10. SEDIH

1935 Words
Pertengkaran memang bumbu penyedap dalam sebuah hubungan. Terkadang, kita perlu bertengkar, berselisih paham, saling tersulut emosi, berbeda pendapat, menurut ego sendiri, dan mempertahankan pendapat. Dengan begitu, kita bisa melihat karakter asli seseorang ketika benar-benar marah. Apakah orang tersebut marah sementara atau tipikal pembalas dendam. Yang marahnya hanya ketika itu saja, atau membawanya sampai berlarut-larut dan membuat tidak nyaman. Hubungan percintaan pun sama, kadang karena pertengkaran membuat dua pasangan yang begitu dekat menjadi membuat jarak. Yang tadinya hangat menjadi dingin bak bongkahan es di dalam kulkas. Kadang pertengkaran memang menyakitkan, tetapi disitulah tantangan yang sebenarnya. Ingin tetap bertahan atau saling melepas dalam kekecewaan. Alyn mencuci tangannya di wastafel dan menatap wajahnya yang kurang tidur. Ditambah lagi dengan tangis pagi-pagi yang membuat wajahnya semakin parah. Walaupun sudah ditutupi dengan make up sekalipun, seakan tidak ada artinya. Hanya membuat wajahnya cantik namun tidak membuatnya terlihat segar. Telapak tangannya masih ada bekas darah, sisa pertempuran di ruangan UGD sejak pagi. Walaupun sedang banyak pikiran, Alyn harus tetap fokus dengan pekerjaannya. Karena salah sedikit, bisa fatal sekali akibatnya. Apalagi selama ini Alyn terbiasa dengan membedakan masalah pribadi dengan pekerjaan. Sehingga, sesedih apapun dirinya, sepelik apapun masalahnya, tidak akan berpengaruh kepada pekerjaannya. Meskipun, wajahnya tidak bisa menyembunyikan segalanya. Tetapi Alyn berusaha untuk tidak pernah mencampur adukkan masalahnya dengan rumah sakit. Karena dirinya adalah seorang dokter. Perannya di butuhkan di rumah sakit sebagai orang yang siap membantu siapa saja. Entah kenal atau tidak, punya masalah atau tidak, Alyn akan membantunya. Tentu saja, karena profesinya membuatnya seperti itu. Tidak ingin berlama-lama menatap wajahnya, Alyn segera keluar dari kamar mandi. Matanya menatap sekeliling yang lumayan ramai dengan orang-orang yang berlalu lalang. Ada beberapa keluarga yang terlihat menunggu di depan ruang operasi atau yang baru datang untuk menjenguk keluarganya yang dirawat. Sebenarnya Alyn lelah akhir-akhir ini. Dihadapkan dengan masalah yang silih berganti dan tidak berhenti. Apalagi ini masalah dengan Regan—pacarnya. Padahal mereka tidak pernah bertengkar sebelumnya. Regan selalu mengalah jika Alyn sedang kesal atau Alyn akan segera mengalah jika Regan sedang emosi. Tetapi, tatapan Regan dan sikapnya tidak separah kemarin. Bahkan, laki-laki itu tidak memberi kabar sama sekali. Alyn mengirim pesan kepada Regan namun sampai sekarang belum juga dibalas. Entah, apa yang membuat Regan berubah seperti ini. Dulu, semarah-marahnya Regan, laki-laki itu tidak pernah memanggil Alyn dengan nama saja. Biasanya Regan akan menggunakan kata panggilan 'yang' atau 'sayang'. Rasanya aneh ketika Regan tiba-tiba hanya memanggilnya dengan panggilan 'Lyn' seperti orang-orang. Untuk mengalihkan pikirannya, Alyn hanya terus bekerja lalu bergabung dengan rekan-rekannya di ruangan UGD atau kadangkala menggoda temannya di bagian resepsionis. Semua kegiatan itu hanya untuk mengalihkan semua masalahnya saja. Karena semakin dipikirkan, Alyn akan semakin merasa sangat sedih dan ingin segera menghubungi Regan. Mungkin, laki-laki itu butuh waktu untuk merenung dan tidak ingin diganggu. Baru saja Alyn duduk di salah satu kursi di depan ruangan rawat inap seseorang. Ponselnya bergetar di dalam saku bajunya. Alyn buru-buru mengambilnya dan melihat sebuah nama tertera di sana, Tito IPA1. Begitulah Alyn menamai kontak Tito setelah beberapa hari lalu mereka saling menghubungi karena akan mengadakan reuni. "Halo," sapa Alyn dengan suara serak karena memang tidak enak badan sejak beberapa hari terakhir. "Eh, kamu sakit, Lyn?" Tanya Tito dengan nada yang berubah khawatir. "Enggak kok! Biasa, cuma sedikit capek aja, To. Beberapa minggu ini rumah sakit baru rame. Ada apa?" Entah mengapa Alyn berharap jika ada kabar tentang Genta. Setidaknya akan memberikannya jeda untuk memikirkan Regan. Tidak, Alyn tidak akan meninggalkan Regan seperti yang selalu dirinya rencanakan. Alyn menghargai apa yang telah Regan lakukan. Tetapi, menemukan Genta kembali juga sebagai penyelesaian hubungan mereka yang tidak terselesaikan di masa lalu. Sungguh, kisah yang tidak selesai itu sangat menyakitkan dan akan berpengaruh pada hubungan di masa depan. Regan juga memberikannya opsi dan kesempatan untuk menyelesaikan reuninya. Jika memang tidak ada yang spesial dari reuni itu, tentu saja Alyn akan menemui Regan. Tetapi, apa mungkin reuni itu tidak akan berdampak jika ada Genta di sana? Alyn terdiam cukup lama karena tenggelam dengan pikirannya sendiri. "Lyn? Kamu masih di sana?" Tanya Tito yang membuat Alyn tersadar dari lamunannya. "Eh, iya, tadi kenapa? Maaf ya, aku baru enggak fokus." Jujur Alyn tidak enak. Kepalanya juga sedang pusing, ditambah perutnya kosong. Tetapi, tidak lucu jika Alyn sampai pingsan 'kan? Dia hanya butuh tidur sebenarnya. "Sebenarnya aku mau ngajak kamu rapat untuk acara reuni kita. Kalau kamu bisa dan enggak sibuk, minggu depan bisa ikut rapat 'kan? Soalnya dari perwakilan kelas kita yang bisa cuma aku doang. Yang lain juga sibuk, ada yang di luar kota juga. Kemarin aku langsung catat nama kamu gitu aja. Lupa kalau kamu dokter yang sibuk," jelas Tito kepada Alyn. Rapat reuni? Itu artinya bertemu dengan beberapa teman seangkatan dirinya dulu. Apa yang akan mereka katakan jika Alyn datang kesana. Dulu saja, tidak ada yang mau berteman dengannya. Apa mereka semua tidak keberatan? "Memangnya enggak pa-pa? Kalau mereka enggak setuju gimana? Aku enggak enak aja kalau nanti mereka malas karena aku datang," lirih Alyn. Rasanya, begitu teringat semua perlakuan orang-orang di sekolah itu. Walaupun bangga pernah bersekolah di SMA Garuda Sakti, tetap saja Alyn merasa masa putih abu-abunya tidak menyenangkan. Bahkan akan terlihat menyedihkan. Mendapat perlakuan tidak menyenangkan seperti di bully, dipermalukan di depan umum, dilecehkan, dan di hina dengan kata-kata kasar beramai-ramai. Kenangan itu sangat menakutkan, membuat Alyn takut menghadapi teman-teman SMA-nya. Apakah mereka masih sama seperti dulu? Sering melakukan tindakan tidak terpuji seperti itu? Tito terdengar sedang menghela napas panjang. "Mereka udah bukan anak SMA lagi, Lyn. Mereka enggak se-sukses kamu juga. Pasti mereka akan terpukul sekali setelah melihat kesuksesan kamu sebagai seorang dokter. Seharusnya kamu enggak perlu takut lagi, kamu harus bisa memperlihatkan diri kamu yang sebenarnya. Dengan kedatanganmu pada rapat besok, setidaknya akan merubah pandangan mereka tentang kamu. Kamu sudah banyak berubah, Lyn. Akan banyak orang yang tidak percaya bahwa kamu adalah orang yang pernah mereka rendahkan." Alyn tersenyum tipis, "orang yang membenci tidak akan pernah merasa malu walaupun berada di bawah kita, To. Mereka akan lebih berpikir negatif dan membenarkan pendapat mereka sendiri. Tapi, aku akan usahakan untuk datang. Bukan karena aku ingin memperlihatkan aku yang sekarang, tapi karena aku ingin merasakan masa-masa SMA ketika berada di tengah-tengah teman SMA." Alyn bisa mendengarkan suara tertawa Tito yang pelan. Tito tidak pernah berubah, laki-laki itu tetap baik. Bedanya, sekarang Tito tidak sekaku jaman SMA dulu. Tito lebih enak diajak bercerita dan dengan mudah mencairkan suasana. "Hm, Zidan ikut?" Tanya Alyn. "Eh, maaf, enggak usah dijawab," ralat Alyn yang merasa tidak enak. "Santai aja, Lyn. Enggak masalah sih tanya hal itu," terdengar helaan napas panjang dari ujung sana. "Katanya Zidan bakalan datang langsung ke acara reuni. Teman satu kelasnya sempat bilang ke aku kalau Zidan enggak bisa ikut jadi panitia karena tugas di luar kota." Sambungnya. Alyn benar-benar merasa tidak enak dan seperti merusak suasana. Tidak seharusnya Alyn menyinggung hal se-sensitif ini kepada Tito. "Aku enggak pa-pa, Lyn. Semuanya akan baik-baik aja, sesuai batas waktu yang ditentukan Tuhan." Ucap Tito dengan sedikit tertawa. "Andaikan masa SMA dulu, kita semua saling terbuka. Setidaknya tidak ada masalah sampai sejauh ini. Sampai membuat aku merasa menyesal sendiri. Kenapa enggak dari dulu aku berdamai. Kalau sekarang, rasanya semakin jauh dan enggak nyaman." Iya, Alyn pun merasakan hal yang sama. Seharusnya hidupnya tidak akan mengambang dalam perasaan bingung seperti saat ini lagi. Alyn bisa mencintai Regan dengan sepenuh hati tanpa memikirkan orang lain. Mungkin Regan benar, Alyn harus memastikannya. Apakah reuni akan berpengaruh atau tidak. ### Setelah pulang dari rumah sakit, Alyn menyempatkan diri untuk berjalan santai di pusat perbelanjaan yang tidak jauh dari rumah sakit. Keluar masuk toko karena tidak ada yang cocok dengan seleranya dan pada akhirnya Alyn memutuskan untuk duduk di salah satu stand makanan cepat saji yang ada di dalam mall tersebut. Sudah lama sekali tidak me time seperti ini. Biasanya, Alyn ditemani Dimas jika tidak bekerja sama larut. Terkadang ada Regan yang datang tiba-tiba untuk mengajaknya jalan. Momen-momen di mana dirinya sendirian hanya terjadi ketika Alyn hidup pada masa SMA-nya. Orang yang dianggap menjijikkan dan aneh untuk teman-temannya. Sesekali Alyn menatap ke arah meja nomor 12, di mana seorang ibu yang sedang memarahi anaknya karena menumpahkan minuman cola ke lantai. Padahal sang waiter sudah berulang kali bicara jika tidak apa-apa, tetapi sang ibu terus membentak anaknya dengan mata melotot. Yang Alyn sayangkan adalah melihat respon seorang ayah yang tidak melakukan apapun. Laki-laki itu sibuk dengan ponselnya dan mengabaikan pertengkaran anak dan istrinya. Alyn beranjak karena melihat apa yang dilakukan oleh sang ibu sudah cukup keterlaluan. Setelah waiter selesai membersihkan tumpahan minuman anak itu, si ibu langsung menghujani anak dengan cubitan di lengannya. Selain itu, deretan celaan dan omelan kasar mengganggu pendengaran Alyn. Si ibu kaget ketika Alyn memegang tangannya yang hendak mencubit sang anak. Tatapan beberapa orang mengarah kepada meja tersebut. Bahkan fokus sang ayah sudah beralih pada Alyn yang berdiri di depan meja mereka dan memegang tangan si ibu. "Anda ini siapa? Berani sekali ikut campur urusan saya," marah si ibu dengan kesal karena aksinya untuk mencubit sang anak dihalangi oleh Alyn. "Ibu tidak perlu tahu saya, tetapi saya tidak suka dengan tindakan Ibu. Ini tidak benar, Bu. Kasihan anaknya kalau terus Ibu cubit," tegas Alyn menatap anak perempuan yang sedang menangis memegang lengannya yang mungkin memar karena dicubit ibunya. Perempuan dengan dandanan menor itu hanya tersenyum sinis, "memang kenapa? Lagipula dia anak saya, jadi apapun yang saya lakukan adalah hak saya dong!" "Walaupun ini anak Ibu, tapi tidak seharusnya menggunakan suatu kekerasan. Apalagi anaknya sudah minta maaf, Bu." Alyn berusaha untuk menengahi masalah. Dia kasihan pada anak itu. "Sudah! Ayo kita pulang, bikin malu aja!" Si ayah yang diam saja langsung menarik sang anak untuk keluar dari tempat makan itu. Ibu itu berjalan mengikuti suaminya. Matanya masih menatap kesal pada Alyn yang berdiri terdiam di sana. Matanya tidak lepas melihat anak itu, bahkan nasib anak itu sama dengan dirinya. Masih kecil namun sudah menanggung banyak kepedihan. Bedanya, Alyn terluka karena kakaknya. Semoga saja, semua kejadian di sekolah tidak terjadi kepada anak itu juga. Setelah itu, Alyn kembali duduk di kursinya. Tatapan orang-orang pun beralih darinya. Rasanya hatinya masih miris, apakah orang tua tidak tahu jika melakukan hal demikian bisa menghancurkan mental anak dikemudian hari. Seorang waiter mengantarkan sebuah minuman ke mejanya. "Lho, salah meja Mas, saya enggak pesan. Ini sudah pesan," Alyn memperlihatkan minumannya yang masih penuh. Laki-laki itu tersenyum tipis, "dari Pak Polisi ganteng yang duduk di meja nomor 15." Alyn menoleh ke arah meja nomor 15. Mendapati seorang laki-laki dengan seragam polisi duduk sendirian lalu tersenyum karena melihat raut wajah Alyn yang tampak kaget. "Makasih ya, Mas." Ucap Alyn kepada waiter yang sudah mengantarkan minumannya. Alyn beranjak dari kursinya, membawa dua minuman miliknya untuk mendekati laki-laki dengan seragam polisi di sana. "Boleh duduk?" Tanya Alyn sedikit canggung. Namun melihat ekspresi wajah menyenangkan dari laki-laki itu, membuat Alyn lebih rilex. "Boleh dong! Duduk aja, Lyn." Jawab laki-laki itu seraya menyeruput es kopinya. Alyn masih menatap laki-laki di depannya dari atas sampai bawah. Sebenarnya, pertemuan seperti ini yang membuatnya merasa canggung, namun Alyn berusaha untuk terlihat biasa saja. "Apa kabar?" Tanyanya dengan senyuman lebar. Berbeda sekali dengan ekspresi terakhir kali mereka bertemu. "Baik, kamu?" Tanya Alyn balik. "Baik juga," jawabnya singkat. Alyn menggigit bibir bawahnya, menahan untuk tidak bertanya. Namun, sepertinya Alyn harus segera bertanya. "Kamu, udah enggak marah dan benci sama aku?" Laki-laki itu tertawa pelan namun akhirnya menggeleng. "Udah lama banget itu kejadiannya. Sepuluh tahun yang lalu pula. Aku udah lupain," jawabnya. "Kenapa kamu ngasih minuman ini sama aku?" Alyn mengangkat satu gelas minuman ke depan laki-laki itu. "Penghargaan," "Untuk?" Laki-laki itu tersenyum penuh arti lalu sedikit berpikir, "karena kamu sudah banyak berubah. Setidaknya, kamu enggak serapuh dulu. Sayang banget, Genta enggak ada. Kalau ada, dia pasti senang lihat kamu yang sekarang. Apa kamu masih bisa hubungin dia?" Alyn tersenyum masam, "enggak, mana mungkin aku masih bisa berhubungan dengan Genta. Iya 'kan, Zidan?" ###
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD