Kamarnya cukup berantakan sejak kemarin. Ada beberapa buku yang berserakan di bawah ranjang, ada juga bungkus makanan yang tidak dibuang ke tempat sampah, tempat makan yang tidak dibawa di dapur untuk dicuci, serta jangan lupakan tentang pakaian kotor yang belum dibawa ke laundry. Walaupun ada yang bersih-bersih di rumahnya setiap hari, namun Alyn selalu membawa pakaian kotornya ke laundry. Entah karena apa, tetapi pelayanan di laundry langganannya memang terbaik.
Selain itu, Alyn kasihan kepada ibu pemilik laundry sederhana yang rela bekerja siang sampai malam hanya untuk berjuang menyekolahkan sang anak di SLB (Sekolah Luar Biasa) yang paling baik di kota mereka. Mengapa Alyn tahu? Perempuan itu pernah melihat anak berumur 13 tahun yang sedang duduk sambil menggambar. Alyn sempat bertanya kepada ibu pemilik laundry tersebut, dan beliau bilang jika anak umur 13 itu adalah anak beliau.
Suaminya pergi setelah mengetahui jika anak mereka memiliki sedikit kekurangan. Ibu itu menjadi single parent untuk membesarkan anak itu dan berusaha menyediakan semua kebutuhan pendidikannya. Setelah melihat anak itu, Alyn teringat pada sosok Genta. Laki-laki itu juga selalu dirawat oleh Batara yang merupakan orang tua tunggal waktu itu.
Semenjak saat itu, Alyn selalu datang untuk laundry. Kadang Alyn sering membawa kue atau vitamin untuk ibu tersebut. Kadang, jika Alyn tidak datang berhari-hari karena sedang sibuk, ibu itu akan bertanya tentang pekerjaannya.
Seperti hari ini, Alyn berjalan untuk memunguti pakaiannya dan segera bergegas untuk mengantar pakaian kotornya ke laundy tersebut. Jarak rumahnya dengan tempat laundry itupun tidak terlalu jauh. Sehingga, Alyn tidak perlu menggunakan kendaraan apapun. Perempuan itu hanya menggunakan sebuah tempat dorongan agar memudahkannya membawa pakaiannya yang banyak.
Bu Indah—ART di rumahnya yang tadinya menyapu lantai langsung mendekat ke arah Alyn yang sedang kesusahan menarik keranjangnya menuruni anak tangga. Perempuan berumur 40 tahun itu tersenyum tipis menatap Alyn.
"Ya ampun, Bu. Saya 'kan bisa nyuci bajunya. Kenapa harus jauh-jauh ke laundry? Mahal juga 'kan, Bu? Saya suka kasihan kalau Ibu sering jalan kesana sendiri, dorong-dorong kaya gini." Bu Indah tampak kasihan pada Alyn.
Perempuan itu tersenyum tipis lalu menggeleng, "itu 'kan cuma dekat aja, Budhe. Biar laris laundry itu, kasihan anaknya 'kan. Lagipula aku juga puas sama hasilnya, bersih dan wanginya tahan lama. Nyetrikanya juga rapi banget."
"Oh iya Budhe, aku pengen makan pecel. Bumbu kacang yang dikasih sama teman kerjaku itu masih ada enggak di kulkas? Kalau masih bisa pakai itu aja, enggak usah ke pasar."
Bu Indah hanya mengangguk dengan cepat. Mendapatkan panggilan yang berbeda dari Alyn membuat bu Indah merasa dihargai. Selama bekerja di rumah orang, baru kali ini bu Indah diperlakukan layaknya keluarga sendiri. Bahkan Alyn sering memberi makanan untuk anaknya, memberi uang jajan ketika anaknya datang membantu di rumah Alyn.
"Nanti aku seharian di rumah kok, Budhe. Kalau misalkan mau pulang lebih awal enggak pa-pa. Terus tadi 'kan di kulkas masih ada kue yang dibawain Dimas. Bawa aja Budhe, kalau kelamaan di kulkas enggak enak dan aku juga lagi enggak pengen makan kue." Ucap Alyn memberi intruksi.
"Waduh, terima kasih banyak lho, Bu. Setiap pulang kerja kok selalu dikasih makanan. Jadi enggak enak sama Ibu. Tapi terima kasih banyak."
Alyn hanya tersenyum tipis, sudah hampir empat tahun bu Indah kerja dengan Alyn. Perempuan itu selalu mengijinkan bu indah untuk pulang ke rumahnya yang tidak jauh dari rumahnya. Alyn memang tidak tinggal di kompleks elit. Dia hanya memiliki rumah di dekat sebuah pedesaan. Sehingga, pekerja di rumahnya hanyalah orang-orang sekitaran desa ini.
Setelah selesai membawa pakaian kotornya ke bawah. Alyn bergegas untuk berjalan menuju jalan untuk menuju ke laundry. Sepanjang jalan, jika bertemu dengan orang, maka dia akan tersenyum atau orang tersebut yang menyapanya. Walaupun jarang di rumah, Alyn seringkali menyapa orang yang baru dilihatnya.
Tidak jarang ada anak-anak yang tersenyum ramah lalu menyapanya riang. Hidup di sekitar pedesaan juga tidak terlalu buruk. Walaupun rumah Alyn tidak sepenuhnya berada di desa, namun perempuan itu sering berjalan-jalan melewati desa.
Hanya butuh waktu lima menit Alyn sampai di depan laundry kecil yang berada di depan gang sempit. Jalan sepi karena jauh dari jalan raya. Di sekitar sini juga ada beberapa indekos atau rumah kontrakan mahasiswa, sehingga pasaran untuk laundry ini adalah kalangan tersebut.
"Pagi Mbak, mau nganter pakaian kotor lagi, nih." Seru Alyn sambil memperlihatkan keranjangnya yang penuh dengan pakaian kotor.
Perempuan yang dipanggil 'Mbak' itu langsung menoleh dan meninggalkan setrikaannya yang sudah dicabut kabelnya.
"Eh, Dokter Ralyn. Lama kok enggak kelihatan?" Tanya perempuan itu, lalu mengambil alih pakaian yang Alyn bawa.
"Iya nih Mbak, UGD lagi sibuk. Aku aja baru bisa ambil libur sekarang setelah semua aman. Karena lubang di jalan utama itu lho, jadi banyak yang terluka. Kalau enggak segera diperbaiki, entah apa yang akan terjadi selanjutnya." Curhat Alyn menghela napas panjang.
Perempuan itu mengangguk, setuju dengan pernyataan Alyn. Mereka berbincang tentang beberapa hal lalu tertawa. Kadang Alyn merasa sangat beruntung karena masih diberikan kesehatan sampai detik ini. Meskipun, dulu seorang Alyn adalah orang yang dikenal sebagai perempuan bermental hancur.
Alyn melirik anak laki-laki itu, dia bisa melihat senyuman bahagia yang anak itu tunjukkan padanya. Walau otaknya tidak sempurna, tetapi anak itu sangat cerdas. Kadang, anak itu juga membantu ibunya sebisanya. Namun, setelah beberapa kali ada komplain dari customer, ibu itu tidak membiarkan sang anak membantu.
"Main apa?" Tanya Alyn yang saat ini berjongkok di depan anak laki-laki itu.
"Ain obil-obilan." Susah payah anak itu mengucapkannya.
"Oh, main mobil-mobilan. Gimana tadi sekolahnya? Temannya banyak enggak?" Tanya Alyn yang seperti sudah dapat memahami ucapan anak itu dengan baik.
Walaupun sedikit lambat untuk mengerti, tapi anak itu sama sekali tidak berbahaya. Menakutkan? Tentu saja tidak. Dia hanya anak kecil, bukan monster.
"Hanyak temennya!"
Alyn memberikan kedua ibu jarinya kepada anak tersebut lalu beranjak, berniat untuk mengambil pakaian bersihnya yang sudah seminggu lamanya menginap di sini. Namun, baru membalikkan tubuhnya, Alyn mendapatkan senyuman dari ibu sang anak i***t tadi.
"Dia mau bicara kalau sama Dokter. Andaikan semua orang seperti Anda, Dok. Saya tidak perlu khawatir yang berlebihan. Namun, sebagian orang menganggap anak i***t menjijikkan. Padahal, mereka tidak tahu betapa sedihnya saya sebagai orang tua dari anak i***t yang anaknya selalu saja direndahkan oleh orang lain." Lirih perempuan itu.
Alyn menepuk pundak perempuan itu, "jangan meminta semua orang untuk sama dengan kita. Enggak akan bisa! Saya juga bukan orang yang sempurna, jadi saya paham sekali rasanya menjadi orang yang tidak sempurna."
Perempuan itu mengangguk, merasa sangat beruntung karena bertemu dengan Alyn dan sempat berbicara dengan Alyn dari hati ke hati. Apalagi Alyn adalah seorang dokter meskipun belum spesialis. Namun Alyn sudah bisa dikatakan sebagai dokter yang baik karena peduli dengan semua orang.
Terkadang, orang yang pernah hancur akan membantu menyembuhkan orang lain yang sedang hancur.
###
Sore ini Alyn memiliki rencana lain yang menarik selain menghabiskan waktunya dengan tidur atau maraton menonton drama. Udara segar juga akan membuat pikirannya semakin fresh dan Alyn bisa berpikir dengan jernih. Perempuan itu berjalan ke arah mobilnya untuk memasukkan beberapa bekal makanan dan juga beberapa minuman dingin yang sengaja diletakkannya di dalam kulkas mini.
Tujuan utamanya adalah sebuah tebing yang sudah lama tidak pernah dia kunjungi. Pertama kali kesana adalah ketika bersama dengan Genta waktu SMA dulu. Alyn tidak pernah kesana lagi karena memang tidak ada waktu dan tidak punya teman untuk diajak kesana. Namun, karena sudah bisa menyetir sendiri, Alyn berani pergi kesana sendiri.
Penasaran, apakah tebing itu masih menjadi objek pribadi untuknya atau sudah berubah fungsi menjadi sebuah tempat wisata. Melihat betapa indah dan asrinya tempat itu. Apalagi jika dilihat ketika malam hari, maka akan jauh lebih indah. Pemandangan hamparan bintang dan yang ada di angkasa serta suara binatang malam yang berisik. Pasti menenangkan sekali.
Baru hendak masuk ke dalam mobil, sebuah mobil warna biru memasuki halaman rumahnya. Alyn menatap mobil itu sambil mengerutkan kening bingung.
"Mau kemana?" Tanya Dimas yang buru-buru keluar dari mobilnya.
"Pergi," jawab Alyn singkat.
"Kemana perginya?" Tanya Dimas kembali, memastikan tujuan Alyn pergi.
"Tebing," jawab Alyn lagi.
"Ikut!"
"Enggak!"
"Bodo, aku mau ikut!" Putus Dimas yang lebih dulu masuk ke mobil Alyn. Duduk di kursi penumpang karena tidak tahu kemana tujuan Alyn.
Perempuan itu pasrah dan masuk ke dalam mobilnya. Tanpa banyak bicara Alyn langsung melajukan mobilnya membelah jalanan yang lumayan padat hari ini. Sesekali Dimas heboh bertanya tentang kejadian antara Alyn dengan Sandika.
"Tahu dari mana?" Tanya Alyn ketika Dimas mulai membicarakan Sandika yang malu kepada Alyn karena kejadian kemarin.
"Sandika langsung! Dia cerita sama aku waktu itu. Kamu nolak dia lagi dan bilang kalau kamu hebat banget. Aku tahu sih apa yang dia maksud sebelum cerita. Toh, aku juga udah tahu semuanya." Ucap Dimas santai.
Mereka berhenti di lampu merah, "menurut kamu, perempuan yang enggak perawan itu gimana? Orang kadang selalu menganggap hal itu negatif dan selalu menghubungkan dengan masa lalu yang buruk."
Dimas mengerutkan keningnya, tidak paham mengapa Alyn bertanya hal seperti itu.
"Aku selalu minder kalau lihat orang lain yang kehidupannya jauh lebih baik dari aku. Dulu waktu SMA, aku pernah cemburu banget waktu Genta dekat sama perempuan. Namanya Indira, dia cantik dan salah satu orang yang paling dekat banget sama Genta. Berulang kali aku marah sama dia dan terus membandingkan diriku sama Indira itu. Aku takut kehilangan Genta, tapi akhirnya aku sendiri yang melepaskan dia."
"Aku menyesal, karena sampai saat ini aku enggak menemukan dia. Rasanya enggak pernah sesakit ini, sampai aku benar-benar kehilangan dia. Semua orang meminta aku untuk move on, memulai hidup baru, melupakan karena itu cuma cinta monyet di jaman SMA. Tapi aku enggak bisa semudah itu, perasaan ini udah nempel di dalam pikiranku. Susah, membiasakan hal yang biasanya ada jadi enggak ada, Dim."
Alyn kembali melajukan mobilnya ketika lampu sudah berumah warna menjadi hijau.
"Susah mencari laki-laki yang bisa menerima aku apa adanya. Sandika juga enggak seperti Genta, dia hanya suka fisik tapi tidak mau menerima kekurangan orang lain. Orang yang terlalu memuja kesempurnaan itu tidak baik. Semua orang tidak ada yang seperti Genta. Termasuk Kak Regan, dia memang baik dan selalu ada buat aku. Tapi Kak Regan tetap tidak bisa menggantikan posisi Genta di hati aku."
Dimas mengangguk, sejak kuliah dia mengenal Alyn dengan baik. Bahkan hanya pada Dimas, Alyn menceritakan semua kejadian yang menimpanya di masa lalu. Tentu saja Dimas kaget dan merasa prihatin. Tetapi, dia adalah teman yang baik. Tidak pernah meninggalkan temannya walaupun memiliki kekurangan. Karena menurutnya, manusia adalah gudangnya kekurangan.
Mereka kembali diam, dengan Alyn yang fokus menyetir. Sampai dua jam lebih mereka baru sampai di sana. Semuanya berubah total, sudah ada beberapa tempat untuk duduk dan ada juga tempat berfoto ria. Alyn turun dari mobilnya setelah membeli karcis parkir. Tempat ini menjadi wisata alam rupanya.
Dimas mengikuti Alyn, "tempat ini yang mau kamu datangi? Sampai dibela-belain dua jam lebih."
Alyn mengangguk, "udah berubah banget tempatnya. Dulu sepi banget dan enggak ada yang datang. Kalau kesini, aku sering duduk di sebelah sana. Tapi udah dipakai orang lain. Kita ke warung itu aja yuk, minum kopi enak." Tunjuk Alyn ke salah satu warung kopi yang dekat dengan tebing.
Percuma membawa bekal makanan dan minuman karena di sini sudah menyediakan semuanya. Alyn lupa jika waktu sepuluh tahun bisa merubah segalanya.
Mereka duduk bersila di salah satu tempat duduk yang menghadap ke jurang. Alyn melihat langit yang mulai keemasan. Matahari akan segera tenggelam, sebentar lagi.
Dimas mengelus kepala Alyn pelan lalu tersenyum. "Semua orang pasti berubah, Lyn. Jangan pernah kamu menyalahkan diri sendiri. Aku 'kan udah janji mau bantuin kamu buat ketemu sama Genta. Aku bakalan mengusahakan, ya."
Alyn mengangguk, "iya, makasih karena kamu paling pengertian."
"Aku teman kamu, Lyn. Dan kamu harus bisa berdamai sama masa lalumu baru setelah itu kamu bisa melanjutkan hidup. Semua ini terjadi karena kamu belum mengikhlaskan masa lalu kamu."
Iya, Alyn memang belum melepaskan masa lalunya. Jika boleh jujur, Alyn akan dengan lantang mengatakan jika nama Genta masih tersimpan di hatinya. Meskipun ada Regan yang selalu menemaninya.
"Kalau aku ketemu Genta dan balik sama dia lagi, apa kamu masih mau temenan sama aku?" Tanya Alyn.
"Masih!"
"Walaupun aku mutusin Kak Regan dan balik sama Genta?"
"Iya!"
"Kenapa? Padahal kamu yang paling kekeh minta aku move on."
"Aku enggak bisa memaksakan apa yang aku mau ke orang lain. Ralyn, kamu bisa memutuskan semuanya setelah kita benar-benar bertemu dengan Genta. Pastikan dulu kalau Genta masih mencintai kamu atau tidak. Jangan bereskpektasi tinggi dulu. Kalau semua itu tidak sesuai dengan perasaan kamu, pasti akan sangat menyakitkan."
###