Sejak pulang dari cafe, Alyn hanya diam. Perempuan itu tidak banyak bicara selain tersenyum sesekali untuk menanggapi Regan yang saat ini sedang mengemudikan mobilnya. Kadang, Regan menceritakan soal Dimas atau teman-teman kerjanya ketika di luar negeri. Alyn menatap wajah Regan dari samping, melihat betapa beruntungnya dia karena memiliki seorang Regan di dalam hidupnya. Entah, jika bukan Regan, lalu siapa lagi yang akan menjadi laki-laki terbaik disampingnya.
Tepat di lampu merah, jemari Alyn bergerak untuk menggenggam tangan milik Regan yang berada di atas stir mobil. Regan menoleh, setengah kaget karena melihat apa yang pacarnya lakukan.
"Pulangnya enggak bisa diundur, ya? Rere udah ngabarin Kak Regan soal pertunangannya?" Tanya Alyn yang menampakkan wajah sedih.
"Hm, mau gimana lagi. Rere bilang, sebelum tunangan, setidaknya aku kenalan dulu sama tunangannya. Sebenarnya aku sih siapa aja orangnya kalau bisa bikin Rere bahagia, kenapa enggak?" Jawab Regan dengan santai.
Alyn mengangguk, melepaskan tangannya setelah lampu berubah hijau.
"Pernah enggak Kak, Rere cemburu waktu Kak Regan pergi sama aku? Selama ini 'kan, Kakak enggak punya banyak waktu sama dia." Tanya Alyn kepada Regan.
Regan sedikit berpikir, "mungkin pernah. Beberapa kali Rere marah karena aku jarang di rumah. Tapi menurutku, itu bukan cuma soal pergi sama kamu. Tapi karena aku sibuk kerja juga, Yang. Lagian kalau aku di rumah, dianya pacaran. Tapi enggak pa-pa kok, Rere itu orang yang santai. Dia suka semua perempuan yang dekat sama aku, asalkan mereka enggak nyakitin aku."
Alyn terdiam ketika mendengarkan bagian terakhir kalimat Regan. Alyn hampir tidak ingat jika Regan adalah kakak kandung dari sahabatnya. Itu artinya, jika Alyn menyakiti Regan, dia harus siap kehilangan Rere juga sebagai temannya. Lalu, apa yang harus dilakukannya?
Tidak lama kemudian, mereka sudah sampai di rumah. Alyn dan Regan sama-sama duduk di ruang tamu, meredakan lelah mereka setelah seharian bekerja dan pulangnya pun harus bertemu dulu dengan Dimas.
"Kak," panggil Alyn kepada Regan yang memejamkan matanya.
"Hm," dehem Regan tanpa menoleh sedikitpun. Matanya juga masih memejam.
"Aku dimasukkin ke grup reuni SMA." Lirih Alyn yang menarik perhatian Regan. Laki-laki itu tidak bergerak, namun wajahnya terlihat gelisah.
Regan menghela napas berat lalu berusaha untuk menyembunyikan perasaannya.
"Ada Genta?" Tanyanya.
Jika biasanya Regan akan bertanya santai tentang Genta. Untuk pertama kalinya Regan tidak bisa seperti itu. Regan cemburu ketika mendengar kata 'reuni'. Seringkali terjadi CLBK—Cinta Lama Belum Kelar—ketika diadakan acara itu. Regan merasa posisinya terancam saja. Karena semua hal bisa terjadi karena reuni.
"Mungkin! Ketua OSIS bilang akan mengundang Genta dan satu orang lagi yang pindah sebelum kelulusan." Jawab Alyn jujur.
Regan menatap Alyn yang tengah menunduk, "aku enggak pernah 'kan minta sesuatu sama kamu. Tapi bisa enggak, kalau sekali aja aku minta sama kamu untuk enggak ikut acara kaya gitu?"
Alyn mengerutkan keningnya, "lho kenapa? Aku juga mau ketemu sama teman-teman yang lain, Kak. Di sana enggak cuma ada Genta aja."
"Tetap aja, aku enggak mau kamu datang ke acara itu. Banyak kasus orang-orang yang selingkuh karena acara reunian begini." Tegas Regan yang terlihat kesal.
"Aku enggak bakalan selingkuh. Itu hal yang enggak mungkin! Selingkuh itu bukan caraku, Kak!" Ketus Alyn yang mulai tersulut kemarahan.
"Tapi kamu masih mikirin laki-laki b******k itu! Kamu pikir enak jadi aku? Kamu kira bisa terus-terusan percaya kalau kamu enggak bakalan selingkuh. Lyn, ini reuni! Semua bisa terjadi!" Teriak Regan yang lepas kontrol.
Wajah Alyn memerah menahan kesal karena ucapan Regan. "Jangan bilang Genta dengan kata-kata kasar kaya gitu. Yang tahu Genta cuma aku, dia enggak seperti yang Kak Regan bilang. Lagipula aku cuma mau ketemu sama teman-temanku!"
Regan tersenyum sinis, "teman yang mana? Teman yang sering tertawa waktu kamu di bully? Atau malahan teman yang bully kamu? Ingat Lyn, kamu memang sekolah di SMA itu, tapi kamu belum tentu bagian dari reuni itu! Kamu cuma mau ketemu sama Genta 'kan? Udah berapa kali sih Lyn kamu melakukan ini di belakang aku? Kamu tahu enggak, capek Lyn jadi orang pertama tapi dinomor duakan."
"Hubungan kamu sama Genta udah berakhir lama, terus kenapa masih kamu pertahankan? Kita pacaran udah 5 tahun, kamu enggak mikirin itu? Kamu masih suka nyari Genta buat film itu, aku enggak masalah. Tapi Lyn, setahuku kamu enggak peduli tentang tawaran film itu. Ah, atau kamu peduli untuk mencari laki-laki itu lagi? Kamu enggak bisa berubah ya, kamu parah!" Kesal Regan yang melepaskan genggaman tangan Alyn dari lengannya.
Regan meninggalkan ruang tamu menuju ke kamarnya. Alyn tahu jika dirinya keterlaluan, namun Regan tidak berhak untuk mengaturnya sampai sejauh ini. Walaupun selama ini Regan tidak pernah menuntutnya.
Alyn menghapus air matanya, lalu kembali duduk di sofa ruang tamu. Mungkin ini adalah kali pertama mereka bertengkar hebat. Walaupun Regan terbawa emosi, namun Alyn tidak suka jika Regan menjelekkan Genta di depannya. Karena menurut Alyn, yang paling mengerti Genta adalah dirinya.
Niatnya hanya ingin jujur pada Regan. Agar tidak ada yang ditutupi, namun Regan berpikiran lain. Memang, reuni bisa membuat yang lupa menjadi ingat. Apalagi yang ingat, akan semakin ingat. Regan benar, tidak ada yang tahu setelah reuni terjadi. Bisa saja, Alyn yang awalnya tidak goyah menjadi goyah.
Tapi, apa salahnya melihat kehidupan mereka semua setelah sepuluh tahun berlalu. Lagipula Alyn hanya ingin bertanya kepada Genta, apakah novelnya bisa di filmkan.
Setelah cukup tenang, Alyn berjalan menuju kamarnya. Sebenarnya dia ingin minta maaf pada Regan, tetapi laki-laki itu pasti sedang tidak ingin bertemu dengannya. Jujur, Alyn juga sedih mendengarkan kata-kata kasar yang keluar dari mulut Regan. Tapi Regan juga benar, Regan cukup lelah untuk mengerti Alyn terus.
Alyn membuka balkon kamarnya, menghirup udara yang berhembus membelai rambutnya. Air matanya perlahan mengering di pipinya. Alyn lelah sekali, Alyn tidak ingin hidup seperti ini.
Memang, dia menyia-nyiakan Regan, tetapi laki-laki itu juga membuatnya menyia-nyiakan hidupnya. Mereka sebenarnya jatuh cinta atau bertahan karena hubungan sudah terlalu lama?
"Gen, kamu tahu, aku melawan semua orang hanya untuk tetap membela kamu. Hanya aku dan hatiku yang tahu kalau betapa cintanya aku sama kamu. Menatap mata kamu, melihat senyum kamu, semuanya yang ada dalam diri kamu membuat aku sadar Gen, enggak ada yang sama seperti kamu. Enggak ada laki-laki yang setulus kamu. Enggak ada yang bisa menerima aku selain kamu. Kak Regan juga sama, dia memaksa aku! Aku benci dipaksa, aku juga benci harus merindukan kamu seperti orang bodoh!" Lirih Alyn yang tergugu dalam tangisnya lagi.
"Gen, aku takut!"
###
Alyn berhasil menjadi dokter yang bisa memilih kondisi terbaik untuk pasien. Namun, Alyn tidak bisa memilih yang terbaik untuk dirinya sendiri. Alyn selalu mendengarkan ucapan orang lain, Alyn selalu tidak enakan sehingga orang lain sering seenaknya, Alyn juga selalu bingung jika dihadapkan pada pertanyaan memilih Genta atau yang lainnya. Kenapa hidup harus dengan pilihan? Perempuan selalu diminta untuk memilih. Semuanya diberikan pada perempuan, memangnya itu tidak berat?
Bu Indah sedang menuangkan s**u di gelas kedua. Alyn baru saja keluar dari kamarnya dan belum melihat Regan keluar dari kamar. Bu Indah tersenyum lalu membetulkan piring di atas meja.
"Budhe, nanti tolong kirim baju kotor di kamar saya ke laundry biasanya, ya. Sekalian nanti, pakaian kemarin di laundry diambil sekalian. Uangnya ini," Alyn menyodorkan uang pada bu Indah untuk mengambil pakaiannya.
"Baik, Bu. Saya kebelakang dulu," ijin bu Indah dengan sopan.
Alyn hanya mengangguk lalu duduk untuk meminum susunya. Setelah cukup lama, Regan keluar dari kamar dengan membawa koper. Laki-laki itu akan pulang hari ini.
"Sarapan dulu, Kak. Habis ini aku anterin ke stasiun," ucap Alyn yang berusaha untuk merendahkan suaranya. Dia tidak mau bertengkar pagi-pagi.
Wajah Regan terlihat malas, tidak merespon ucapan Alyn sama sekali. Perempuan itu kesal, namun akhirnya mengalah. Alyn tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Alyn mengerti jika Regan marah. Tapi apa semua masalah harus diselesaikan dengan diam seperti ini.
"Kak," panggil Alyn ketika Regan berjalan melewatinya. "Semuanya bisa dibicarakan dulu, 'kan? Jangan pergi dengan kemarahan kaya gini. Aku anterin ke stasiun, ya?" Tawar Alyn yang memegang lengan Regan.
Regan melepaskan genggaman tangan Alyn, "enggak usah, aku mau pergi bareng sama teman. Kamu mending siap-siap ke rumah sakit kalau enggak mau telat."
"Kak, jangan ketus gitu dong. Oke, aku minta maaf. Aku salah!" Akhirnya Alyn meminta maaf. Setidaknya hubungan mereka tidak akan sedingin ini.
Regan menatap wajah Alyn, "minta maaf enggak akan ada artinya kalau kamu ulangi setiap hari. Gini, kamu selesaikan acara reuni itu dulu baru kita ketemu. Kalau kamu yakin reuni itu enggak berpengaruh dalam hidup kamu, kita bisa melanjutkan hubungan kita. Tapi kalau nyatanya, reuni itu ada artinya buat kamu, mending kita udahan aja, Lyn."
Alyn menggeleng, "Kak Regan yang bilang kalau bakalan jagain aku terus dan sayang aku terus. Kenapa Kakak berubah?"
Regan tersenyum sinis ke arah Alyn. Sebenarnya ingin sekali dia marah, namun akan mengganggu mood-nya sepagi ini.
"Kamu yang bikin aku berubah dan kamu yang bikin aku enggak betah dekat sama kamu! Selama ini aku yang berjuang Lyn, sendirian. Kamu bisa ngerasain 'kan dulu waktu sama Genta. Berjuang sendirian itu enggak enak! Coba deh sekali-kali enggak ada aku, apa akan beda atau malah sama aja? Cinta itu kerjasama Lyn, enggak salah satu pihak aja. Kamu memang capek, tapi capek kamu buat terus mikirin Genta!"
"Genta di mana? Genta sama siapa? Genta udah lupain kamu apa belum? Genta masih cinta enggak sama kamu? Genta bakalan balik enggak sama kamu? Genta bakalan ini—bakalan itu! Itu 'kan yang bikin kamu capek? Di kepala kamu isinya cuma Genta, enggak ada aku sama sekali. Kamu khawatir waktu kecelakaan pesawat itu, bukan karena kamu sayang sama aku. Tapi karena kamu takut enggak punya mainan yang bisa menggantikan Genta!"
"Aku sama Genta, beda! Kami dua individu yang beda. Jelas sifat kami beda, pemikiran kami beda, punya hati yang beda. Kami dua orang Lyn, tidak sama. Kalau kamu meminta pacar kamu entah aku atau akan ada orang lain di masa depan, sama atau paling enggak mirip sama Genta, itu enggak akan mungkin! Mendingan aku sama kamu saling mikirin perasaan masing-masing dulu!"
Regan menghela napasnya kasar setelah mengeluarkan semua kekesalannya. Akhirnya Regan bisa untuk mengatakan apa yang dirinya inginkan dari seorang Alyn.
Alyn kehilangan kata-katanya, air matanya tidak jatuh. Namun dadanya bergemuruh hebat, matanya panas, jantungnya berdetak cepat.
"Jangan tinggalin aku," lirih Alyn yang hampir tidak terdengar oleh Regan.
"Jangan kaya gini," sekali lagi Alyn mengatakan kata-kata yang seolah takut kehilangan.
Regan mengusap wajahnya kasar lalu memegang kedua pundak Alyn yang bergetar.
"Lyn, aku cuma memberikan kamu waktu untuk berpikir. Aku enggak mutusin kamu! Kalau sekarang aku pergi, itu 'kan rencana sebelum kita berdua kaya gini. Kamu butuh aku, tinggal telepon. Aku masih pacar kamu, aku masih Regan yang sama, aku cuma kecewa. Tapi aku sayang sama kamu! Jadi, jangan meminta maaf berulang kali, jangan mengira hubungan kita berakhir. Aku pergi, ya! Temanku udah nunggu di depan." Pamit Regan yang melepaskan tangannya dari pundak Alyn.
Alyn menyusul Regan, "Kak peluk, ya? Kita 'kan bakalan lama enggak ketemu."
Alyn mendekatkan tubuhnya, hendak memeluk Regan namun ditolak oleh laki-laki itu.
"Aku buru-buru, sorry!"
Alyn menatap Regan yang terus berjalan, "kalau gitu cium pipi kaya biasanya. Boleh 'kan?"
Alyn hendak berjinjit untuk meraih pipi Regan. Mengecup pipi kanan Regan seperti biasanya. Namun lagi-lagi, Regan menolaknya.
"Hm, malu Lyn sama temanku." Jawab Regan tanpa menatap Alyn.
"Sebentar aja, Kak." Alyn tidak mau menyerah, sebelum Regan pergi dia harus bisa melihat Regan tidak marah.
"Aku berangkat ya, bye."
Regan meninggalkannya, menggeret kopernya ke arah sebuah mobil yang dikemudikan oleh salah satu teman Regan. Teman Regan melambaikan tangannya ke arah Alyn, sedangkan Alyn hanya tersenyum pedih.
"Duluan ya Lyn," sapa laki-laki yang berada di jok kemudi.
Alyn hanya tersenyum tipis. Bahkan Regan tidak menatapnya, laki-laki itu langsung fokus pada ponselnya dan mengabaikannya begitu saja. Kali ini, Alyn tidak bisa menahan air matanya. Alyn menangis lagi dan ini adalah kedua kalinya Alyn menangis karena Regan.
Jam tangannya menunjukkan pukul enam, Alyn beranjak untuk segera bersiap-siap ke rumah sakit. Alyn akan menghubungi Regan nanti, mungkin laki-laki itu lebih tenang ketika sudah beberapa jam tanpanya. Alyn yakin, Regan akan kembali menjadi Regan yang biasanya.
Mungkin Regan butuh waktu selama beberapa jam. Atau mungkin, Regan membutuhkan waktu yang lebih dari itu. Tidak ada yang tahu!
###