My Priority

1083 Words
Langkah Mentari semakin pendek. Sekitar dua meter dari tempatnya berdiri ada sebuah ruangan begitu sunyi. Di atas ruangan itu terdapat papan bertuliskan kamar jenazah. Dengan ragu dia sampai juga di depan ambang pintu. Hawa dingin menusuk ke hidung. Tari tahu semua itu adalah tanda jika tidak ada lagi kehidupan di dalam sini. Dia memperhatikan sebuah brankar dengan kain putih menjuntai. Terlihat masih baru dipakai. "Papa..!" Suara Tari semakin lirih sedang Langit terus di belakangnya. Dia juga tidak tahu apa yang mesti dia lakukan untuk Tari. Andai saja dia mampu menyisihkan sedikit kesedihan. Maka, akan Langit lakukan. Tari tidak langsung membuka kain putih itu. Dipandanginya dulu. Mungkin gadis itu sedang mengenang tentang dia dan ayahnya. Kapan terakhir kali mereka bersenda gurau. Dan apakah dia sudah menjadi anak gadis yang manis bagi ayahnya. “Pa.., papa, bangun, Pa.” Tangis Tari pecah sesaat membuka tabir yang menutupi ayahnya. Beliau harus gugur di medan perang. Meski Mentari sangat jarang bertemu dengan Gunawan. Tetapi dia sangat-sangat mencintai pria itu. Hanya Papa'nya lah keluarga yang Mentari miliki satu-satunya setelah sang ibu meninggal sekitar tujuh tahun yang lalu. “Papa.., Papa gak bisa ninggalin aku kayak gini, Pa. Papa bangun.” Dia menggoncangkan tubuh kaku Gunawan yang diletakkan di kamar jenazah. Tangannya perlahan menyentuh luka tembak yang terdapat di bagian atas tubuh Gunawan, hatinya remuk redam ketika memperkirakan inilah penyebab ayahnya meregang nyawa di tanah orang. Kini, setelah Panglima tersebut terbujur dingin tak ada lagi pelindung bagi Tari. Dia menunduk terus menyanyikan alunan pilu yang keluar dari sudut bibirnya. Seandainya Tari bisa memutar waktu dan meminta sang ayah untuk tinggal saja bersamanya. Atau seandainya dia diberi waktu satu detik saja untuk mengucapkan kata betapa dia menyayangi ayahnya. Maka Tari rela mempertaruhkan seluruh hal yang dia punya. Tapi sayang.., apa yang telah berlalu tidak mungkin kembali. Kata penyesalan, hanya akan menambah derita tanpa pernah menemui titiknya. "Tar.., udah, Tar.” Baru kali ini Langit melihat Tari histeris. Adik kesayangannya yang biasa selalu ceria itu kini lenyap dan tidak terlihat di mana-mana. Wajah Langit juga sama kuyuhnya. Waktu dia tinggalkan ayahnya Langit masih begitu kecil jadi dia tidak begitu paham. Namun, dia jadi menerawang perasaan gamang yang tercipta dikala sang ayah pergi selamanya. Langit tidak bisa menghibur dengan kata apapun. Dia tidak menemukan hal tepat yang bisa dia lakukan untuk Tari. Langit putus asa. Dia marah, sedih dan kecewa meski tidak tahu kepada siapa. Kepalan di tangannya menunjukkan jika dia benar-benar terluka. Dua orang petugas menunggu keluarga jenazah rapi memeriksa. Langit memperhatikan sehingga dia berinsiatif melerai Tari dari dekapannya kepada ayahnya. Langit menarik lengan Tari, pemuda itu mau membangunkan Tari karena sebentar lagi jenazah Gunawan mau dimandikan. Tapi Tari menolak, dia menghempaskan tangan Langit. "Jangan sentuh gue, Lang! Jangan pisahin gue sama Papa. Papa...” Langit pun sangat sedih. Tak pernah dia melihat Tari sehancur ini. Tari yang dia kenal adalah gadis mandiri. Ditinggal sendiri untuk jangka waktu yang lama membuat Tari jadi gadis periang. Begitu pun Langit, sejak dulu dia sudah memposisikan diri sebagai pelindung. Pelindung ibu dan Tari. Mentari yang seorang anak tunggal apalagi ditinggal sosok ibu menjadi pribadi yang sedikit tertutup dan kaku. Hanya kepada Langit, Tari menunjukkan keceriaannya sebagai gadis remaja pada umumnya. Langit membeku di tempatnya. Berkali-kali dia mengacak wajahnya sendiri. Air mata seakan terus menutupi penglihatannya, Menjadikan matanya berkabut kepedihan. Dia berusaha tegar untuk Tari. Sayang.., kehilangan Gunawan, sosok kebanggannnya, juga membuat Langit kehilangan kompas hidup. Untuk meredam rasanya, Langit menumpuhkan dirinya di lutut kaki, dia menarik, membalikkan tubuh Tari agar menghadapnya dan memeluk adik angkatnya itu erat. “Tar, lo kuat,” rancaunya disela isak tangis yang keluar dari bibir keduanya. Tangan besar Langit mengacak rambut belakang Tari. Pelan, Tari membalas pelukkan Langit. Ini pertama kalinya Langit benar-benar mendekapnya. Meski mereka sudah lama bersahabat tetapi mereka selalu mencoba menjaga batasan. Tari jadi tahu, betapa nyamannya berada dipelukkan lelaki atau karena lelaki itu Langit, seseorang yang menemaninya baik suka dan duka. Orang yang terlihat tidak peduli namun sangat peduli padanya. Dekapan mereka semakin erat sampai salah satu petugas menarik brankas berisikan jenazah Gunawan. “Pa... Papa aku mau dibawa kemana?” Tari panik kembali. Dia berusaha keluar dari pelukkan Langit. “Tar.., cukup Tar, Ikhlasin! Lo pasti bisa,” tekan Langit. *** Siang hari, Setelah jenazah dimandikan. Kini pemakaman secara negara dilangsungkan. Penghormatan terakhir diberikan kepada pahlawan yang gugur di medan perbatasan itu. Sedang Tari, hanya menatap acara dengan pandangan yang kosong. Sejak mengetahui kepergian ayahnya sampai detik ini pun dia tidak makan sama sekali. Mungkin Tari berniat menyusul kedua orangtuanya, entahlah... Yang pasti Langit tak akan pernah membiarkan itu terjadi. Dia tidak bisa ditinggal Tari. Langit tanpa Mentari tidak akan ada artinya. “Tar.., Lo makan dong. Nyokap udah buatin roti nih!” dia menunjukkan roti Milo buatan sang ibu di tangannya, kebetulan itu roti kesukaan Tari. Tari tetap tidak bergeming, melirik ke rotinya saja tidak. “Gue suapinnya?” Tari hanya menggeleng lemah. “Lo harus makan, Tar!” Langit nampak kesal. Tapi Tari tak jua mau membalas. Dia bagaikan mayat hidup dan Langit benci melihatnya “Gue tau Lo sedih. Tapi Lo harus bangkit demi bokap Lo. Dia pasti sedih banget ngliat Lo jadi kayak gini." Langit menggoyangkan tubuh Tari, Tari sedikit memberikan reaksinya. Tatapan mereka saling bersiborok. “Gue udah gak punya siapa-siapa lagi, Lang,” lirihnya sambil menggeleng. Tangan besar Langit menangkup wajah Tari. “Kata siapa? Lo punya gue. Punya nyokap, nyokap gue, nyokap Lo juga. Dan gue akan selalu ada untuk Lo!” janji Langit. Tari menatap mata Langit. Dia ingin percaya. Tari mau bersandar pada Langit. Tari langsung memeluk Langit. Pemuda yang tidak siap dengan gerakkan refleks jadi membelalakan mata. Namun, sebentar saja Langit membalas dekapan Tari Semenjak itu Tari menjadi lebih manja dengan Langit. Dia tidak mau sedikit pun Langit menjauh darinya. Beruntung Langit memahami perasaan Mentari. *** Sudah beberapa hari hubungan percintaannya dengan Sandra merenggang, namun Langit tidak mempersoalkan. Puncaknya, Sandra merasa Langit jadi berubah akhir-akhir ini. Dia mengajak Langit ketemuan untuk membicarakan hubungan mereka. Sandra terlihat kusut. Dia tidak bisa menerima alasan Langit terus menolak ajakannya untuk ketemuan. "Lang, maksud kamu apa. Kita udah tiga minggu gak jalan. Masa lusa kamu batalin juga janji kita?!" Sandra emosi. Sayangnya Langit terlihat tidak peduli. Dia memasukkan tangan ke kantong celana. "Yah, gue gak bisa." Langit mengulang alibinya. Sandra yang meradang jadi mendorong Langit. "Karena adik kamu itu, anak tetangga kamu yang manja dan gak punya hubungan apa-apa sama kamu?!" Sandra sudah tahu jika Mentari tidak ada hubungan darah dengan kekasihnya dan itu makin membuat hatinya bernas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD