Chapter 21 : Tim Zombila

1301 Words
. . . . . JREB! "AAAAAAAAAAH!" . . . . . . . . . . . . . . . Ketika suara kaki Zintan terdengar mendekat padaku, aku langsung mengeluarkan tongkat pemberian Zombila dari kantung bajuku dan menusukkannya ketempat yang kuduga keberadaannya Zintan. Ternyata benar, Zintan menjerit histeris. Perlahan-lahan seluruh tubuhnya muncul di depanku dengan mata kirinya tertusuk oleh tongkatku. Astaga, aku tidak tahu kalau yang kutusuk adalah salah satu matanya. Kucabut tongkat itu, namun aneh sekali, benda ini terasa susah untuk dikeluarkan. Tiba-tiba tongkat tersebut terbakar. "ASTAGA! TIDAK MUNGKIN!" Aku berteriak cemas, Zintan meloncat-loncat kesakitan, darah mengalir dari mata yang tertusuk oleh benda panjang itu. Aku ingat sekarang, menurut penjelasan dari Zombila, tongkat ini hanya bisa digunakan dalam waktu dua hari. Dan hari ini, tanpa kusadari, sudah mencapai waktu yang ditentukan. "MARGARETH! LEPASKAN BENDA INI! LEPASKAAAAAN!" Zintan mencengkram kerah bajuku lalu menggoyang-goyangkan tubuhku. Aku kembali menarik tongkat tersebut dan akhirnya terlepas. Namun sangat disayangkan, mata kiri Zintan kini meleleh, kelihatannya sangat mengerikan sekali. aku merobek kain bajuku dan kugunakan untuk menutupi mata kirinya. Kuikat kain panjang itu dikepalanya untuk melindungi salah satu matanya. "SAKIT! SAKIT SEKALI! AAWWWWW!!" "Maaf, aku tidak tahu, sungguh. Kau bisa duduk di kasurku." Aku menuntunnya untuk duduk di kasur yang terdapat serpihan-serpihan lampu yang hancur. Kegelapan ini membuat diriku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Namun, aku bisa mendengar kalau Zintan terisak, dia menangis. . . . . . . . . . . . . "Maragareth, kuakui, kau sangat hebat." Hebat? "Apa yang kaukatakan? Aku, heb-hebat? Dalam hal apa?" Zintan tidak menjawab, keheningan kembali hadir, aku merasa dia semakin terisak, suara tangisannya tambah kencang. "Maafkan aku, Zintan. Kukira-" "TIDAK! JUSTRU SEHARUSNYA AKULAH YANG MEMINTA MAAF!" Aku terkejut, dia tiba-tiba berteriak. Kutatap wajahnya, walau tidak jelas karena gelap, tapi aku masih bisa merasakannya. Dia sedang menampilkan wajah menyesal. "Katakan, Zintan. Aku tahu, kau ingin mengatakan sesuatu." . . . . . . . . . . . . . "Aku sangat bodoh, seharusnya aku tahu, kalau kau itu hebat dalam hal perasaan." . . . . . . . "Apa maksudmu?" "Keberadaanku, hanya bisa ditemukan oleh perasaan. Aku memiliki sihir Tartago, kemampuan dimana diriku dapat menghilang." Jadi hanya perasaan yang dapat menemukan Zintan. Sungguh, menurutku itu hanya kebetulan saja. Aku tidak benar-benar merasakannya. "Menurutku, itu hanya-" "Kebetulan? Kau pikir kekuatanku bisa dikalahkan hanya karena KEBETULAN!? APA KAU MEREMEHKANKU, MARGARETH!" Zintan mencengkram kerah bajuku. "SIHIRKU TIDAK PERNAH DIKALAHKAN SEMUDAH INI SEBELUMNYA! DAN KAU BILANG HANYA KEBETULAN!" Cengkramannya melemas, tiba-tiba tubuhnya jatuh di pangkuanku. Dan yang lebih anehnya adalah tiba-tiba parfum-parfum kembali ketempatnya semula, perlahan-lahan serpihan-serpihan lampu itu menyatu, melayang, dan kembali menggantung di atap kamarku. Kamar ini langsung terang kembali. Cermin yang rusak kini memperbaki dirinya sendiri, bahkan seprai yang tadinya berantakan menjadi rapi kembali dengan sendirinya. Setelah pergerakan benda-benda yang tak wajar selesai, mataku langsung mengerling kewajah Zintan yang terlelap lemas di pangkuanku. Dia manis sekali. Kuusap rambut putihnya. . . . . . . . . "Ah, jadi kamu disana ya, Biola." Aku mendengar suara yang sangat kukenal. Dan ketika diriku menoleh, ternyata dugaanku benar. Zombila sedang tersenyum manis, dia berdiri di langit-langit kamar, bisa dibilang posisinya kini terbalik. "Zo-zombila? Ke-kenapa kau berada disini?" Mendengarnya, Zombila tersenyum tipis. "Aku disini karena aku bagian dari Farles. Ngomong-ngomong bagaimana keadaan temanmu yang cantik itu? Apakah dia sehat?" Kurasa yang dia tanyakan adalah Bella. Tapi aku masih bingung, kupikir dia bukan seorang penyihir, aku juga tidak melihatnya ketika berada di aula besar. "Apakah kau bertanya tentang Bella?" Zombila mengangguk, aku mengernyitkan dahi. "Benar, bagaimana kabarnya?" "Dia telah membuat para penyihir Farles tersinggung." . . . . . . . . . "Tersinggung? Karena apa? Maaf sekali, aku tidak tahu apa-apa, karena saat itu diriku sedang menjalankan misi. Katakan Biola, kenapa mereka bisa tersinggung karena Bella? Katakan?" Dia memaksaku untuk menjawabnya, mendengarnya aku hanya menundukkan kepala. Jemariku mengusap rambut Zintan. "Dia mengatakan kalau mereka semua aneh." "Aneh? Mengapa Bella bisa bicara seperti itu?" "Aku juga tidak tahu, tapi akulah yang terkena efeknya." Zombila memasang wajah bertanya-tanya, mungkin dia merasa heran, mengapa diriku yang terkena imbasnya, padahal Bella yang memulainya. "Aku kurang mengerti." "Aku juga." kataku sambil menghembuskan nafas. "Lalu, kenapa Zintan bisa berada dipangkuanmu?" Kepalaku menoleh pada Zombila dan menjawab. "Zintan marah padaku karena ucapan Bella, tapi sekarang dia sepertinya pingsan." Aku tersenyum melihat Zombila semakin tidak mengerti. "Zombila?" panggilku padanya. Zombila memandangku. "Ada apa?" "Tongkatmu sudah terbakar." "Itu artinya-" "Aku tahu." Aku langsung memotong ucapannya, karena diriku tahu persis apa yang akan dia katakan. Aku kembali berkata. "Aku telah menusuk mata kiri Zintan dengan tongkat itu, dan benda itu terbakar tepat ketika masih berada dimata kiri gadis ini, lalu matanya meleleh, aku sangat bersalah." "Kupikir tindakanmu itu benar, Biola." Aku berjengit mendengarnya. "Zombila, apakah kau gila? Aku telah merusak salah satu matanya dan kau bilang tindakanku adalah hal yang benar?" Zombila malah tersenyum manis dan menjawab. "Aku tahu sifatmu, Biola. Kau tidak akan menyakiti seseorang kecuali orang itu pantas untuk disakiti." DEG! . . . . . . . . . . "Zombila, sepertinya ucapanmu ada benarnya juga. Awalnya Zintan akan menyerangku, aku refleks mengeluarkan benda itu dan menusukkannya pada mata kirinya. Aku hanya berniat melindungi diriku sendiri, itu saja." Zombila hanya tersenyum mendengarnya. Kemudian dia meloncat dari atap ke lantai untuk berdiri normal. Zombila mendekatiku dan berbisik. "Hey Biola, maukah kau satu tim denganku untuk menjalankan misi?" Menjalankan misi? "Memangnya, untuk apa kita menjalankan misi?" Mendengarnya, Zombila menahan tawa. "Tentu saja, agar kau mendapatkan uang, kita disinikan untuk bekerja. Aku sudah mendapatkan satu misi." Dia mengeluarkan sebuah lipatan kertas dari kantungnya dan menunjukkannya padaku. Kuambil kertas tersebut, kemudian k****a dalam hati. . . . . MISI TINGKAT C Lokasi : Markopolo Misi ini dilakukan atas perintah dari seorang wanita bernama Hinamo Hula, meminta pertolongan dari penyihir Farles untuk mencarikannya daun Zizi, salah satu obat tradisional. Kakekknya sedang sakit, dia sama sekali tidak mampu mencari daun tersebut karena terlalu jauh. Daun Zizi berada di Gunung Markopolo yang dikenal sebagai Gunung jeritan malaikat. Siapapun yang memasuki Gunung Markopolo pasti tidak akan kembali, maka dari itu, sembari menjaga Kakeknya yang sedang sakit, Hinamo meminta bantuan kepada penyihir Farles untuk mencarikan daun Zizi. Bayaran : 20.000 emas Catatan : kumohon, tolonglah diriku, aku membutuhkan bantuan dari kalian. Kumohon. . . . . . . . . . . Setelah menyimak apa yang k****a, aku menatap wajah Zombila. "Zombila." "Ya?" "KAU GILA! DISINI DIKATAKAN BAHWA GUNUNG APAPUN ITU ADALAH GUNUNG YANG DAPAT MEMBUATMU MENGHILANG! APAKAH KAU MAU MATI! AKU MENOLAK! INI TERLALU BERBAHAYA!" Mendengar teriakanku disertai bentakkan, Zombila tersenyum. "Biola, tenanglah. Sebenarnya Gunung itu tidak berbahaya sama sekali, itu hanya akal-akalan Kuromba." Kuromba? Aku mengernyitkan alis dan bertanya. "Apa itu Kuromba? Aku tidak pernah mendengarnya? Apakah monster?" Zombila memberikanku sebuah kertas kuning. Aku membacanya. . . Kuromba merupakan sebuah organisasi gelap yang di anggotai oleh beberapa penyihir penghianat, mereka selalu membuat ulah dimanapun, mereka akan selalu mencari mangsa. Musuh bebuyutan mereka adalah Para penyihir Farles. Banyak sekali kasus yang tertulis bahwa Kuromba telah membunuh beberapa penyihir Farles. Menurut badan penelitian keamanan, Kuromba kini membuat markas di Gunung Markopolo. Namun hal itu masih menjadi perbincangan, banyak pihak yang membantah, tetapi bukti-bukti terbunuhnya penyihir Farles sudah diakui kalau Gunung itu memang dijadikan tempat berkumpulnya para Kuromba. . . . . . "Jadi begitu ya? Tapi bukankah Kuromba terdengar berbahaya? Dia memusuhi kita bukan?" Zombila mengangguk. "Betul, tapi tenang saja, kita satu tim dengan orang-orang kuat, jadi kau tidak perlu takut, Biola." . . . . . . . . . . . "Siapa yang akan menjadi tim kita?" Zombila menghela nafas lalu kembali menjawab. "Summer Rae dan Paige." Aku tidak percaya kalau orang yang akan menjadi timku dalam misi ini adalah mereka. Kenapa mendadak aku merinding? "Dan juga Rio Finiggan." DEG! . . . . . . . . . . .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD