekolah untuk memberikan kita ijin untuk reunian di sana. Kasih respon aja ya. Aku juga enggak bisa masukin banyak orang ke grup karena memang keterbatasan kuota peserta dan beberapa nomor teman aku enggak tahu. Setiap kelas udah ada koordinasinya dan siapa tahu bisa ngajak teman sekelas yang lain buat gabung. Btw, aku mau ngajak beberapa siswa juga yang pernah ada di angkatan kita walaupun mereka pindah duluan. Contohnya : Melinda (Kelas X-IPS 4), Genta (Kelas XI-IPS 2). Bentar, aku kirim form aja. Nanti list aja nama kalian sesuai kelas jaman SMA dulu. Dan insyaallah, acara akan diadakan bulan depan. Jadi masih ada waktu. Thx. --------------------------------------------------------- Mata Alyn membulat seketika dan melihat namanya masuk dalam grup tersebut. Alyn mencari, siapakah orang yang telah memasukkannya ke dalam grup. Berharap jika ada orang yang dikenalnya. Username bernama Tito yang telah memasukkannya ke dalam grup. Tangan Alyn sedikit gemetar, namun dia ingin tahu. Alyn menyimpan nomor Tito kembali. Sebenarnya, apakah bisa Alyn bertanya kabar Genta sekali lagi? Alyn menekan tombol panggil untuk menghubungi Tito. Sudah lama sekali tidak mendengar suara Tito atau berhubungan dengan teman satu kelasnya itu. "Halo, Lyn. Ada apa?" Alyn menggigit bibir bawahnya, menguatkan hatinya. "Kamu masih punya nomor aku?" Pertanyaan yang sepertinya tidak penting untuk ditanyakan, namun Alyn merasa itu pembuka yang lumayan bagus. Mengingat, mereka tidak terlalu dekat dan sudah lama sekali tidak bertemu satu sama lain. "Iya, masih. Kenapa? Mau tanya soal Genta, ya? Aku juga belum dapat kabar apa-apa soal Genta. Nanti aku cari ke teman yang lain. Kabarnya Indira mau datang juga, kita bisa tanya ke dia. Siapa tahu dia udah dihubungi sama Genta atau paling enggak Gema." Jalan buntu! Tito pun tidak tahu kabar Genta. Alyn pikir, akan ada keajaiban yang membawanya bertemu kembali dengan Genta. Setidaknya, Alyn ingin menyelesaikan semua cerita di masa lalu mereka tanpa adanya penyesalan. "Oke, makasih ya, To. Maaf ganggu kerjaan kamu." Lirihnya yang akhirnya memutuskan sambungan telepon Tito. Sungguh, jantung Alyn masih berdetak dengan tidak wajar. Apa masih ada perasaan dan euforia sisa masa SMA? Bagaimana tanggapan teman satu angkatannya tentang dirinya. Alyn takut, sangat takut! ### Regan berdiri di depan rumah sakit ketika Alyn bilang akan keluar lima belas menit lagi. Semua orang yang pernah melihatnya selalu menyapa dengan baik. Dari pak tukang parkir yang sudah tua, pak satpam yang sangat ramah, petugas rumah sakit yang tersenyum menyenangkan, sampai koas yang melewatinya dengan membawa nasi padang. Sebenarnya sedikit kikuk karena diperlakukan spesial, namun Alyn terlalu famous, sehingga Regan mau tidak mau kecipratan. Tidak lama kemudian, Regan melihat Alyn yang sedang berjalan bersama dengan temannya. Entah apa yang mereka bahas, namun wajah Alyn tampak berbinar. Perempuan itu selalu cantik di matanya. Bahkan perasaannya tidak pernah berubah selama sepuluh tahun belakangan ini. Dulu, Regan sering melihat Alyn berada di rumahnya. Menginap di kamar Rere, bahkan kadang suara adik perempuannya bisa sampai ke kamarnya. Suara tertawaan Alyn pun seperti menjadi kebiasaan semenjak Regan lulus dari kuliah dan tinggal di rumahnya kembali. Kedekatan mereka terbilang sangat cepat. Regan selalu menemani Alyn kemana-mana, disela-sela kesibukan Regan untuk bekerja. Sebelum kuliah di sini, Alyn sering menginap karena menemani Rere. Apalagi pasca Rere dan Zidan putus. Alyn selalu berada di rumah mereka. Mengenang cerita masa itu, kadang menyenangkan. Namun, jika Regan mengingat betapa sulitnya dirinya mendekati Alyn karena ada Genta di hati Alyn, membuat Regan sedikit kesal. Bagaimana bisa bocah SMA yang biasa saja itu bisa menempati tahta penting di hati Alyn. "Hayo, melamun terus." Tegur Alyn yang langsung melingkarkan lengan kanannya ke lengan kiri Regan. "Astaga, bikin kaget aja sih kamu. Perasaan tadi masih ngobrol sama teman. Udah di sini aja." Alyn mengangguk lalu tersenyum, perempuan itu mengambil ponselnya lalu mengetikkan sesuatu. "Dimas udah nunggu di cafe biasa, Kak. Katanya langsung meluncur aja. Udah lama enggak ketemu sama Kak Regan." Ucap Alyn yang berjalan bersama dengan Regan. "Dimas itu padahal sering lho kirim pesan ke aku. Tapi jarang banget aku bales, Yang. Soalnya benar-benar aku sibuk banget dan kerjaan memang enggak bisa ditinggal." Jelas Regan sambil masuk ke dalam mobil. Alyn sedikit menunduk lalu masuk ke dalam mobilnya. "Kenapa pesanku cepat balasnya?" "Karena kamu prioritasku," gombal Regan yang ditanggapi dengan tertawaan renyah dari Alyn. Mereka sama-sama masuk ke dalam mobil. Regan mengemudikan mobil Alyn dengan kecepatan sedang. Dua belas menit kemudian mereka sampai di sebuah cafe yang biasanya Dimas gunakan untuk bertemu dengan Alyn. Di dalam, sudah ada Dimas yang sedang menunggu mereka sambil menikmati secangkir kopi s**u yang uapnya masih mengepul. Mungkin, Dimas juga baru saja datang. "Dim, udah lama?" Tegur Regan yang langsung ditanggapi dengan wajah masam Dimas. "Udah lah, ini aku pesan minuman lagi sampai dua kali." Alyn tersenyum tipis, ini 'kan karena Regan menunggu dirinya di rumah sakit tadi. "Maaf deh, 'kan sibuk!" Alibi Alyn kepada Dimas. Alyn tidak mau memberi tahu jika dirinya menunda pulang karena sedang membaca novel di rumah sakit. Mau bagaimana lagi, novel karya Asmarandana itu membuat Alyn selalu penasaran dan akhirnya meluangkan waktunya untuk membaca walaupun akhirnya Alyn malas juga. Regan beranjak untuk memesankan minum. Sedangkan Alyn duduk bersama dengan Dimas. Sesekali perempuan itu menatap layar ponselnya yang berkedip. Beberapa pesan masuk dan itu dari grup yang baru saja diikutinya. "Serius amat," tegur Dimas yang merasa dicueki oleh Alyn. Alyn buru-buru memasukkan ponsel hitamnya ke dalam saku kembali. Walaupun sebenarnya Alyn ingin bercerita, namun sepertinya waktunya belum pas. "Oh iya Dim, katanya sepupumu datang kesini? Beneran tunanganya jadi korban kecelakaan pesawat? Aku jadi lupa tanya ke kamu." Syukurlah Regan segera datang dengan membawa dua minuman. Meletakkan satu gelas di depan Alyn dan satu lagi sudah diminum Regan ketika laki-laki itu baru saja duduk. Dimas mengangguk, "iya, makanya dia langsung pulang ke Indonesia. Untungnya kamu baik-baik aja, Gan. Enggak tahu deh kalau kamu juga ikut, gimana nasibnya Ralyn. Waktu itu, dia udah panik banget." Jelas Dimas kepada Regan. Menceritakan bagaimana paniknya Alyn ketika menelepon Dimas. Regan tertawa, "masa iya, dia bisa khawatir juga?" Alyn mencubit lengan Regan karena mengatakan hal itu. Regan hanya meringis dan tersenyum ke arah Alyn. Terkadang Alyn lebih banyak diam walaupun Regan dan Dimas saling bercerita soal dirinya. Pikirannya masih tertuju pada grup itu. Apakah mungkin, dengan adanya grup itu, Alyn bisa menyelesaikan semua masalahnya? Setidaknya, apakah Alyn bisa meluruskan semuanya dan hidup layaknya perempuan pada umumnya. "Eh, aku ke depan dulu ya. Sebentar aja, mau cari angin. Sekalian biar kalian bisa cerita berdua." Ijin Alyn yang beranjak dari duduknya. "Di sini 'kan dingin, Lyn. Mau cari yang kaya apa lagi," tanya Dimas setengah bercanda. "Yang gede," jawab Alyn asal lalu beranjak dari duduknya untuk keluar dari cafe. Alyn mengambil duduk di salah satu tempat yang ada di depan cafe. Dia lelah sebenarnya, lelah dengan dunianya sendiri. Dia juga manusia yang bisa merasa goyah dan takut. Alyn bukan orang yang seenaknya kepada orang lain. Namun, mengapa dia bisa seenaknya pada diri sendiri. Grup itu membuat Alyn merasa bingung lagi. Seperti ketakutan walaupun sebenarnya ingin dia selami. Alyn menggigit bibir bawahnya, dia gelisah. Ketika melihat nama-nama orang yang ikut dalam acara itu pun membuatnya merasa ingin tahu lebih lagi. Salahkan jika Alyn ingin mengetahui kabar Genta? Alyn sudah berusaha melupakan Genta walaupun sulitnya minta ampun. Bagaimana Alyn bisa dengan mudah melupakan Genta jika pengorbanan Genta atasnya sangat tidak terbatas. Drt Drt Alyn menatap ponselnya yang kembali bergetar. Matanya menatap pesan grup yang menampilkan nama seseorang di sana. Tadi, ketua OSIS sempat membuat list, untuk mengetahui seberapa banyak yang bisa ikut reuni. Dan pada list nomor 102 ada nama yang tidak asing untuknya. Membuat jantung Alyn berdetak dengan cepat. 102. Fatika Indirasti (XII IPS 2) ###
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD