Malam Pertama

1886 Words
Arsen percaya pada garis takdir, ketika ia mengetahui jika yang akan ia nikahi adalah Laura, ia pun bertekad untuk menerimanya. Mungkin memang sudah jalannya harus seperti itu. Begitulah yang ada di pikiran Arsen saat mengucapkan ijab kabul, begitu sederhana. Baginya pernikahan adalah hal sakral dan ingin ia lakukan sekali seumur hidup. Ijab kabul baginya bukan hanya ditunjukkan di hadapan manusia melainkan janjinya yang di hadapan Allah. Lantas, bagaimana bisa ia mempermainkan pernikahan di hadapan Tuhannya? “Neng,” panggil Arsen lembut. “Sekali lagi Mas minta maaf ya, Mas juga tidak tahu kalau ternyata Neng yang akhirnya Mas nikahi.” Arsen berkata dengan hati-hati. Ia tahu Laura pasti masih terpukul. “Tapi aku jadi bingung gimana jelasin ini ke pacarku.” Laura menyahut emosional di tengah isak tangisnya yang terdengar pilu. “Aku sayang banget sama dia,” lirihnya. Arsen merasa iba sekaligus serba salah, gadis yang baru saja ia nikahi pasti sangat terbebani dengan statusnya kini. Pengorbanan Laura begitu besar, ia sudah meninggalkan kekasihnya tanpa penjelasan lalu menikah dengan pria yang seharusnya menjadi kakak iparnya demi menyelamatkan kehormatan keluarganya. Belum lagi rasa bersalahnya pada Lidya, pastilah tidak mudah bagi Laura untuk menjalani hari-harinya kedepan dengan beban yang begitu besar. Ingin sekali Arsen mendekat dan menyeka air mata Laura, tetapi ia tahan. Ia tidak mau membuat Laura semakin tidak nyaman. Ia sungguh tidak tahu jika akhirnya akan menikahi Laura. Benarkan ini takdir? Jodoh itu aneh dan datang dengan cara yang unik. Tidak seorang pun tahu bagaimana Tuhan akan mempertemukan ia dengan jodohnya. Arsen bisa saja berencana untuk menikahi Lidya, tetapi jika Tuhan berkehendak lain, Arsen bisa apa? “Mas tahu ini tidak adil untuk kamu … kamu jadi harus menanggung beban ini,” Arsen menjeda kalimatnya. Ia tampak ragu, tetapi mungkin inilah satu-satunya pilihan yang bisa menenangkan Laura, “Kamu tidak perlu khawatir, kalau kamu mau, kamu boleh kok mengajukan pembatalan pernikahan,” usul Arsen. Dalam hatinya ia tidak bersungguh-sungguh dengan ucapannya, ia hanya ingin menenangkan Laura dengan memberinya pilihan. Bukankah yang menjalani biduk rumah tangga bukan hanya dirinya? Kening Laura mengernyit. “Pembatalan pernikahan?” tanya Laura dengan suara bergetar. Arsen mengangguk dengan senyum tipis yang menghiasi wajahnya, “He’em … Mas tidak mau kamu merasa terpaksa menjalani pernikahan ini, kamu berhak mengajukan pembatalan pernikahan,” ucap Arsen seraya menarik sudut bibirnya membentuk senyum yang lebih lebar. Bibirnya mudah saja meminta Laura untuk melakukan pembatalan pernikahan tetapi tidak dengan hatinya yang merasa sedih. Bagaimanapun juga, ijab kabul yang pagi tadi ia ucapkan merupakan prosesi sakral, bukan untuk main-main. Baginya menikah hanya untuk sekali seumur hidup. Dan ia yakin jika Allah tidak mungkin salah memilihkan jodoh untuknya. Lagipula, siapa yang bisa menebak jodoh seseorang? Semua hal masih bisa terjadi, bahkan di saat detik-detik terakhir menjelang pernikahan, ternyata Allah justru menghadirkan jodoh yang tidak pernah Arsen sangka. Begitulah, takdir Allah memang penuh misteri, tetapi Arsen percaya jalan takdir selalu berakhir indah pada waktunya. Hanya saja, saat ini ia tidak ingin menjadi pria yang egois. Laura berhak memilih jalan kebahagiaannya sendiri. Laura berhak bahagia bersama dengan orang yang ia cintai. “Aku nggak mau mengecewakan bapak dan ibu,” lirih Laura. Pandangannya menatap ke bawah, memperhatikan jemarinya yang sibuk meremas selimut. Laura menegakkan kepalanya, menatap lurus pada Arsen yang sedari tadi memang tidak mengalihkan pandangannya dari Laura. “Mas, kenapa ya kak Lidya tiba-tiba pergi? Kalian … ada masalah sebelumnya?” tanya Laura ragu-ragu setelah beberapa saat mereka saling diam. Arsen mengedikan bahu, ia pun tidak tahu alasan pastinya kenapa Lidya meninggalkannya tepat di hari yang seharusnya menjadi hari paling bersejarah bagi mereka. Selama ini mereka tidak pernah terlibat pertengkaran hebat. Hanya sesekali salah paham dan mereka bisa menyelesaikan masalah itu dengan kepala dingin dan sikap dewasa, tetapi kali ini? Lidya menghilang tanpa memberikan penjelasan apapun. Setidaknya jika ia tidak siap dengan pernikahan ini, ia bisa mengutarakan jauh-jauh hari. Arsen yakin jika Lidya bersikap lebih terbuka padanya, semua ini tidak akan menjadi terlalu rumit. Dua tahun menjalin hubungan dengan Lidya ternyata tidak membuat Arsen benar-benar mengenal perempuan itu dengan baik. “Lidya tidak bisa dihubungi sejak semalam. Ponselnya tidak aktif bahkan sampai detik ini,” terang Arsen seraya melirik ponselnya yang tergeletak di atas meja sofa. Lima menit yang lalu ia mencoba menghubungi Lidya lagi, tetapi ponsel Lidya masih tidak aktif. Entah di mana perempuan itu sekarang. “Padahal kemarin semuanya baik-baik saja….” Laura menyahut, ucapannya mengambang. “Iya?” “Aku sempat liat kak Lidya menangis—” “Terus?” “Aku tanya, tapi kak Lidya bilang ia hanya merasa terlalu bahagia karena akan segera menikah.” Laura berkata dengan senyum masam di akhir kalimatnya. Arsen mengembuskan napas panjang, “Oh, ya sudah… Neng istirahat dulu ya. Pasti capek kan? Sudah, jangan banyak pikiran. Semua bakal baik-baik saja kok, Mas janji.” Laura menatap Arsen gamang, kemudian mengangguk pelan. “Selamat malam Neng, bobo yang nyenyak ya…,” ucap Arsen dengan intonasi jenaka membuat Laura akhirnya sedikit mengulas senyum. Baru saja akan membaringkan tubuhnya, Laura memanggilnya lagi, Arsen pun kembali beringsut duduk untuk memberikan atensi pada apa yang akan Laura katakan. “Iya Neng, gimana?” jawab Arsen berusaha mengatur suaranya agar tetap terdengar santai meski matanya mulai mengantuk. “Sudah pukul sebelas malam loh ini,” sambungnya. “Mas kecewa sama pernikahan ini, ‘kan?” Laura bertanya sambil memilin-milin ujung piyamanya dari dalam selimut. Arsen mengangkat sebelah alisnya, “Kecewa?” Arsen menjawab dengan intonasi bertanya, kemudian berdehem sesaat, pandangannya mengawang menembus langit-langit seolah ia baru saja menemukan satu kata yang sejak pagi tadi hilang dari kamus hidupnya, kecewa? Bukankah siapapun orangnya pasti akan merasa kecewa ketika orang yang paling dicintainya tiba-tiba menghilang tanpa alasan yang jelas–tepat di hari pernikahan mereka? Bohong jika Arsen tidak merasa kecewa. Arsen bukannya tidak mau mengakui hal itu, hanya saja ia tidak perlu menunjukkannya, bukan? Lagipula untuk apa berlarut dalam kekecewaan? Bagi Arsen, tidak semua perasaan harus diperlihatkan pada dunia. Ada hal-hal yang harus tetap mengendap menjadi rahasia, cukup dirinya yang tahu. Yang pasti ia tidak pernah kecewa dengan takdir dari Tuhan yang telah digariskan untuknya. Arsen percaya … seiring berjalannya waktu, rasa kecewa itu pasti akan memudar dan semua akan kembali baik-baik saja. Yang pergi tidak perlu ditunggu untuk kembali, yang hilang tidak perlu dicari rimbanya. Sesederhana itu jalan pikiran Arsen. Dan jika ada yang datang, maka ia akan menyambutnya, memberi tempat terbaik yang ia miliki. “Kan Mas Arsen sayang banget sama kak Lidya,” ucap Laura dengan suara parau akibat terlalu lama menangis. Arsen mendesah pelan, “Jika Lidya bukan jodoh Mas, Mas bisa apa?” jawab Arsen sambil menarik segaris senyum tipis. Bukan jenis senyum yang dipaksakan tetapi justru membuat kening Laura mengernyit bingung. Melihat ekspresi wajah Laura membuat Arsen mengekeh kecil, Laura semakin bingung. “Neng …, jangan kebanyakan mikir atuh…. Itu keningnya jangan keseringen dilipat, ntar cepet tua loh? Mau? Hehee….” Laura menggeleng cepat, sementara Arsen masih menatapnya dengan tatapan mata yang sulit Laura mengerti sebelum kemudian Arsen merebahkan diri di sofa. “Mas…,” panggil Laura lagi. Arsen memutar bola matanya, ia baru tahu jika Laura secerewet itu, “Udah atuh Neng, udah malem banget ini. Bobo ya… Apa perlu Mas kelonin?” tanya Arsen iseng. Ia yakin candaannya barusan membuat bulu kuduk Laura meremang, bisa dilihat dari tingkah Laura yang langsung masuk ke dalam selimut tanpa bersuara lagi. Sejurus kemudian Arsen terkekeh melihat tingkah lucu Laura. Menggoda Laura sepertinya cukup menyenangkan. Lihat saja, gadis itu langsung terlihat panik hingga menarik selimut sampai kepalanya tenggelam. *** Arsen masih menatap langit-langit. Pria berusia 32 tahun itu terpekur memikirkan lika liku kisah cintanya. Dua tahun membina hubungan asmara dengan Lidya tak berakhir sesuai harapannya. Arsen tersenyum takjub seraya memandangi cincin kawin di jari manisnya. Bias cahaya lampu neon memantulkan kilauan pada permukaan cincin emas putih tersebut. Lidya sendiri yang memilih cincin tersebut. Entah apa yang ada di pikiran Lidya hingga nekat meninggalkan pernikahan yang selama enam bulan mereka siapkan dengan matang. Arsen pikir Lidya sudah benar-benar siap membina rumah tangga dengannya. Nyatanya ia ditinggalkan begitu saja hanya karena sebuah alasan konyol. Arsen mengubah posisi tidurnya, kini ia tidur dengan posisi tubuh miring menghadap Laura. Tidur di sofa sangat tidak nyaman, tetapi demi menghargai pengorbanan Laura, ia rela melakukannya. Arsen menatap Laura yang sudah terlelap atau… entah sudah tidur atau pura-pura tidur, gadis itu masih menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Laura. Hari ini gadis itu menyelamatkan keluarganya dari rasa malu. Arsen sungguh berterimakasih untuk hal itu. Terbersit dalam hatinya jika gadis yang ada di hadapannya itu memang jodoh yang Tuhan kirimkan untuk menemani hidupnya. Apapun bisa terjadi menjelang pernikahan, bahkan di detik terakhir sebelum ijab kabul diucapkan. Bayangan wajah Lidya beberapa hari yang lalu kembali terlintas. Amarah menguasai wajahnya saat meminta sesuatu yang tak mungkin bisa Arsen turuti. Perempuan itu memang keras kepala, Arsen akui itu, tetapi ia berusaha memberikan yang terbaik yang ia bisa. “Mas Arsen harusnya ngertiin keadaanku sekarang ini! Aku nggak bisa kayak gini terus!” Lidya berkata dengan wajah bersungut-sungut. “Tapi apa yang kamu minta itu nggak mungkin bisa aku terima, apa kamu tidak memikirkan bagaimana perasaan keluargaku? Keluarga kamu?” Lidya menghela napas panjang, amarahnya semakin memuncak,“Halah! Kamu nggak usah munafik Mas! Kamu pasti pengin kan punya istri yang cantik kayak model-model di cat-walk?” “Aku terima kamu apa adanya, Lidya.” Arsen berkata lembut, ia sama sekali tidak terbawa emosi. “Bullshit!” “Lidya, kita sudah menjalani hubungan ini selama dua tahun, apa pernah aku menuntut kamu?” Lidya tersenyum sinis, “Udahlah Mas, nggak usah pura-pura lagi.” “Lidya, di dunia ini tidak ada manusia yang sempurna. Setiap orang punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kamu sempurna di mata aku. Dengar, tiga hari lagi kita akan menikah, aku harap kamu tidak melakukan hal yang tidak-tidak. Apapun yang kamu pikirkan saat ini, semua pikiran buruk itu, enyahkan, oke? Mana coba pacar Mas Arsen yang super secure?” Masih Arsen ingat senyum terakhir di bibir Lidya. Masih ia ingat mimpi-mimpi yang telah mereka renda bersama. Tentang rumah impian, keluarga kecil yang bahagia, masa depan indah yang menanti… semua itu tinggal harapan kosong. Arsen menghembuskan napas berat, ia kembali mengubah posisi tidurnya kembali terlentang. Sial sekali ia. Malam ini seharusnya menjadi malam paling indah dan romantis dalam hidupnya setelah 32 tahun hidup melajang, tetapi yang ia dapatkan malah tidur sendiri di sofa. Sangat tidak nyaman. “Mas Arsen.” Laura kembali memanggil, gadis itu sudah membuka selimut yang menutupi wajahnya. Entah sejak kapan, tetapi jelas sekali jika gadis itu juga tidak bisa tidur. “Ya?” “Mas Arsen nggak nyaman ya tidur di sofa?” “Lumayan pegel juga nih badan kalau semaleman tidur begini. Em—kamu kok masih belum bobo sih Neng? Kenapa? Udah berubah pikiran ya? Mau dikelonin?” tawar Arsen seraya tersenyum cengengesan. Laura mencebik kesal, sempat-sempatnya suaminya itu berpikiran m***m! Tanpa membalas ucapan m***m Arsen, Laura segera memunggungi Arsen lalu menutup kembali tubuhnya dengan selimut. “Neng? Marah ya? Ish gitu koh, seneng banget ngambek-ngambekan ke suami sendiri. Dosa tau.” Arsen terkekeh kecil, ia kembali menggoda, “Emang nggak boleh apa tidur di kasur? Janji deh nggak bakal ngapa-ngapain, kalo ngapa-ngapain juga kan udah sah inih. Ini kan malam pertama kita Neng.” “Dasar m***m!” Laura menggeram di balik selimut. Entah seperti apa wajahnya yang terasa mamanas menghadapi candaan Arsen.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD