Bab 8 Renggang

1566 Words
Satu persatu pakaian yang berada di atas ranjang, Mario masukkan ke dalam koper yang terbuka lebar. Terlihat begitu terburu-buru sampai membuat Hanna yang melihatnya kebingungan, mereka kini telah berada di hotel tempat menginap. "Ada apa, Mario? Kenapa kau membereskan pakaianku?" tanya Hanna. "Kita akan check out hari ini," jawab Mario tanpa menoleh. Hanna mengernyit. "Check out? Mario, kau sadar dengan perkataan mu? Kita masih memiliki satu hari menginap, ada apa denganmu sebenarnya?" Mario tak menyahut, hal itu membuat Hanna tak tahan lagi dan memutuskan untuk mendekat. Menarik tangan Mario untuk menjauh dari kopernya, dan membawa pria itu untuk menghadap ke arahnya. "Apa mengenai masalah tuan Sakha? Kita masih bisa membicarakan ini dengan yang bersangkutan, 'kan? Mario, melarikan diri hanya akan membuat masalah semakin besar." Mario tampak membuang muka, pria itu mendengus. "Aku tidak melarikan diri," ucapnya. "Dengar, Daisy. Sejak awal, pria itu sengaja mengimingi kita dengan fee yang lumayan besar. Lalu kini dia bertingkah seolah dia yang paling mengenalmu, aku harus apa?! Andai saja sejak awal kau memberitahuku tentang keanehan dari marga pria itu, kita tidak akan berada di posisi sulit ini." Hanna menatap Mario tak percaya. "Apa? Apa saat ini kau sedang menyalahkan ku? Mario, ini semua tidak akan terjadi jika saja kau tidak bersikap egois." "Kau ingat siapa yang pertama kali begitu antusias membujukku tentang kerja sama ini? Itu kau, Mario." "Kau tidak pernah mau mendengarkanku!" sentak Hanna Napas perempuan itu terengah-engah, wajahnya menampakkan gurat kekecewaan dan amarah yang selama ini dirinya tahan. Mario dan Hanna sama-sama bungkam dengan pikiran yang berkecamuk, mereka memilih untuk saling memalingkan wajah. Mario memejamkan mata, berusaha menenangkan napasnya yang memburu. Matanya kembali terbuka, dia menunduk memandang hampa lantai kamar. "Aku akan pergi," ucap Mario. Hanna menoleh cepat, ia mengernyit dan terlihat sedikit panik. "Ke mana? Jangan katakan kau akan meninggalkan aku sendirian, tidak, 'kan?" "Aku rasa kita perlu mendinginkan kepala kita masing-masing, jangan khawatir, aku tidak akan lari. Aku hanya perlu udara segar," tukas Mario sebelum melangkah pergi meninggalkan Hanna dalam seribu tanda tanya di benaknya. Hanna jatuh terduduk, ia memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. Mario meninggalkannya, dan Hanna tidak bisa mencegah karena dirinya pun tidak tahu harus melakukan apa. Ia juga kecewa, entah kepada Mario maupun dirinya sendiri. Hanya saja Hanna berusaha menahannya, tetapi akhirnya lepas juga. Kepala Hanna semakin berdenyut nyeri ketika faktor masalah itu kembali muncul, pikirannya seolah hanya terisi tentang kontrak kerja sama. Mungkin Hanna harus menemui Bara dan berbicara dengan baik-baik, apa perlu ia mengemis agar pria itu luluh. Hanna menggeleng keras, akan sangat memalukan bila hal itu terjadi. Terlebih baik Bara maupun dirinya, bukanlah lagi di masa lalu, semuanya berubah begitu pun dengan manusia. Hanna melirik pada ponsel yang berada di atas ranjang, tepat di samping koper yang belum dirapikan. Bergegas ia mencari kontak dengan nama Mario, dan mulai menghubungi. Namun, hingga dering terakhir pun panggilannya tidak jawab. Kembali Hanna mengulangi, tetapi kali ini justru ponsel Mario tidak aktif. Hanna mendesah lelah, apa mungkin Mario sengaja menghindar. Ia menunduk, Hanna berharap tidak. Mungkin dirinya terlalu bergantung pada Mario sejak lima tahun lalu, tetapi pria itu satu-satunya orang yang berada di sampingnya ketika Hanna berada di titik terpuruk dalam hidupnya. Hanna bersandar disisi ranjang, kemudian mendongak dan membiarkan kepalanya menyentuh ranjang. Ingatannya melayang pada awal pertemuannya dengan Mario, pria itulah satu-satunya orang yang mengulurkan tangan kepadanya. Di saat Hanna merasa begitu jatuh dan seorang diri, Mario datang dan memberikannya kata-kata penenang. Gangguan kecemasan yang sering kali muncul, membuat Hanna tidak memercayai siapa pun kecuali Mario. Meskipun terkadang, pria itu tak bisa lepas dari kebiasaannya sebelum bertemu Hanna, bermain dengan wanita. Bunyi bel pintu menyadarkan Hanna dari lamunan, ia terdiam beberapa saat dan bergegas berdiri saat bel kembali berbunyi. Langkahnya begitu tergesa-gesa, dengan bibir yang tak tahan mengulas senyum penuh harap. "Mario, kau ....!" Kalimat Hanna tertelan kembali, senyum di bibirnya luntur bersamaan dengan mata yang membulat. Pintu terbuka dan memperlihatkan sosok yang menjadi alasan utama pertengkarannya dengan Mario, Bara. "Tuan Sakha?" lirih Hanna yang tanpa sadar mundur selangkah. Ya, bukan Mario, melainkan Bara yang telah berpakaian rapi dan berdiri di depan pintu seraya tersenyum. "Selamat pagi, apakah kau tengah menunggu seseorang? Maaf mengecewakanmu, tapi bisakah kita bicara?" tanya Bara. Hanna rasa ini kesempatannya, ia mengangguk cepat membuat senyum di bibir Bara melebar. "Tuan Sakha, mengenai kontrak itu. Saya rasa ..." "Kita bisa membicarakan itu setelah sarapan, 'kan?" sela Bara. Hanna menahan napas, merasa terjebak dengan pilihan yang dibuat dirinya sendiri. Ia bergerak gelisah, sesekali melirik ke belakang. "Ah, kau bisa mengajak manajer mu juga." Bara kembali berbicara, Hanna melirik sekilas. "Saya akan bersiap," putusnya. • Napasnya tidak beraturan, Hanna menyentuh d**a kirinya yang kini berdebar tak karuan. Debaran itu masih ada, bahkan terasa semakin jelas ketika Bara ada di depannya. Hanna menelan ludahnya kasar, tenggorokannya tercekat seolah semua kalimat penolakan tertelan kembali. Semburat merah yang muncul dan menjalar di sepanjang wajah, membuat Hanna menunduk. Ia hampir saja tersenyum, jika saja tidak mengingat wajah Mario. Hanna menggeleng, debaran itu hilang seiring dengan munculnya ingatan beberapa menit lalu. Setelah ini, ia harap Mario mengerti. Karena Hanna tidak yakin, pria itu mampu menyelesaikan masalah ini sendiri. Sajian berupa, roti panggang dengan olesan butter, telur ceplok, sosis, jamur kancing, daging asap, tomat panggang, dan kacang yang dimasak dengan saus tomat. Kini tersaji lengkap di depannya, Hanna meneguk liurnya sendiri. English breakfast yang disajikan pihak hotel itu memang terlihat sangat menggiurkan, tetapi Hanna sudah terbiasa menikmatinya selama di Inggris. Sarapan kali ini, Bara sendirilah yang memesannya. Pandangan Hanna beralih pada pesanan pria itu, terlihat sangat menggiurkan berupa nasi uduk dengan tambahan kentang kriuk, dan telur dadar yang telah di potong-potong panjang. Juga daging rendang yang malah menambah gemuruh di dalam perutnya. "Silakan di makan, bila ada yang tidak sesuai, katakanlah. Aku akan berbicara kepada pihak hotelnya," ucap Bara. Pria itu mulai mengambil sesendok nasi, dan menyuapkannya ke dalam mulut. Hanna tanpa sadar memperhatikan, saat daging sapi yang telah diolah dengan berbagai rempah itu ikut masuk ke mulut Bara. Kini Hanna melirik pada sarapannya sendiri, ia ingin menghela napas andai saja tidak ingat bahwa dirinya sedang di depan makanan. Tak ingin terus memperhatikan, Hanna ikut memakan sarapannya. Namun, baru beberapa kali suapan, Hanna diam-diam melirik ke arah Bara. Perlakuan pria itu jelas sangat aneh, mereka kini bagai orang asing, tetapi tingkah Bara malah membuatnya hampir salah paham. "Tuan Sakha, mengenai kontrak kerja sama kita. Saya rasa ..." "Ah, mengenai itu. Setelah makan siang, datanglah ke kantor. Saya akan menjelaskan semuanya di sana," potong Bara. Perkataan Bara berhasil membuat Hanna bungkam, lagi-lagi kalimat yang telah ia siapkan tertelan di tenggorokan. Pergi. Rasanya Hanna ingin segera pergi dari sini, suapan besar dirinya lakukan guna mempercepat makannya. Bara melirik Hanna, dia dapat merasakan perutnya yang bergejolak. Dirinya hampir saja meringis, tetapi makanan yang tersisa sedikit membuatnya bernapas lega. Ponsel yang sengaja diletakkannya di atas meja, terus berdering dan menampilkan nama kontak yang sama. Bara menoleh ke arah pintu masuk menuju restoran hotel tempatnya berada kini, seorang pria tampak berdiri di sana dengan ponsel di telinga. Bara mengernyit, mencoba mengerti gerakan tangan pria itu. Ponselnya bergetar, sebuah pesan muncul dengan pengirim yang sama. Setelah membaca isi pesannya, Bara mendengus dan memutuskan untuk membalikkan ponsel yang dirasa sudah menganggu itu. Bara kembali melanjutkan makannya, mengabaikan gerakan kesal seseorang di ambang pintu masuk. • "Inilah akibatnya jika kau mengabaikan panggilanku," ejek Sam. Pria itu tampak fokus menyetir, sesekali melirik ke arah kursi belakang di mana Bara duduk meringkuk sembari memegangi perut. Terdengar suara meringis yang membuat Sam rasanya ingin sekali tertawa. "Lagi pula, kenapa kau malah mengajak perempuan itu untuk sarapan? Hari ini kau sudah sarapan dua kali, dasar payah!" Bara berdecak, disela rasa sakit di perutnya, ocehan Sam malah menambah pening kepalanya. "Sekali lagi kau mengatakan omong kosong, aku akan menendangmu keluar dari sini." Sam tertawa kecil, kemudian menghentikan mobil di pinggir jalan. Dia menoleh ke belakang, diperhatikannya wajah Bara yang sedikit pucat dan keringat yang membasahi wajah. Ah, Sam merasa sedikit kasihan sekarang. "Lain kali, aku akan ajarkan cara mendekati seorang perempuan yang baik dan benar. Bukan seperti ini, dasar payah." Bara hampir saja menyemburkan sumpah serapah kepada Sam, andai pria itu tidak bergerak cepat keluar dari mobil. Begah dan kembung, sesekali rasa perih membuatnya hampir muntah. Bara menyandarkan punggungnya di sana, dia memandang ke arah luar. Tanpa sadar bibirnya mengulas senyum, saat pikirannya melayang pada kejadian setengah jam yang lalu. Tidak ada yang berubah, baginya Hanna tetap tampak sama. Meski kini dirinya sedikit terlambat, tetapi Bara yakin semua akan kembali seperti semula. Dering ponsel menyadarkannya, Bara mengeluarkan benda persegi panjang itu dengan malas. Namun, nama sang mama yang terpampang di layar ponsel membuatnya bergegas duduk dengan posisi tegak. "Cepat datang ke kantor sekarang!" Belum sempat Bara mengeluarkan suara, panggilan diakhiri secara sepihak. Dia sedikit meringis merasakan telinganya berdenging, ada yang tidak beres. Jari jemari Bara bergerak lincah di atas layar ponsel, mengetikkan beberapa kata dan mengirimnya. Namun, sampai beberapa detik berlalu, pesannya tidak ada balasan. Sebuah plastik putih terlempar dan jatuh di pangkuannya, Bara melirik bingung dan menoleh pada orang yang melakukannya. "Apa ini?" tanyanya. "Obat, karena kau tidak mau ke rumah sakit. Minum itu," balas Sam sembari menyalakan mesin mobil. Bara menoleh ke arah luar kaca, mobil berhenti tepat di depan apotek. "Aku akan antar ke apartemen mu," kata Sam. "Tidak, kita kembali ke kantor." Sam menghela napas mendengar jawaban Bara, mau tak mau dia mengikuti apa yang pria itu katakan. Sesekali melirik ke belakang melalui kaca spion, Bara tidak berubah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD