"Apa kau sudah tidak waras, Nona?" tanya Edward tajam. Namun Liz sama sekali tidak takut walaupun taruhan omongannya adalah nyawa ibunya dan nyawanya sendiri. Bagi dirinya, pribadi raja yang baik adalah raja yang bersedia melihat kerajaannya sendiri dari sudut pandang rakyatnya.
Liz tetap menjaga kontak mata dengan Edward, begitu ajaran ibunya jika menghadapi bangsawan yang marah. Walaupun dia sendiri tidak tau ibunya belajar hal-hal seperti itu dari mana. "Maafkan saya, Yang Mulia. Tapi saya masih waras. Dan bukankah Anda seorang raja?"
Edward berjalan mondar-mandir di ruangan itu. "Tentu saja aku seorang raja. Bagaimana kau bisa meragukan kemampuanku?"
"Bukan meragukan kemampuan Anda, Yang Mulia. Saya sangat tahu bahwa Anda adalah raja yang baik dan bijaksana," terang Liz. "Tapi bukankah seorang raja adalah seseorang yang bertugas melindungi rakyat yang ada di wilayah kerajaannya? Bagaimana Anda bisa tahu permasalahan rakyat Anda sendiri jika tidak melihatnya langsung? Itu tujuan kedua alasan liburan Anda. "
Pemuda itu berhenti seketika dan langsung menoleh pada Liz, mencari keyakinan. "Kau benar. Aku ingat ayahku pernah mengajakku berkeliling ibukota sebagai rakyat biasa. Tapi, apa kau yakin rencana ini akan berhasil? Maksudku, ibuku pasti akan melarangnya. Dia agak mengekangku setelah ayah meninggal."
Dan juga setelah Calista meninggal, tambah Edward dalam hati.
"Kalau begitu Anda tak perlu memberitau ibu ratu," usul Liz yang disambut pelototan tajam Edward. "Atau mungkin saya bisa membicarakannya dengan ibu ratu. Yang Mulia tahu? Terkadang pembicaraan dengan sesama perempuan lebih efektif."
Edward pura-pura tidak mendengar. Dia masih mencoba memikirkan rencana itu dari sisi positif dan negatif. Sebagai raja dia harus bisa berpikir panjang dalam menentukan keputusan. Tangannya menelusuri setiap buku yang sudah disusun menurut abjad penulisnya.
Liz mengetuk-ketuk tumitnya di lantai dengan tidak sabar. Namun dia cukup sopan untuk tidak mengganggu pikiran rajanya. Untuk menunggu jawaban, gadis itu memutuskan untuk membaca buku yang tergeletak di meja di depannya.
"Jika Kita Punya Sedikit Waktu Tersisa. Kelihatannya menarik." gumam Liz. Tak lama kemudian dia sudah terhanyut dengan buku di tangannya dan tidak lagi memandangi punggung Edward.
"Nona, soal perkataanmu tadi—" ucapan Edward terputus melihat gadis yang menjadi lawan bicaranya malah asyik membaca. Edward hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Kenapa gadis itu selalu mengingatkannya pada Calista?
♚♚♚
"Jadi begitulah ceritanya...," Edward kecil mengakhiri ceritanya. Dia baru saja selesai menceritakan bagaimana bisa mendapat goresan luka dari tanaman Golden Brushwood yang beracun itu. Lista hanya duduk tegak, membaca buku yang berada di tangannya. "Lista, apa kau mendengarkanku?"
"Eh-em," gumam Lista acuh tak acuh. Edward tidak menyerah. Gadis kecil itu jika sudah bertemu dengan buku pasti tidak akan memerhatikan sekelilingnya. Dia berjingkrak perlahan mendekati Lista dan melongokkan kepalanya ke dalam buku sehingga menghalangi pandangan Lista.
"Apa yang kau lakukan, Ed?" tanya Lista sambil menahan senyumnya, pura-pura marah. Edward menarik kepalanya lagi.
"Menarik perhatianmu, apa lagi?" Edward memberikan muka konyol. Sekarang Lista tidak bisa menyembunyikan tawanya. Dia terkikik geli melihat kelakuan Edward.
"Lalu," kata Lista. "Apa kau sudah mendapatkan perhatianku, Yang Mulia?" Edward mengangguk kecil.
"Tentunya," jawabnya semangat. Lista terkikik lagi lalu menatap Edward dengan senyum rahasia.
"Aku punya sesuatu untukmu," ucap Lista lalu berjalan menuju lemari perhiasannya. Edward hanya menatap Lista dengan pandangan penasaran. Lista kembali lagi dengan kotak kayu di tangannya. "Ini untukmu. Sebenarnya, ini hadiah ulang tahunmu yang ke-13 kemarin tapi aku lupa membawanya ke Alroy. Dan sekarang aku ingat. Yah, mungkin terlambat beberapa bulan."
Edward menerima kotak yang disodorkan Lista dan langsung membukanya. "Tak apa. Terima kasih, Lista." Isinya adalah sebuah buku yang lumayan tebal.
"Jika Kita Punya Sedikit Waktu Tersisa. Sebuah novel?" Lista mengangguk bersemangat.
"Aku memesan pada penulis favoritku, Francissco Montorez," jelas Lista. "Aku bilang cerita dalam buku itu harus mengajarkanmu sesuatu tentang kehidupan. Dan Tuan Montorez menuliskannya dengan sangat indah. Aku sudah membaca terlebih dahulu. Dan kau tahu? Buku itu hanya ada satu-satunya di Irish, bahkan satu-satunya di seluruh dunia."
Edward hanya tersenyum. Dia memang tidak terlalu suka membaca cerita tentang kisah cinta seorang pangeran dan putri yang biasa dilukiskan oleh para penulis. Dia lebih tertarik jika cerita itu terdapat petualangan yang mendebarkan dan memiliki pesan bijaksana yang bisa digunakannya dalam memerintah kerajaan. Dan sepertinya Lista tahu caranya agar dia bisa belajar untuk mencintai seni sastra.
♚♚♚
"Saya turut menyesal," ucap Liz pelan.
Edward menggeleng lemah. "Tak apa. Ini bukan kesalahanmu. Sampai sekarang aku belum sempat membaca buku itu. Tiap kali aku membukanya, seakan Lista berada di sampingku dan aku tahu itu tidak nyata. Jadi aku menutupnya dan pergi dari sini secepat mungkin."
Liz meremas sebelah tangan Edward dengan kedua tangan. Ibunya mengajarkan cara itu jika kita ingin menghibur seseorang dan menunjukkan rasa empati. Terkadang kata-kata penghiburan saja tidak cukup.
"Saya mengerti, Yang Mulia," bisik Liz lirih. Dia kembali melepaskan tangannya. "Terkadang kita perlu mengabaikan masa lalu untuk melihat lebih baik di masa depan, tapi jangan melupakannya. Bisa jadi itulah pelajaran yang kau ambil dalam menentukan keputusan selanjutnya."
Edward menatapnya aneh. "Itu pesan dari bukunya, Yang Mulia. Itu adalah pesan yang berusaha disampaikan mendiang Putri Callista. Anda tidak bisa berkubang dalam kesedihan seperti ini. Kerajaan Anda membutuhkan Anda sebagai sosok yang tegar."
"Bisa kau ceritakan secara ringkas isi dari buku itu?" pinta Edward. "Aku sangat ingin membacanya. Tapi aku tidak kuat jika harus membaca sendiri. Buku itu telalu sakral bagiku." Liz mengangguk lagi.
"Ada seorang pangeran yang mencintai seorang gadis, putri dari salah satu bangsawan di kerajaannya. Dan gadis itu juga mencintai Sang Pangeran. Sang Pangeran selalu mencari alasan untuk mendekati gadis itu di setiap pesta. Dan gadis itu selalu mencoba membujuk ayahnya agar bisa ikut jika ayahnya akan pergi ke istana. Singkat waktu mereka menjadi dekat satu sama lain."
Liz berdehem untuk membersihkan tenggorokan.
"Lalu," lanjut Liz. "Untuk memenuhi kebutuhan akan pendidikan, ayah gadis itu menawari sang gadis untuk bersekolah di kerajaan sebelah timur. Namun, sang gadis menolak karena alasan lebih merasa bahagia bila tetap tinggal di tanah kelahirannya. Pangeran merasa senang karena tak jadi berpisah dengan pujaan hatinya dan mereka berjanji untuk menikah suatu hari nanti."
"Pangeran naik tahta menjadi raja dan tugasnya pun bertambah banyak. Raja baru itu menjadi lebih banyak menghabiskan waktu untuk memikirkan rakyatnya dan jarang sekali bertemu dengan gadis itu. Gadis itu tak menyerah, dia tetap berusaha untuk bertemu dengan sang raja. Namun sang raja terlalu sibuk sehingga tidak bisa bercakap-cakap dengan sang gadis terlalu lama. Lama-kelamaan dia merasa tidak dicintai lagi. Dia merasa tersisih dan terasing walaupun dia tahu rajanya melakukan hal itu demi kerajaannya. Sang gadis memutuskan untuk menerima tawaran ayahnya dan pergi ke timur tanpa mengucapkan kata perpisahan pada sang raja. Ia berpikir bahwa ini adalah jalan yang terbaik, memberi ruang untuk sang raja membiasakan diri dengan kedudukannya sekarang. Dan sang gadis pun pergi dengan kapal penyeberangan pagi-pagi sekali."
"Sang raja yang akhirnya mengetahui hal itu dari ayah sang gadis akhirnya menyadari kesalahannya. Dia mencoba menyusul ke timur namun belum sempat kakinya menjejak dek kapal, kabar buruk datang padanya. Kapal yang membawa gadis yang dicintainya itu tersapu badai di tengah lautan. Sang raja langsung terpuruk, menangis, dan menyalahkan diri sendiri. Hatinya hancur dan dia kehilangan semangat hidup."
"Setiap pagi dan malam dia hanya menyalahkan dirinya sendiri atas kematian gadis itu. Hidupnya menjadi menyedihkan. Rakyatnya turut berduka dan mencoba menghibur rajanya. Namun semua usaha itu gagal hingga sebuah surat datang dengan tanda tangan sang gadis di amplopnya. Surat itu adalah salam perpisahan yang tidak pernah diberikan sang gadis kepada rajanya, surat yang belum sempat terkirim lebih tepatnya."
"Yang Mulia, Anda yakin saya harus menceritakan semuanya? Anda kelihatan sama menyedihkannya dengan raja itu," tanya Liz khawatir.
Edward menggeleng lemah. "Tak apa. Teruskan saja." Liz menarik napas dalam sambil menatap Edward cemas.
"Sang gadis, dalam surat itu, mengatakan bahwa perpisahan mungkin jalan yang terbaik yang mereka miliki. Ini juga merupakan kebaikan mereka berdua. Yang terpenting adalah jangan menangisi kepergiannya apalagi sampai menelantarkan kerajaan yang tulus menyayanginya. Raja itu pun tersadar apa yang sudah dilakukannya. Dan sejak saat itu sang raja lebih peduli dalam menjalankan kerajaan. Ia tidak berlaku tidak acuh dan menyempatkan waktu, walaupun hanya sebentar, dengan orang yang disayanginya. Sang raja juga memutuskan untuk tidak menikah karena janjinya untuk selalu mencintai sang gadis dan mengangkat anak adiknya sebagai penerus."
Liz menyelesaikan ceritanya dan mendapati Edward sedang menutup mata. Wajahnya memperlihatkan kesedihan yang dalam. "Maafkan saya, Yang Mulia. Saya benar-benar menyesal. Sebaiknya saya permisi."
Gadis itu berjalan perlahan menuju pintu membiarkan Edward tetap diam. Liz menghela napas lalu mencoba menutup pintu tanpa menimbulkan bunyi derit.