(7) Edward's Private Healer

1446 Words
Edward menutup mukanya dengan kedua tangan. Kenapa bayangan Lista kembali lagi sejak dia bertemu dengan gadis desa itu. Kenapa seolah-olah dia bisa merasakan kehadiran Lista. Ingin rasanya Edward memeluk gadis itu. Bahkan cara bicaranya pun seperti Lista. Lista dulu sering melawannya, walaupun tidak sesering melawan kakaknya, dan gadis itu pun sama. Ia ingat bagaimana gadis itu membalas perkataannya walaupun dia tau Edward adalah raja. Raja Edward menatap lukisan dirinya dan Callisa untuk kesekian kalinya. Ingin rasanya dia berlaku egois dan lari dari istana. Dirinya sama sekali tidak menginginkan pernikahan ini. Dan ia sama sekali tidak percaya bahwa Lista sudah meninggal, sama sekali tidak percaya. Ia yakin putri yang seharusnya menjadi tunangannya itu ada di suatu tempat di daratan Irish, ia hanya perlu menemukannya. Kalau saja dia bukan seorang raja, apalagi raja dari kerajaan Alroy yang notabene adalah panutan bagi enam kerajaan yang lain, pasti sekarang dia sudah berkelana mencari Lista. "Yang Mulia?" panggil Louis, membuyarkan lamunan Edward. Edward terlonjak kaget. "Tidak bisakah kau mengetuk pintu terlebih dahulu, Lou?" "Maafkan saya yang mulia." Louis menunduk. "Tapi saya sudah mengetuk beberapa kali tanpa ada jawaban dari Paduka." "Baiklah kau kumaafkan. Ada apa?" Edward mengembuskan napas. Bayangannya tentang Lista sepertinya harus ditunda demi kerajaan tercintanya ini. "Yang Mulia?" panggil Louis lagi. Edward tersadar. "Ya, ada apa Lou? Apa yang kau katakan?" "Saya tadi mengatakan, bahwa gadis yang semalam Anda minta sebagai tabib pribadi Anda sudah datang. Dia menunggu di luar pintu, Yang Mulia. Haruskah saya tunjukkan ruangannya sekarang?" ulang Louis. Untung saja asisten pribadi Edward yang sudah berusia setengah baya itu sangat mengerti permasalahan rajanya. Sekarat karena cinta, kata istrinya. Dan tidak bisa disembuhkan jika dia tidak mencari cinta yang lain, yaitu Calissa seperti harapan orang-orang di sekitarnya. Edward mengangguk. Tanpa diperintah dua kali, Louis berbalik badan hendak keluar dari ruang kerja Edward. Namun belum benar-benar keluar, Edward menghentikannya. "Tunggu, Lou!" Louis berbalik. "Ya, Yang Mulia?" Edward menggelengkan kepala pelan. "Kurasa ada baiknya bila dia memeriksaku terlebih dahulu. Beberapa hari ini kepalaku terasa pusing," dusta Edward. Ia hanya ingin menghilangkan rindunya pada Lista dengan menatap wajah gadis itu. Louis menunduk hormat. "Akan saya antar masuk, Yang Mulia." Dalam beberapa saat saja Liz sudah berada berdua saja dengan Edward di ruang kerjanya. Liz memeriksa nadi Raja Edward dan beberapa hal yang lain. Mendengar keluhan, menyusun hipotesis, dan lain sebagainya. "Nah, Yang Mulia," ucap Liz sopan. "Sepertinya Anda baik-baik saja. Tidak ada penyakit serius. Anda mungkin hanya kelelahan. Saya akan membuatkan ramuan untuk membantu menjaga kesehatan Anda. Sebaiknya Anda tidak tidur terlalu larut. Itu tidak baik untuk kesehatan Anda. Sekarang saya mohon permisi." Liz mundur menuju pintu, tetapi Edward menahan tangannya. "Tunggu. Duduklah lebih dulu. Aku ingin menanyakan beberapa hal kecil padamu." Apa? Apa yang kau lakukan Edward? Dia hanya gadis desa biasa yang sekarang menjadi tabibmu, bukan Calista yang kau cari-cari, rutuk Edward dalam hati. Namun dia sudah terlanjur menahan gadis itu. Ia hanya ingin memastikan lagi Liz bukanlah Lista. Karena sebagian besar hatinya menolak Lista sudah pergi untuk selama-lamanya. Liz duduk di kursi dihadapan Edward dengan gugup. Menanyakan hal kecil? Hal kecil seperti apa? Edward bersandar di kursinya. Menatap mata Liz tajam. Liz menunduk, tangannya terlipat di pangkuan penuh keringat dingin. Jantungnya berdetak tidak menentu, takut-takut. "Siapa kau sebenarnya?" tanya Edward. Liz mendongak, melongo. "Maksud Paduka?" "Siapa kau sebenarnya?" ulang Edward. "Apa benar kau hanya tabib rakyat di Desa Wiser? Karena aku merasa aku tak asing denganmu." Liz menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Anda benar, Yang Mulia. Saya hanya gadis biasa yang tinggal di kerajaan Anda. Saya bekerja sebagai seorang tabib di Desa Wiser bersama murid saya, Rosea, yang dua malam lalu juga ikut di pesta Anda." "Saya---," lanjut Liz, "---benar-benar baru bertemu Anda di malam pesta pertunangan Anda itu." Sangat penting untuk mendapatkan kepercayaan rajanya di hari pertama bekerja. Bagaimana pun ini merupakan suatu kehormatan dan kebanggaan hingga dia bisa menjadi tabib pribadi raja. Liz sama sekali tidak berniat menyia-nyiakan kesempatan langka ini. Edward mengangguk tanda mengerti. Raja itu ingin menguji seberapa jauh pengetahuan Liz, yang sebenarnya dia yakin Liz akan lolos tesnya ini. Gadis itu terlihat cerdas dan bijaksana di matanya. "Kalau begitu tolong kau periksa aku. Sewaktu berburu kemarin aku mendapatkan goresan yang cukup panjang di kaki kananku. Apakah itu berbahaya?" Liz menatap luka yang diperlihatkan Edward. Memang cukup panjang dan terdapat memar kemarahan di sekitar goresan itu. Liz mengangguk-angguk. "Sebaiknya Anda harus mengganti sepatu Anda, Yang Mulia." Edward mengernyit, pura-pura penasaran. "Mengapa begitu?" "Karena kaki Anda terluka akibat bergesekan dengan kulit sepatu yang sudah kasar. Dan sepertinya Anda tidak sedang berburu," ucap Liz. "Oh, ya? Maksudmu aku berbohong padamu begitu?" Edward tertawa. "Ingat tabib, jika kau ingin tetap mempertahankan kepalamu lebih baik kau menjaga mulutmu." Liz menggeleng sambil menunduk, masih menatap luka. "Maafkan saya, Yang Mulia. Bukan maksud saya mengatakan Anda berbohong. Seorang raja memang tidak seharusnya berbohong. Namun saya yakin, Anda mendapat luka goresan dari Golden Brushwood. Semak belukar langka yang ada di kebun istana Neelendra. Bukan seperti goresan panah atau belati untuk berburu." "Lagipula tanaman itu hanya ada satu-satunya di istana Neelendra. Tanaman tanpa bunga yang langka dan indah dengan daun berwarna hijau keemasan tapi penuh dengan duri yang beracun. Memang tidak menimbulkan kematian, tapi jika tergores sedikit saja dapat menyebabkan memar di sekitar luka, gatal-gatal, lalu akan terjadi infeksi dan kemudian bagian yang terkena duri harus dipotong karena mengalami pembusukan," lanjut Liz lagi. Kali ini dia memberanikan diri menatap Edward untuk membuktikan kesungguhan ucapannya. "Anda beruntung, Yang Mulia, sudah ada yang tahu cara mengobatinya dan luka Anda sudah terobati. Bila langsung diberi obat yang tepat memang sangat berguna. Dahan dari pohon Necallista, Putri Neelendra yang hilang penemu pohon dan kegunaannya itu, yang tumbuh di sepanjang pinggiran Silver River memang sangat mujarab." Edward melongo. "Bagaimana kau tahu?" Bukankah tanaman itu hanya diketahui oleh orang-orang di istana Neelendra saja. Orang asing yang tau hanya dirinya. Bahkan Louis dan tabib-tabib di kerajaannya pun tidak ada yang tahu. Tapi sekarang Liz? Liz tersenyum. "Ibu saya yang memberitau. Ibu saya, Elizabeth, adalah seorang wanita yang selama hidupnya memelajari tentang tanaman dan hewan. Desa Wiser terletak di dekat Silver River dan ibu saya sering kesana. Ketika menemukan pohon itu beliau segera mencari tau apa nama pohon itu dan apa gunanya. Menurut cerita ibu, tanaman itu sudah pernah melukai Raja Theodore dari Neelendra, tetapi ia pun beruntung tertolong juga seperti Anda." Sementara Liz menjelaskan, Edward tertawa dalam hati. Tentu saja ia sudah tahu apa itu Golden Brushwood. Dia seorang raja yang tentu saja memiliki pengetahuan yang sangat luas. Ditambah saat kecil ia sering bermain ke kebun Neelendra bersama Calista dan Alex. "Dan sepertinya, Anda juga sudah pernah terkena duri tanaman ini sebelumnya," kata Liz serius.  Edward bersidekap dan kembali menatap Liz tajam. Benar dugaannya, gadis ini cerdas dan berpengetahuan luas. Sama seperti Listanya dulu. "Oh ya?" tanya Edward tak percaya. "Di manakah luka itu?" "Di telunjuk tangan kanan, Yang Mulia. Anda sempat menahan tangan saya sewaktu pesta kemarin, telunjuk Anda terasa kasar dan bengkak. Itu adalah akibat dari penanganan goresan Golden Brushwood yang agak terlambat walau masih tetap bisa diselamatkan. Racun dari duri itu memang bekerja dengan cepat. Dan karena tidak terasa sakit ketika tersentuh, maka saya perkirakan luka itu sudah lama Anda dapatkan." Edward tertawa puas. Dia tidak salah pilih, benar-benar tidak salah pilih. Dan dia merasa beruntung gadis ini hidup di kerajaannya. Liz menatapnya heran. "Apa kau pernah melihat Golden Brushwood sebelumnya?" tanya Edward. Jika seseorang mempunyai pengetahuan sebesar itu, pasti dia pernah mengalami atau setidaknya melihat suatu kejadian yang berhubungan. Jika tidak begitu, pasti dia hanya meniru dari seseorang yang memang benar-benar memiliki pengetahuan itu. Liz menggeleng seperti dugaan Edward. Pundak raja itu menurun karena kecewa. Tentu saja gadis desa seperti gadis di hadapannya ini hanya bisa mendapat pengetahuan itu dari tabib yang sudah profesional atau mungkin bangsawan. "Tapi," cegah Liz. "Tapi apa?" tanya Edward tak bersemangat. "Tapi walaupun ibu hanya memberitau bahwa Golden Brushwood hanyalah tanaman tanpa bunga dengan daun hijau keemasan dengan duri seperti mawar yang beracun di sekelilingnya, saya selalu membayangkan tanaman itu adalah tanaman berbentuk semak belukar yang tumbuh di kebun istana yang menurut saya seperti hutan kecil di belakang istana Neelendra; tumbuh agak tersembunyi di belakang bunga-bunga mawar. Daunnya yang berwarna keemasan akan terlihat bercahaya jika malam hari karena terkena cahaya bulan," terang Liz. Matanya menerawang mencoba membayangkan semak belukar langka itu. Edward membelalakan matanya. Dia benar-benar terkejut. Bagiamana mungkin seseorang yang belum pernah sama sekali melihat sesuatu dapat menceritakannya persis seperti aslinya? Edward mengusap-ngusap dagu, berpikir. Gadis ini memang luar biasa dan sangat menarik. "Baiklah, untuk sekarang aku pikir cukup. Kau boleh keluar. Louis akan mengantarmu ke ruanganmu. Selama kau bekerja di sini kau akan diberikan tempat tinggal di ibukota Alroy, Desa Humbles. Bila aku memerlukanmu kau dapat kemari secepatnya." Edward mengangkat tangan kanannya mempersilakan Liz keluar. "Terima kasih, Yang Mulia," gumam Liz. Lalu berjalan mundur menuju pintu. Beberapa detik setelah Liz hilang dari pandangan, Edward berteriak sambil mengacak-acak rambutnya dengan putus asa. Ia bisa mati bila tidak menemukan Lista secepatnya. Percakapannya tadi dengan gadis tabib itu bukannya malah menyangkal pendapatnya bahwa Liz adalah Lista tetapi malah menambah kepercayaannya. Sadar Edward, terimalah kenyataan bahwa Lista sudah meninggal! erang Edward frustasi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD