Liz membuka pintu rumahnya pelan. Ini sudah lewat dari tengah malam dan terkadang ibunya terbangun untuk menyelesaikan beberapa pekerjaannya. Semoga ibunya tidak terbangun malam ini karena artinya Liz bisa berada dalam masalah besar.
Gadis itu masuk dengan berjingkat. Menutup pintu di belakangnya lalu perlahan menuju tangga. Ia sekilas melihat ke arah dapur yang gelap, syukurlah, artinya ibunya tetap terlelap.
"Liz?" seru Elizabeth Roulate dari ujung tangga.
"I-ibu?" gagap Liz dari anak tangga pertama, mendongak kaget saat mendengar suara ibunya. Elizabeth turun menghampiri anaknya. Matanya meneliti tubuh anaknya dari atas ke bawah.
"Bukankah ibu sudah melarangmu untuk pergi ke pesta itu, Lizzy Roulate?" tanya Elizabeth dengan nada kecewa. "Ibu hanya tidak ingin kau terluka seperti ibu."
Liz menunduk. "Maaf, Ibu. Aku hanya ingin sekali pergi ke sana. Rasanya tidak pantas untuk menolak undangan orang sebaik William.”
Eliz memeluk putrinya. "Maafkan ibu juga, Liz, sehingga kau tidak bisa bebas pergi seperti ini. Sekarang sebaiknya kau pergi tidur. Ini sudah larut malam dan kau punya banyak pasien untuk dirawat nanti pagi." Elizabeth melepaskan pelukannya.
"Aku menyayangimu, Bu," ucap Liz lalu naik menuju kamarnya.
"Aku juga menyayangimu, Liz," balas ibunya, setengah berbisik. "Dan semoga kau tidak jatuh cinta pada bangsawan mana pun."
♚♚♚
Sampai sinar matahari mewarnai bukit, Liz tetap tidak bisa memejamkan matanya. Dia membolak-balikan diri di atas ranjang mencari sisi yang dingin. Pikirannya terus melayang pada acara tadi malam, terutama pada Raja Edward.
Raja Edward adalah pria paling tampan, gagah, dan berani yang pernah dia lihat. Apalagi saat Edward memegang tangannya untuk mencegah dirinya pergi. Bertanya namanya... Bahkan Liz sanggup menghentikan waktu demi bisa terus bersama Raja Edward.
Liz menggelengkan kepalanya lalu menutup matanya dengan tangan. Bagaimana mungkin dia jatuh cinta pada rajanya itu. Bukankah Raja Edward sudah bertunangan dengan Putri Callisa–gadis tercantik di seluruh daratan Irish, bahkan mungkin juga sekitarnya. Dan siapakah dirinya? Hanya rakyat biasa. Rakyat biasa yang secara beruntung dapat hadir dalam acara mewah seperti itu.
Dan apa kata ibunya nanti? Ia sudah melanggar perintah agar tidak pergi ke pesta, sekarang dia bahkan mau memiliki rasa pada rajanya? Mau sedurhaka apa Liz pada ibunya? Dan juga, dari mana pikiran itu tentang mencintai Edward? Liz menggelengkan kepala untuk mengenyahkan pikiran itu. Baru diundang sekali saja ke istana, pikirannya sudah melantur kemana-mana.
Mungkin seharusnya dia memang tidak hadir ke sana. Walaupun nanti Will akan membencinya. Liz tinggal bilang saja, "Oh, maaf Will. Aku hanyalah rakyat biasa. Tak mungkin aku hadir ke sana." Lalu semua masalah beres.
Namun Liz tidak bisa. Sebab dalam hati dan pikiran Liz, ia sadar bahwa meski banyak rintangan dan larangan apa pun yang ia terima ia amat sangat ingin pergi ke istana dan semua yang menghalangi tidak akan ia acuhkan.
♚♚♚
Ketukan pelan di pintu ruang kerja Edward di Istana Alroy terdengar.
"Masuk!" seru Edward. "Apa informasi yang kau dapat?"
Louis, asisten Edward, menyodorkan kertas di tangannya. "Dia tabib di Desa Wiser, di pondok kecil di atas bukit di sekitar situ bersama seorang gadis lain yang masih muda yatim-piatu bernama Rosea Helen yang juga hadir kemarin malam. Ibunya, Elizabeth Roulate, adalah orang yang ahli di bidang botani dan hewan yang mengangkat Liz sebagai putrinya. Untuk asal-usul keluarga Elizabeth Roulate sendiri tidak ada yang tahu, Yang Mulia."
Edward menyimpan kertas itu di salah satu lacinya. "Bagus. Terima kasih. Tetaplah mencari. Aku penasaran dengan nama keluarga Roulate. Sepertinya aku pernah mendengarnya. Oh, ya. Mengenai hal-hal yang kuberitahukan tadi, sudah bisa kau lakukan sekarang. Kau boleh pergi." Pria itu menunduk hormat lalu keluar dari ruangan.
Edward terdiam, dagunya berpangku pada dua tangan di atas meja. Matanya beralih ke kanan, memandangi potret dirinya dan Callisa dengan sedih. "Andai kau masih hidup, Lista."
♚♚♚
"Anda tak perlu repot-repot, Tuan. Barang ini terlalu banyak bagi saya," ucap Liz.
Asisten Raja Edward pun tersenyum. "Maaf, Nona, ini perintah Raja Edward sendiri. Beliau dengan khusus memerintahkan saya untuk memberikan hadiah ini secara pribadi pada Anda. Oh, ya, satu hal lagi. Ada surat untuk Anda." Liz menerima surat itu dan membacanya.
Surat itu berisi penawaran dirinya sebagai tabib pribadi Raja Edward. Betapa terhormatnya, ini seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Apakah benar ia sudah terbangun pagi ini?
"Apa Anda serius?" tanya Liz tak percaya pada Tuan Louis.
Sekali lagi pria itu tersenyum. "Saya hanya menyampaikan apa yang Yang Mulia katakana, Nona Roulate. Kalau begitu, saya rasa saatnya saya untuk pamit. Permisi Nona Roulate dan Nyonya Roulate." Lalu Louis masuk ke dalam kereta dan berlalu.
Elizabeth berkacak pinggang. "Ada yang perlu kau ceritakan pada ibu, Liz?"
"Oh, ibu," katanya dengan mata berbinar. "Aku hanya menolong tunangan Raja Edward, Putri Callisa yang tiba-tiba pingsan dan memberikan ramuan kekebalan tubuh padanya. Ibu tahu Putri Callisa, tunangan Raja Edward itu? Dia adalah seorang putri dari Neelendra dan merupakan gadis paling cantik yang pernah kulihat."
Liz memilah gaun yang diberi Raja Edward tadi untuk ia berikan pada Rosea dan beberapa gadis lain di sekitar rumahnya. Barang-barang mewah ini terlalu banyak untuk ia nikmati sendiri. Sementara itu, Eliz menatap ke luar dengan sedih. "Ya, ibu tahu. Sangat mirip dengan ibunya."
"Maaf, apa yang ibu katakan?" tanya Liz yang terhanyut dalam kegiatan memilah hadiah. "Aku tidak mendengar."
Elizabeth menggeleng cepat. "Tidak. Ibu tidak mengatkan apa-apa."
Liz berdiri dan memasangkan sebuah kalung dengan hiasan safir biru di leher ibunya. "Raja Edward juga memberi ini. Ibu suka warna biru, bukan? Ini untuk ibu. Dan, oh, ibu, gaun biru ibu yang ibu simpan di bawah tangga yang kupakai tadi malam... indah sekali, Bu. Aku merasa seperti putri dari Neelendra."
Elizabeth langsung menatap putrinya, melepas kalung biru itu dari lehernya. "Benarkah? Lalu dengan siapa saja kau berdansa? Apa kau jatuh cinta dengan seorang bangsawan?" tanyanya cemas.
"Aku belum sempat berdansa dengan siapa pun," jawab Liz tanpa mengalihkan pandangan dari hadiah-hadiah yang baru saja ia terima, kembali sibuk. "Putri Callisa pingsan saat akhir dansa pertama."
Ibunya mengembuskan napas lega. Jangan sampai putrinya merasakan sakit yang sama dengan dirinya. "Lalu?"
"Lalu... tidak ada lagi.” Kemudian Liz menambahkan, “Untuk masalah jatuh cinta, ehm, ibu tak perlu khawatir. Aku tahu apa yang ibu cemaskan. Aku percaya nanti ada seorang pemuda biasa yang akan melamarku.” Sebenarnya Liz tidak benar-benar yakin mengingat pikirannya tadi pagi, tetapi untuk menangkan ibunya ini merupakan hal yang tepat.
Elizabeth memegang kedua pundak Liz. "Berjanjilah pada Ibu, Liz. Kau tak akan jatuh cinta pada Raja Edward atau bangsawan mana pun. Berjanjilah!"
"Aku berjanji bu," balas Liz lirih.
Elizabeth tersenyum. "Bagus. Itu baru anak ibu."