3. VIRGIN?

1964 Words
Lantai rumah sakit lumayang dingin, namun Alyn masih betah duduk di bawah sambil selonjoran. Matanya mengantuk namun tidak bisa untuk dipejamkan walaupun hanya lima menit saja. Dalam dunia kedokteran, waktu satu detik saja sangat-sangat berharga. Daripada untuk tidur dan mengabaikan pasien, Alyn memilih untuk tetap menahan kantuk dan rasa lelahnya. Bukan hanya dirinya saja yang merasa hal demikian, semua petugas di UGD juga merasakannya. Beberapa hari tanpa istirahat yang cukup pasti membuat performa mereka menurun, bukan? Padahal sudah ada beberapa petugas yang ditambahkan dalam tim, namun mereka tidak bisa mengandalkan petugas baru saja. Harus tetap saling membantu dan mencari jalan keluar terbaik dari pasien-pasien yang datang. Hari ini lumayan tidak terlalu sibuk, sirene ambulance berhenti beberapa jam yang lalu setelah mengantarkan pasien yang terkena serangan jantung di sekitar perempatan jalan menuju ke rumah sakit. Setelahnya keadaan UGD berangsur sepi. Alyn sesekali menatap ke arah dokter koas yang sama seperti dirinya, selonjoran dengan wajah yang lesu. Tentu saja mereka hebat, baru masuk beberapa minggu, sudah disuguhkan suasana UGD yang sibuk. Mereka pun juga ikut membantu, saling menolong satu sama lain jika ada yang sedang sakit. Beberapa dari mereka sedang terkena flu. Mungkin kecapean dan lebih lagi karena tertular pasiennya sendiri. Sudah biasa jika bekerja di rumah sakit maka akan sering sekali ikutan sakit. Tapi untunglah tidak terlalu parah. Paling sering adalah flu. Alyn beranjak dari duduknya lalu pergi ke kamar mandi untuk sekedar cuci muka. Seharian ini, Alyn tidak menggunakan skin care sama sekali. Jangankan skin care, keramas saja Alyn tidak. Karena bangun kesiangan, semua jadi berantakan. Sebenarnya ingin keramas sebentar, tapi lupa jika tidak membawa handuk dan hair dryer. Air keran mengalir membasahi wastafel, Alyn mencuci wajahnya yang kuyu. Matanya seperti mata panda, menghitam di bagian kelopak matanya. Dia kurusan, karena sering telat makan atau tidak makan karena memilih untuk langsung tidur. Jika rumahnya tidak ada yang mengurus, mungkin sudah penuh dengan sarang laba-laba. Alyn menatap dirinya di cermin, dia terlihat baik-baik saja sejauh ini. Tak ada yang perlu dikhawatirkan dari perasaannya walaupun akhirnya dia menangis sendirian. Untung kamar mandi sedang sepi, jadi Alyn bisa menangis sendirian. Jika bertanya, mengapa dirinya saat ini menangis. Maka akan sangat sulit Alyn jelaskan. Dia sering begini dan nanti sembuh sendiri. Yang penting menangis dulu sampai dadanya sesak dan akhirnya lega. Dia benar-benar lelah, namun bukan lelah fisik. Lebih ke lelah hati yang membuatnya tidak nyaman. Jujur, alasannya masuk kedokteran adalah untuk menyibukkan dirinya sesibuk mungkin agar pikirannya teralihkan dari Genta. Tapi bukan berarti dia tidak serius dengan profesinya. Jika tidak serius dengan pekerjaannya, mana mungkin Alyn bisa berdiri di sini dengan tanggung jawab yang besar, bukan? Mengambil keputusan untuk pindah dari kota kelahirannya dan memilih tinggal di sini adalah hal yang tak pernah Alyn pikirkan sebelumnya. Setelah lulus SMA, Alyn meminta semua aset keluarganya untuk dijual termasuk rumah lamanya. Semua uang itu dimasukkan ke rekeningnya dan digunakan untuk biaya kuliah dan untuk biaya indekos waktu itu. Rumah yang sekarang adalah rumah yang Alyn beli setelah bekerja. Meninggalkan rumah keluarganya dan menjualnya adalah keputusan yang besar untuknya. Hanya saja, Alyn ingin hidup baru, suasana baru, orang-orang baru di mana tidak ada yang mengenalnya di sana. Tentu saja semua berpengaruh terhadap pola pikirnya. Aura positif mengelilingi dirinya sejak pertama kali masuk universitas itu. Lambat laun, Alyn bisa menjalin pertemanan dengan banyak orang dari kalangan manapun. Alyn juga mulai terbiasa dengan panggilan Ralyn semenjak kuliah. Orang-orang sering memanggilnya begitu. Tidak ada lagi kisah bully yang berlanjut karena mereka semua sudah dalam tahap dewasa. Menjadi mahasiswa kedokteran tampaknya membuat banyak perubahan. Keberanian, berani mengambil keputusan, bahkan percaya diri. Ini semua hasil didikan sebuah fakultas kedokteran. Salah satu pembimbing pernah mengatakan hal ini padanya, 'Dokter selalu memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Jika Dokter tidak percaya pada dirinya sendiri, lalu bagaimana pasien bisa percaya dengan Dokternya?'. Bahkan semua itu masih teringat dengan jelas di kepalanya. Masa itu telah berlalu, ketika waktu memaksa untuk terus melaju dan meninggalkan semua kenangan itu. Alyn menghapus air matanya yang tidak mau berhenti. Seringkali dia merasa sangat lemah karena tidak berani untuk jujur pada diri sendiri. Betapa masih besarnya perasaan ini kepada seorang Gentasena. Bahkan, jika ini namanya cinta monyet, lalu mengapa sampai sedalam ini? Alyn merogoh saku bajunya untuk mengambil ponselnya yang bergetar. Sebelumnya Alyn sudah meredakan tangisnya agar tidak terdengar sumbang di telepon. Kak Regan. Nama yang tertera di ponselnya. Laki-laki itu sudah meneleponnya sebanyak dua kali. Biasanya Regan akan menghentikan telepon jika dua kali Alyn tidak mengangkat telepon tersebut. Karena Regan tahu, ketika Alyn tidak mengangkat teleponnya setelah dua kali berarti Alyn sedang sibuk. "Halo, Kak?" Sapa Alyn sebelum Regan menutup teleponnya. "Eh, ganggu enggak? Baru aja aku mau tutup teleponnya. UGD masih ramai?" Tanya orang di seberang sana, begitu sangat pengertian. Alyn menahan tangisnya agar tidak terdengar oleh Regan. Orang sebaik ini dia permainkan dan menjadikan pelampiasan? Tapi, mana mungkin pelampiasan bertahan selama lima tahun. "Lyn? Kamu nangis?" Kali ini Alyn tidak menyembunyikan tangisnya. Toh, Regan selalu bisa menebaknya. "Hey, kenapa? Kamu ada masalah di UGD? Sama tim-mu? Sama anak koas? Atau sama pasien?" Tanya Regan cemas. Alyn tidak bisa menjawab karena tangisnya semakin deras. Perasaan bersalah dan sedih bercampur menjadi satu. "Oke, kamu enggak mau aku tahu? Kalau gitu, aku tutup atau gimana? Kamu butuh waktu sendiri ya? Aku tutup ya sayang?" Regan selalu saja memperlakukannya dengan baik. Selalu lembut dalam bicara dan paling pengertian selama ini. "Enggak Kak, jangan tutup. Aku mau dengar suara Kak Regan." Lirih Alyn yang menghapus air matanya. "Coba aja Kak Regan di sini, pasti ada yang hapus air mata aku. Ada yang hibur aku kalau sedih." Sambungnya. Regan tertawa pelan, "itu kode, ya? Nyuruh aku pulang?" "Hm," deheman itu keluar dari bibir Alyn. Perempuan itu sudah lumayan membaik. "Kerjaan aku belum selesai, masih beberapa minggu lagi. Ada beberapa kerjaan yang belum selesai. Katanya desain interiornya kurang lah, tata ruangnya begini lah. Pokoknya harus sabar. Walaupun kadang aku mikir, jauh-jauh cuma buat diomelin doang. Padahal mereka minta aku kesana karena udah tahu kualitasku, tapi ya gitu Yang, masih diproses ini itu." Curhat Regan dengan sedikit tawa. Alyn tersenyum tipis walaupun tidak akan bisa Regan lihat, "harusnya aku dulu bangun rumah aja ya, supaya bisa di desain sama kamu. Lumayan 'kan gratis." Regan tertawa cukup keras, "iya 'kan mentang-mentang pacarnya arsitek terus disuruh desain. Takutnya kamu bawel dan minta ini itu, aku enggak bisa gambar gimana?" Candanya. "Ya harus bisa dong! Katanya udah profesional sampai jam terbangnya tinggi. Selalu keluar kota terus dan keluar negeri. Aku ditinggal sendiri sampai bosen," gerutu Alyn. "Maaf deh, tapi 'kan semua ini untuk masa depan kita." Alyn terdiam cukup lama, 'masa depan kita'. Kalimat itu membuatnya bungkam dan tidak tahu bagaimana menjawabnya. "Yang, kamu enggak pa-pa? Kok diam aja? Ada pasien, ya?" Tanya Regan karena Alyn tidak menjawabnya. "Eh, iya, aku baru lihat ada pasien masuk. Kalau gitu aku balik ke UGD lagi ya, Kak. Kelamaan telepon nanti tagihan Kakak besar lagi. Kalau nanti Kakak bangkrut, aku enggak mau lagi gimana?" Canda Alyn mencairkan suasana. "Oh iya benar, masa Dokter punya pacar bangkrut. Kalau gitu aku juga harus semangat kerja." Ucap Regan tertawa. "Sana tanganin pasien dulu, kalau sempat kabarin. Kalau enggak, ya enggak pa-pa. Love you." Tut-tut-tut Alyn mematikan sambungan teleponnya. Anggap saja itu tidak sengaja karena Alyn harus segera ke UGD. Namun, semua itu hanya alasan saja. Alyn tidak kemana-mana dan tidak ada pasien di UGD. Dia hanya sedang menghindari membalas kata 'love you' yang selalu diberikan Regan setiap kali mereka selesai telepon. Tapi, haruskah selamanya begini? ### Alyn melangkah mendekati mobil Sandika yang hendak melaju. Baru saja mereka makan malam di kantin rumah sakit, namun Sandika tanpa pamit langsung meninggalkannya begitu saja. Tentu saja Alyn paham apa yang sedang ada di dalam pikiran Sandika tentang dirinya. Namun, Alyn merasa sangat lega karena Sandika tidak akan pernah mengganggu dirinya lagi. Sebelumnya, biarkanlah Alyn untuk memberikan sedikit penjelasan pada Sandika yang sudah berada di dalam mobilnya. Mereka tidak bertengkar layaknya pasangan, mereka juga tidak sedang saling mengejar untuk tetap bertahan, namun kenyataan yang memukul kesadaran seorang Sandika untuk mundur saja. Tidak, Alyn tidak memintanya untuk menjauh. Alyn hanya memberikan pilihan setelah Sandika menyatakan cintanya—entah sudah berapa kali Sandika mengatakan hal itu. Sampai bosan Alyn mendengarkannya. Jika biasanya Alyn akan menolaknya dengan kalimat yang dibuat sehalus mungkin, kali ini Alyn lebih berani untuk mengatakan apa yang tidak dia inginkan. Tentu saja Alyn tidak bicara sembarangan sampai melukai hati orang lain. Alyn hanya bertanya, jika itu mengganggu, bukankah Sandika yang tidak serius? "Kak?" Alyn mengetuk jendela mobil Sandika yang masih ditutup rapat. Laki-laki itu mengurungkan niatnya untuk melajukan mobilnya. Perlahan, kaca mobil Sandika turun. Namun, laki-laki itu tidak mau menatap Alyn yang berada di luar. Alyn tersenyum tipis, "aku enggak akan memaksa Kak Sandika. Tetapi ini penting untuk aku katakan. Aku memang sudah tidak perawan tapi aku tidak seperti yang Kak Sandika katakan." Sandika menoleh, tidak percaya dengan apa yang Alyn katakan. "Pertama, kamu bilang sama aku kalau kamu punya pacar. Dan kedua, kamu bilang ke aku kalau kamu udah enggak virgin. Apa sih maksud kamu sebenarnya? Selama ini kamu dipakai sama pacarmu? Alasan kamu enggak menerima aku karena aku kurang duit buat bayar s**********n-mu?" Sandika menutup rapat mulutnya setelah mengatakan kalimat kasar itu. Alyn tidak merasa sedih dengan kata itu. Sudah biasa Alyn diperlakukan demikian dulu. Bahkan tubuhnya sudah diekspose di depan teman Abangnya sendiri. "Enggak ada maksud apa-apa, Kak. Sebenarnya aku cuma mau lihat, seberapa sukanya Kak Sandika sama aku. Ternyata beberapa orang sangat memuja kesempurnaan, mencintai sesuatu dari apa yang mereka lihat dari luar. Aku menghargai Kakak, sangat. Makanya aku mencoba untuk jujur. Aku enggak pernah memaksa orang lain untuk jatuh cinta. Dan satu lagi, pacarku enggak serendah itu. Dia tahu kekuranganku, tapi dia tidak pernah menghakimi aku." "Aku mengejar Kakak sampai di sini, bukan mengemis agar merahasiakan rahasia ini. Sama sekali tidak, Kak. Aku tidak pernah malu dengan hal itu. Aku bangga menjadi diriku yang saat ini. Tidak mudah tentunya, tapi setiap manusia memiliki kekurangan. Aku pun sama. Jadi, mulai sekarang Kak Sandika enggak perlu memuja aku layaknya hal berharga." "Enggak semua perempuan yang enggak perawan memberikannya kepada laki-laki yang menjadi pacar mereka. Aku seorang Dokter, jika aku melakukannya, berarti secara tidak langsung aku melegalkan hal itu. Beberapa kejadian tidak semudah yang Kakak kira. Masa lalu juga berperan penting, Kak. Dan Kakak tidak pernah tinggal di masa laluku. Jadi, jangan menghakimi orang lain atas masa lalu yang tidak Kakak pahami. Permisi!" Alyn tersenyum tipis, lalu berjalan mundur dan masuk ke rumah sakit kembali. Sandika hanya diam, tidak bergerak untuk mengejar Alyn atau pergi dari parkiran. Kata-katanya memang terdengar kasar. Apalagi membahas kehidupan orang lain. Sedangkan Alyn merasa lega karena mengatakannya kepada Sandika. Dia tahu betul jika Sandika adalah orang yang memuja kesempurnaan. Dari dulu, Sandika selalu berharap untuk bisa memamerkan Alyn di depan semua orang. Perempuan itu cantik dan memiliki wajah yang sangat menyenangkan. Sayangnya, Sandika lupa, jika cinta bukan hanya soal fisik semata. Mungkin, Sandika tidak akan datang kembali ke rumah sakit ini untuk menemuinya. Itu bagus! Karena ini yang Alyn inginkan. Dia tidak mau terus-menerus dianggap memberikan harapan kepada laki-laki, padahal mereka sendiri yang datang. Akan Alyn pikirkan tentang memberi tahu semua orang tentang hubungan dirinya dan Regan. Lalu, pikirannya kembali tertuju kepada Genta. Jika Genta datang kembali, apa yang harus dilakukannya? Alyn selalu tidak bisa memilih jika harus dihadapkan dengan Genta. Masa itu adalah tempat paling baik yang Alyn tinggali. Ketika melihat senyum dan candaan laki-laki itu. Andaikan masa lalu bisa diulang dan kebersamaan mereka bisa disetel tidak terbatas, pasti akan jauh menyenangkan. Namun, menggantung Regan juga bukan hal yang benar. Laki-laki mana yang mau diperlakukan seperti itu. Selama lima tahun, Alyn meminta untuk merahasiakan hubungan mereka. Itu sama sekali tidak adil untuk Regan. Alyn juga merasa, jika apa yang dilakukannya hanyalah untuk berjaga-jaga. Ketika Genta datang, statusnya masih sama. Apa Alyn jahat? Tentu saja jahat. Maka, dia harus memberikan sebuah kepastian kepada Regan. Mengakui laki-laki itu sebagai pacarnya. Sudah lama menunggu Genta, mau sampai kapan lagi? Mau seberapa banyak lagi orang yang tersakiti hanya karena menunggu hal yang tidak pasti? ###
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD