"Jadi kau sudah menganggapnya sepupumu sendiri dalam waktu yang singkat?" tanya Rosea tak percaya.
Liz mengangguk mantap. "Yap. Ada banyak kesamaan di antara kami, dan kupikir bisa jadi kami saudara yang terpisah." Edward memutar kedua bola matanya sebal.
Rosea menyuguhkan dua cangkir panas teh rosemary untuk Liz dan Edward. "Kau tahu Liz? Terkadang kau melakukan beberapa tindakan aneh yang tak kumengerti."
"Ah, tak usah kaupikirkan Ro. Aku baik-baik saja." Liz tersenyum polos. "Dan kurasa Edward juga tidak keberatan. Benar, bukan?"
Liz menyenggol Edward pelan. "Tidak, sama sekali tidak," gerutu Edward.
"Lalu apa yang akan kalian lakukan di sini? Apa kau tidak sedang bekerja, Liz?" tanya Rosea lagi.
"Pernahkah aku melewati hari kerjaku, tentu tidak Ro. Aku meminta izin pada raja untuk melakukan ekspedisi bahan obat lagi. Dan aku membawa Edward, sepupuku ini, agar dia melihat-lihat Desa Wiser. Dia hidup di istana seumur hidupnya."
"Benarkah itu?"
Edward menggeleng. "Tidak, tidak seumur hidupku. Aku pernah ke ibukota waktu aku kecil. Keluargaku tinggal di istana turun-temurun."
"Oh, begitu. Ya, sebaiknya kau memang harus lebih sering berkunjung keluar istana," saran Rosea.
♚♚♚
Edward berjalan menyusuri jalan setapak hutan dalam diam. Dirinya tersenyum mengagumi keheningan hutan yang terasa menyenangkan. Liz hanya mengekor di belakang Edward. Sesekali gadis itu memetik daun, buah, atau mengelupas kulit pohon yang merupakan tanaman obat.
"Langkah-langkah kecil, dan langkah-langkah kecil," senandung Edward pelan.
"Di hutan yang sunyi kau dan aku di sini," sambung Liz tersenyum.
Edward menoleh, "Kau mengetahui lagu ini? Dari mana?"
"Entahlah," Liz mengendikkan bahu. "Rasanya pernah dengar. Mau?"
"Apa ini?" Edward mengambil buah yang disodorkan oleh Liz dan langsung melahapnya.
Liz mengendikkan bahu lagi. "Entahlah. Tapi rasanya manis."
Pemuda itu langsung mengeluarkan buah yang baru saja dimakan dari mulutnya. "Jadi kau tidak tahu apa buah ini? Kau ingin meracuniku?"
Namun Liz hanya tertawa. "Tentu saja tidak, Yang Mulia. Rusa yang berada di bawah pohon tadi juga memakannya. Menandakan buah ini tidak beracun. Lagipula saya juga memakannya, dan saya masih berdiri tegak di depan Anda."
"Anda tidak melanjutkan lagu tadi, Yang Mulia?"
Edward melengos. "Kau lanjutkan saja sendiri."
Mereka berjalan lagi dalam diam. Sesekali Edward memanggil burung untuk hingap di jarinya. Hingga akhirnya mereka sampai di tepi sungai hutan utara. Liz langsung berlari sambil melepas kedua sepatunya lalu membenamkan kakinya di dalam air.
"Ayolah, Yang Mulia. Airnya segar dan jernih," ajak Liz.
Edward menggeleng. "Aku akan menangkap beberapa ikan untuk kita makan." Raja Alroy itu langsung menyingsingkan lengan baju, melipat celana, dan melepas sepatu lalu masuk ke air.
Gadis itu tertawa. "Tuan, Anda tidak bisa menangkap ikan di sungai dengan tangan kosong."
"Oh, tentu saja aku bisa." Edward tersenyum sambil melemparkan beberapa ikan yang baru ditangkapnya ke daratan. "Semua yang hidup di kerajaanku harus tunduk padaku."
"Sombong sekali raja ini," canda Liz.
Edward tersenyum. Sudah lama ia tidak berada di alam terbuka. Setidaknya setelah kematian Calista, ibu dan ayahnya selalu melarangnya jika ia ingin pergi berburu di hutan. Bila diperbolehkan pun harus disertai dengan pengawalan dan penjagaan yang ketat.
"Yang Mulia! Ada ikan di kaki Anda!" teriak Liz membuyarkan lamunan Edward.
"Mana?" Edward langsung menunduk menatap dasar sungai. Dan benar saja, terdapat seekor ikan berenang tak jauh dari kakinya.
Liz berjalan menuju Edward dengan tangan siap menangkap. Edward juga melakukan hal yang sama.
Satu.. dua.. tiga.. Hap!
Edward dan Liz bertabrakan hingga membuat mereka jatuh. Liz cepat-cepat bangun dari atas Edward.
"Uhuk! Uhuk! Ma–uhuk!–af, Yang Mulia. Saya benar-benar tidak sengaja. Maafkan saya." Liz memohon.
Edward segera berdiri dan keluar dari air lalu membantu Liz naik. "Tak apa. Ini juga salahku. Kau tak apa, Nona? Seluruh pakaianmu jadi basah semua."
"Jangan pedulikan saya, Yang Mulia. Saya tak apa. Dan pakaian Anda juga basah." Liz memeluk dirinya sendiri menahan dingin.
Edward segera mendudukkan Liz di rumput. Ia menumpuk ranting-ranting yang berserakan lalu membuat api.
"Anda tak harus repot-repot begini, Yang Mulia. Saya tak apa. Jangan pedulikan saya. Lebih baik Anda mengeringkan diri Anda sendiri."
"Aku juga baru akan mengeringkan pakaianku." Edward duduk di samping Liz. "Kau lebih terlihat kedinginan daripada aku."
Liz tersenyum senang, "Terima kasih, Yang Mulia. Anda baik sekali."
"Terima kasih kembali untukmu." Edward balas tersenyum.
♚♚♚
Edward terbangun.
"Astaga! Apa yang aku lakukan di sini?"
Mereka pasti tertidur di bawah pohon. Dan sekarang pasti sudah larut malam. Bagaimana mereka bisa pulang?
Edward melihat Liz yang berada di tertidur dan menumpukan kepala pada bahunya. Pemuda itu tersenyum. Ia mengusap pipi Liz lembut. "Kau selalu mengingatkanku pada Lista, Liz. Hanya saja, aku tidak lagi merasa sedih. Aku justru gembira saat melihat Lista dalam dirimu. Ini aneh bukan?"
"Yang Mulia?"
Edward buru-buru menarik tangannya. "Kau sudah bangun?" Liz mengangguk kecil.
"Ah, sudah malam. Bagaimana kita bisa pulang?" Liz menatap langit yang sudah berubah gelap.
Edward mengendikkan bahu. "Itu yang sedang kupikirkan tadi."
"Apa Anda pernah berburu di hutan ini?"
"Belum pernah," jawab Edward. "Kami selalu berburu di hutan selatan. Memang kenapa?"
Liz menggeleng. "Tidak apa-apa. Hanya saja, jika Anda sudah mengenal hutan ini pasti Anda dapat menuntun kita untuk keluar dari hutan ini dan pulang. Dan walaupun saya sering kemari, saya tidak pernah berada di sini setelah matahari tenggelam jadi saya juga tidak bisa menuntun Anda keluar dari hutan dan pulang. Hah... Rasanya ingin sekali belajar berburu. Anda tahu, beberapa bahan untuk membuat obat didapat dari tubuh hewan. Selama ini saya hanya membeli di pasar. Tentu saja itu membutuhkan biaya lebih. Harga hewan di Alroy lebih mahal dari di Delcon. Dan untuk ke Delcon membutuhkan waktu sehari dengan berjalan kaki."
"Jadi begitu, ya? Mungkin lain kali aku bisa mengajakmu berburu. Kau tahu? Aku juga sudah lama tidak berburu."
"Begitukah, Yang Mulia?!" seru Liz bersemangat. "Tapi Anda tidak diperbolehkan keluar istana oleh Ibu Ratu. Lagipula tugas istana pasti akan menyita waktu Anda."
Edward tertawa kecil. "Lalu bagaimana aku bisa sampai di sini, Nona? Sudahlah, sebaiknya kita tidur kembali sambil menunggu pagi datang."
♚♚♚
Matahari sudah terbit dan mewarnai sederetan pegunungan di Conway. Angin musim semi bertiup lembut membuai kelopak-kelopak bunga yang baru saja mekar. Sementara itu, Rosea sedang mengantarkan Liz dan Edward pulang kembali ke istana sampai kaki bukit. Dua hari itu berlalu sangat cepat. Ingin rasanya Edward menambah liburnya lagi, tetapi bagaimana pun kerajaannya tetaplah yang utama.
"Sampaikan doaku pada Yang Mulia Raja, Liz," ucap Rosea sambil memeluk Liz.
"Tentu saja akan kusampaikan," balas Liz sambil melirik Edward.
Rosea melepas pelukannya. "Semoga kalian selalu diberkati, Liz, Edward."
"Semoga kau juga diberkati Ro," kata Edward dan Liz berbarengan. Dan mereka berdua menuruni bukit untuk kembali pulang ke istana Alroy.
Liz bersenandung kecil dengan riangnya. Dia merasa senang sekali bisa kembali ke Wiser. Tempat itu sudah memberikan kenangan masa kecil yang menyenangkan untuk dirinya. Apalagi, Desa Wiser terkenal dengan keindahan panorama ketika musim semi. Berbeda dengan tiga desa lainnya di Alroy yaitu Desa Honestale, Desa Goodard, dan ibukota Alroy, Kota Humbles.
Edward memandangi Liz sambil tersenyum. Entah mengapa sepertinya keceriaan Liz pagi ini menular padanya. Dan tiba-tiba saja pemuda itu merasa penarasaran dengan kehidupan Liz yang sekarang ini sedang berlari-lari kecil di depannya, memetik daun-daun muda yang baru saja tumbuh di sepanjang perjalanan mereka. Terasa seperti ada dorongan untuk mengenal gadis ini lebih dekat. Mungkin mereka bisa bersahabat.
"Hai, Nona!" panggil Edward memecah kesunyian.
Liz menoleh, "Ada apa, Yang Mulia? Apa Anda ingin beristirahat dulu?"
"Bukan, Nona." Edward menyejajari langkah Liz yang panjang. "Aku hanya... penarasan denganmu. Sejak kapan kau tinggal di sini? Bukankah kau mengatakan jika ibumu itu adalah ibu angkatmu?"
Liz terdiam sejenak, berusaha menyusun peristiwa dari ingatan-ingatannya masa kecilnya.
"Saya rasa saya sudah tinggal disini seumur hidup saya. Ibu pernah bercerita bahwa beliau menolong saya yang terluka parah, sepertinya di sini." Liz menepuk bagian belakang kepalanya. "Ibu bilang mungkin saya anak pedagang yang akan masuk ke Alroy tetapi terkena musibah di tengah jalan. Seperti orangtua Rosea."
"Aku turut berduka, Nona."
Liz menggeleng seraya tersenyum kecil. "Bukan salah Anda, Yang Mulia. Semua sudah ditakdirkan. Tapi saya beruntung bertemu dengan ibu yang perhatian dan penyayang."
"Dan bagaimana dengan Anda sendiri, Yang Mulia? Maksud saya, bagian yang bisa Anda ceritakan pada saya."
Kini Edward yang tersenyum. Tak biasanya dia bisa dekat secepat itu dengan orang asing. Apalagi gadis ini bukan dari keluarga bangsawan yang benar-benar diketahui asal-usulnya. Bahkan ia menerima gadis ini sebagai tabib pribadinya yang otomatis akan selalu dekat dengannya, walaupun mereka baru bertemu sekali saat pesta pertunangan.
"Well," Edward menimbang. "Kehidupanku tidak terlalu menarik. Aku tinggal di istana seumur hidupku. Bertanggungjawab atas sekitar 1000 kepala keluarga yang berada di kerajaanku."
Liz tertawa kecil. "Itu bagian hidup Anda yang diketahui semua orang, Yang Mulia. Maksud saya yang belum Anda beritahukan kepada orang lain."
"Maksudmu seperti kehidupan pribadiku?!" tanya Edward terkejut. Lancang sekali gadis ini.
Liz mengangguk. "Tentu saja. Misalnya apa yang biasanya Anda lakukan ketika Anda sedang bersantai. Atau apakah Anda suka berkuda atau tidak. Bahkan mungkin Anda pandai melukis."
"Oh, maksudmu tentang keseharianku begitu ?" tanya Edward lega. "Kukira kau akan menanyakan tentang... ah, lupakan."
Liz tersenyum. "Jadi?"
"Jadi," Edward berdehem. "Well, seperti yang kau lihat. Aku tidak terlalu suka dengan seni, tidak seperti orang-orang di Conway yang berjiwa seni. Aku lebih tertarik dengan jalannya pemerintahan dalam suatu kerajaan membuat kerajaan itu lebih unggul atau bahkan lebih terpuruk dari kerajaan lainnya. Seperti yang kau tahu, Nona, sejarah bangsa kita, Irish."
"Selain itu, jika waktu senggang datang, aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan berkuda, bermain panahan, dan bermain teka-teki dengan guru filsafatku."
Liz terkejut. "Anda juga suka berkuda? Begitupun saya, Yang Mulia."
"Kau memiliki kuda?" Liz menggeleng.
"Tidak, Tuan Encrisment, hakim di Wiser, yang berbaik hati meminjamkan saya ketika saya datang berkunjung untuk membaca buku-bukunya. Tapi lepas dari itu, saya sangat suka berkuda. Saya suka ketika angin berhembus ketika saya berjalan melawan arah angin." Mereka berdua saling menatap dan tersenyum.
Burung layang-layang terbang melewati mereka berdua, tepat di atas kepala Edward. Liz memerhatikannya dengan penuh minat. Gadis itu memejamkan mata ketika angin menerpa wajah dan menerbangkan beberapa helai anak rambutnya. Edward tersenyum lagi.
"Sepertinya kau sangat suka musim semi dan angin yang berhembus, bukan begitu Nona Lizzy?" Liz tertawa mengiyakan.
"Sepertinya iya. Tapi anehnya saya berulang tahun di musim gugur."
"Berapa usiamu nona?"
Liz menatap langit, menghitung. "Kira-kira hari ke 20 saat musim gugur nanti adalah ulang tahun saya yang ke 18. Ibu menyelamatkan saya pada hari itu, jadi ibu menyatakan pula hari itu sebagai hari ulang tahun saya."
Edward mengangguk. "Artinya masih ada 4 purnama lagi sampai ulang tahunmu."
Mereka terdiam, berusaha mencari bahan pembicaraan. Sepasang tupai berkejaran menuju pohon oak raksasa yang tumbuh di depan gerbang Kota Humbles. Bunga melati yang berada di bawahnya mulai bermekaran, bersanding dengan amaryliss yang cantik. Edward berlari menuju bunga tulip kuning dan memetiknya setangkai. Liz menatapnya penasaran.
"Ini untukmu," Edward menyodorkan bunga tulip itu pada Liz sebelum gadis itu sempat membuka mulut untuk bertanya. "Anggap saja ini sebagai ucapan terima kasihku karena memberikan ide ini. Aku sangat menikmatinya, entah kapan lagi aku bisa pergi dari istana dan menjalani peranku sebagai rakyat biasa."
Liz menerima sambil menahan senyum. "Ucapan terima kasih Anda saya terima, Yang Mulia. Saya merasa tersanjung dapat memberikan hal yang bermanfaat bagi Anda dan kerajaan. Sungguh, saya hanya rakyat biasa yang ingin melihat Anda bahagia, sama seperti rakyat Anda yang lain."
Tiba-tiba terdengar bunyi aneh yang keluar dari perut Edward. Liz tertawa kecil sementara Edward merutuki nasibnya dalam hati.
"Baiklah, Tuan, sebaiknya kita bergegas kembali ke istana. Sepertinya Anda perlu tambahan energi untuk hari ini." Ajak Liz. Edward hanya mengangguk kecil lalu berjalan di samping Liz dalam diam.
Namun walau begitu heningnya perjalanan mereka, hati Edward tertawa. Ada rasa bahagia yang dirasakan oleh pemuda itu. Seolah keadaan tak akan lebih baik dari ini. Bersama Liz, Edward sama sekali tidak memikirkan hal yang lain: untuk kerajaan, masa depannya, tentang Lista. Bahkan tentang pernikahannya dengan Lissa tahun depan. Apa mungkin dia sudah melupakan Lista?