Terenggutnya Kesucian

1139 Words
“Kenapa kepalaku sakit sekali?” Vania memegangi kepalanya yang berdenyut nyeri sambil mengingat kembali apa yang terjadi padanya saat mulai terjaga pagi itu. Seingatnya ia menghadiri pesta salah satu kliennya, yaitu pesta kemenangan sebuah tender di Hotel Diamond bersama Rully, manajernya. Gadis itu juga ingat saat kepalanya mendadak pusing sehingga ia meminta manajernya segera pulang, sementara dirinya bersiap akan menghubungi supir pengganti. Herannya, setelahnya itu ia tak ingat apa pun lagi. Pelan-pelan Vania berusaha membuka matanya dan terkejut kala mendapati seorang laki-laki tampan berambut coklat yang ia kenali sebagai salah satu saingan perusahaannya. “Kenapa Anda bisa ada di sini bersamaku?” tanya Vania bingung. Laki-laki yang bernama Adrian itu tersenyum. “Justru aku yang harus bertanya, kenapa kamu mau menjadi hadiahku? Kalau aku sih senang-senang saja, apalagi kamu telah memberikan kepuasan padaku semalam.” “Maksud Anda?” Vania belum bisa mencerna semua yang ia alami dengan baik karena kepalanya masih terasa pusing. Apa maksud perkataan Adrian? Yang gadis cantik itu tahu laki-laki tampan yang sedang duduk mengenakan boxer, memamerkan tubuh atletis plus perut six packs itu adalah CEO plus pemilik perusahaan nomor satu di negaranya. Kenapa dirinya bisa sekamar dengan CEO genit yang hobi main wanita tersebut? Dan apa tadi, kepuasan? Apa maksudnya? Vania sontak melihat kondisinya sendiri dan benar-benar terkejut juga merasa hancur kala mendapati tubuhnya sudah polos tanpa sehelai benang di balik selimut. Gadis cantik itu juga melihat begitu banyak tanda merah di tubuhnya dan parahnya di atas seprei putih itu, Vania melihat dengan jelas darah kesuciannya yang sudah mulai mengering, membuat hatinya tercabik-cabik. Harta yang ia jaga sejak remaja hingga menginjak usia 27 tahun di mana dirinya telah sukses menjadi seorang CEO muda di perusahaan papanya sendiri, kini hilang begitu saja, tanpa ia sadari. “Apa yang Anda lakukan padaku?” pekik Vania histeris sambil menggenggam erat selimut, menutupi tubuh polosnya. Adrian tertawa. “Kamu itu lucu. Kamu sendiri yang menawarkan diri menjadi hadiahku. Ya, walaupun aku benar-benar terkejut ternyata kamu masih perawan. Sekarang kenapa kamu malah menyalahkanku? Bukannya kamu yang menyerangku duluan semalam?" CEO cantik itu menggeleng beberapa kali, tak percaya dengan apa yang disampaikan Adrian. “Tidak mungkin!? Itu tidak mungkin. Aku pasti dijebak di sini.” Vania yakin Adrian memutarbalikkan fakta. Ia yakin Adrian yang menjebaknya. “Kamu tidak dijebak sama sekali. Orang kamu sendiri yang datang kemari dalam keadaan mabuk berat. Aku, ya, senang aja menerima hadiah yang datang padaku,” jelas Adrian menyeringai lebar, merasa benar-benar puas bermain panas dengan perawan cantik itu beberapa kali tadi malam. “Maksud kamu apa hah? Aku bahkan tidak mengerti apa yang terjadi padaku. Kamu pasti memanfaatkan keadaanku yang tidak sadar, kan? Aku yakin aku pasti dijebak. Harusnya kamu tidak melakukan apa-apa padaku. Kenapa kamu ambil kesempatan, Sialan?” “Ya, kamu memang mabuk berat. Sepertinya kamu terlalu banyak minum. Namun, setelah kamu setengah sadar, kamu duluan yang menyerangku. Apa kamu lupa semua kejadian yang kita alami semalam? Aku pikir kamu menikmatinya. Kamu bahkan nyaris membuatku kewalahan sampai pagi.” Adrian menerangkan apa yang ia dan gadis cantik itu lakukan semalam dengan gamblang. Vania menggeleng keras. “Tidak ... itu tidak mungkin. Aku tidak semurah itu.” “Yaaah, sayang sekali aku tidak merekam kejadian itu, saking nikmatnya bermain denganmu," seloroh Adrian santai sambil menyeringai nakal. Tiba-tiba kilasan demi kilasan serta cuplikan kejadian yang terjadi semalam terputar jelas di otak Vania dan itu sungguh sukses menghujam jantungnya. CEO cantik itu mulai teringat apa saja yang ia lakukan ketika mulai setengah sadar. Hatinya benar-benar hancur. Namun, gadis cantik itu tidak mau menangis di depan Adrian. Vania tak sudi menunjukkan kelemahannya pada laki-laki b******k yang sepertinya sengaja menjadikannya target sejak sama-sama berada di pesta. “Kamu sengaja mengambil kesempatan dariku. Harusnya kamu tahu kalau itu bukan kemauanku. Aku tidak sadar dan kamu memanfaatkan kesempatan,” jerit Vania. “Maaf, Nona. Aku sama sekali tidak memanfaatkan kesempatan. Orang kamu sendiri yang mau, kok," tukas Adrian mengatakan yang sesungguhnya. “Aku sedang mabuk dan kamu memanfaatkanku ...” pekik Vania. “Atau memang kamu sudah menargetku dan menjebakku agar mabuk supaya bisa kamu tiduri. Itu yang terjadi, kan?” tuding Vania geram. “Susah, ya, ngomong sama kamu. Mending berhentilah mengamuk dan membuang energimu! Semuanya juga sudah terjadi di mana kita sudah melakukan permainan yang begitu panas, hingga rasanya aku ingin mengulanginya lagi dan lagi. Jujur saja, baru pertama kali aku merasakan kenikmatan menyentuh seorang wanita. Dari sekian banyak wanita yang naik ke ranjangku, hanya kamu yang istimewa. Karena itu aku ingin memberikan kamu sebuah penawaran.” Adrian memindai tubuh Vania yang indah dari balik selimut sebelum mengutarakan keinginan gilanya. Sementara Vania menatap sengit laki-laki yang sudah mengambil kesuciannya. “Apakah kamu mau menjadi partner ranjang jangka panjangku, Nona? Aku akan memberikan kamu kemewahan yang kamu inginkan.” Mata Vania membulat lalu menatap garang Adrian, meluapkan kemarahannya. “Kamu benar-benar sudah gila. Aku tidak butuh kemewahan apa pun, Sialan!” “Jangan naif, Nona! Tak ada wanita di atas dunia ini yang tidak menginginkan kemewahan. Aku bisa mencurahi kamu semua yang kamu mau dan—” “Kamu tidak mengenalku rupanya,” potong Vania geram. Adrian menyeringai lebar. “Terlalu banyak wanita cantik yang naik ke ranjangku sehingga aku tidak akan mungkin menghafalkan wajah ataupun nama mereka satu persatu, Nona. Namun, khusus untuk kamu sepertinya berbeda. Aku akan selalu mengenang wajah kamu dan semua permainan panas kita semalam karena kamu yang ternikmat di antara semua wanita yang pernah aku tiduri.” “Dasar b******k! Sampai mati pun aku tidak mau menerima penawaran gila kamu, Sialan!” maki Vania meluapkan seluruh amarahnya. Vania lalu turun dari ranjang, menyeret langkahnya menuju ke kamar mandi. Dirinya benar-benar hancur lebur saat ini. Namun, ia tak akan mungkin menyerah lalu mengakhiri hidupnya hanya karena masalah ini. Ada mama dan papa yang harus dibahagiakan. Ada sebuah perusahaan yang membutuhkan kepemimpinannya, membuat Vania meredam semua sakit di hatinya yang rasanya jauh lebih perih dibandingkan area sensitifnya yang sudah berhasil disentuh oleh pria jahat itu berkali-kali, membuat harga dirinya hancur berkeping-keping. Secepat kilat Vania memunguti pakaiannya di lantai, kemudian mengenakannya kembali lalu meninggalkan kamar laki-laki itu begitu saja sambil membatin penuh tekad dalam hatinya dan bersumpah tidak akan membiarkan kejadian itu begitu saja. Akan ia singkirkan siapa saja yang sudah terlibat akan jebakan yang ia alami. “Aku pastikan kalian semua akan hancur di tanganku,” batin Vania bertekad. Sementara Adrian berusaha memanggil Vania, berniat menghentikan langkahnya dan kembali bernegosiasi soal penawarannya tadi. “Hei, Nona. Tunggu! Kamu mau pergi ke mana? Pikirkan lagi apa yang aku tawarkan tadi! Itu benar-benar menguntungkan untukmu.” Vania sempat menoleh sekilas sambil menatap tajam Adrian, bertekad akan membuat laki-laki itu hancur sehancur-hancurnya sebagaimana ia menghancurkan harga diri serta kehormatan yang telah ia jaga seumur hidup. “Aku tidak akan pernah mau menerima penawaran kamu, b******k. Bersiap-siaplah menerima semua akibat dari apa yang kamu sudah lakukan padaku!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD