Part 8 ( Kesepakatan anak )

1000 Words
***************** Sekitar pukul 10 malam Ziyan dan Arga baru tiba di rumah. Ketika akan menaiki tangga menuju kamarnya, Arga menahan lengan istrinya itu. "Ziyan, tunggu!" Ziyan menoleh dan bertanya hanya dengan menggunakan ekspresi wajahnya. "Kuharap... kau tidak terlalu memikirkan apa yang di katakan tante Sintia saat makan malam tadi." Ziyan mengernyit bingung. "Perkataan yang mana?" Arga menelan ludah. "Mengenai anak." "Ah~ itu " Ziyan mengangguk beberapa kali. "Kalau itu... tentu saja aku memikirkannya, bahkan aku juga sudah menemukan solusinya." "Benarkah?" Arga merasa cukup terkejut. Ziyan mengangguk. Lagi. "Ya, aku bisa mengerti jika Papa sama Mama pasti ingin segera memiliki cucu,begitu juga dengan Ayahku." Ziyan menjeda sejenak. "...wajar jika mereka berharap besar pada kita berdua." "Hn..." Arga pun mengakui. "Karena itulah aku sudah memikirkannya dengan matang." Ziyan menatap lurus pada Arga "Kau bisa memiliki anak dengan Risa." Seketika itu mata Arga pun terbelalak. "A-apa?" Dia tidak salah dengar bukan? "Apa maksudmu?" Tanya Arga memastikan. Ziyan menarik napas terlebih dahulu. "Kau bisa menyuruh Risa untuk mengandung anakmu.Aku tidak keberatan jika harus menjadi ibunya dan merawat anak kalian untuk sementara. Tapi dengan catatan, anak itu harus mirip denganmu karena kalau mirip Risa, orang tuamu pasti akan curiga nanti." "T-tapi... aku bahkan sudah lama tidak... menyentuh Risa ." Aku Arga dengan terbata. Beberapa bulan belakangan ini entah kenapa setiap kali akan menyentuh Risa,Arga selalu entah kenapa dia selalu terbayang wajah Ziyan, membuatnya jadi kehilangan minat. Paling jauh mereka hanya berpelukan atau berciuman saja, bahkan ketika mereka tidur dalam satu ranjang sekali pun. "Apa bedanya? Toh sampai sekarang kalian masih menjalin hubungan bukan?" Arga terbungkam, membuat Ziyan menunjukkan senyum culas. "Kalian tinggal melakukannya saja lagi sampai berhasil ." Tambahnya. "Dan pastikan dia mengandung anakmu kali ini. Lagipula aku yakin kalau kau juga pasti ingin memiliki anak dari wanita yang kau cintai bukan?" Arga masih bergeming. Semua yang dikatakan Ziyan mungkin benar, tapi kenapa hati Arga seolah tak setuju? "Kenapa... harus Risa ? Kenapa bukan dirimu saja? Bukankah dulu... kamu menginginkan aku menyentuhmu ?" Tanya Arga dengan suara rendah. Benar, Ziyan dulu sangat ingin melakukan malam panas bersama Arga. Tapi itu dulu. Sebelum Risa datang dan menghancurkan segalanya. Ziyan memandang suaminya beberapa saat sebelum menggeleng. "Tidak, aku tidak mau." "K-kenapa?" Ziyan mendengus. "Untuk apa aku mengandung dan melahirkan anakmu disaat kita juga akan berpisah suatu hari nanti?" 'Deg' "Lagipula... sepertinya... aku tidak akan sanggup melakukannya. Itu sangan merugikanku " Arga tercenung. "Enak saja ,kamu beruntung mendapatkan keperawananku ,sedangkan aku mendapatkan bekas wanita lain ." Arga semakin tertohok .Fakta itu memang menyakitkan. Ziyan segera memalingkan wajahnya. "Sudah malam. Aku lelah. Kita bicarakan ini lagi lain kali lagi saja." Setelah itu, Ziyan pun berbalik pergi meninggalkan Arga yang masih mematung di bawah tangga memperhatikannya.Arga mengepalkan tangan karena merasa sedikit kesal dengan jawaban Ziyan namun dia juga tidak bisa untuk menyangkalnya, lalu dia menghela nafasnya pelan dan memutuskan untuk pergi kekamarnya . ​Ide Ziyan untuk menggunakan Risa terasa seperti cermin yang memantulkan keburukan Arga: seorang pria yang memanfaatkan wanita untuk status, dan kini ingin memanfaatkan wanita lain untuk anak, tanpa perlu mencintai. Anehnya, semakin Risa antusias, semakin Arga merasa jijik. Bukan pada Risa, tapi pada dirinya sendiri. ​Keesokan Pagi ​Pukul tujuh pagi, Arga turun ke ruang makan. Sudah menjadi rutinitas, terlepas dari betapa tegangnya hubungan mereka, mereka harus sarapan bersama di meja makan, menjaga citra di depan para pelayan—dan jika sewaktu-waktu orang tua mereka datang. ​Ziyan sudah duduk di tempatnya, membaca surat kabar, secangkir teh di depannya. Ia mengenakan blus kerja yang rapi dan rok pensil, rambutnya tergerai profesional. Tidak ada jejak air mata semalam di wajahnya yang kini kembali dingin dan tanpa ekspresi. ​Arga menarik kursinya dan duduk di seberang Ziyan. ​"Pagi," sapa Arga, suaranya terdengar sedikit serak. ​"Pagi " jawab Ziyan tanpa mengangkat pandangan dari ponselnya ​Pelayan meletakkan piring berisi sandwich dan jus di depan Arga.Suara piring beradu dengan meja menjadi satu-satunya suara di ruangan itu. ​Arga mulai makan. Ia mencuri pandang pada Ziyan yang kini beralih menyeruput tehnya, sesekali matanya melirik headline berita. ​Keheningan ini terasa lebih berat dari biasanya. Semalam, ada ledakan, ada emosi, dan kini, hanya ada jurang kosong yang dingin. ​Arga mencoba memecah keheningan itu. "Nanti sore aku ada janji dengan klien di luar kota. Mungkin akan pulang larut." ​"Jadwalmu bukan urusanku." ​Kata-kata Ziyan menusuk, membuat Arga terdiam. Ia ingin berbicara lebih jauh, ingin membahas kembali usulan Risa, ingin meminta maaf lagi, tetapi ia tahu ia hanya akan menerima penolakan dingin yang sama. ​Arga menarik napas dalam-dalam. "Ziyan, mengenai yang semalam—" ​"Aku sudah bilang, kita bicarakan lain kali," potong Ziyan tajam, akhirnya menurunkan surat kabar dan menatap Arga. ​Mata Ziyan terlihat lelah, tetapi ketegasan dalam tatapannya tidak berkurang. "Aku sudah memberikan solusi, Arga. Itu yang terbaik untuk kita berdua. Kau hanya perlu memilih: terima solusiku dan miliki anak dengan Risa, atau tolak solusiku dan segera urus berkas perceraian kita. Jangan buang waktuku, jangan buang waktu Risa, dan yang paling penting, jangan buang waktu orang tuamu." ​Arga mengepalkan tangan di bawah meja. "Aku tidak akan memilih dua-duanya." ​"Lalu apa maumu?" tantang Ziyan, nada suaranya meninggi sedikit. "Kau ingin aku mengandung anakmu? Setelah semua yang kau lakukan? Setelah aku tahu kau masih mencintai wanita itu?" ​Arga menatap Ziyan, bibirnya terbuka, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar. Ia ingin mengatakan 'Ya, aku ingin kau yang menjadi ibu dari anakku', tetapi lidahnya kelu. Bagaimana ia bisa mengatakan itu setelah tiga tahun pengabaian? ​Ziyan tersenyum pahit melihat kebimbangan Arga. "Lihat? Kau bahkan tidak bisa menjawabnya." ​Ziyan bangkit dari kursinya. "Aku sudah selesai. Aku harus berangkat," katanya, lalu tanpa menunggu Arga, ia berjalan meninggalkan ruang makan. ​Arga memandang punggung Ziyan yang menjauh, rasa bersalah dan kebingungan kembali menggerogotinya. Ia tahu Ziyan telah pergi, tetapi kata-kata Ziyan masih menggantung di udara: ​"Jangan buang waktuku." ​Arga menyandarkan punggungnya di kursi, menyadari bahwa waktu yang ia buang selama ini bukan hanya waktu Ziyan, tetapi juga waktu dirinya sendiri untuk menemukan kebenaran dalam hatinya. Bersambung.....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD