2

632 Words
Akhirnya Lana selesai dirias, begitu anggun mengenakan gaun pengantin putih menyapu lantai berkilau-kilau yang pas di tubuh seksinya. Ia memakai jilbab putih penuh dengan bunga-bunga imitasi sebagai hiasan. Ah cantiknya dia seperti bidadari. Baru kali ini aku melihatnya memakai jilbab. Sungguh cantik sekali. Anggun. Dan damai melihatnya. Saat aku dan Lana sudah duduk berdekatan dengan kain putih transparan dengan manik-manik yang berkilauan di kepala kami, Lana menoleh, dia mendelik padaku dengan wajah jengkel. Pasti dia kesal karena aku memaksanya menikah dengan cara seperti ini. Saat Lana kembali mendelik, aku nyengir kecil, malu dilihat para saksi. Lana juga mendelik pada Rini yang langsung mengalihkan pandang darinya. Umi anak Lana, dia terlihat begitu bahagia. Senyum gadis kecil mengenakan dres senada dengan yang mama kenakan tak henti merekah. "Kakak benar-benar licik," ucap Lana pelan yang kusambut dengan senyuman. Acara pun segera dimulai, aku mengucap ijab kabul dengan lancar tanpa hambatan, lalu mencium kening istriku penuh kasih sayang. Kupanjatkan doa agar keluarga kami menjadi keluarga sakinah saling menyayangi sampai tua. Lana balas mencium punggung tanganku. Setelah itu, aku menjabat tangan mama, mama memelukku, terisak kecil. "Akhirnya kamu menikah juga, Nak. Sungguh mama sangat senang, Dam. Sangat senang." Mama mengusap-usap punggungku. Aku balas memeluk mama, menghapus jejak air mata di pipi mama. Mama ganti memeluk Lana, tersenyum padanya. "Sayangi dia seperti Tante menyayanginya ya Sayang, ya?" Pinta mama dengan tatapan penuh harap. Lana memandangku dengan wajah masih jengkel, lalu ia mengangguk pada Mama. "Iya, Ma." Kami berkeliling menyalami para saksi, setelah itu aku dan Lana masuk kamar untuk foto-foto di ranjang pengantin kami yang dihias bunga-bunga segar, harum semerbak menenangkan pikiran. Selesai foto-foto, kami ke kamar sebelah untuk dirias. "Aku gak nyangka kakak benar-benar melakukan berbagai cara untuk mendapatkanku!" ucap Lana begitu ia selesai di rias. Si mbak yang merias pamit undur diri, akan kembali datang sore nanti. Aku memandangi Lana yang terlihat anggun mengenakan kebaya warna emas dengan jilbab senada, aku tersenyum kecil padanya. "Apa boleh buat, Sayang. Jika tidak dengan cara begitu kita pasti belum menikah. Dan adik juga tidak menolak, tadi, saat ijab kabul. Saat penghulu bilang apa ada paksaan, adik bilang tidak ada paksaan. Jadi kenapa adik terus menyalahkan kakak?" Aku tersenyum padanya. Lana memelototkan mata. "Itu karena aku gak ingin mempermalukan mama kakak! Mama kakak terlihat kurang sehat juga, aku gak ingin terjadi sesuatu yang tidak-tidak. Karena kalau sampai mama kakak kenapa-napa, aku pasti akan merasa bersalah." "Sekarang, mama kakak sudah jadi mama adik juga. Panggil mama, Sayang. Bukan mama kakak." Lana menarik napas. Aku memandanginya sambil mesam-mesem. "Kenapa?!" tanyanya jengkel. Aku kembali mesam-mesem. "Tidak papa, Sayang." Kugenggam tangannya. "Akhirnya, adik jadi istri kakak. Ini seperti mimpi." "Kakak membuatku kesal. Aku gak bisa membayangkan seandainya ibu tahu aku ternyata sudah menikah tanpa sepengetahuannya. Semoga keadaan ibu tetap baik-baik aja." "Maka rahasiakan, ibu jangan sampai tahu." Aku menyentil hidungnya. "Kakak tidak akan larang adik dekat dengan mantan ibu mertua adik." "Tetap aja aku merasa bersalah telah membohonginya, Kak." Aku tersenyum. "Kakak kan sudah bicara dengan mantan ibu mertua adik secara baik-baik, tapi tenyata mantan ibu mertua adik marah karena dia berharap adik kembali dengan anaknya. Kakak tidak ingin kehilangan adik, makanya merencanakan semua ini. Adik juga cinta pada kakak, jadi sebenarnya adik juga senang akhirnya kita menikah." Dia mengangguk malu-malu. "Iya memang aku senang juga, tapi gak dengan cara seperti ini Kak kita menikah. Ibu pasti kaget nanti jika sampai tahu." Kecemasan terlihat jelas di wajahnya. "Maka mantan ibu mertua adik tidak boleh tahu." Lana menarik napas panjang. "Iya," lirihnya. "Sungguh tidak sabar." Aku mengerling padanya. Dia mendelik. Aku menoel pinggangnya, membuatnya kembali mendelik. "Ka-kaaak!" Lana mencubit pahaku. "Kamu juga pasti tidak sabar, kan?" Dia kembali mendelik. "Tidak sabar apa?!" ucapnya keras tapi dengan wajah bersemu merah. "Tentu saja tidak sabar, apa yang seharusnya dilakukan oleh pengantin baru di malam pertama mereka, Sayang?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD