First: Planning

1700 Words
1 First: Planning   Pagi itu Eya tengah menggeledah kamar Zahfiyyan. Ia penasaran. Apa memang benar wanita yang ia lihat dijemput Zahfiyyan kemarin adalah Zura? Jawabannya ada pada deretan potret foto pernikahan kedua insan itu. Sebuah bingkai sangat besar menyedot perhatian di kamar tempatnya kini berpijak. Ternyata memang benar, Zuralah yang kini menjadi istri Zahfiyyan. Eya ingin melempar batu kepada foto-foto tersebut lalu membakar fotonya. Tidak ia sangka sekeluarnya dari kamar, ia melihat Zura Azzahara setelah dua tahun tidak bertemu. Zura teman sekelasnya waktu kuliah S1.  Wanita berhijab dengan kacamata membingkai wajahnya itu terlihat teduh dan ayu. Runa mengajak Zura duduk bagai membimbing seorang balita untuk belajar berjalan, begitu lembut dan penuh kasih.  Eya menangkap keterkejutan Zura saat ia keluar dari kamar Zahfiyyan. Ia tersenyum sebagai sapaan pertama. ”Ra, kenapa enggak pernah hubungin aku lagi?” sapanya terlebih dahulu. Dilihatnya wajah Zura kurang senang bertemu dengannya. ”Hm... Kamu yang melupakanku, ‘kan?” Eya tertawa menanggapi. Basa basi yang payah ia pikir. ”Sepertinya aku yang harus cari kamu, ya, karena aku banyak utang kepadamu.” Kata-kata Eya membuat kening Zura menampakkan garis-garis kecil. ”Kamu yang banyak bantu aku waktu kuliah.” Eya mengingatkan. Dahulu Eya sering memaksa Zura menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya. Wanita baik seperti Zura mau saja membantu Eya. Tapi, sebagai balasannya Zura mengambil lelaki yang sangat Eya cintai. Tetap baikkah Zura kalau begitu? Zura tersenyum. ”Aku dengar berita malang soal orangtuamu. Maaf aku enggak bisa bantu apa-apa.” ”Enggak masalah. Aku sudah tidak apa-apa kok.” ”Jam berapa Fiy pulang semalam, Ra?” Zura mengalihkan penglihatannya kepada ibu mertuanya, Runa. ”Jam dua belas Mi,” jawabnya dengan suara ragu-ragu. Eya jadi berpikir, apakah Zahfiyyan tidak pulang semalam? Eya mengambil alih perhatian kedua ibu dan menantu itu. ”Tadi malam, semuanya kacau. Untung ada Zahfi di sini.” Zura mengerutkan kening dan Runa kelihatan prihatin. Para penagih utang semalam datang ke rumah. Untung ada Zahfiyyan yang ’berdiskusi’ dengan mereka. Untuk diketahui, semua itu hanya rencana Eya. Ia sama sekali tidak memiliki utang, justru mereka semua adalah orang-orangnya. Semua ia lakukan untuk mendapatkan simpati dari Zahfiyyan Sharnaaz. ”Sudah, Nak. Jangan kamu pikirkan. Allah pasti akan membantu kita. Kamu akan keluar dari masalah ini. Percayalah kepada-Nya.” Eya merasa disayangi. Kebaikan hati Runa begitu tulus. Itu membuat Eya tenteram. Selain ingin mendapatkan Zahfiyyan, Eya juga akan senang sekali mendapatkan ibu mertua sebaik Runa. ”Bagaimana dengan calon cucu Umi?”  tanya Runa kepada Zura. Eya kaget dengan pertanyaan itu. Zura sedang hamil. Terlambatkah dia?   ***   ”Zura!” Eya melihat wanita berhijab itu hendak berjalan ke belakang rumah Tante Runa. Eya berlari kecil menghampiri Zura. ”Mau kemana kamu?” Eya telah berdiri di sebelah kiri Zura. Ia melepaskan pandangan ke area rimba kecil di depan mereka. ”Mau ke sana cari pemandangan baru.” Zura menunjuk deretan pohon kulit manis serta cengkeh yang hijau. Eya menawarkan sebuah kain kepada Zura. ”Pakailah,” ucapnya saat Zura menatap Eya dengan heran. Eya menyerahkan kain itu ke tangan Zura.  ”Di sini banyak nyamuk,” ujarnya. Eya memegang pergelangan tangan Zura dan membawa wanita itu ke area rimba kecil yang sebenarnya hanyalah kebun cengkeh dan kulit manis. Mereka sudah tiba di bawah pepohonan cengkeh dengan bebungaan yang menyentuh indra penciuman. Keduanya berdiri menghadap ke arah yang sama. ”Ra.” Eya terlebih dahulu menghilangkan kekosongan di antara mereka. Eya melihat wanita di sebelahnya sedang melamun. Ia kembali memanggil nama wanita itu. ”Zura.” Kali ini Eya menyenggol bahu Zura dengan bahunya.  ”Aku senang bisa diterima dengan baik di keluarga ini.” Kicauan burung pipit menemani kedua wanita itu. Eya maju selangkah, memunggungi Zura. ”Keluarga Zahfi baik. Tante Runa sudah kuanggap ibu. Karena ketulusannya, aku merasakan kembali kasih sayang seorang ibu.” Eya menjeda kalimatnya. Ia berbalik menghadap Zura. Wanita yang berselimutkan kain panjang itu mengetatkan pegangan kepada kain yang tersampir di tubuhnya. Eya kembali bersuara, ”Suamimu.” Eya mengatakannya sangat susah. Ia berusaha melanjutkan kalimatnya, ”Memang lelaki yang tidak bisa hilang dari sini.” Eya menunjuk ke dadanya lalu ke kepalanya, diikuti oleh Zura yang sejak tadi diam tanpa suara. ”Aku masih sangat mencintainya, Zura.” Pegangan Zura pada kain pemberian Eya mengendur. Kedua tangannya gemetar, entah kenapa. Sejak tadi Zura terlihat menahan hatinya untuk mencaci maki wanita di hadapannya itu. Namun, bibirnya tidak kuasa untuk mengeluarkan satu vokal pun. ”Aku bisa melihat kalau dia sangat mencint—” Zura memenggal kalimat Eya, ”Tadi malam, dia bersamamu?” Suara Zura sangat pelan. Karena hanya ada mereka di dalam rimba kecil itu, Eya tetap bisa mendengarnya. Eya tersenyum kecil sebelum menghadap Zura dengan penuh percaya diri. Eya mengangguk sekali dengan satu senyum permintamaafan. Kali ini Eya hanya ingin bahagia. Eya mengerti maksud Zura menanyakan Zahfiyyan bersamanya semalam mengarah kemana. Zura pasti berpikir yang buruk tentang dia dan Zahfiyyan. Padahal tidak ada yang terjadi antara dirinya dengan Zahfiyyan. Ia biarkan Zura menyimpulkan sendiri. Melihat wanita di hadapannya agak terhuyung, Eya mendekat dan memegang tangan Zura. Ia memapah Zura kembali masuk ke rumah.   ***   Eya tengah memerhatikan Runa yang mengkhawatirkan Zura ketika lelaki itu datang. ”Kok pulang cepat?” ”Enggak apa-apa, Umi. Kak Zura kenapa pucat? Kakak sakit?” Lelaki itu, Zoffan, menghampiri kakak iparnya dengan wajah cemas. ”Kakak enggak apa-apa. Ini Kakak mau pulang, nanti kesiangan.” Zura berdiri. ”Umi, Zura pulang, ya.” ”Aduh, menantu Umi ini bandel sekali dibilangin.” Runa mengambil napas lalu membuangnya. Ia masih duduk di bangku. Menyadari bahwa Zura memang keras kepala, ia pun memberikan izin kepadanya. ”Diantar Zoffan, ya. Nanti takutnya ada apa-apa di jalan.” Zoffan serta merta mengangguk. Ia melepaskan ransel yang sejak tadi melekat di punggungnya. Ia juga melepaskan topi dan menampakkan rambut acak-acakan di baliknya. ”Kamu pulangnya nanti gimana?” Zura merasa enggan dan mengajukan pertanyaan yang dibuat-buat. ”Pulang jalan kaki dong,” jawab pemuda itu enteng. Rumah Runa dan rumah yang ditinggali Zura cukup dekat. Perdebatan membawa Zura pada kekalahan. Ia akhirnya terima saja diantar oleh Zoffan. Hanya lima menit bagi Zoffan membawa mereka berdua ke rumah Zura. ”Kak.” Zoffan dengan leluasa masuk ke rumah. ”Hmm?” Zura mengajak Zoffan duduk. ”Maaf, aku enggak bisa mencegah Abang membawa wanita itu ke rumah.” Zoffan memejamkan matanya, menahan gejolak emosi mengingat peristiwa demi peristiwa baru-baru ini. Tiba-tiba suatu sore, abangnya membawa seorang wanita ke rumah mereka. Yang Zoffan ketahui, wanita itu mempunyai niat buruk kepada abang dan kakak iparnya. ”Wanita itu katanya diganggu preman yang katanya diutangi orang tuanya. Dia berpindah-pindah tempat tinggal untuk menghindari kejaran. Aku enggak menyangka Abang jadi gila sampai-sampai membawa wanita asing tinggal di rumah Umi.” Zoffan sengaja menjelaskan agar kakak iparnya tidak kepikiran. Wajah shock terlihat dari mata wanita itu yang melebar ketika Zoffan berbicara. Namun, Zura tidak menjawab apa-apa. ”Abang tidak pulang tadi malam?” Zura menggeleng. ”Enggak pulang?” Zoffan mengulangi. Kedua rahangnya mengeras. Apa sebenarnya yang terjadi dengan abangnya? ”Kakak enggak tahu. Sepertinya pulang, sepertinya tidak.” Jawaban kakaknya agak meragukan. Zoffan berharap abangnya semalam pulang dan tidak membiarkan istrinya tidur sendirian hanya karena wanita gila itu. ”Tadi malam rombongan itu datang ke rumah.” Zoffan mengambil napas sebelum menjelaskan. ”Harusnya Abang tidak usah serepot itu.” Ditepuknya  sofa dengan penuh hasrat meluapkan emosi. ”Mereka pernah dekat.” Zoffan berdiri lalu berteriak oleh jawaban Zura. ”Ini gila! Hah!!” Pemuda itu mengayun kedua tangannya. ”Zoffan apa yang sedang kamu lakukan?” Teguran dari arah lain membuat Zura dan Zoffan melihat ke pintu masuk. Zahfiyyan berjalan dengan cepat kepada mereka. ”Kemana saja Abang semalaman?” Zoffan menembak langsung kepada pertanyaan yang berputar-putar di kepalanya sejak tadi. ”Kemana apa maksudnya?” tanya Zahfiyyan, kelihatan sangat bingung dengan pertanyaan Zoffan. ”Bang Fiyyan kemana tadi malam? Aku sudah bilang, Kak Zura sendirian di rumah dan memintamu untuk pulang.” ”Abang ada di rumah. Apa maksudnya yang Abang tidak pulang? Memangnya menurut kamu Abang kemana?” Zoffan mendengkus. Ia berdiri, malas meladeni abangnya. ”Kakak! Aku bawa sepeda motornya!” teriak Zoffan ketika sampai di halaman rumah. Ia segera melarikan sepeda motor pink itu tanpa persetujuan. Ia lajukan dengan kencang membelah jalan perkampungan yang lengang.   ***   Eya berbaring menatap langit-langit kamar Zoffan. Beberapa hari telah berlalu sejak Zahfiyyan mengajaknya tinggal di rumah itu. Runa menyuruh Eya menempati kamar Zoffan, si pemuda bertatapan sinis. Pemuda yang lebih muda darinya itu tidak pernah berlaku ramah kepadanya. Eya bingung dimana letak kesalahannya kepada Zoffan. Di luar kamar  sudah tidak terdengar kegiatan apa-apa lagi. Setiap malam, umi dan abi Zahfiyyan tidak menghabiskan waktu lama-lama di ruang tamu. Mereka beristirahat lebih cepat hingga rumah itu terasa kosong. Keadaan tersebut  membuat Eya mampu mendengar pintu dibuka. Ia yakin pelakunya pasti Zoffan. Pintu kamarnya diketuk. Eya ingin mengabaikan namun gagal. Ketukan itu semakin tidak sabaran. Meraih kerudung instan, ia berdiri untuk membuka pintu. Oh iya, Eya sedang menjalankan perannya menjadi wanita baik. Mula-mula ia harus menutup auratnya. Apalagi keluarga ini cukup agamais. Terlebih ia akan menjadi istri Zahfiyyan kelak. Zahfiyyan pasti malu jika dirinya tidak memakai hijab. ”Ada apa?” tanya Eya ketika Zoffanlah yang berdiri di hadapannya saat pintu ia buka. ”Kamu kerja di kampus Abang mengajar?” tanya pemuda yang berusia beberapa tahun di bawahnya itu. Heran, Eya mengangguk. ”Kalau begitu kamu bukan pengangguran?” Pemuda itu bertanya lagi membuat Eya semakin bingung. Tumben sekali Zoffan mengajaknya berbicara. Mereka tidak pernah mengobrol dan Eya tidak begitu mengenal pemuda bertopi itu. ”Lalu kenapa?” ”Kalau begitu kamu bisa mencari tempat tinggal lain. Kamu ingin menghindari para rentenir dengan tinggal di sini. Nah, mereka sudah tahu kamu berada di sini. Sebaiknya cari tempat yang paling aman.” ”Kamu tuh enggak sopan banget. Aku punya nama dan aku lebih tua dari kamu, Adik Kecil. Okey abaikan masalah panggilan. Jadi kamu berniat mengusirku?” Zoffan bisa melihat dari dudut matanya langkah kaki uminya mendekat. Ia segera memperingati Eya, ”Sadar diri, Perempuan. Abangku sudah bahagia bersama istri dan calon anaknya. Jangan berharap kamu bisa merusak rumah tangga mereka!” Zoffan berbisik ketika mengucapkannya. ”Zoffan, ada apa?” tanya Runa.   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD