Desire

1027 Words
"Lebih baik kita putus, Lang. Aku gak bisa pacaran sama cowok yang jauh lebih peduli sama cewek lain ketimbang ke pacarnya," ucap Sandra sambil melengos. Dia berharap Langit menyadari betapa sakit hatinya saat tau, Mentari bukanlah adiknya. Bermula dari Langit yang keceplosan mengatakan dirinya anak tunggal, dan akhirnya 'rahasia' Langit pun terbongkar. "Ya udah!" "Apa, Lang?" Sandra tidak menyangka seenteng itu kalimat ke luar dari mulut Langit. "Yaa, kalo Lo mau kita putus. Gue gak keberatan, kok!" tambah Langit dengan wajah datar dan langsung berubah sinis. Lagipula saat ini dia kehilangan minat untuk berpacaran. Di benaknya cuma memikirkan nasib Tari dan gimana caranya membuat adik kesayangannya itu segera tertawa lagi. Sandra menghentakkan kaki dan mengibasi rambut panjangnya. Ditemani deraian airmata yang tidak akan pernah Langit tepis dengan tangannya. Karena nyatanya, Langit hampir tidak pernah memperdulikannya. Sandra pergi dengan kekecewaan mendalam. Tidak pernah gadis itu menyangka, mengenal Langit bisa meninggalkan luka seperih ini. * Tapi semua tidak berlaku untuk Langit. Setelah ditinggal Sandra, dia malah bergegas ke penjajah makanan kesukaan Mentari. Kue odeng dan cakwe adalah kudapan favorit Tari di pagi hari. "Bang, tambah donatnya juga,ya." "Baik, Mas. Pake gulanya sekalian?!" Langit berfikir. Tiba-tiba dia ada ide. "Boleh deh, Bang. Tapi dipisah,ya!" Langit kembali melaju dengan mobilnya. Dia bersiul sesekali menyinggulkan senyum seolah dia bukan orang yang sama dengan pria yang baru saja diputuskan pacarnya. Tapi memang inilah Langit. Jujur, ada perasaan sayang karena hubungan yang lebih dari sebulan dibangun kandas begitu saja. Bukan hal mudah untuk Langit mendapatkan hati Sandra. Tapi, saat itu terjadi. Dia seakan kehilangan selera. Bahkan tidak tau mengapa waktu itu menyatakan cinta pada Sandra. Jelas-jelas saat Langit menembaknya. Perasaan cowok itu juga masih bimbang. Langit sadari bukan Sandra yang hatinya tuju. Bukan dia yang ada dalam mimpi Langit waktu itu. Dan karenanya, Langit semakin kecewa saja. 'Apa gue harus stop pacaran dulu,ya?' Sebuah wacana terpatri di benaknya. * "Assalamuaikum, Tar.. Tar..." Rumah Tari sangat gelap. Gadis itu tidak menyalahkan satu pun lampu. Meski saat ini masih jam delapan pagi. Tapi karena cuaca mendung, jadi matahari juga tidak mampu menembus rumah itu. Bahkan rasanya matahari juga tidak bisa menyinari seorang gadis yang terpuruk dalam kesedihan. 'Kenapa mentari pagi sama kayak Lo, Tar. Gak bersinar seperti biasanya,' monolog Langit. Lanjut masuk kamar Tari. Dia cukup lega karena Tari tidak menutup pintunya. "Tar, Gue bawain kue odeng kesukaan Lo nih. Enak tauk dimakan pas ujan-ujan gini. Yuk makan sama Gue!" Tapi Tari hanya diam saja. Dia cuma duduk di tengah kasur sembari melipat kakinya dan menjatuhkan kepala di lutut. "Tar...!" Langit segera duduk di samping Tari. Dia mengusap peluh bercampur air mata di pipi Tari. Entah sudah berapa lama anak ini jadi seperti ini. Tari pun tidak berkutik waktu Langit menyentuh wajahnya. Perasaan Langit jadi semakin tidak karuan. Dari matanya bisa terlihat, kalau dia begitu sedih dengan keadaan Tari. "Tar, please jangan kayak gini..." lirih Langit. Tari mendongak, tapi tatapannya kosong. "Gue gak punya siapa-siapa lagi, Lang!" cicitnya. Hanya itu yang dia katakan sejak pertama ayahnya dinyatakan meninggal. Dan puas juga Langit menyakininya jika Langit akan terus bersama Mentari. Seharusnya malam menggantikan posisi mentari menjadi bulan di sisi langit. Namun, bagi Langit Prasetya, hanya Arsila Mentari yang dia inginkan. Langit menggeleng cepat. Dia menangkup pipi Tari diantara telapaknya. "Lihat Gue! Lo punya Gue. Gue gak akan kemana-mana, Tar!" katanya sedikit geram. Sudah beberapa minggu ini Tari tidak sekolah dan dia hanya menghabiskan harinya seperti ini. Entah kapan terakhir kali dia makan. Semua makanan yang disediakan untuknya sering kali tidak Tari sentuh. Langit akui, Tari punya sifat keras kepala yang sulit dicairkan. Jika dia bilang gak mau makan. Maka itulah yang terjadi. Tapi tidak dengan hari ini. Langit pastikan Tari akan memulai babak baru hidupnya. Airmata Tari kembali berderai. Begitu cepat jatuh begitu saja. Wajahnya sudah memerah ditambah raut kelelahan karena terlalu banyak menangis. Tak kuasa, Langit langsung membawa Tari ke dalam pelukannya... . Kembali Tari menangis terguguh. Dia tidak menahan sesak di dadanya jika itu di samping Langit. "Menangislah, Nangis yang keras Tar. Tapi habis ini Lo janji sama Gue. Lo harus lebih kuat. Lo gak bisa gini terus. Bokap Lo pasti gak suka ngeliatnya!" Tari mengikuti titah Langit. Dia semakin menangis keras. Suaranya, kepiluan hati tidak dia tahan. Nyanyian kerinduan dibalut penyesalan tersiar begitu memilukan indera pendengaran. Langit ikut menangis sejadinya. Hampir setengah jam mereka seperti itu. Sampai Tari terlihat lemas karena dirinya sudah lama tidak makan. Jadi, Langit merebahkan tubuh Tari. Sayangnya, Tari mencengkram kaosnya. Mau tak mau, Langit tidur di samping Tari. "Tidur yang nyaman, Tar." Langit membubuhkan kecupan ke puncak kepala Tari. Dia juga merasa mengantuk sekali. * Tidak ada yang tau, dua orang beranjak dewasa beda jenis kelamin itu tidur bersama. Bahkan kaki Mentari naik ke paha Langit. Dia baru bisa tidur nyenyak saat Langit di sampingnya. "Eegghh!" Langit melenguh. Dia melihat keluar jendela. Ternyata hujan semakin deras. Jika dia memaksa pulang. Yang ada, tubuhnya basah semua meski rumah mereka hanya bersebelahan. Lagian, Tari sepertinya masih sangat membutuhkannya. 'Masih jam sepuluh!' benak Langit. Mungkin mamanya tidak akan mencarinya. Karena yang mamanya tau, Langit mau ke kampus. Tatapannya beralih ke yang lain. Saat dia melihat cara mereka tidur. Ada semberaut merah di pipi Langit. Buru-buru dia menampik, bukankah tidak bermoral berdebar dengan adik sendiri. Yah, meski nyatanya Tari bukanlah adiknya. Mereka tidak punya hubungan darah setetes pun. "Astaga Tar, Tar... Lo kok tidurnya gocan gini!" runtuk Langit berusaha menormalkan darah mudanya yang terlanjur naik. Dia merasa perasaannya seperti di mimpi kemarin. Tapi Langit tidak mau mengaitkan mimpi tersebut dengan Mentari. Dia sangat menghargai Mentari. Langit berusaha menurunkan kaki Tari di pahanya begitu dia bangun, Tari beringsut terlentang. Tatapan Langit jatuh tepat di dua buah d**a yang baru saja ranum itu. Langit akui. Itu tidak begitu besar. Tapi untuk kategori baru saja tumbuh, milik Tari cukup menggoda iman para lelaki. "Astagfirullah!" Langit cepat bangun. Dia menutupi badan Tari dengan selimut. "Ya ampun Gue mikir apa, sih. Itu Tari, Lang..." Langit mengomeli dirinya sendiri. Sepertinya, keinginan dia mau vakum dari pacaran dulu dia batalkan saja. Langit gak mau karena merasa 'kesepian' dia jadi melihat Mentari sebagai wanita. Tidak, selamanya hatinya tidak akan berubah. Langit akan terus menganggap Tari, adik kesayangannya dan tak lebih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD