Salah Tingkah

1857 Words
Tidur Laura tidak nyenyak semalam. Candaan dari Arsen rupanya membuat hatinya was-was. Berkali-kali ia terbangun hanya untuk mengecek apakah suaminya itu masih di tempatnya semula, apakah ia tidak melakukan hal yang macam-macam padanya. Meskipun status mereka sudah sah sebagai suami-istri, tetapi tetap saja Laura harus menjaga diri karena dalam benaknya, pernikahan yang sedang ia jalani sudah tentu salah. Namun, setiap kali ia terbangun, setiap kali itu juga ia melihat wajah Arsen sedang terlelap. Untuk beberapa saat Laura terkesima melihat wajah Arsen yang telihat polos saat tidur hingga tanpa sadar membuat Laura tersenyum. Tampan. Arsen yang tampan, sabar, soleh, berwibawa, dan pembawaannya yang tenang selalu membuat Laura terkesima setiap kali mereka bertemu. Definisi pria sempurna menurut Laura adalah Arsena Pranata dan terkadang ia merasa sedikit iri pada keberuntungan kakaknya. Oh tentu saja ia akan kembali menertawakan pikiran konyolnya, untuk apa ia iri jika yang ada pada Arsen juga sudah ada pada Geno? “Tapi Mas Arsen emang cakep sih. Astaghfirullah….” Laura menggelengkan kepalanya mendapati pikirannya yang mulai memuji ketampanan Arsen. Arsen memang tampan dan diam-diam Laura memang sudah mengaguminya sejak pertama kali Lidya memperkenalkan Arsen pada keluarganya. Namun Laura percaya, perasaannya itu hanya sebatas rasa kagum. Tidak pernah terbersit sedikit pun untuk memiliki Arsen. Malam yang semakin larut mau tak mau membuat Laura yang lelah beroverthink akhirnya mengalah pada rasa kantuk. Gadis bertubuh mungil itu bahkan sulit dibangunkan keesokan harinya. Arsen duduk di tepi ranjang, di tangannya ia memegang segelas air putih. Ia tersenyum lebar menatapi wajah Laura yang masih tampak terlelap. Arsen tahu Laura baru bisa tidur menjelang subuh, karena ia sendiri juga tak bisa tidur, sesekali memperhatikan gelagat Laura yang berganti-ganti posisi tidur. Jujur saja pergerakan Laura membuatnya sedikit terganggu, tetapi Arsen memakluminya. Bibir tipis berwarna merah alami milik Laura sedikit terbuka, sesekali meracau tak jelas. Mungkin ia sedang bermimpi. Arsen melirik jam dinding yang sudah menunjukkan waktu salat subuh, suara adzan pun sudah mulai berkumandang, mau tak mau Arsen harus membangunkan Laura. “Neng, bangun atuh… sudah siang masa anak perawan masih molor sih?” ucap Arsen seraya mencipratkan air ke wajah Laura. Sayup-sayup telinga Laura menangkap suara merdu yang terasa asing. Ketika matanya perlahan terbuka, sebentuk senyum hangat adalah pemandangan pertama yang ia lihat. “Mas Arsen?” Laura bertanya seperti tidak percaya melihat pemandangan di hadapannya. Tampan. “Iyalah, emang siapa lagi? Ayo bangun, ambil wudhu,” perintah Arsen dengan suara rendah. Ish siapa ia pake nyuruh-nyuruh segala. Tunggu, ia siapa? Laura mengerjap beberapa kali. “Kenapa?” tanya Arsen seraya menelengkan kepala menatap Laura yang terlihat keheranan. “Kita…?” tanya Laura mengambang. “Iya?” jawab Arsen setengah bertanya lalu tersenyum. “Kamu itu seneng banget mikir keras ya? Itu keningnya mengkerut, bisa cepet keriput kalau kebanyakan mikir berat loh Neng…,” kata Arsen seraya menyentil pelan kening Laura yang berkerut. “Udah ah, ayo atuh Neng, buruan ambil wudhu ntar abis waktunya, keburu siang loh.” Bukannya langsung bangun, Laura justru termangu menatap Arsen. Pikirannya seolah sedang memutar peristiwa 24 terakhir. Bagaimana Arsen mengucapkan ijab kabul dengan lancar dalam sekali tarikan napas, bagaimana Arsen memperlakukannya dengan lembut, bagaimana Arsen bicara padanya, dan bagaimana Arsen— Arsen mengangkat tangannya lalu menggerak-gerakkan di depan wajah Laura membuatnya sedikit tersentak dalam lamunannya. “Mas memang ganteng tapi jangan diliatin terus kali, tenang aja kegantengan Mas tidak akan berkurang malah makin nambah nanti. Hehee….” Hoeeek! Mata Laura membulat sempurna sejurus dengan nyawanya yang seperti terhempas ke planet Pluto yang ternyata bukan planet. Arsen ganteng, namun narsisnya selangit. Boleh ilfil nggak sih? Cepat-cepat Laura beranjak dari tempat tidur lalu berjalan ke kamar mandi. Bisa mati gaya ia kalau terus diledek Arsen. Mimpi apa Laura sampai harus memiliki suami senarsis Arsen? Dan begitulah ketika ia terbangun dalam kenyataan. Perlahan ia menemukan satu per satu sisi lain dari seorang Arsena Pranata yang selama ini terlihat sempurna di matanya… ternyata hanyalah seorang dengan kenarsisan tingkat makrifat. Dan sepertinya Laura harus mulai menarik satu persatu kata-kata pujian yang sempat ia layangkan untuk Arsen dulu. *** “Jadi gini Mas…,” ucap Laura menggantung setelah menyalami tangan Arsen dan terpaksa mencium punggung tangannya seusai salat subuh karena Arsen menyurukkan tangannya mendekat ke wajah Laura membuat bibir gadis itu sempat manyun kesal. Selain memiliki bakat narsis tingkat makrifat, Arsen juga seorang tukang paksa. Bagus, belum 24 jam mereka menikah, Laura sudah mengantongi dua sifat ‘tak terpuji’ dari seorang Arsen. “Gimana?” “Kita emang sudah nikah…,” ucap Laura lagi-lagi menggantung tak jelas. Gadis itu tampak menimbang-nimbang apa yang akan ia utarakan. “Tapi?” sahut Arsen ketika Laura tak urung melanjutkan kalimatnya. “Seperti yang Mas tahu kalau aku–” Laura memainkan ujung mukena berenda yang ia kenakan hingga kusut. “Sudah punya pacar,” sambung Arsen cepat mengingat Laura suka sekali menggantung kalimatnya. Laura mengangguk. “Terus?” “Kak Lidya juga kan belum ngasih penjelasan apa-apa….” Laura menggembungkan pipinya seperti ikan buntal karena wajahnya cenderung bulat mungil. “Bagi Mas, semua sudah jelas,” pungkas Arsen cepat. Laura lagi-lagi mengernyit. Gadis itu bingung dengan ucapan Arsen. Apanya yang sudah jelas? Kakaknya bahkan belum menemuinya secara langsung. “Dari yang Lidya jelaskan di suratnya, ia memang tidak mau menikah dengan Mas.” “Kak Lidya cuma belum siap–” ralat Laura cepat. “Sama saja,” potong Arsen cepat diakhiri senyum simpul. Baiklah selain narsis, pemaksa, Arsen juga suka memotong kalimat orang lain. Sangat tidak sopan. Laura mendengus sebal. Sekilas pertanyaan lain melintas di benaknya, apakah itu artinya Arsen tidak benar-benar mencintai Lidya? “Kalau Mas cinta sama kak Lidya, seharusnya Mas dengerin penjelasan kak Lidya dulu secara langsung. Bisa saja kak Lidya sedang punya masalah kan?” “Ck, cinta? Mas cinta sama Lidya, tapi kalau Lidya tidak bahagia sama Mas, buat apa? Kalau keputusan Lidya ninggalin Mas demi kebahagiaannya, Mas ikhlas. Lagian buat apa menunggu yang tidak pasti, kalau di depan Mas sudah ada yang pasti.” “Kak Lidya cuma butuh waktu, mungkin,” cicit Laura. “Oke, katakanlah kalau Lidya memang butuh waktu untuk mempertimbangkan pernikahan kami tapi, kenapa baru sekarang? Mendadak seperti ini?” Arsen menatap lurus mata Laura. “Dan katakan, bagaimana cara Mas menanyakan alasannya sementara dia tidak bisa dihubungi, bahkan… Mas tidak tahu sekarang dia di mana.” Arsen menghela napas, seolah ia baru ingat cara bernapas. Raut wajah Arsen yang sejak kemarin terlihat tenang itu pun mulai berubah tegang. Dan itu membuat Laura sedikit ngeri membayangkan orang setenang Arsen murka. Kata Gendhis–sahabat Laura–, biasanya orang dengan pembawaan tenang sekalinya marah pasti mengerikan. Glek. Laura merasa kesulitan menelan ludahnya saat mata Arsen tak sedikitpun beralih darinya seolah menyelidik. “Atau jangan-jangan Neng tau di mana Lidya?” tanya Arsen sedikit memberikan penekanan. Mendapati tuduhan seperti itu, Laura langsung menggeleng cepat seraya mengangkat kedua tangannya. “Kalau aku tau, aku pasti sudah bilang dari kemarin,” bela Laura. “Terus kenapa Neng mau nikah sama Mas?” Glek. “Eh i-itu… karena aku nggak mau ngecewain bapak ibu,” Laura menggigit bibirnya pertanda salah tingkah. “Harusnya aku yang nanya, kok Mas nggak protes?” Kembali pipinya menggembung lucu. Arsen hanya mengulas senyum berjuta maknanya lalu mengangkat bahu seakan alasannya itu bukan hal yang penting. Benar-benar menyebalkan! Laura memaki dalam hati. Kedua tangannya mengepal terarah seolah akan memukul kepala Arsen dari belakang sesaat setelah Arsen berbalik memunggunginya. “Neng mau ngapain?” Arsen menatap bergantian antara wajah Laura yang mendadak tegang dan kedua tangannya yang terkepal erat ke arahnya. “Eh, eng-enggak apa-apa kok. Ini lagi peregangan aja. Biasa tiap pagi mesti olahraga. He… he… hehe….” Bukannya melanjutkan marahnya, Laura justru dibuat keki hingga salah tingkah sendiri. Kedua tangannya memukul-mukul angin seolah sedang melakukan peregangan otot. Karena masih mendapat atensi penuh dari Arsen yang menahan senyum, Laura pun menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri sambil berhitung. “Tu wa ga pat…. Tu wa ga pat…” “Kalau mau olahraga, mukenanya dilepas dulu atuh Neng…. Astaga.” Arsen menggeleng sambil menahan tawanya yang hampir meledak. “Ini olahraga gaya baru tauuuu,” sahut Laura sekenanya. “Kudet sih kamu!” racaunya tak jelas. Jawaban nyelenehnya itu justru membuat baik Arsen maupun dirinya langsung terbahak. Bahu Laura bahkan sampai naik turun. Tawa mereka baru mereda saat Laura mendapati ponselnya bergetar, tanda ada pesan masuk. “Siapa?” tanya Arsen saat Laura mendapat pesan chat dari seseorang. “Gen,” jawab Laura singkat tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel di genggamannya. “Gen?” Arsen memiringkan kepalanya, wajahnya tampak penasaran. “Pacar aku Mas,” jelas Laura. Arsen hanya menyahut dengan bibir membentuk huruf O lebar. Laura menggembungkan pipi, rasa bersalahnya kembali menyeruak. “Dia ngajak ketemuan,” ucapnya dengan bibir manyun yang terkesan imut, namun entahlah di mata Arsen. “Ya ketemu aja atuh… em mau Mas anterin?” Laura yang sedang fokus pada layar ponselnya pun akhirnya menoleh. Yang ditatapnya hanya tersenyum tipis membuat Laura lagi dan lagi mengernyit. “Emangnya aku anak kecil apa! Aku bisa pergi sendiri tauuu,” jawab Laura dengan nada ketus. “Bukan begitu Neng, maksud Mas ... sekarang kan Neng udah jadi istri Mas, tidak baik atuh kalau pergi-pergi sendirian.” “Istri?” “Lah baru kemarin ijab kabul udah lupa aja Neng? Hehe…” Nang neng nang neng! sungut Laura dalam hati. “Ya… pernikahan kita kan cuma…” Laura berpikir sejenak, “Sementara. Terpaksa aja.” “Oh.” Arsen menghela napas panjang. Ia mengalihkan pandangannya dari Laura yang tampak bersungut-sungut. Tok tok tok Baik Laura maupun Arsen kompak refleks menoleh pada pintu kamar. “Laura, nak Arsen.” “I—iya bu.” Laura menyahut seraya berjalan menghampiri pintu. Masih mengenakan mukenanya, Laura melongok di celah pintu. “Ada apa bu?” “Baru selesai solat ya?” tanya Kartika basa-basi. Laura mengangguk sebagai jawaban. “Arsen dirunggu bapak di bawah.” Laura menatap curiga, matanya sedikit menyipit. “Mau bicara apa ya bu? Ada hubungannya sama kak Lidya?” “Ah cuma ngobrol biasa aja kok, ya udah gih kamu lepas mukenanya, bantuin ibu masak. Ibu tunggu ya, cepet.” Kartika menjawab santai seraya berjalan menuju dapur. Laura mencebikkan bibir bawahnya, ia memutar tubuhnya menghadap Arsen yang sedang melipat sajadah. “Kenapa?” tanya Arsen penasaran. Ia tak sempat mendengar apa yang ibu mertuanya katakan pada Laura. “Mas ditunggu bapak di bawah.” Sesaat Arsen menghentikan aktivitasnya, ia tampak berpikir sebelum mengulas senyum pada Laura. “Kenapa senyum-senyum?” sinis Laura seraya melepaskan mukena. “Tidak apa-apa, ya sudah nanti Mas ke bawah. Kamu sendiri abis ini mau ngapain? Lanjutin olah raga? Hehehe….” “Mau masak!” “Masak apa?” “Masak hati!” “Hati apa?” “Hati kamu!” “Dih galak banget. Jangan galak-galak atuh Neng….” “Nang neng nang neng! Apaan sih!” “Ih panggilan ‘Neng’ itu sweet loh, apa mau dipanggil Sayang saja?” Laura menahan napasnya, wajahnya sudah mulai memanas, mungkin sekarang sudah memerah karena salah tingkah. “Au ah, nyebelin! Nih lipetin!” sahut Laura seraya melempar mukenanya tepat di wajah Arsen sebelum berbalik dan menghilang di balik pintu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD