(4) Rosea's Plan

1085 Words
"Aku berjanji akan kembali ke sini beberapa hari lagi untuk membayar semua biaya pengobatannya," ujar Will. Liz tertawa kecil. "Tak perlu. Anggap saja kita impas. Kau menyelamatkan nyawaku, aku mengobati lukamu karena menyelamatkan nyawaku. Benar?" Will menggeleng. "Aku sudah berjanji dan aku harus menepatinya. Sekali lagi terima kasih. Oh ya, di mana Rosea?" "Di kebun. Menanam beberapa tanaman untuk persediaan obat." Liz menunjuk ke arah kebun dengan dagunya. "Baiklah, sebaiknya aku pergi sekarang. Kawanku pasti sudah menunggu. Terima kasih untuk semuanya Liz." Will berjalan perlahan menuruni bukit. "Hati-hati!" teriak Liz dari depan pondoknya. ♚♚♚ Sebuah ketukan halus terdengar di pintu ruang kerja Raja Alroy, Edward. "Masuk!" perintahnya. William masuk dengan senyum terkembang di wajahnya. Melihat pemuda itu, Raja Edward berdiri dan menyambutnya. "William North Bill! Bagaimana kau bisa terlambat sampai ke sini?" tanya Edward penasaran. "Duduklah. Ada apa sebenarnya?" "Well," keluh Will. "Paman Roy mengadakan kudeta lagi. Dia ingin menguasai Bill. Jadi aku memutuskan menyelinap untuk meminta bantuan Alroy sendirian agar tidak menimbulkan kecurigaan jika ada yang melaporkan bahwa aku mengutus seseorang. Kau tidak keberatan bukan?" Edward tertawa. "Tentu saja tidak. Kau sudah kuanggap saudaraku sendiri. Kau juga sahabat Lista, mana mungkin aku menolak membantumu?" "Terima kasih, Yang Mulia. Kau sangat baik padaku dan kerajaanku. Kau tahu, menjadi kepala kerajaan di usia muda seperti ini sungguh melelahkan. Apalagi jika aku sudah resmi menjadi raja dua tahun lagi. Upacara penobatan itu benar-benar konyol," keluh Will lagi. Dia sering sekali mengeluh sejak kematian kedua orangtuanya, Raja Robert, dan Ratu Julia. "Bersabarlah Will. Aku akan membantumu. Sekarang, sebaiknya kau beristirahat saja. Ruanganmu sudah siap. Louis akan mengantarmu," ucap Edward. "Aku harus mengurus beberapa persiapan pertunanganku dengan Callisa." ♚♚♚ Seminggu kemudian, William kembali ke Wiser untuk menepati janji. Kedua mata biru Rosea terbelalak menatap seluruh barang-barang yang ada di hadapannya sementara kedua tangan Liz terlipat di depan dadad seraya menggeleng pada Will. "Kami benar-benar tidak bisa menerima semua hadiah ini Will!" tegasnya. "Semuanya terlihat mewah dan... mahal." Will terbahak. "Harusnya kau lihat wajahmu Liz. Lucu sekali. Nah, justru itu. Inilah tanda terima kasihku atas pengobatanmu minggu lalu. Kau ingat, aku sudah berjanji padamu." "Tapi Will, semuanya—" "Shhht!!!" potong Will. Jari telunjuknya bergerak ke kanan dan kiri di depan wajah Liz. "Tidak ada tapi-tapian. Ini perintah!" Liz langsung mengangkat sebelah alisnya. William segera menyadari kesalahannya. Dia kelepasan bicara. "Lebih baik kalian diam dan terima saja," katanya untuk menutupi kegugupan. "Yang Mulia Raja Edward juga mengundang kalian untuk menghadiri pesta pertunangannya besok. Aku akan mengirim kereta untuk menjemput kalian sekitar jam sembilan malam. Ini, undangan untuk kalian. Yang Mulia juga berterima kasih karena kalian telah menolongku." "Jadi kau seorang bangsawan?" tanya Rosea bersemangat.  Will kembali kelepasan. Tapi bagaimana lagi? Edward memang mengundang mereka berdua. "Yah, ehm, bisa dikatakan seperti itu. Aku adalah sahabat lamanya." Mata Liz menyipit. "Eh, sebaiknya aku pergi. Sampai bertemu di pesta, Liz, Rosea!" William segera berlari ke kudanya dan menuruni bukit yang diikuti orang-orang suruhannya. "Pemuda yang aneh," gumam Liz. "Menurutku dia tampan," sahut Rosea. Liz menoleh. "Oh, kau menyukainya, Ro?" Rosea tidak membalas, tetapi kedua pipinya yang bersemu memberikan jawaban pada Liz. "Kita tetap harus menjaga jarak, Ro. Kau juga tahu cerita ibuku, bukan? Sekarang lebih baik kita masuk. Banyak pasien menunggu kita." ♚♚♚ Elizabeth, ibu Liz, menatap putrinya tajam. Sedangkan yang ditatap hanya menundukkan kepalanya menatap lantai. Eliz akhirnya tersenyum dan mengusap rambut bergelombang anaknya dengan lembut. "Ibu sangat menyayangimu, Liz," ucapnya lembut. "Tapi kau tahu sendiri apa yang ibu alami di masa lalu. Ibu hanya takut apa yang ibu rasakan terjadi padamu, Sayang. Ibu sangat takut jika nanti kau jatuh cinta pada seorang pangeran dan berakhir seperti ibu di sini." Setetes air mata jatuh di pangkuan Liz. "Aku tahu ibu. Aku hanya ingin ke sana. Bukankah tidak sopan jika kita menolak undangan seorang raja dari negeri yang kita tinggali? Dan ini juga merupakan kesempatan langka. Aku janji, peristiwa yang ibu alami tak akan terjadi padaku. Ibu, aku mohon," pinta Liz. Eliz menghela napas berat. "Tidak, Liz. Cukup. Banyak pemuda di luar sana yang lebih baik dari salah satu pangeran atau raja yang memerintah tanah ini yang bisa mencintaimu dengan tulus. Sekarang, lebih baik kau tidur." Liz beranjak dari tempat duduknya menuju tangga untuk naik ke kamarnya. Tapi di tengah tangga dia berhenti dan menoleh ke arah ibunya. "Jika ibu tahu ada pemuda yang lebih baik dari seorang pangeran atau raja, kenapa ibu tidak mencarinya? Kenapa ibu malah lari dan membuat raja yang ibu cintai mencari-cari ibu dengan rasa bersalah seumur hidupnya?" Lalu Liz masuk ke kamarnya dan menutup pintu dengan agak keras sebelum Elliz sempat membantah. ♚♚♚ Liz menyandarkan tubuh lelahnya di kursi di balkon pondok. Gadis itu menatap sedih menara istana Alroy yang menjulang tinggi. Rosea sedang menaiki bukit menuju ke pondok sehabis mengantar nenek pasien terakhir turun. "Kurasa kau harus pergi ke sana sendiri malam ini, Ro," keluh Liz begitu Rosea duduk di sampingnya. Gadis muda itu menatap Liz kaget. "Mengapa? Jika kau tidak pergi, lebih baik aku juga tidak. Kau satu-satunya orang yang kukenal nanti, Liz. Yah, mungkin ada William, tapi dia kan bangsawan. Entah apa jadinya jika aku hanya pegi kesana sendiri." "Kau bisa berdansa dengan Will sepuasnya. Itu yang kau inginkan, bukan?" Liz mencoba tersenyum membesarkan hati Rosea. Rosea menggeleng, rautnya menjadi serius. "Jelaskan padaku apa yang terjadi?" "Ibu melarangku." Dua kata yang bersifat mutlak dan tanpa kompromi. "Mengapa? Apa masalahnya? Apa karena masalah ibumu? Lagipula acara ini Yang Mulia Raja Edward sendiri yang mengundang. Kita mendapat kehormatan---." "Lagipula," potong Liz, tidak menggubris omelan Rosea. "Semua gaun indah hadiah William North kemarin, yang akan kupakai malam ini, disembunyikan ibuku. Entah di bagian mana rumahku." "Disembunyikan? Aku tidak paham dengan ibumu, Liz. Ibumu baik. Hanya saja terlalu terpuruk pada masa lalu." Keheningan menguasai mereka berdua. Tiba-tiba Rosea berdiri dengan penuh semangat dan menatap Liz. "Baik, kita akan pergi malam ini. Sebaiknya kita mulai bersiap." "Kita?" Kedua alis Liz bertaut. Rosea mengangguk. "Dan aku memakai baju seperti ini?" Liz menunjuk pakaian kerjanya: terusan selutut berwarna salem yang sudah lusuh. "Tidak, Ro, aku lebih baik mempermalukan namaku sendiri daripada mempermalukan nama William dan Raja Edward di depan tamu-tamunya. Apa kata para bangsawan yang hadir?" "Gaun biru ibumu yang cantik itu!" seru Rosea girang, kedua matanya berbinar. "Kau bisa mengenakannya. Masih berada di tempat semula, bukan?" Liz mengangguk ragu. Itu gaun ibunya dari masa lalu yang disembunyikan di bawah tangga. Gaun tercantik yang pernah dilihatnya. Rosea kembali melanjutkan, "Datanglah ke sini setelah ibumu tidur, Liz. Kita manfaatkan kebiasaan ibumu agar kau bisa melarikan diri. Ibumu akan tidur jam tujuh malam, bukan?" Liz mengangguk lebih yakin. Lalu keraguan yang sempat hilang muncul kembali. "Ro, apakah mungkin rencana ini berhasil? Maksudku, aku memang sangat ingin pergi ke sana tapi aku juga tidak ingin ibuku—" Rosea mengangkat telunjuknya di depan mulut Liz. "Zzzt! Tak ada tapi-tapian Liz. Percayalah." Gadis itu menurunkan jarinya ketika melihat anggukan Liz. "Nah, tunggu apa lagi? Pulanglah dan temui aku secepatnya malam ini."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD