2 – Jebakan Batman

1944 Words
Anne yang Irawan kenal itu, gadis manis, periang, baik hati, perhatian, penuh kasih sayang dan dulu sangat dipuja-puja oleh putra kedua dari keluarga Dwisastro itu. Sayang, semua sifat serba sempurna itu luluh lantak tak bersisa ketika gadis manis itu dengan tiba-tiba menjauh begitu mengetahui Irawan menolak untuk meneruskan posisi sang ayah sebagai orang nomor satu di Galeea Construction. Ckk … padahal Irawan sudah sangat yakin sebelumnya, bahwa Anne ini berbeda dengan beberapa kekasih yang sebelumnya. “Aku sedang merintis Worley Group An.” bela Irawan kala itu. Masih mencoba mengemukakan alasan dibalik penolakannya menerima tawaran menggiurkan sang ayah. “Tapi kamu cuma punya dua pilihan Wan, terima tawaran dari papa kamu atau kamu harus rela lepasin aku.” tegas Anne, gadis yang hampir dua tahun ini menjalin kasih dengannya. Sejak tahun terakhir masa perkuliahan lebih tepatnya. Gadis dengan pembawaan tenang yang memenangkan hati Irawan sejak putus dari kekasih sebelum-sebelumnya. Mendengar respon Anne yang memasang wajah serius, Irawan hanya bisa tersenyum miring. Setelah menghembuskan napas pelan, pria tegap itu menggeleng tak habis pikir. Tak menyangka lebih tepatnya. Irawan merasa melakukan kesalahan yang sama selama dua tahun ini. Merasa dibodohi dengan perasaan yang sama dengan yang pernah ia alami sebelumnya. Dengan gadis yang berbeda tentu saja. Tapi ini Anne loh, si pendiam dan kalem yang juga banyak jadi incaran pemuda lain seangkatan dengan Irawan dulu. “Ternyata kamu lebih condong ke warisan Papa dari pada ke perasaan tulus yang selama ini aku berikan ya An.” gumam Irawan menegakkan punggungnya pada sandaran kursi. Gadis dengan rambut kecokelatan di hadapannya bergeming tanpa suara. “Bukan begitu, tapi kan itu kesempatan juga buat kamu biar lebih berkembang Wan.” “Aku sudah bilang berkali-kali An. Galeea punya Papa, biar nanti Arya yang meneruskan. Aku ingin mandiri seperti mas Seno yang dari awal memilih jalannya sendiri tanpa membawa nama besar Papa.” “Perusahaan kamu kan baru banget Wan, pasti lebih cepat dikenal orang juga kalau kamu ambil alih Galeea.” ucap Anne masih mencoba meyakinkan kekasihnya. Lagi-lagi Irawan menggeleng pelan. Firasatnya berkata, hubungan yang begitu ia yakini selama ini akan kandas seperti ke empat gadis sebelumnya. Gadis yang menerima cintanya hanya karena harta dan nama besar keluarga semata. “No. Worley sudah jadi impianku sejak lama, kamu tau benar tentang itu An. Jadi aku akan tetap perjuangkan tanpa harus membawa nama besar Papa sebagai penyokong. Meskipun… kamu ikut menyerah untuk membersamai seperti sebelumnya.” "Oke, fine. Tapi maaf, berarti itu artinya kamu gak bisa perjuangin aku lagi." Anne menarik tangan kanan yang sebelumnya digenggam oleh Irawan. Irawan mengangguk samar. "Ternyata perjuangin kamu harus bawa-bawa nama besar Galeea dan Dwisastro juga ya An? Padahal aku dulu sangat yakin kalau kamu beda dari gadis yang lainnya. Ternyata ..." "Aku hanya bersikap realistis Wan. Demi masa depan kita juga, tapi ternyata kamu sendiri yang gak mau kan?" gadis dengan nama lengkap Annette Priskila itu mulai merapikan ponsel dan barang bawaannya ke dalam tas kecil yang selalu ia bawa. "Maaf aku pulang dulu." pamit Anne kemudian. "Aku antar pul—" "Aku bisa pulang sendiri." gunting Anne tak ingin memberi kesempatan pada Irawan untuk menuntaskan kalimatnya. Entah apa yang merasuki Anne kala itu, nada bicara juga ekspresi wajahnya tampak sangat berbeda dengan Anne yang selama ini ia kenal dan kagumi. Apa ini … sosok Anne yang sebenarnya? "Tapi An—" Suara bel yang berasal dari pintu apartment mewah Irawan membuyarkan lamunan Irawan akan pertemuan terakhirnya dengan sang mantan kekasih yang telah kandas beberapa tahun silam. Mengerjap sebentar, Irawan gegas bangkit untuk membuka pintu apartement. Itu pasti Andi, asisten pribadi, sekaligus sekertaris, sekaligus sahabat yang paling ia percayai sejak bertahun-tahun silam. Meski usia Andi terpaut dua tahun di bawah Irawan, tapi soal kedewasaan, pria itu benar-benar bisa diandalkan. Begitu juga dengan semua pekerjaan yang ditangani Andi selama ini. Semuanya nyaris sempurna tanpa cela. Begitu Irawan membuka lebar pintu apartmentnya, Andi sudah tersenyum lebar di hadapannya. Alis Irawan mengerut seketika melihat ekspresi tak biasa dari asistennya ini. “Ngapain pagi-pagi wajah lo udah meringas meringis gak jelas?” tanya Irawan penasaran. Di luar kantor seperti ini Irawan dan Andi selalu berbincang dengan bahasa informal seperti ini. Menghilangkan sejenak gap antara atasan dan pegawainya. Tak menunggu untuk dipersilakan masuk oleh sang pemilik hunian, tanpa suangkan Andi langsung saja melepas alas kaki dan berjalan santai melewati atasannya dengan membawa beberapa map tebal berisi berkas yang semalam dipesan oleh Irawan. “Gue meringis karena perasaan gue lagi gak enak pagi ini.” jawab Andi setelah ia duduk di sofa panjang di ruang tengah apartment yang beberapa kali ia datangi jika si boss besarnya ke Surabaya. “Perasaan gimana?” “Ya kali elo panggil gue pagi-pagi gini ke apartment kalau gak ada sesuatu yang urgent banget boss.” sambung Andi lagi seraya membuka minuman kaleng yang sudah tersedia di tengah meja. Irawan terkekeh kecil, belum mau menanggapi. Tapi memang benar tebakan Andi mengenai alasannya diminta datang pagi-pagi ke apartment ini. Tentu saja untuk menjadi penolong Irawan dari kedatangan Rossie, sekertaris sang ayah yang beberapa hari lalu mendadak sangat rajin menghubunginya. Bahkan menawarkan diri membawakan berkas dari kantor pusat yang perlu Irawan pelajari sebelum masuk kantor, dan menjadi pengganti sementara posisi Adiyatma Dwisastro. Begitu duduk di sofa tunggal yang tak jauh dari sang asisten, barulah Irawan membuka suara setelah mati-matian menahan gelak tawanya karena tebakan Andi yang jarang sekali meleset. “Gue curiga elo punya indera keenam yang gak lo sadari Ndi. Kenapa nggak jadi dukun aja sih?” “Jadi beneran kan? elo sengaja suruh gue ke sini pagi-pagi karena ada maunya?” Andi mengacungkan telunjuknya ke udara. “Yuupp.. kurang lebih seperti itu. Tolongin gue lah pokoknya.” “Tolongin dari hal apa?” Andi mengernyit tak paham, pertolongan dari hal apa maksud Irawan. Irawan menyipitkan mata sambil tersenyum tipis. “Bentar lagi lo juga tau. Tungguin aja, gue siap-siap dulu.” “Lo mau siap-siap kemana woi?” Pertanyaan Andi tak terjawab karena Irawan sudah terlanjur masuk ke kamarnya untuk sekedar berganti pakaian. Dari yang sebelumnya hanya mengenakan kaos polos berwarna putih dipadu dengan celana piyama bermotif garis-garis vertikal. Beberapa menit kemudian pria bermata sipit itu sudah kembali muncul dengan penampilan yang lebih rapi dengan kaos berkerah dan celana kain berwarna gelap. “Gue mau jalan ke Casablanca dulu, udah lama banget kan gak ke sana. Ada kali delapan bulanan sejak kita tinggal buat garap mall di Batam.” “Laah, terus elo nyuruh gue ke sini buat ngapain boss? jagain apartment lo biar gak geser dibawa keong gitu?” Irawan menyemburkan tawanya untuk beberapa saat. “Lo di sini aja, pelajari kerjaan kita selama pegang Galeea sampe tahun depan. Pasti banyak yang harus lo hafalin juga kan orang-orang antar divisi, manager-manager sama kepala proyek di sana.” Mendengar Irawan yang menjawabnya dengan begitu tenang, Andi semakin curiga bahwa boss nya ini sedang merencanakan hal lain di belakangnya. Dan, benar saja, ketika bel apartment berbunyi untuk kedua kalinya, semua pertanyaan di kepala Andi terjawab sudah. Apalagi setelah telinganya menjaring suara pelan seorang wanita yang masih asing baginya. “Ooh.. ada rekan pak Irawan juga ternyata. Saya kira hanya saya sendiri yang datang ke sini. Hmm.. ini cuma saya bawakan sedikit camilan.” suara seorang gadis muda yang baru saja tiba membuat Andi menengadahkan kepala. “Nggak sendirian dong. Oke Ndi, ini namanya Rossie. Sekertaris Pa— pak Adiyatma yang akan bantu kamu pelajari semua hal tentang Galeea Construction. Rossie, ini Andi Pamungkas. Sekertaris sekaligus sahabat saya yang akan mendampingi saya selama ada di Galeea. Silakan berkenalan dulu, semoga bisa bekerja sama dengan baik. Karena kalian berdua akan banyak kerja bareng nantinya.” jelas Irawan begitu ia kembali ke ruang tengah dengan diikuti seorang gadis muda berpenampilan modis berjalan di belakangnya. “Haii mas Andi, saya Rossie.” gadis bernama Rossie itu tersenyum basa-basi, lantas sedetik kemudian mengulurkan tangan terlebih dahulu. “Senang berkenalan, semoga kita bisa bekerja sama dengan baik mas Andi.” Bersikap sopan, Andi berdiri lantas mengangguk singkat. “Hmm, senang berkenalan. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik ya Rossie.” jawab asisten Irawan itu sembari melengkungkan senyum. “Silakan duduk dulu, saya ambilkan minuman dingin buat teman camilan yang kamu bawa.” Irawan mempersilahkan Rossie untuk duduk bergabung dengan Andi. Gadis itu hanya bisa memasang senyum tipis seraya mengangguk canggung. Sejak semalam Irawan sengaja memaksa Andi untuk mempelajari tugas barunya di Galeea di apartmentnya saja. Alasannya tentu saja karena Irawan enggan jika harus berdua saja dengan lawan jenis, meskipun dalam keadaan profesional sebatas pekerjaan. Tapi setelah mendengar pengakuan sang ayah bahwa Rossie menaruh hari padanya, Irawan semakin yakin untuk mengikutsertakan Andi dalam agenda pagi ini. Hampir tiga puluh menit berlalu, ketiganya benar-benar larut dalam perbincangan seputar pekerjaan baru Irawan di Galeea. Sampai Irawan merapikan ponsel dan kunci mobilnya ke dalam tas kecil yang ia sampirkan di samping tubuhnya. “Hmm … udah jam sepuluh nih.” Irawan melirik sekilas ke arah jam tangan yang melingkar sempurna di pergelangan tangan kirinya. “Saya harus keluar ada janji sama Edward di Casablanca. Kalian berdua lanjutin dulu tanpa saya ya. Bisa kan?” Irawan melirik tajam ke arah Andi yang sudah mendelik karena merasa dijebak oleh atasannya sendiri. “Tapi pak Irawan, saya belum jelaskan tentang proyek kerjasama Galeea yang harus deal dua minggu mendatang kan?” sela Rossie menatap lekat ke arah Irawan. Seolah tak rela jika pria jangkung dengan senyum mematikan itu akan meninggalkan dirinya berdua saja dengan sang asisten. Sembari memasukkan salah satu tangannya ke dalam saku celana, Irawan menarik napas dalam-dalam seraya menyunggingkan senyum dan menatap bergantian pada Andi dan Rossie. “Kamu bisa jelaskan semuanya ke Andi. Dia jauh lebih handal menyerap informasi dari yang kamu bayangkan Rossie. Iya kan Andi?” “Terima kasih sanjungannya boss.” Andi manggut-manggut saja sebagai jawaban. Paham sudah ia, kenapa ingin segera pergi dari apartmentnya. Ternyata Irawan merasa jengah dengan tatapan dari Rossie yang menatap Irawan dari ujung kaki hingga ujung kepala seolah menjadi kamera pengawas yang bertugas merekam semua gerak gerik Irawan. Ditatap seperti itu tentu saja Irawan merasa risih dan tak nyaman. Benar ternyata apa yang diucapkan sang ayah beberapa hari lalu, bahwa Rossie ini memiliki ketertarikan tersendiri pada Irawan. Tapi tatapan matanya itu lho ... ckk.. bikin risih. “Oke kalau begitu saya tinggal dulu. Ketemu lagi hari senin di kantor ya Rossie. Ah.. iya jangan lupa pesan saya yang tadi. Siapkan ruangan khusus untuk Andi yang sangat dekat dengan ruangan saya.” Rossie menarik napas sekilas. Senyumnya yang terlihat sangat terpaksa masih melekat di sudut bibirnya. “Ba- baik pak.” “Andi ikut saya sebentar ke depan.” Irawan memberi isyarat pada Andi dengan sebelah tangan agar pemuda itu mengikuti langkahnya ke pintu apartment. Menjauh dari ruang tengah, kedua pria itu berhenti tepat di depan pintu apartment. “Jadi ini maksud dari ‘tolongin gue’ yang tadi?” todong Andi sambil menggelengkan kepalanya pasrah. Irawan menunduk menahan tawanya. “Gue juga baru tau dari Papa beberapa hari lalu Ndi. Ternyata risih juga ya..” Irawan bergidik tiap mengingat lirikan dari Rossie tadi. “Pokoknya gimana caranya elo yang handle deh, gue gak ada minat.” “Ckk.. parah lo Boss. Tiap dideketin cewek pasti jawabannya sama, dan selalu gue yang kena jebakan batman gini.” “Udah sana lo masuk lagi, gue cuma mau bilang, nanti kalau kalian berdua pulang, lo panggilin cleaning service yang biasanya dari apartmen. Terus kalau bisa lo juga yang antarkan Rossie pulang, yang gentle gitu. Anggap aja basa-basi buat perkenalan kalian. Dan satu lagi…” Irawan menjeda kalimatnya sambil mengangkat telunjuk. “Hmm.. apaan?” “Jangan terpancing buat omongin hal-hal diluar pekerjaan, apalagi soal privasi gue. Haram!!” “Siap, pak Boss.” *** Baca authors note ya...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD