Crisis - 08

4349 Words
Aku bersama delapan penyihir baru lainnya terkejut ketika langit-langit aula yang kami tempati mendadak menumpahkan air yang begitu banyak sampai seluruh tempat ini becek dan tentu saja, pakaian yang kami pakai jadi basah secara merata, rambut merahku juga sampai lemas semua karena terkena air. Namun, ketika kami semua bertanya-tanya, tiba-tiba saja, sebuah tirai yang kukira itu hanyalah gorden jendela, terbuka secara mengejutkan, menampilkan Kapten Nino yang dikawal oleh para penyihir Blue Sky yang jumlahnya sekitar puluhan orang di belakangnya. Sontak, melihat kemunculan Kapten Nino dan para penyihir Blue Sky yang mengagetkan membuat pertengkaran yang sebelumnya membludak di aula ini langsung padam dalam sekejap. Kemudian, Kapten Nino memberikan pidato sambutan pada kami, sebagai penyihir baru di Blue Sky, dia juga menyinggung pertengkaran yang kami perbuat di aula ini, sepertinya dia mendengar semuanya dari awal. Ada sedikit raut kekecewaan di muka Kapten Nino saat berpidato, mungkin karena penyihir-penyihir pilihannya malah melakukan hal yang tak pantas di sini, sepertinya itu membuatnya malu karena telah memilih penyihir seperti kami. Tapi, ketika pidato Kapten Nino terdengar jadi agak serius, mendadak, pengeras suara yang dipegang olehnya langsung direbut oleh seorang gadis berambut biru panjang yang berdiri di sampingnya. Aku dan penyihir-penyihir baru yang menyaksikan hal itu tercengang karena kami tidak percaya ada orang yang berani bertingkah tak sopan pada seorang kapten di sini. Dan, gadis itu langsung berbicara menggunakan pengeras suara yang dia rebut dari Kapten Nino dengan suara yang begitu melengking, "Haaaaaay kalian para penyihir baru! Aku, Felicia Cole, sebagai Wakil Kapten Blue Sky, akan..." Entah kenapa, senyuman malaikat dari gadis itu berubah jadi seringaian iblis. "Akan menyiksa fisik dan mental kalian di ujian yang akan kalian hadapi! Aku tidak peduli kalian berasal dari golongan apa, mau itu bangsawan, rakyat menengah, atau pun rakyat jelata, pokoknyaaaa, kalian harus melalui ujian itu sampai tuntas! Jika tidak, kalian semua akan dikeluarkan dari Blue Sky! Selamat berjuaaang! Kyahahahahahaha!" Aku bersama penyihir baru yang lainnya langsung terperangah mendengar perkataan dari Felicia Cole, gadis berambut biru panjang yang ternyata merupakan sang wakil kapten di Blue Sky. Tentu saja kami terkejut, tidak ada yang mengatakan kalau ada sebuah ujian di sini, kukira kami hanya akan diberikan sambutan hangat dari Kapten Nino serta para penyihir Blue Sky yang lain, tapi nyatanya, tidak seramah itu. Bahkan, Felicia Cole, Sang Wakil Kapten, berkata bahwa jika kami gagal menuntaskan ujian itu, maka kami akan dikeluarkan dari Blue Sky, tanpa peduli kami berasal dari kalangan mana, sungguh, peraturan yang sangat kejam. Aku jadi tegang. "Bagaimana ini?" Aku merapatkan jemari kedua tanganku di d**a, menandakan kalau diriku sedang resah. Puk! Mendadak, ada sebuah tangan yang menepuk pundakku dari belakang, saat kutengokkan kepalaku, ternyata itu adalah tangan milik Veronica, dia sedang menyunggingkan senyuman hangat padaku. "Kau tidak perlu tegang begitu, aku akan membantumu untuk menyelesaikan ujian itu, kita akan berjuang bersama, Biola." Aku menganggukan kepala mendengarnya, perasaanku jadi sedikit lega, karena di sini aku tidak sendirian, disekelilingku, ada penyihir-penyihir baru yang juga akan berjuang melewati ujian tersebut. KRAK! KRAK! Bunyi retakan dari lantai yang kupijaki bersama para penyihir baru di aula ini membuat kami semua heboh. "Eh? Lantainya retak!?" "Ada apa ini?" "Jangan bilang kalau.." "Ini mengerikan!" Saat suasana di aula ini mulai ribut, suara Felicia Cole, Sang Wakil Kapten, yang menjerit, langsung memadamkan keributan itu, "Tutup mulut kalian dan dengarkan penjelasanku! Ne?" Setelah kegaduhan di aula sudah berhenti sepenuhnya, Felicia Cole kembali melanjutkan ucapannya, "Sebentar lagi, lantai yang kalian pijak bakal runtuh dan akan membawa kalian jatuh ke lorong bawah tanah! Setelah kalian sampai di sana, kalian harus bekerja sama! Mengapa harus? Itu karena, di tiap jalan yang kalian lalui di lorong itu, ada beberapa rintangan yang akan kalian temui. Entah itu tembok penghalang, jebakan-jebakan, para penyihir senior, atau bahkan, Sang Kapten dan Sang Wakilnya? Pokoknya, jika kalian tidak saling bekerja sama, aku jamin, kalian bersembilan, akan GAGAL! Kyahahaha!" BRUAK! Saat Felicia Cole selesai memberikan penjelasan, lantai luas dari aula yang kami pijakki langsung roboh, membuat kami, para penyihir baru, terperosok berjatuhan. Rasanya sangat mengerikan saat diriku tergelincir jatuh ke ruang bawah tanah, aku sampai tak tahu akan mendarat seperti apa nantinya. Rekan-rekanku yang lain ada yang berteriak histeris karena ketakutan merasakan sensasi jatuh, sementara diriku hanya menutup mata rapat-rapat sembari berdoa agar pendaratanku tidak menyakitkan. BRUK! BRUK! BRUK! BRUK! Akhirnya, satu persatu dari kami berhasil mendarat di tanah dengan selamat, termasuk diriku, walau pendaratannya terasa sedikit menyakitkan, karena jujur saja, saat badanku menyentuh tanah, tubrukannya terlalu kuat. Kemudian, setelah menyadarkan diri, aku segera bangkit dan memandangi lubang besar di atas, yang sebelumnya merupakan lantai aula, aku tak sangka akan jatuh sedalam ini. Dan ketika pandanganku diluruskan, ternyata benar, kini aku bersama penyihir baru lainnya dijatuhkan ke sebuah lorong bawah tanah yang menyeramkan, hanya ada lampu temaram yang menempel di atap lorong sebagai sumber penerangan, dan lampunya pun kelap-kelip, seperti energinya mau habis. Jika lampunya mati, lorong ini akan menjadi sangat gelap, itu menakutkan! "Biola, kau baik-baik saja?" Veronica muncul di sampingku dengan raut muka cemas. Sebagai jawaban, aku menganggukkan kepala, lalu aku mencoba bertanya padanya mengenai sesuatu yang kupikirkan dari tadi. "Jika kita semua tidak bekerja sama, maka kita akan gagal, itu kan yang dikatakan Wakil Kapten? Terus, jika misalnya ada salah satu dari kita yang tidak mau bekerja sama, bagaimana?" Mendengar pertanyaanku, Veronica terperanjat, dia juga sepertinya baru menyadari hal itu. "Benar juga, jika dari mereka ada yang menolak bekerja sama dengan kita, kita semua pasti akan gagal. Ini cukup sulit, mengingat kalau diantara kita ada beberapa penyihir yang menjengkelkan." Veronica menyinggung Sewil dan rekan-rekannya, aku kembali mengangguk, karena aku juga berpikir demikian, bagaimana caranya agar mereka semua mau bekerja sama dengan kami untuk berjuang melewati ujian ini. "Mengapa kalian memusingkan hal itu?" Ted mendadak muncul di hadapanku, dengan muka lesunya seperti biasa, namun ada nada serius di suaranya. "Daripada memikirkan hal sepele seperti itu, lebih baik kita cari cara agar bisa keluar dari lorong panjang ini." "Tapi!" Veronica menampik perkataan Ted dengan wajah sebal. "Jika kita tidak bekerja sama, kita akan gagal! Walaupun kita berhasil keluar dari lorong ini! Kau tidak paham, ya? Aku tidak mau dikeluarkan dari Blue Sky! Aku harus jadi penyihir Blue Sky! Maka dari itu, aku dan Biola akan membuat rencana agar kita semua, para penyihir baru, saling bekerja sama!" Ted membisu mendengar tampikan dari Veronica, aku tersenyum tipis dan ikut menambahkan, "Aku harap, kau juga mau ikut membantu kami untuk membuat mereka semua bergabung bersama kita untuk saling bekerja sama, Ted." Aku bahagia saat mendengar Ted berkata, "Apa boleh buat." Yang artinya, dia mau membantu kami untuk membujuk penyihir baru lain agar mau bekerja sama. Setelah aku, Veronica, dan Ted selesai membuat kesepakatan, kami bertiga pun mulai membuat strategi agar mereka, para penyihir baru yang lain, tertarik untuk melakukan kerja sama dengan kami. Dan akhirnya, kami pun mendapatkan titik terang untuk melakukannya. Aku, Veronica, dan Ted menganggukkan kepala, dan kemudian, kami pun berjalan ke posisi yang dapat jadi pusat perhatian mereka. Lalu, aku pun bersuara dengan lantang. "Teman-teman, seperti yang kita tahu, sekarang, kita telah dijatuhkan dari ruangan aula ke lorong bawah tanah yang kedalamannya sangat luar biasa. Dan seperti yang Wakil Kapten bilang, untuk mencapai keberhasilan ujian ini, kita harus saling bekerja sama, mengapa? Mungkin karena memang mustahil untuk melewati ujian ini secara individualis. Oleh sebab itu, aku harap... Kalian bersedia melakukan kerja sama dengan kami. Pasti ada alasan mengapa kita semua harus bekerja sama, karena itulah, mari lupakan segala pertengkaran dan mulai saling membantu sesama untuk mendapatkan keberhasilan! Tolong, jika kalian setuju dengan pendapatku, acungkan tangan kalian!" Kemudian, setelah berpidato panjang pada mereka semua, aku pun menunggu acungan tangan mereka, kuharap setidaknya ada satu atau dua orang yang setuju dengan pendapatku, karena pasti malu sekali rasanya jika tidak ada yang mengangkat tangannya. Orang pertama yang mengacungkan tangannya, tentu saja, Veronica dan Ted, mereka berdua antusias sekali saat mengangkat tangan, namun, sayangnya, masih belum ada orang lain yang mau menyusul. Ayolah, kumohon! Siapa pun! Angkat tangannya! "Maaf Biola, bolehkah aku menambahkan?" Veronica bersuara, lalu aku mempersilakan dia untuk melanjutkan kata-katanya. "Bagi kalian yang ingin menjadi penyihir Blue Sky, dimohon untuk MENGACUNGKAN TANGANNYA! Dan bagi kalian yang ingin menjadi penyihir sombong, dimohon untuk MELENYAPKAN DIRI!" Sontak, mereka semua terkesiap mendengar bentakan dari Veronica, ada yang memasang wajah terkagum-kagum, ada juga yang kelihatannya jengkel, namun, tak peduli ekspresi beragam dari mereka, secara perlahan, satu persatu dari mereka mengacungkan tangannya, sampai akhirnya, Sewil dan Herry pun ikut mengangkat tangannya. Aku benar-benar gembira melihat mereka semua, para penyihir baru, setuju pada penjelasan yang kuutarakan, dengan mengacungkan tangannya masing-masing, menandakan bahwa mereka bersedia untuk melakukan kerja sama dengan kami. "Bagus," Ted ikut bersuara dengan lantang, walau wajahnya masih terlihat lesu. "Sekarang, bagi kalian yang mengangkat tangannya, tolong perkenalkan diri kalian masing-masing pada kami, termasuk sihir apa yang kalian kuasai, agar nantinya, kita bisa saling menutupi kelemahan masing-masing dengan sihir kalian semua" "Aku yang pertama ya? Ihihihi~" Sewil berbicara sambil tertawa-tawa, kemudian mulai melanjutkan ucapannya, "Namaku Sewil Crimson, sihirku adalah perlindungan, aku bisa melindungi diriku sendiri dari serangan berbagai macam sihir, tanpa harus berlindung ke sesuatu, aku juga bisa mengembangkan sihirku agar bisa melindungi lebih dari satu orang. Jadi, jangan khawatir, okay? Ihihihi~" "Nama saya adalah Herry Fargio, saya memiliki kemampuan untuk memulihkan atau menyembuhkan segala luka, penyakit, dan rasa sakit, jadi, jika ada yang terluka, saya bisa mengatasinya dengan mudah. Tak perlu cemas." Lalu, gadis berambut perak yang rambutnya diikal dua ekor mulai memperkenalkan dirinya, "Anabelle Ramirez, itulah namaku, aku mempunyai kekuatan yang bisa membekukan segala hal yang kusentuh. Intinya, aku adalah penyihir berelemen es." Lalu, giliran lelaki berambut putih panjang, yang memiliki raut muka khas orang pemarah, bahkan saat berbicara, nadanya begitu berapi-api, "Ingat ini! Namaku adalah Hallow Ween! Sihirku adalah penyamaran!Aku bisa menyamar menjadi berbagai orang yang kutemui! Bahkan, aku juga bisa menyamar menjadi seorang wanita! Tapi jangan paksa aku untuk menyamar jadi binatang! Ingat itu! Ingat!" Lelaki berambut cokelat legam yang suka sekali memamerkan otot perutnya mulai bersuara dari posisinya dengan nada yang begitu santai. "Ayolah? Masa kalian tidak tahu namaku? Aku ini, Mars Areldo!" Kemudian, Mars Areldo mengeluarkan sebuah pedang yang tertancap di punggungnya, "Aku memiliki kemampuan berpedang melebihi siapa pun, aku bisa menebas siapa pun dengan pedang ini, aku juga bisa menebas hatimu, wahai para gadis." Ternyata dia merupakan tipe lelaki penggoda. Sekarang, pusat perhatian beralih ke lelaki berambut pirang lebat yang mengenakan mahkota kecil dan matanya tertutupi oleh rambutnya sendiri, dia punya senyuman yang manis. "Jadi, apa kau tahu, bung? Aku ini adalah lelaki keren yang bernama Wingky! Kalian pasti akan takjub dengan ketampananku! Ohohoho! Dan kau tahu, bung? Sihirku adalah pancra indra! Aku bisa merasa, mencium, mendengar, melihat, meraba segala hal yang tidak bisa dilakukan orang normal! Singkatnya, pancra indraku sangat istimewa dan tentu saja, keren! Ohohoho!" Setelah mereka semua sudah memperkenalkan diri, kini giliran pihakku untuk melakukan hal yang serupa seperti mereka, agar mereka bisa tahu kekuatan sihir kami. Jujur, aku agak resah, karena elemen sihirku bisa menimbulkan kehebohan, tapi tak apalah, untuk saat ini, aku harus terbuka pada mereka semua. "Namaku Veronica Alfabeth! Aku bisa memotong segala hal dengan tubuhku! Mau bendanya sekeras baja pun, aku dapat memotongnya dengan mudah! Dan aku berasal dari kalangan bawah, salam kenal!" Ted mulai memperkenalkan dirinya dengan nada yang begitu malas. "Panggil saja aku Ted, aku bisa melelehkan segalanya, terima kasih." Bahkan perkenalan dirinya terdengar sangat singkat, dasar pemalas. Aku sampai ingin tertawa mendengarnya. Dan sekarang, sudah berada pada giliranku untuk berbicara, aku jadi sedikit gelisah, tapi baiklah, kutarik napasku dalam-dalam, kemudian menghembuskannya, lalu aku mulai memperkenalkan diri dengan suara yang nyaring, "Aku Biola Margareth, senang bisa berkenalan dengan kalian. Mengenai kekuatanku, aku bisa merenggut perasaan benci orang lain, dan digantikan dengan perasaan cinta, begitu pula sebaliknya, aku bisa merenggut perasaan cinta seseorang dan menggantinya dengan kebencian, karena aku adalah penyihir berelemen cinta." Tiba-tiba, setelah aku selesai memperkenalkan diri, mereka semua secara serentak terperangah mendengarnya. Suatu hari di sekolah, Yui Kanizawa bersama teman-temannya sedang membicarakan tentang sebuah rumah yang ada gadis boneka hidupnya. Yui yang sangat menyukai boneka pun tertarik untuk mengunjungi rumah tersebut di malam hari. Ketika dalam perjalanan, Yui merasa bahwa dirinya telah kehilangan arah. Dan pada saat itu, datanglah seorang gadis muda yang sangat cantik dan imut menolong Yui. Yui menunjukkan sebuah foto rumah yang ia tuju. Dan ternyata rumah itu adalah rumah gadis yang menolongnya itu. Gadis itu bernama Harmonica, ia seorang malaikat. Bukannya takut dan melarikan diri, Yui malah terlihat senang bertemu dengan Harmonica, dan ia bahkan memutuskan untuk tinggal bersama teman barunya itu yang merupakan seorang malaikat. Harmonica sebenarnya merasa risih dengan kedatangan Yui yang hampir setiap hari mengganggu kenyamanannya. Namun ia juga tidak bisa bohong, bahwa jika tidak Yui, dirinya merasa kesepian. Dan dari sinilah hubungan persahabatan antara anak manusia dan malaikat dimulai. ❤ "Eh? Be-Benarkah?" seru Yui Kanizawa saat mendengar teman-temannya sedang membicarakan sesuatu yang menarik di mejanya. Sontak, salah satu temannya menoleh pada Yui dan mengatakan, "Itu benar! Lihat?" Ia menyodorkan sebuah foto pada Yui. Yui mengernyitkan alis ketika memandangi sebuah foto rumah yang terlihat asing dan menakutkan. "Ja-Jadi ini rumahnya?" kata Yui mencoba memastikan, dan teman-temannya menganggukkan kepalanya secara bersamaan. "Aku sudah mendengar rumornya dari teman-temanku juga!" pekik Luna Morikawa, salah satu teman Yui yang barusan menyodorkan sebuah foto. "Dan katanya, rumah itu dihuni oleh hantu yang menyeramkan! Mereka bilang padaku, bahwa beberapa orang bahkan pernah mendengar suara tangisan seorang gadis di rumah itu pada tengah malam!" Wajah Yui jadi memucat, "I-Itu menyeramkan sekali!" "Tapi," Melody, salah satu teman Yui yang ikut bergabung dalam obrolan, menyela. "Banyak juga yang bilang kalau rumah itu dihuni oleh seorang gadis cantik yang mukanya seperti boneka!" Bola mata Yui jadi berbinar secara tiba-tiba, "WAAAH! BENARKAH!?" "Ah," Luna memasang raut malas. "Jangan sebut nama 'boneka' di depannya, Yui itu seorang maniak boneka." Melody tersentak lalu menoleh pada Yui, dan ternyata apa yang dikatakan Luna benar. Yui terlihat sangat bersemangat, padahal sebelumnya dia seperti ketakutan. "Luna! Melody! Aku ingin pergi ke sana! Pergi ke rumah itu! Aku ingin bertemu dengan gadis boneka itu!" Yui akhirnya mengutarakan keinginannya pada Luna dan Melody, dengan menggenggam lengan kanan dua temannya itu dengan erat. Suara Yui bahkan bergema di kelas, sampai beberapa teman sekelasnya yang lain, menoleh dan memperhatikan tiga gadis muda itu. "Y-Yui, bisakah kau tidak melakukan hal-hal aneh yang dapat membahayakanmu?" Luna menarik lengan kanannya yang digenggam Yui dengan kasar, dan menyilangkan dua lengannya itu di d**a. "Ingat? Kemarin kau terjatuh dari genting rumah tetanggamu hanya karena ingin menyentuh kucing liar, kan?" "Kemarinnya lagi pun," Melody ikut bersuara. "Kau dimarahi habis-habisan oleh Ayahmu karena kau bersepeda sampai ke wilayah tongkrongan para preman? Dan kemarin-kemarinnya lagi pun kau sudah melakukan hal-hal aneh yang membahayakan nyawamu." "Jadi kumohon, Yui," Luna melanjutkan, "Jangan ulangi kesalahanmu lagi, maksudku, jangan lakukan sesuatu yang dapat membahayakan dirimu sendiri! Itu akan membuat keluargamu khawatir!" Yui merenung, mengingat segala hal yang telah ia lakukan selama ini, dan memang benar, hampir apa yang dilakukannya, selalu mengundang bahaya untuk dirinya sendiri, dan selalu berakhir dengan keajaiban yang membuat dirinya selamat. "Tapi, aku penasaran," ucap Yui dengan memelas, meminta agar teman-temannya menyetujui keinginannya. "Kalian juga tahu? Aku ini suka sekali pada boneka, dan aku ingin bertemu dengan gadis boneka itu. Mungkin saja rumor itu memang benar, maka dari itu, aku ingin memastikannya." Yui menatap mata Luna dan Melody, ia menunjukkan raut wajah memohon pada mereka. "Baiklah, terserah!" Luna langsung memberikan foto rumah itu pada Yui. "Ingat! Kau harus bawa ponselmu! Jika ada sesuatu yang berbahaya, kau harus meneleponku!" "Terima kasih Luna! Melody!" Yui pun berencana pergi ke rumah itu pada malam hari. ❤ Pada malam harinya, Yui berhasil menyelinap keluar dari rumahnya tanpa diketahui oleh keluarganya. Yui pun berjalan sendirian di jalan setapak menuju hutan, karena Luna bilang, rumah itu berada di tengah-tengah hutan yang menyeramkan. Awalnya Yui agak ragu, tapi karena rasa penasarannya sangat tinggi, akhirnya dia memberanikan dirinya untuk pergi ke sana tanpa ditemani oleh siapa pun. Kini Yui telah memasuki area hutan, ia disambut dengan pepohonan tinggi dan besar, yang memenuhi tanah, serta suara-suara binatang liar, seperti serigala yang melolong, monyet yang menjerit-jerit dan cuitan-cuitan burung hantu. "Ini menakutkan, tapi aku harus berani!" seru Yui pada dirinya sendiri, mencoba menyemangati mentalnya yang mulai menciut. Yui, seorang gadis muda berusia 13 tahun yang memiliki rambut hitam pendek, menyusuri hutan sendirian pada malam hari tanpa membawa alat-alat profesional kecuali ponsel dan lampu senter yang sedang digenggamnya. "Tsk!" Terdengar sebuah suara berisik dari semak-semak di belakangnya, membuat Yui membalikkan badannya dan menyoroti semak-semak itu dengan lampu senternya. "I-I-Itu pasti hanya kelinci, kan!?" kata Yui, mencoba untuk berpikir positif agar ia tidak perlu cemas tanpa harus menelepon Luna dan Melody. Tidak ada apa pun, setelah diperiksa dengan teliti oleh Yui menggunakan lampu senternya. Mungkin dugaannya benar, pasti itu hanya seekor kelinci yang melompat masuk ke dalam semak-semak. Karena itulah, Yui menghela napas lega. Namun, baru saja berpikir begitu, lampu senter milik Yui menangkap sesosok gadis berambut panjang yang sedang mengintip di balik pohon, di dekat semak-semak yang tadi. "S-SIAPA DISANA!?" Gadis yang mengintip itu secara perlahan, keluar dari balik pohon, menunjukkan wujudnya dengan jelas pada Yui. "A-Astaga!" Bola mata Yui berbinar-binar, kedua alisnya terangkat, dan bibirnya menganga lebar. Sinar rembulan dan lampu senter milik Yui menyoroti sosok gadis berambut merah muda panjang itu yang telah keluar dari balik pohon, ia mengenakan sebuah gaun pendek berenda berwarna putih bersih, dan wajahnya sangat cantik seperti boneka sungguhan. "Apa yang dilakukan seorang gadis muda sepertimu di hutan pada malam hari?" tanya gadis asing itu pada Yui dengan tatapan tajam dari bola mata hijau yang gemerlap. Yui menjatuhkan lampu senternya saking kagetnya, tidak salah lagi, pasti gadis ini yang dimaksud Luna dan Melody. Ya, tidak salah lagi. "Akhirnya aku menemukanmu!" pekik Yui dengan raut wajah yang gembira, membuat gadis asing itu terheran-heran. Saat itu, aku tidak sampai menyadarinya, ketika semuanya terbongkar, yang kubuat sudah tak ada artinya lagi. Sebercak darah menetes-netes di atap, membanjiri lantai kusam nan dingin dengan warna merah yang memekat. Matanya menyoroti seluruh permukaan, diam dan bisu, yang kukatakan tak bisa keluar dari rongga-rongga, hanya berteriak saja, membuatku takut. Pria itu. Tidak, lebih bagusnya, Kakek itu telah membunuh seluruh saudara-saudaraku. Termasuk orang tuaku, dan simpelnya, keluargaku, keseluruhannya, dibantai habis olehnya. Bekas cekikan terpapar jelas di leher saudara perempuanku yang terkapar lemas di lantai, menikmati darah yang mencair di sekitar tubuhnya yang kaku. Aku tak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata, habisnya, semua itu benar benar nyata. Kenangan-kenangan yang kubuat bersama keluargaku akan menjadi sebuah sejarah yang tak mungkin terulang kembali. Semua ini karena dia. Kakek berperawakan tegap dengan penampilannya yang rapi memakai jas hitam serta celana hitam. Ingin aku menyerangnya dengan kekuatanku yang mungkin hanya bisa mencakar tubuhnya saja, tapi tubuhku terlalu kaku dan dingin untuk melakukannya. Semuanya bukan sepenuhnya salah kakek itu, semua ini juga termasuk kesalahanku karena meninggalkan keluargaku di situasi yang mengerikan ini. Aku ingin menjerit, ya Tuhan! "Kenapa," ucapku rapuh. "Kenapa kau membunuh mereka?" "Semua ini atas dasar cinta, Olivia." "Darimana kau tahu namaku dan tempat tinggalku?" tanyaku sedikit takut. "Aku mengetahuinya karena kau yang memberitahuku, Olivia." "Aku tidak pernah ingat pernah memberitahu informasi pribadiku pada orang asing sepertimu!" "Percayalah, kau akan mengingatnya sebentar lagi." "Apa yang harus kulakukan pada mayat-mayat keluargaku ini? Aku tak kuat melihatnya!" "Biar kubantu, aku bisa menghanguskan mereka dengan jentikan jari agar kau tak perlu repot-repot mengangkut mereka ke pemakaman, Olivia." "Me-Menghanguskan mereka, kau bilang?" "Aku akan menghargainya jika kau menyetujui usulanku, Olivia." "Tidak! Aku tidak mengizinkanmu! Berhenti membuat mereka tersiksa lebih dari ini, Kakek Gila!" "Kau belum tahu namaku rupanya, baiklah, ingat ini, namaku adalah Roselied, aku seorang iblis dari Neraka yang datang ke Bumi karena perintah Tuhan." "Pe-Perintah Tuhan kau bilang!?" "Betul, aku ditugaskan untuk menjadi gurumu." "Guru!? Apa maksudmu!" "Aku akan mengajarimu berbagai hal tentang bejadnya kebiasaan manusia dalam hidup. Ah, sebelum itu, aku akan mengajakmu ke suatu tempat." Olivia Glair. Itu namaku, seorang gadis berambut hitam panjang berkacamata yang hidupnya selalu diliputi kesedihan. Yep, itulah aku. Banyak sekali hal yang ingin kuceritakan pada semua orang, tentang hal-hal yang membuatku sedih, tentang hal hal yang membuatku sakit. Tapi apalah daya, untuk bicara saja, aku tak mampu. Bukannya bisu atau gagu, aku hanya kaku jika berbicara. Mungkin dari sekian manusia di dunia ini, yang selalu siap mendengarkan omonganku yang kaku hanyalah mereka, keluarga kecilku, yang beranggotakan mama, papa, dan kakak perempuanku. Mereka selalu siap mendengarkan keluh kesahku tiap aku menghadapi berbagai masalah dalam kehidupan. Papa yang selalu memberikan nasihat padaku, mama yang selalu menenangkanku, dan kakak perempuanku yang selalu mendukungku, itulah kebahagiaan kecilku yang kudapat jika pulang ke rumah, di saat manusia-manusia di luar menyudutkanku. Aku senang dan bersyukur bisa hidup di tengah-tengah mereka, atau lebih tepatnya, aku bahagia, sangat bahagia bisa terlahir di antara mereka. Aku selalu menginginkan hari-hari di mana kami selalu berkumpul di halaman rumah, membahas sesuatu yang ringan hingga tertawa terbahak-bahak, melupakan segala sesuatu yang menyesakkan. Makanya, jika hari libur sekolah tiba, aku selalu menikmatinya di tiap-tiap harinya dan jika guruku menyuruhku untuk membuat pengalaman di hari libur, maka akulah satu-satunya murid yang menulis cerita hingga berhalam-halaman membahas kisah liburanku yang menyenangkan. Namun, itu kemarin. Sekarang, yang kulihat adalah gumpalan mayat mereka yang terbujur kaku di lantai rumah, tepat di hadapanku, mereka seperti bangkai tikus yang ditumpuk-tumpuk untuk dilenyapkan. Aku kaget, tak bisa berkata apa-apa. Seingatku, di jam delapan malam ini, aku izin pergi untuk membeli makanan ke supermarket pada keluargaku dan mereka mengingatkanku untuk tidak pulang terlalu larut. Aku menepatinya. Hanya dua puluh menit, dan setelah sampai di rumahku, aku terkejut. Lampu-lampu rumah tiba-tiba padam dan pintu depan terbuka begitu saja, lantas, ketika aku masuk, pemandangan mengerikan ini langsung tersaksikan secara langsung. Walau situasinya sedang gelap gulita, tapi aku bisa tahu kalau ada darah dimana-mana, berceceran hingga ke dinding dan atap, seperti ada yang menebas mereka menggunakan kapak atau pedang, tapi, tubuh mereka tidak terpotong-potong, itu artinya, bukan ditebas oleh pedang ataupun kapak. Aroma darah menyeruak ke dalam hidungku, membuatku sedikit mual ingin muntah, dan suara decitan kaki seseorang yang berjalan semakin memdekat membuatku waspada, karena aku yakin, pembunuh keluargaku masih hidup di rumah ini. Dia masih berada di sekitarku. Aku tidak mau menjadi korban berikutnya, apa aku harus lari meninggalkan mama, papa, dan kakak untuk menyelamatkan hidupku? Atau tetap tinggal di sini, menghadapi pembunuh gila untuk melindungi mama, papa, dan kakak? Aku bingung. Benar benar bingung. Untuk mengambil keputusan saja aku tidak bisa. Seluruh tubuhku bergetar, hawa dingin menggelitiki kulitku dengan kengerian. Udara di rumahku menjadi sangat dingin, mungkin penyebabnya karena kehadiran sang pembunuh. Dan tibalah, sebuah bayangan seseorang yang sedang berdiri selangkah lebih jauh dariku, jika dilihat dari sini, dia seorang pria yang mengenakan pakaian ketat, ah tidak, itu pasti setelan jas. Lalu, cahaya bulan mulai masuk ke celah-celah, menyinari ruangan yang dihuni olehku, dan secara menyeluruh, akhirnya aku dapat melihat wujud sang pembunuh dengan lengkap, dari ujung rambut sampai ujung kaki, aku menyimpulkan kalau dia hanyalah seorang kakek-kakek. Tapi mengapa? Mengapa seorang kakek-kakek sepertinya membunuh keluargaku? Aku tak bisa mengakui ini semua. Dia juga tak terlihat membawa senjata apa pun, tapi mengapa! Mengapa ini semua bisa terjadi? "Kenapa," ucapku rapuh. "Kenapa kau membunuh mereka?" "Semua ini atas dasar cinta, Olivia." "Darimana kau tahu namaku dan tempat tinggalku?" tanyaku sedikit takut. "Aku mengetahuinya karena kau yang memberitahuku, Olivia." "Aku tidak pernah ingat pernah memberitahu informasi pribadiku pada orang asing sepertimu!" "Percayalah, kau akan mengingatnya sebentar lagi." "Apa yang harus kulakukan pada mayat-mayat keluargaku ini? Aku tak kuat melihatnya!" "Biar kubantu, aku bisa menghanguskan mereka dengan jentikan jari agar kau tak perlu repot-repot mengangkut mereka ke pemakaman, Olivia." "Me-Menghanguskan mereka, kau bilang?" "Aku akan menghargainya jika kau menyetujui usulanku, Olivia." "Tidak! Aku tidak mengizinkanmu! Berhenti membuat mereka tersiksa lebih dari ini, Kakek Gila!" "Kau belum tahu namaku rupanya, baiklah, ingat ini, namaku adalah Roselied, aku seorang iblis dari Neraka yang datang ke Bumi karena perintah Tuhan." "Pe-Perintah Tuhan kau bilang!?" "Betul, aku ditugaskan untuk menjadi gurumu." "Guru!? Apa maksudmu!" "Aku akan mengajarimu berbagai hal tentang bejadnya kebiasaan manusia dalam hidup. Ah, sebelum itu, aku akan mengajakmu ke suatu tempat." Aku tercekat seketika, ini sama sekali tidak terpikirkan olehku, dia, dengan santainya, mengatakan kalau dia sudah mengenalku dan merupakan iblis dari Neraka yang ditugaskan untuk menjadi guruku? Konyol sekali. Bahkan, aku tidak bisa tertawa mendengar ucapan santai dari kakek b******k itu. Dia, setelah kulihat-lihat, tidak ada rasa bersalahnya sama sekali telah menghabisi nyawa anggota keluargaku! Sebaliknya, Kakek Roselied ini malah mengajakku ke suatu tempat dengan wajah tenangnya. Sudah cukup, hentikan omong kosong ini. Aku sudah tak tahan lagi! "Aku tidak mengerti apa yang kau katakan, tapi dari sudut pandangku, kau adalah seorang b******n!" Aku langsung meraba-raba meja hiasan yang berada tepat di samping tempat berdiriku, dan ketemu, aku menemukan benda-benda hiasan yang terbuat dari batu. Langsung saja kupegang dan kuraih benda itu dan kulemparkan ke arah Kakek sialan itu. BRUK! Dia berhasil menghindarinya, yang membuat dinding di belakangnya terkotori oleh hiasan batu yang terpecah belah. Masih belum, aku harus bisa membuatnya merasakan bagaimana rasa sakit ketika dibunuh oleh orang lain. Kakek itu harus menanggung balasannya. "Tenanglah, Olivia--" "BERISIK KAU, KAKEK SIALAN!" Teriakanku memecahkan keheningan di rumah ini dan sempat memotong ucapannya, aku sudah tak bisa mengontrol emosiku dengan baik, semuanya sudah keluar, dan ini sudah terlanjur sakit. Karena itulah, mulai detik ini, Aku akan membunuhnya. Mataku melotot dengan sempurna, gigiku bergemeretak saling tindih, dan pernapasanku mulai kembang kepis tak karuan, keringatku bercucuran, membasahi pakaian yang kukenakan, dan air mataku pun ikut jatuh ke lantai, mengalir dan menyatu dengan darah dari keluargaku di lantai yang dingin itu. Sekarang, di meja hiasan, masih terdapat hiasan-hiasan yang terbuat dari batu, tapi aku pikir, menyerangnya dengan benda dan cara yang sama hanya akan membuatnya bosan. Jadi, terpaksa, aku akan menyerangnya menggunakan tongkat bisbol papa yang menggantung di dinding. Setelah kuambil tongkat itu, ternyata berat sekali, tapi tidak apa-apa, walau berat, setidaknya, benda ini bisa digunakan untuk menghabisi kakek gila itu sampai mati! "Olivia Glair," tiba-tiba Kakek gila itu berkata, "aku tidak keberatan dengan sikapmu yang hendak membunuhku, tapi biar kuberitahu kau satu hal, aku ini abadi." "A-Abadi," Aku tergopoh-gopoh membawa tongkat bisbol itu sambil kaki berjalan mendekati kakek itu dengan pelan. "Lalu, memangnya kenapa?" "Tentu saja aku tidak bisa mati, Olivia." "Jika belum dicoba," Setelah kami sudah mulai berdekatan, aku langsung meloncat dan tanganku kuangkat tinggi-tinggi hendak menghantamkan pemukul bisbol ini pada kepalanya. "Kita tidak tahu, kan?" BUCRAT!!!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD