(10) Edward The Stranger

1381 Words
Gedoran keras terdengar di pintu rumah baru Liz. Secepat kilat Lizzy berlari menuruni tangga dan membuka pintu. Seorang pria berseragam pengawal istana berdiri di pintunya. "Ada apa ini, Tuan? Apa yang membawa Tuan tengah malam kemari?" tanya Liz heran. "Silakan, Nona. Yang Mulia memerlukan bantuan Anda." Pria itu mempersilakan Liz masuk ke dalam kereta. Tanpa banyak tanya Liz langsung mengambil peralatan, memakai mantel, dan menulis pesan pada ibunya. Ibunya pasti baru tidur beberapa menit yang lalu karena pekerjaannya yang cukup banyak. Selama perjalanan yang dipirkan Liz hanyalah Raja Edward. Dia benar-benar khawatir. Jika sampai terjadi sesuatu yang buruk pada pemuda itu, dialah yang patut disalahkan. Pertama karena dia adalah tabib pribadinya dan kedua karena ia mengingatkan Edward tentang Calista dari buku yang ia bacakan tadi pagi. Pintu masuk segera terbuka begitu kereta kuda Liz sampai di depannya. Liz melompat masuk dan berlari masuk ke dalam. Tuan Louis menyambutnya dengan guratan cemas terukir di wajah. "Lewat sini, Nona," ajaknya. Dan Liz segera mengekor. "Ada apa dengan Yang Mulia, Tuan?" tanya Liz. Langkah mereka panjang dan cepat seolah mengejar waktu. "Buruk, Nona. Yang Mulia tak sadarkan diri sejak rapat menteri siang tadi. Saya pikir kami tidak perlu dulu memanggil Anda. Saat ini Yang Mulia banya mengigau dan panas tingi. Selama itu kami mencoba membangunkan Yang Mulia seperti biasanya dan—" "Anda bilang seperti biasanya, Tuan?" tanya Liz nyaris histeris. "Mengapa Anda baru bilang sekarang? Bisa saja hal ini membahayakan nyawa Yang Mulia Raja!" Apa benar karena cerita yang kuceritakan pagi tadi?, Liz bertanya-tanya dalam hati. Pintu ruangan Edward terbuka. Kedua mata Edward terpejam dan dahinya berkerut seolah menahan rasa sakit. Ibunya, Ibu Ratu Rebecca, menggenggam tangan putra tunggalnya erat-erat sambil mengangis. "Tolong, Edward. Buka matamu dan tatap ibu. Tatap ibumu ini, Edward! Jangan meninggalkan ibu sendiri, ibu mohon. Maafkan ibu," tangis Rebecca. Perdana Menteri Louis berbisik di dekat telinga ibu ratu. Rebecca menoleh menatap Liz. Matanya merah, dan bengkak. Bibirnya bergetar menahan tangis. Perlahan dia melepaskan genggamannya dan berdiri, mempersilakan Liz. "Tolong selamatkan Edward, Nona. Kau harus menyelamatkannya! Berapa banyak uang yang kau minta, pasti aku berikan. Hanya Edward yang aku miliki," isak Rebecca. William segera menghampiri, mencoba menenangkan ibu dari sahabatnya itu. "Yang Mulia, tolong tenangkan dirimu. Yang mulia Edward pasti akan sembuh. Seperti biasa, seperti kemarin-kemarin. Anda dapat melihatnya tersenyum lagi, Yang Mulia. Hanya tenangkan saja dirimu dan biarkan Nona Roulate melakukan tugasnya," bujuk Will. Rebecca mencoba meredakan tangisnya. Dia menatap Liz yang sedang menangani Edward dari jarak jauh. "Tolong Edward, buka matamu," bisik Rebecca lemah, lebih untuk dirinya sendiri. Sementara itu Liz terus menggoyang-goyangkan botol alkohol di bawah hidung Edward. Seluruh isi ruangan melihat dengan cemas. "Kumohon, Yang Mulia. Buka matamu," bisik Liz lirih di telinga Edward. Dengan lembut dia meletakkan kain basah di kening Edward. "Lista?" bisik Edward dengan mata terpejam. Rebecca segera berlari menghampiri anaknya. "Edward!" "Lista," gigau Edward lagi. William mendekati Edward dan menatapnya sedih. Dirinya memang masih belum terima atas kematian sahabatnya, Calista. Tapi dari semua orang yang menyayangi Lista, Edward-lah yang paling menderita. William menggenggam kedua tangan Edward yang masih belum membuka mata. "Lista ada di sini Edward. Jangan khawatir. Bukalah matamu," ucap Will. Rebecca menatap Will tajam. "William, jangan coba-coba memberi harapan pada Edward." William hanya tersenyum. "Percayalah kali ini padaku, Yang Mulia," ucap Will optimis. Liz juga menatap Will dengan bingung. "Lis-ta," William menyikut Liz sambil memberinya tatapan percayalah-padaku-sekarang-atau-kau-menyesal. Liz mengangguk namun hatinya tak yakin. Gadis itu mencoba membuka mulut, otaknya berputar mencari kata-kata yang tepat. "Lista sering memanggil Edward dengan panggilan Ed." "Apa kau yakin? Maksudku, aku hanya tabib biasa yang baru mulai bekerja pagi ini." William tersenyum lagi. "Uh, Ed... Ehm," bisik Liz di telinga Edward. Matanya ikut menutup, tidak ingin melihat tatapan Ibu Ratu Rebecca yang sangat mengharapkan dirinya bisa membangunkan Edward. "Eem… Yang Mulia. Kumohon bangunlah." "Calista..." "Iya, ini saya Calista Yang Mulia. Kumohon bangunlah. Kami membutuhkan Anda dan saya mencintai Anda." Mata Liz terbelalak. Apa yang baru saja dia katakan? Berani sekali dia. "Edward!" pekik Rebecca. Liz segera menegakkan dirinya lagi. Apa kata-katanya tadi didengar oleh Will dan Ibu Ratu Rebecca? Perlahan kedua kelopak mata Edward terbuka. "Ibu?" Hembusan napas lega terdengar di ruangan Edward, termasuk helaan napas Liz. Edward mencoba untuk bangkit dari ranjangnya. "Jangan, Yang Mulia!" seru Liz. Edward menoleh. Liz segera mengangsurkan cawan berisi obat yang sudah disiapkannya tadi. "Minumlah. Anda tidak boleh terlalu banyak punya pikiran dulu." Edward meminumnya dengan sekali teguk. "Apa yang bisa saya berikan untuk jasamu yang besar ini, Nona? Saya sungguh-sunggu berterima kasih. Begitu juga rakyat Alroy. Kami berutang padamu," tanya Ibu Ratu Rebecca. "Tidak ada yang berutang, Yang Mulia. Ini sudah menjadi kewajiban saya sebagai tabib dan sebagai rakyat Alroy," jawab Liz dengan senyuman tulus. "Kau tetap harus meminta, Nona. Kau bisa membangunkanku hanya dalam hitungan menit, kurasa. Tabib-tabib pribadiku sebelumnya tidak bisa membangunkanku. Aku akan bangun sendiri, itu pun setelah beberapa hari. Aku ucapkan terima kasih secara pribadi dari hatiku yang terdalam," ucap Edward. "Sekarang apa yang kau minta?" Liz memandang William namun Will malah mengalihkan pandangannya ke arah lain. Lalu Liz tersenyum, senyum rahasianya. "Sebelumnya saya sudah memberitahukan hal ini pada Yang Mulia Raja Edward. Beliau butuh menenangkan pikirannya sejenak dari segala pekerjaannya. Bila Anda mengijinkan, Ibu Ratu, saya ingin mengajak Yang Mulia Raja Edward untuk menginap beberapa hari di Desa Wiser." "Tentu saja, Nona. Jika ini untuk kebaikan Edward tentu saja boleh," jawab Ibu Ratu Rebecca sambil tersenyum. Edward menatap tajam Liz agar gadis itu tidak melanjutkan perkataannya. "Tapi, Yang Mulia Ibu Ratu," lanjut Liz lagi, tidak mempedulikan tatapan Edward. "Yang Mulia Edward akan keluar sebagai rakyat biasa, bukan sebagai seorang bangsawan." Semua mata langsung menatap Liz dengan tatapan mustahil kecuali William yang mengacungkan kedua jempolnya pada Liz dan Edward yang menutup mukanya dengan satu tangan. ♚♚♚ "Pasang senyum terbaik Anda, Yang Mulia," bisik Liz tanpa menghilangkan senyumnya. Mereka sudah berada di Desa Wiser, desa tempat tinggal Liz dulu, dan akan menuju pondok di bukit. Mereka tak berhenti tersenyum, karena hampir semua orang yang berpapasan dengan mereka mengenal Liz. Sampai akhirnya mereka sampai juga di kaki bukit. Rosea berdiri di depan pintu sambil melambai-lambaikan tangannya. Menyambut. "Apa dia adikmu?" tanya Edward. Liz menoleh, "Bukan. Dia muridku, orang yang sama yang kuajak ke pesta pertunangannmu waktu itu. Dan, ya, dia memang sudah kuanggap adikku. Anak yatim-piatu yang malang. Orangtuanya tewas dalam perjalanan pulang ke sini karena radang dingin. Mereka pedagang antar kerajaan, seperti ibuku, dan juga merupakan teman dekat ibuku. Semenjak hari itu, aku dan ibu yang menjaganya. Tapi dia menolak tinggal di rumahku dan malah memilih mengabdikan dirinya sebagai tabib dan tinggal di pondok." Edward hanya mengangguk lalu menatap Rosea yang masih berdiri di atas bukit. Dia baru tahu bahwa ada anak yatim-piatu di kerajaannya. Menteri-menteri di kerajaannya selalu berkata semua hal yang ada di Alroy berjalan baik dan tak ada yang perlu di khawatirkan. Raja macam apa dia? "Apa masih ada anak seperti Rosea di desa ini?" "Ada," Liz mulai menyebutkan anak-anak yatim-piatu yang dia kenal. "Saya kenal beberapa di sini seperti Bastian, Hazelnut, Yundae, Mikha dan adiknya Malica, dan Saya sendiri, Yang Mulia." Edward membelalakan matanya. "Kau  tidak memiliki– maksudku, ibumu?" Liz tertawa hambar. "Yah, ibu mengurus saya dengan sangat baik, bukan? Kalau dipikir-pikir saya memang lebih beruntung bisa dibesarkan oleh seorang wanita yang baik, ramah, berwawasan luas, pintar, dan lain sebagainya." Kali ini Liz tersenyum tulus. "Orang tuamu?" Liz menggeleng sambil mengangkat bahu. "Lihat, kita sudah sampai." Gadis itu menunjuk Rosea yang sedang berlari menghampiri mereka. "Liz! Aku rindu padamu. Bagaimana kabarmu di sana? Pondok ini terasa sepi tanpa dirimu. Apakah Yang Mulia adalah orang yang baik?" Kedua gadis itu berpelukan. Liz mengerling ke arah Edward. "Ya, Yang Mulia adalah orang paling baik di seluruh dunia. Dia juga tampan, kau tahu?" Rosea melepaskan pelukannya lalu memandang Liz dengan penasaran. "Oh, benar." Liz menepuk pundak Edward beberapa kali. "Ini sepupuku. Namanya..." "Edward Al—" jawab Edward seketika yang disambut pelototan tajam Liz. "Maksudku, aku Edward Aldence. Senang berkenalan denganmu, Rosea." Mereka saling membungkuk hormat, karena memang begitu adat di kerajaan Irish dulu yang sudah turun-temurun. Bagi orang yang baru dikenal mereka harus membungkuk hormat tapi jika sudah pernah berkenalan sebelumnya, mereka bisa berjabat tangan. "Begitu pun denganku, Tuan Aldence," balas Rosea. "Ngomong-ngomong, namamu seperti Raja Edward. Apa kau salah satu dari keluarganya?" "Ah, bukanlah Ro. Mana mungkin aku berani mengajak Yang Mulia Raja yang terhormat tinggal di pondok sederhana kita. Dia hanya sepupuku," sangkal Liz santai. "Tentu saja kau berani," gerutu Edward dalam hati. Rosea memiringkan kepalanya pada Liz. "Bukannya kau tidak tahu siapa keluargamu? Dan ibumu juga tidak pernah bercerita tentang keluarganya? Lalu sepupu dari mana dia?" Liz menggigit bibir bawahnya dan menatap Edward memohon bantuan. Tapi Edward malah mengalihkan pandangan ke arah lain dengan senyum kecil. "Habislah kau, Liz," tawa Edward dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD