3. Jomblo Awet

1393 Words
Pagi hari sekali, Irawan sudah bersiap untuk berangkat ke Galeea Construction. Ini hari ketiga pria jangkung itu masuk kerja sejak diperkenalkan pada jajaran direksi sebagai pengganti Adiyatma Dwisastro, ayahnya. Sang ayah sendiri sejak satu minggu yang lalu sudah berangkat ke Singapura untuk melakukan check up di rumah sakit yang dikelola oleh Seno, putra sulungnya. Berjalan pelan ke pantry, Irawan memutuskan membuat roti bakar untuk mengganjal perutnya. Pria jangkung itu tak biasa sarapan berat sepagi ini, jadi dua lembar roti dan segelas kopi rasanya sudah cukup untuk memulai hari barunya sebagai orang nomor satu di Galeea Construction. Menunggu rotinya siap, Irawan membuka tabletnya sambil membaca beberapa poin penting yang akan menjadi bahasan di rapat pertamanya siang nanti. Andi sudah merangkum dan mengirimkan email tentang apa saja yang perlu Irawan pelajari, jadi ia tak merasa kesulitan sama sekali. "Siang ini jam sebelas ada meeting terakhir dengan beberapa orang dari yayasan yang kemarin Wan, eeh.. pak." seru Andi pada sang atasan yang sedang fokus menatap layar laptopnya lantas beralih ke lembaran-lembaran kertas di depannya untuk ia periksa sekali lagi sebelum ditandatangani. "Hmm, siapkan saja berkasnya yang mana, kirim juga salinannya ke email." Irawan mengangguk lantas menekan layar tabletnya agar menampilkan email terbaru. "Siap." Andi yang kini sudah duduk di depannya juga ikut menekan tablet untuk segera mengirim salinan yang Irawan minta. "Ah iya, satu lagi, Boss." potong Andi kembali mengangkat wajahnya. "Ibu tadi telpon, katanya jam dua siang ini pak Irawan harus menjemputnya ke rumah dan mengantarkan beliau ke Rungkut. Ke salon yang baru-baru ini menjadi langganannya." "Ibu?" Irawan mengerutkan kening saat membalas tatapan asistennya. "Mama maksudnya?" Andi memberi anggukkan mantap sebagai jawaban. “Mama udah balik dari Singapura?” Andi mengangguk lagi, kali ini lengkap dengan senyum lebar yang melengkung di kedua sudut bibir tipisnya. “Sudah sejak kemarin lusa.” "Salon mana lagi sih? Astaga mama ini ... lagaknya kayak gak ada supir aja deh. Mana mendadak gini." gerutu Irawan spontan. Andi tertawa samar namun sedetik kemudian langsung menutup mulutnya demi menahan tawa. Tak sopan kan jika menertawakan seseorang di depannya secara langsung, apalagi ini atasannya sendiri. “Sabar boss, namanya juga orang tua, kadang ingin manja ke anaknya sendiri. Turutin aja biar seneng.” “Ckk … sok tau!” decak Irawan. ”Karena Ibu saya juga kadang seperti itu kalau lagi kangen sama anaknya.” “Tapi mama ini sering banget loh, dan yang selalu jadi sasarannya ya ….” Irawan melirik ke kanan dan kiri untuk memastikan tak ada orang lain yang mendengarkan pembicaraan mereka pagi ini. “Ya gue.” Masih ingat kan kalau Irawan dan Andi ini sahabat dekat yang sering ber’elo-gue’ ketika hanya berdua tanpa ada rekan kerja mereka yang lain. “Turutin aja sih boss, toh nggak setiap hari. Anak bu Hanami yang paling dekat kan hanya boss, Arya sibuk kelarin kuliah, pak Seno di luar negeri. Jadi ya wajar kalau bu Hanami ingin punya me time dengan anaknya yang paling workaholic ini.” Irawan mendebas napasnya panjang. Benar juga sih apa yang dikatakan sekertarisnya ini, sang mama tercinta memang manja padanya. Tapi nggak yang setiap hari juga. Paling hanya satu kali dalam satu minggu, paling banyak dua kali lah. Dan itupun selalu mereka berdua habiskan dengan kegiatan yang menyenangkan kok. “Oke, oke beresin aja semua dokumen buat hari ini. Lebih cepat lebih baik.” Andi mengangguk sekali lantas bangkit dari tempat duduknya hendak keluar dari ruangan Irawan. “Eh, Ndi jangan lupa beliin sarapan pecel yang kayak kemarin lusa. Bumbunya dipisah, peyeknya yang banyak, yang peyek kacang aja jangan peyek udang. Dadar jagungnya lebihin. Udah sana balik, cepetan.” Usir Irawan mengibaskan sebelah tangannya. “Ckk, pak bos ihh … judulnya aja CEO, sarapan masa pecel sih? Steak gitu dong.” ejek Andi lantas terkekeh pelan. “Sekertaris satu cerewet amat sih.” Irawan berdecak sekali lantas mengangkat tangannya yang memegang pulpen hendak melemparkannya pada Andi. “Punya chef pribadi fungsinya apa coba?” ledek Andi lagi kali ini tergelak kecil. “Astaga ni orang ya, chef pribadi itu di rumah Mama, bukan di apartment gue.” pekik Irawan sambil mendelik sinis ke arah Andi yang sudah berlari kecil keluar dari pintu ruangannya. “Buruan beliin, perut gue udah laper lagi cuma diganjal roti.” “Iya, iya ampun.” suara Andi masih terdengar meski dari kejauhan. Melanjutkan pekerjaannya hingga sinar matahari mulai meninggi, Irawan bahkan hampir saja lupa dengan janjinya untuk menjemput sang mama. Getar pelan dari ponsel yang letakkan asal di sebelah laptop lah yang membuat pria tampan itu mengingat titah dari perempuan kesayangannya itu. “Iya, Mama.” “Assalamua’laikum dulu mas Awan,” sahut suara pelan dari seberang sana. Hanami Dwisastro. “Eh iya, Assalamua’alaikum, Ma.” sahut Irawan lantas terkekeh. “Wa’alaikumsalam, naah gitu dong.” jawab Hanami lega. Irawan menutup layar laptop di hadapannya, karena sedikit banyak sudah bisa menebak apa yang akan dibicarakan oleh sang ibu. Perempuan paruh baya kesayangannya itu pasti akan merengek ingin diantarkan olehnya ke sana kemari untuk me time. “Ada apa Mama, sayang?” Irawan melancarkan ajian mulut manisnya pada sang mama. “Ah, kamu sok tanya segala. Buruan jemput mama di rumah ya, mama tunggu. Sekarang.” “Eh tapi, Ma—” kilah Irawan mencoba mengulur waktu. “Enggak ada tapi-tapi, Mama tau jadwalmu hari ini. Meetingmu juga udah selesai kan?” terdengar kekehan kecil dari Hanami di seberang sana. “Ah Mama pasti habis interogasi si Andi tentang jadwal kerjaku, kan?” tebak Irawan sama sekali tak meleset. “Woiya jelas dong, Mama kangen sama anak jomblo kesayangan mama. Masa kamu nggak kangen Mama sih mas? padahal sejak pulang dari Singapura kita belum ketemu loh, kamu juga belum sempat pulang ke rumah juga kan?” “Iya … kangen, Ma, kangen. Bentar lagi aku jemput ya?” jawab Irawan pada akhirnya. “Emang mau kemana sih Ma?” Sambil merapikan meja kerjanya Irawan mulai mendengarkan keluh kesah Hanami yang mengaku bosan dan kelelahan sejak pulang dari Singapura untuk check up rutin suaminya. Sebenarnya Irawan sudah hampir hapal dengan tindak tanduk sang mama yang memang sering seperti, tapi Irawan lebi senang saja jika mendengarnya secara langsung. “Ya pokoknya anterin mama treatment dulu di salah satu salon baru di kawasan Rungkut. Mama habis lihat social media salon itu, dan kayaknya enak banget di sana mas. Mama mau totok wajah sama perawatan lengkap aja biar lebih seger gitu.” “Iya, Mama. Tungguin ya, ini aku lagi beres-beres. Mama siap-siap aja dulu, begitu aku nyampe rumah biar langsung berangkat aja.” pungkas Irawan pada akhirnya. Hanami tak pernah sekalipun menunda-nunda apa yang menjadi keingingan anaknya, jadi sekarang pun Irawan tak ingin menunda-nunda melaksanakan titah dari perempuan hebat yang telah melahirkannya ke dunia. Tak ingin membuang waktu, Irawan segera berpamitan pada sekertaris juga pekerjanya yang lain bahwa ia pulang lebih awal dari kantor. Meskipun pria itu akan bepergian sebentar dengan sang ibu, tapi di kepalanya sudah tersusun beberapa rencana yang akan ia kerjakan selama menunggu Hanami melakukan perawatan. “Mama mau ngapain lagi sih ke salon, udah cantik kece badai gini juga?” tanya Irawan ketika ia sudah berada di dalam mobil bersama sang Mama. “Hueiii anak muda, buat perempuan itu ya … ke salon itu bukan hanya untuk mempercantik diri loh. Tapi juga bisa stress healing dan mengurangi kepenatan.” jawab sang ibu santai sembari sibuk mengutak-atik ponselnya. Terkekeh pelan, Irawan menoleh sekilas pada sang Mama yang duduk di kursi penumpang sebelahnya. “Emang Mama penat kenapa? mikirin Papa?” tanya Irawan. “Papamu mah, gak pernah bikin Mama penat, Mas.” Hanami memiringkan bibir ke arah putra keduanya. “Terus?” “Penat karena kamu yang gila kerja sampe gak lulus-lulus jadi jomblo, awet banget dah. Padahal Mama udah kangen banget pengen punya mantu lagi.” Jawaban Hanami yang sontak saja membuat sang putra melongo. Oke lah dirinya memang gila kerja, tapi bukannya itu bagus ya bagi seorang pria. Lalu soal jomblo? itu bukan keinginan Irawan juga kan? “Astaga Mama!!” desah Irawan mengusap wajahnya kasar. “Dikira cari jodoh segampang cari barang di supermarket apa ya?” “Ckk, kamu mah jago ngeles terus Mas.” decak Hanami. “Mama yang cariin aja gimana?” Irawan sontak mendelik horror ke arah sang Mama. Perjodohan dengan bumbu bisnis di kalangan pengusaha kelas kakap memang bukan hal yang baru ia dengar, tapi untuk dirinya sendiri, Irawan mengharamkan hal tersebut. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD