1

1099 Words
Berbekal cap bibir mama di pipi kiri juga leherku, aku berangkat untuk menjebak perempuan yang kucintai agar mau menikah denganku. Semua sudah kurencananakan dengan detail dan matang. Tenda pernikahan, gaun, tamu undangan, aku bahkan sudah mengurus ke KUA agar kami menikah secara resmi tanpa sepengetahuannya. Aku tidak sendiri, karyawanku, Rini, dia ikut andil memuluskan rencanaku. Sambil bersiul-siul penuh kebahagiaan membayangkan akan segera menikah dengannya, aku melajukan mobil menuju tempat di mana aku akan menjebak perempuan yang kucintai itu. Begitu aku sampai, ternyata sudah ada motor di halaman sebuah rumah, itu berarti Rini sudah datang bersama Lana, perempuan yang membuatku terpaksa melakukan cara licik agar bisa menikahinya. Aku mengirim pesan pada Rini yang tak lama kemudian segera keluar dari pintu belakang, setelah itu kukirim pesan ke orang suruhanku agar segera menjalankan perintahku. Setelah itu, aku mendorong pintu. Lana tersentak kaget saat melihatku berjalan ke arahnya. "Kok, kakak ada di sini?" tanyanya terlihat gugup. Sejak dia menolak ajakanku untuk segera menikah, kami tidak pernah bertemu. Panggilan telepon dan pesanku tidak pernah dibalasnya, maka dengan kesal aku pun mengirim pesan padanya bahwa aku tidak bisa menunggunya terlalu lama, jadi kukatakan padanya aku akan cari perempuan lain saja untuk kunikahi. Dia pun memblokir nomerku. Maka, aku menggunakan cara ini supaya kami bisa menikah. "Kakak di sini karena Rini memberitahu kakak," kataku santai. Dia mengangguk. "Oh, begitu. Jadi kakak yang menyuruh Rini mencarikan rumah untuk kakak membuka usaha?" Aku mengangguk. "Iya." "Selamat atas pernikahanmu, Kak. Emp, Rini sedang di kamar mandi," ucapnya, dia mengalihkan pandang dariku. Aku mendekat lalu mendongakkan dagunya, memaksanya untuk menatapku. Dia langsung menepis tanganku. "Jika istri kakak tahu kelakuan kakak padaku, dia bisa cemburu." Aku tersenyum. "Adik pikir kakak lelaki macam apa, pindah dari satu perempuan ke perempuan lain? Kakak tidak jadi menikah karena yang kakak cintai hanya adik." "Kakak waktu itu bilang akan menikah." Tatapannya tertuju ke leherku. Dia mengalihkan pandang. "Kakak pasti membohongiku. Aku yakin itu," ucapnya lagi. Pasti karena tanda si leherku. "Tidak sama sekali." Aku berkata sungguh-sungguh. "Sayang, sungguh kakak sangat rindu padamu." Aku mendekatkan bibirku ke bibirnya tapi belum sempat menciumnya, tiba-tiba pintu didorong kasar dari luar. Aku pura-pura terkejut saat melihat sekitar tujuh lelaki tua satu diantaranya adalah Pak Ahmad orang suruhanku berjalan kemari. Yang satu adalah seorang ibu berusia 50 tahunan. "Bisa-bisanya kalian berbuat asusila di rumah kosong ini! Di siang hari bolong pula!" ucap ibu itu terlihat jengkel wajahnya. Pintar sekali aktingnya. Ya tentu saja harus pintar karena aku membayarnya mahal. Lana menggelengkan kepala dengan wajah berubah pucat. "Demi Allah Bu, kami gak berbuat m3sum." "Tidak mungkin jika tidak berbuat m***m! Itu apa?!" Seorang Bapak menunjuk ke arah wajahku, lalu ke leherku yang sudah pasti terdapat cap bibir Mama. Lana menatapku dan ia lagi-lagi menggeleng. "Pak, dia datang sudah ada tanda itu. Demi Allah aku dan bosku gak berbuat m***m. Sumpah demi Allah." Wajah Lana terlihat seperti akan menangis. Dia menoleh ke kanan kiri dengan panik. Lalu tiba-tiba matanya melebar dan ia tersenyum lega. "Pak, Bu, aku ke sini karena nemenin temenku. Temenku disuruh mencarikan rumah buat usaha bosku ini. Sekarang temenku ada di kamar mandi." Ibu itu pun berjalan ke kamar mandi, dan tentu saja Rini sudah tidak ada karena sudah kusuruh pergi. "Tidak ada orang di kamar mandi jadi jangan mengada-ada!" "Ayo kita arak saja!" ucap Pak Ahmad yang membuat mata Lana melebar. "Atau kalau tidak kalian harus menikah sekarang!" Lanjut Pak Ahmad lagi. Aku mengangguk. "Baiklah, lebih baik menikah daripada diarak. Dik, lebih baik menikah dengan kakak sekarang juga! Jangan sampai kita diarak itu akan sangat memalukan," kataku yang membuat Lana menatapku heran. "Bagaimana mungkin kakak langsung setuju?! Sama aja kakak mengakui bahwa kita berbuat m3sum!" Tentu saja aku setuju. Ini yang kurencanakan, menikah denganmu Sayang. "Ini hanya masalah waktu, Sayang. Toh kita juga pasti akan menikah, entah itu tiga bulan lagi atau setahun lagi. Jadi, menikah dengan kakak sekarang juga. Ya, Sayang?" Pintaku yang membuat Lana langsung menggeleng tegas. "Oh yang benar saja, aku gak mau nikah dengan cara seperti ini. Dan kenapa wajah kakak terlihat santai? Apa kakak merencanakan ini?!" Lana menatapku menuduh. Aku menanggapinya dengan senyum sinis untuk menunjukkan padanya bahwa aku kesal dengan tuduhannya walau tuduhannya benar bahwa aku sedang menjebaknya agar kami bisa menikah. "Sengaja bagaimana maksud kamu? Kamu menuduh saya melakukan ini? Oh astaga, kamu senang berburuk sangka dari dulu." Senyum sinis lagi-lagi kusunggingkan untuknya dengan nada kubuat sekesal mungkin. "Aku yakin ini sudah direncanakan!" Dia tak percaya begitu saja. "Kamu asal bicara, Sayang. Dari dulu kamu seperti paranormal, suka menuduh." "Aku tidak mau menikah dengan cara seperti ini. Oh ya Tuhan ini memalukan." Dia menarik napas. Tidak, kataku dalam hati. Ini tidak memalukan, Sayang. Semua orang yang ada di sini tahu bahwa ini sudah direncanakan. Kakak melakukan ini juga karena salahmu, tidak mau diajak menikah secara baik-baik, maka kakak melakukan ini. "Ayo lebih baik arak saja mereka!" ucap Pak Ahmad yang langsung memegangi lenganku. Seorang lelaki juga memegangi tangan Lana. "Lebih baik kita telanjangi mereka sekarang lalu kita arak ke pasar Kam!" Pak Ahmad memberi komando. Mata Lana membulat, ia menggeleng-gelengkan kepala kuat. Dari tatapannya, sepertinya Lana mulai percaya bahwa ini tidak direncanakan saat ia melihat Pak Ahmad membuka kancing-kancing kemejaku. "Iya, baiklah, aku mau menikah," ucap Lana akhirnya. Ia mengembuskan napas keras dengan wajah terlihat frustrasi. Tangan kami pun dilepaskan. Langsung kukancing kemejaku. Akhirnya, Lana setuju untuk menikah. Sungguh lega sekali. "Kak, tolong rahasiakan ini dari ibu mertuaku." Pintanya yang kusambut dengan anggukan. Maksud ibu mertua itu, mantan ibu mertua. Aku tak dapat menahan senyum kebahagiaan, aku langsung membekap bibir saat Lana memandangiku terlihat curiga. "Kakak sungguh tidak merencanakan ini," kataku. Yang dia jawab dengan helaan napas panjang. "Sungguh memalukan menikah dengan cara seperti ini," keluhnya. Aku pun menatap bapak-bapak sok jadi pahlawan agar Lana kagum. "Saya akan menikah tapi tidak di sini melainkan di rumah saya." "Baik, ayo kita saksikan. Kalau kita lepaskan, bisa-bisa mereka tidak menikah!" Semuanya mengangguk setuju. Akhirnya mobil yang kukendarai berhenti di sisi kiri halaman rumahku . Di sebelah kanan, tampak tenda warna pink cerah penuh bunga imitasi warna-warni, di bawahnya kursi-kursi berkain putih berpita. Beberapa perempuan yang menjadi pagar ayu memandangku yang turun dari mobil. Aku segera membuka pintu untuk Lana, ia pun turun, tatapannya bergantian pada tenda, orang-orang yang menjadi pagar ayu, lalu ganti menatapku penuh selidik. "Apa kamu terus berpikir bahwa kakak merencanakan semua ini? Jangan senang berburuk sangka, Sayang. Kamu selalu saja senang berburuk sangka!" Nadaku sedikit ketus. "Mendirikan tenda itu butuh waktu. Gak mungkin setengah jam jadi, Kak. Dan aku yakin orang-orang gak mungkin datang dalam waktu setengah jam." Dia menatapku penuh selidik. Aku menggaruk rambut. Sungguh tak terpikirkan olehku sebelumnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD