Caution

1517 Words
3 Caution    Eya Driella jatuh hati kepada Zahfiyyan Sharnaaz sejak duduk di bangku kuliah S1. Lelaki pemilik wajah ramah yang murah senyum itu membuat Eya berharap menjadi belahan jiwa. Ia tidak melakukan pendekatan langsung. Ia tidak menembak Zahfiyyan dan mengajak pacaran seperti yang dilakukan remaja wanita kebanyakan. Ia juga tidak mencari perhatian  Zahfiyyan. Ia hanya melihat Zahfiyyan dari jauh. Lalu ia meminta tolong kepada pamannya, Fakri. Lewat Fakri, Eya mengatakan jika dirinya ingin menjadi pendamping hidup Zahfiyyan. Meskipun ia tidak pernah terlibat pembicaraan dengan Zahfiyyan, tapi lelaki itu tahu bahwa Eya memiliki harapan untuk menikah dengannya. Sayang, Zahfiyyan menolak. Sejak kata penolakan itu didengar, Eya menjauh dari kehidupan lelaki itu. Ia meninggalkan tanah kelahirannya, orang tuanya, dan segala masa lalunya. Melanjutkan kuliah S2 di kota lain, ia menjadi Eya Driella yang baru. Ia mampu menyelesaikan studinya dengan cepat dan sempat bekerja di Batam. Kemalangan menjajah hidupnya sekali lagi. Eya kembali ke kota kelahirannya untuk mengantarkan kedua orang tuanya ke peristirahatan terakhir. Tidak ada seseorang yang menghapus air mata kesedihannya. Kesedihan begitu terasa saat dirinya sendiri. Air mata terbit dan mengering sendiri. Sebatang kara, ia menghibur dirinya dengan pergi ke Pulau Dewata. Di sana, ia mendapatkan undangan reuni dari teman-teman S1 di Surabaya. Ia semakin bersemangat ketika melihat nama Zahfiyyan akan hadir di kota itu. Sejak pertemuan kembali itulah, Eya bertekat mengejar kebahagiaannya yang baru. ”Tante, assalamu’alaikum.” Eya berjalan cepat. Ia mencium punggung tangan calon ibu mertuanya. Runa tengah menyiram bunga di teras. ”Zahfi sudah datang, Tante?” Runa meletakkan alat penyiram bunga di atas bangku rotan. Eya memilih duduk di sebelah bangku tersebut menunggu jawaban Runa. ”Belum ada. Apa dia janji mau ke rumah?” Eya mengangguk antusias. Dia sudah tidak sabar bertemu lelaki itu lagi, tidak sabar menjadi istrinya, dan hidup bersama dalam kebahagiaan. Mereka menghabiskan sore dengan bercerita banyak hal. Bagaimana Eya mengenal Zahfi, bagaimana sosok Zahfi selama kuliah, dan banyak lagi tentang lelaki itu. ”Lho, Fan, kemana saja hari ini? Tumben tidak memberitahu Umi?” Runa berhenti bercerita ketika melihat kedatangan anak bungsunya. Eya ikut berdiri. Karena ia dalam suasana hati yang baik, Eya melebarkan senyuman kepada calon adik iparnya itu. Senyumannya dianggap tidak ada arti karena pemuda yang berusia beberapa tahun di bawahnya itu hanya melirik sekilas lalu masuk ke dalam rumah. 'Dasar nggak sopan.' Eya membatin. ”Tante, Eya mandi dulu, ya. Iiih rasanya badan enggak enak deh, udah aktivitas dari pagi.” Eya berpura-pura mencium bajunya dan melipat bibir ke dalam. Runa yang melihat kelakuannya ikut tersenyum. Eya masuk ke kamarnya. Ia tidak tahu kalau di dalam telah ada seseorang yang menunggu. Jantungnya hampir melompat turun saat Zoffan menghampiri dirinya yang tengah mencopot jarum pentul di puncak kepala. ”Eeh kamu ngapain ada di sini?” Eya berkata sinis. Dari awal adik Zahfiyyan itu sudah menampakkan aura permusuhan kepada Eya. ”Untuk mengingatkanmu dan niat terselubungmu.” Eya tersenyum miring. Ia mundur beberapa langkah lalu duduk di tempat tidur. Eya melipat tangan di d**a. ”Niat apa? Kamu enggak suka aku menempati ruangan ini? Heh, seperti anak kecil kehilangan mainannya.” Eya tertawa kecil menganggap lucu sikap adik Zahfiyyan itu. ”Yang anak kecil di sini siapa? Kamu seperti anak kecil, berusaha menggunakan segala cara untuk mendapatkan mainan. Walaupun dengan menangis kejang dalam becek sambil guling-gulingan supaya yang melihat merasa kasihan. Padahal kamu salah. Perbuatan seperti itu malah membuat para orang dewasa antipati.” Eya berdecak lalu berdiri. ”Kamu itu enggak tahu apa-apa, jangan banyak komentar. Kamu hanya iri karena aku mendapatkan perhatian lebih dari kedua orangtuamu.” Eya kembali tersenyum meremehkan pemuda di hadapannya. ”Aku pastikan kamu tidak akan mendapatkan apa yang kamu mau.” Eya menggoyang-goyangkan kepala seolah sedang mendengarkan lagu kesukaannya. Di hadapannya, Zoffan bertambah geram. ”Ssstt ... Kamu dengar sendiri deh. Itu dia sudah datang.” Eya duduk lagi di tempatnya semula. Zoffan menajamkan pendengaran. Setelah memastikan itu suara abangnya, ia menarik bangku belajar dan duduk di sana. Eya mendengarkan perdebatan yang terjadi di luar. Sesekali ia tersenyum mendengar kekuatan niat Zahfiyyan untuk menikah dengannya.  Zahfiyyan tidak menerima sanggahan dan penolakan. Permohonan Runa tidak didengarkan oleh Zahfiyyan. Bahkan suara ayahnya yang tegas tidak dapat membengkokkan rencananya. Eya tersenyum semringah memamerkan wajah bahagia kepada Zoffan Vaiden Ali. Ia segera menahan tangan Zoffan yang akan memutar kenop pintu. Ia akan membiarkan Zoffan keluar ketika suasana di luar sudah dingin, artinya setelah Runa dan Syofiyyan menerima keputusan Zahfiyyan. Menit demi menit, perdebatan itu akhirnya berhenti. Suara tangisan Runa masuk ke pendengaran Eya dan Zoffan. Eya merasakan sakit di pergelangan tangannya yang dipegang kuat-kuat oleh Zoffan. Ia berusaha menarik tangannya dari pemuda itu. ”Kamu wanita iblis yang tidak punya hati,” komentar Zoffan sebelum membuka pintu kamar. Ia langsung mencuri perhatian dari ayah, ibu, dan abangnya. Dalam tangisnya, Runa masih sempat menegur tingkah laku Zoffan. ”Kamu ini! Bukannya sudah Umi bilang, jangan masuk kamar Eya semaumu. Sejak Eya tinggal di sini, kamu dilarang masuk ke kamar itu. Apa kamu tidak dengar?” ”Abang Fiy! Dimana otak Abang hah?! Abang sadar apa yang baru Abang lakukan?” hardik Zoffan kepada Zahfiyyan tanpa menghiraukan omelan uminya. ”Abang selama ini selingkuh dengan wanita gila itu?” ”Zoffan, jaga bicara kamu!” tegur Abi Syofiyyan. ”Abang diminumkan apa oleh wanita j*****m itu—” ”Zoffan! Kalau kamu tidak bisa menahan emosi kamu, sebaiknya kamu berwudhu!” Syofiyyan mengingatkan si bungsunya sekali lagi. ”Kenapa? Abi juga punya niat yang sama dengan Abang? Abi dan Abang tidak melihat tangisan Umi? Bagaimana kalau yang mendengar berita k*****t ini Kak Zura? Abi dan Abang ingin melukai Kak Zura? Tidak ada yang benar satu pun! Nasihat-nasihat kalian untuk kebaikan selama ini hanya omong kosong!” Zoffan meninggalkan kecarut-marutan di rumah itu. Keluarganya hancur. Ia benar-benar tidak menyangka, Zahfiyyan tega kepada istrinya. Zoffan menjunjung tinggi kesetiaan. Ia tidak akan pernah setuju dengan poligami. Bagaimana kakak iparnya itu nanti? Demi Tuhan, Zura sedang hamil saat ini. Abang sialan!   ***   Zoffan semakin menghindari rumah. Selama wanita ular ada di sana, ia merasa tidak memiliki rumah. Kedua orangtuanya sama-sama bodoh dengan abangnya. Mereka pura-pura baik dan berbahagia dengan pernikahan kedua Zahfiyyan. Benar-benar membuat ia muak. Jika ia pulang dan melihat Eya, ia tidak tahan untuk mencekik leher wanita itu. Jadi, ia lebih memilih kabur untuk menjernihkan pikiran. ”Lama-lama Kakak bosan melihat kamu terus.” Komentar jelek itu keluar dari bibir kakak iparnya saat Zoffan masuk ke rumah Zura. ”Kak Zura pasti lagi ngidam mangga muda,” ucapnya sotoy. Beberapa hari ini, Zoffan mendatangi kediaman Zura. Meskipun terkadang ia bertemu Zahfiyyan di rumah itu, ia tidak menghiraukannya. Niatnya hanya untuk menghibur dan menemani kakak ipar kesayangannya. Zura menjulurkan lidah membentuk ringisan tak suka. ”Kakak enggak ngidam se-mainstream itu.” ”Makan aja, sudah aku kupasin.” Zoffan memaksa. ”Fan! Ampun deh sama kamu. Kamu kenapa sih jadi aneh begini? Kakak udah bilang, Kakak enggak apa-apa. Kamu jangan berlebihan gini.” ”Oh kakak iparku, Kakak lagi hamil muda. Aku akan jadi om yang lebih jahat dari bapaknya kalau aku enggak perhatian kepada keponakanku sendiri.” Zura melirik kepada Zahfiyyan yang membaca buku di ruang tamu. Ia sadar kalau sindiran Zoffan itu didengar oleh suaminya. ”Tapi Kakak enggak akan sanggup makan mangga muda. Asem banget Fan, kayak kamu!” Keduanya tertawa. ”Aku bisa menyulap mangga ini jadi enak. Kak Zura percaya atau tidak?” Zoffan telah berdiri dengan pongah, tangan dalam saku celana. ”Caranya?” ”Follow me!” Zoffan berjalan ke dapur. Zura mengikut di belakangnya. ”Rujak?” tanya Zura setelah adik iparnya yang sedikit gila itu mengeluarkan bahan-bahan dari kulkas. ”Kakak juga bisa!” Keasyikan mereka meracik bumbu untuk membuat rujak harus diinterupsi oleh abang sialan. ”Ra, besok enggak sekolah?” Zura sekadar menggeleng. ”Besok ke rumah Umi, ya.” ”Ada perlu dengan Zura?” tanya wanita hamil itu. ”Besok A—” ”Udah udah, jangan ikut, Kak! Di sana Kak Zura bakalan jadi penonton. Mending di rumah aja. Kita bisa ke resto baru di Jalan A Yani. Ada menu yang enak banget di sana.” ”Zoffan! Abang sedang bicara dengan kakakmu!” Zahfiyyan memberi peringatan. Bukan pada tempatnya bagi Zoffan untuk memberikan interupsi. ”Besok itu Kak Zura diajak oleh si j*****m menemani dia beli pakaian pengantin. Abang bisa pikir gimana perasaan Kak Zura?” Nampak keterkejutan di wajah Zahfiyyan ketika mengetahui hal itu. ”Tapi Umi yang minta Ra datang. Jadi datang saja dulu ke rumah Umi.” ”Dan bertemu wanita ular selingkuhan Abang di sana!” Zoffan berang. ”Semua yang ada dalam kepalamu itu tidak ada yang benar. Abang ingatkan sekali lagi, Abang tidak suka kalau kamu ikut campur dalam urusan rumah tangga Abang dan kakakmu!” ”Aku enggak akan ikutan kalau Abang tidak jadi gila seperti sekarang! Abang itu manusia atau bukan? Abang kenapa tega menyakiti hati Kak Zura? Abang pikirkan deh, istri mana yang sudi berbagi suami?” ”Sudahlah, Fan. Kamu juga tidak baik bertengkar dengan Abang,” sergah Zura. ”Kalau Abang enggak bisa menghentikan kegilaan ini, aku yang akan menghentikannya!”   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD