3

1799 Words
Dia mengerucutkan bibir. Aku tertawa kecil melihatnya. Menggeser kursi mendekat ke arahnya lalu mendongakkan dagunya, bibirnya tampak ranum menggoda membuatku ingin segera mencicipinya. "Kakak mau apa?" tanyanya terlihat gugup. Ah menggemaskan sekali istriku ini. Memangnya mau apa jika, aku terus mendekat padanya begini? Masa dia tidak tahu? Atau pura-pura? Aku tersenyum kecil padanya, dengan tatapan tak berkedip ke manik matanya yang bermaskara, bulu-bulu lentik palsu memperelok wajahnya yang pada dasarnya sudah cantik. "Mau cium, Sayang," sahutku yang membuat wajahnya merona merah. Dia tersenyum kecil lalu mengalihkan pandang. Ah malu-malu dia, padahal kami sudah sah jadi pasangan menikah sekarang. Aku menangkup wajah Lana, dengan d**a bergemuruh hebat mendekatkan bibirku ke bibirnya. Semakin dekat, lebih dekat lagi, tidak sabar merasakan apa yang sekarang menjadi hakku. "A-daaam!" Teriakan Mama membuatku tersentak. Di ambang pintu kamar, mama yang membawa piring di tangan kanannya mendelik. "Sabar, Adam, ini masih siang. Kamu itu, pintu tidak kamu tutup, pula!" Mama melangkah mendekat sambil bersungut-sungut, mama menggeser kursi lantas duduk di hadapanku dan Lana. Saat bersitatap denganku, mama kembali mendelik. Aku menggaruk rambut, nyengir kecil. Sementara di sampingku, Lana mesam-mesem. Bisa-bisanya dia tersenyum saat suaminya sedang malu. Awas saja dia nanti malam, tidak akan kuberi ampun. "Ayo, makan dulu kalian. Setelah itu foto-foto lagi trus duduk di depan, teman-teman mama sebentar lagi datang," ucap mama sambil mengulurkan sendok ke arah Lana. Lana tertegun, dia memandangku. "Ayo makan dulu, Sayang." "Aku bisa makan sendiri, Tante," ucapnya. Aku menoleh memandang Lana yang terlihat salah tingkah karena mama terus memperhatikannya dengan tatapan penuh kasih sayang. Tentu saja mama sangat senang saat ini karena akhirnya setelah sekian lama menjodohkanku tanpa hasil, aku resmi menikah. "Ma," kataku pada Lana. Yang dia sambut dengan anggukan. "Panggil Mama, Sayang," lanjutku yang membuat Mama mengangguk. "Belum terbiasa, Kak," ucapnya. "Nanti juga terbiasa," kata Mama. "Ayo makan mama suapi, biar tidak belepotan." Mama mengulurkan sendok berisi nasi juga ayam yang dipotong kotak-kotak kecil pada Lana. Dengan malu-malu Lana membuka bibirnya, aku tersenyum-senyum menatapnya. "Kenapa Kak?" tanyanya salah tingkah. Mama juga ikut memandangku, lalu kembali menyuapi Lana, setelah itu ganti menyuapiku. "Tidak papa, Sayang. Kakak ingin memandang bidadari kakak." "Gombal," ucapnya dengan wajah merona. Mama tersenyum kecil, terlihat malu wajah perempuan yang telah melahirkanku ini. "Kenapa Ma? Ada yang salah dengan ucapanku?" Aku mengedip pada Mama. "Tidak sama sekali, Dam. Ayo makan lagi." Mama mengulurkan sendok ke bibirnya. Aku mengunyah, sesekali tersenyum menggoda pada Mama. Mama menyentak napas. Ia menggelengkan kepala. "Ada apa denganmu, Dam?" tanyanya sambil lagi-lagi mendelik. "Jika mama ingin, mama bisa menikah. Aku dengan senang hati akan menerima calon ayahku." "A-daaaam!" Mama membulatkan mata. Lana tertawa kecil. Aku tersenyum, berkali-kali mengedip menggoda pada Mama yang menatapku jengkel. "Dia memang seperti ini sifatnya Sayang, kamu harus sabar-sabar menghadapinya," ucap Mama dengan tatapan ke wajah Lana, lalu lagi-lagi mama mendelik padaku. "Apa, Dam?!" "Tidak, Ma." Lana mengulum senyum, tatapannya bergantian padaku dan mama. Mama meraih gelas berisi air putih tak jauh dari kami kemudian mengulurkannya pada Lana. "Sebentar lagi fotografer datang, Mama ke depan dulu." Mama memperhatikanku yang kusambut dengan senyuman. Mama melotot padaku, dengan jengkel ia melangkah cepat keluar kamar. "Kenapa, Sayang?" tanyaku saat bertemu tatap dengan Lana. "Gak papa, Kak." Aku menatap ke depan pada tirai di pintu lalu mendekat pada Lana. "Kakak mau lanjutkan yang tadi." "Lanjut apaan?" Wajahnya merona. "Mencium adik. Memangnya mau apa?" "Iiih." Dia mencubit pahaku dengan gemas. Aku nyengir, dengan cepat mendekat ke arahnya. Lana memejamkan mata. Aku memandanginya, ah cantiknya dia, seperti bidadari turun dari surga untuk kumiliki. Dadaku berdebar-debar tak keruan. Jantungku berdetak kencang saat bibirku semakin mendekat ke bibirnya. "Bun-daaa!" Ada gangguan lagi. Aku dengan cepat kembali ke posisi semula, menatap ke arah lain saat tak sengaja berpandangan dengan Rini yang terlihat malu. Perempuan memakai dres merah hati itu dengan jilbab senada menuntun Umi yang terlihat riang. "Ehemp, maaf menggangu kalian. Ini Umi pengen ketemu dengan bundanya." "Sama sekali tidak mengganggu," ucapku sambil meredam perasaan malu pada karyawanku itu. Dari ekspresi wajahnya, aku yakin sekali tadi ia pasti melihat. Baiklah, tahan saja sampai nanti malam. Jam berapa lagi berarti? Jam dinding menunjukkan pukul 1 siang, itu artinya ... aku menghitung dengan jari-jari tangan. Jam 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, dua belas. "Kenapa, Kak?" tanya Lana. Dia mengernyit memandangku yang seketika membuatku jadi gugup. "Tidak papa, Sayang," jawabku. Aku kini memandang Umi dan tersenyum padanya. "Sekarang Umi panggil Om apa?" tanyaku sambil menarik tangannya agar mendekat. Umi kini berdiri persis di hadapanku. "A-yah," katanya dengan malu-malu. Aku mengusap sayang rambutnya yang dikucir ke belakang, dihias pita. "Anak manis," ucapku. Saat bersitatap dengan Rini, Rini langsung mengalihkan pandang dariku, dia menatap Lana. "Barusan aja ibu mertuamu nelpon, La. Ibu bilang ingin bicara padamu." "Lalu?" Wajah Lana seketika berubah cemas. Aku juga jadi takut acara pernikahan kami berjalan kacau jika Lana sampai pergi untuk menemui mantan ibu mertuanya itu, yang jelas-jelas tak menyukaiku. "Aku bilang pada ibu bahwa kita sudah sampai di Bandung dan kamu juga Umi kelelahan jadi langsung jatuh tidur." "Bandung?" Aku menatap Rini heran. Rini mengangguk. "Iya. Jadi, tadi pagi aku bilang pada Ibu bahwa aku ingin jalan-jalan ke Bandung dua hari sama Lana, kalau gak kesampaian pasti anak dalam kandunganku akan ileran." Jelas Rini sambil mengusap perut rampingnya. "Dan ternyata kamu bohongin aku, Rin. Tiba-tiba kamu ngajak liat rumah dan ternyata kamu jebak aku!" Lana mendelik pada Rini, kemudian mendelik padaku. Aku menoel pinggang Lana yang membuatnya kembali mendelik. "Kalau tidak dengan cara seperti itu pasti kita belum menikah, Sayang." "Tapi kan kita pasti menikah, Kak." Lana mengembuskan napas. "Ibu mertuaku pasti akan syok jika tahu aku ternyata sudah menikah tanpa sepengetahuannya." Ia menarik napas panjang dengan wajah risau. "Mantan ibu mertua, Sayang. Beliau bukan ibu mertuamu lagi," ralatku yang dijawab anggukan oleh Rini. "Memang benar, tapi walaupun begitu aku sangat menyayanginya. Walau aku dan Bang Rivan sudah cerai, mantan ibu mertuaku tetaplah nenek Umi." "Iya." Aku membernarkan. "Kakak tidak akan melarang adik dekat dengan ibu mertua adik. Tapi, tidak ada hak bagi mantan ibu mertua adik mengatur kehidupan adik karena sekarang, adik bukan menantunya lagi." "Yang dikatakan Pak Adam benar, La," ucap Rini. "Kamu boleh sayang dan menghargainya sebagai mantan ibu mertua kamu, tapi masa depanmu sepenuhnya di tanganmu. Enak sekali menyuruhmu kembali membuka hati untuk anaknya, dikira perbuatan si Rivan eror itu gak keterlaluan, apa?!" ucap Rini berapi-api. Lana menghela napas. "Aku gak sudi kembali dengan Bang Rivan. Tapi aku menyayangi ibu, dia satu-satunya nenek Umi." Aku memandang Umi yang sedari tadi hanya diam menyimak obrolan kami. "Dan, aku udah berjanji menuruti ucapan ibu yaitu tinggal di rumahnya selama 3 bulan." Lana memandangku. "Adik bisa cari cara supaya adik tidak tinggal dengan ibu selama itu. Adik bisa katakan pada ibu bahwa adik tidak enak dengan tetangga karena adik dan Rivan sudah bukan suami istri lagi." "Bang Rivan tinggal di konter, Kak. Aku pernah bilang gitu sepuluh hari lalu pada ibu, ibu akhirnya nyuruh Bang Rivan tidur di konter. Hanya siang hari saja dia datang menemui istrinya." "Oh, begitu rupanya." Aku tidak bisa berkata-kata. Hening cukup lama. "Itulah kenapa aku ingin kita nikahnya 3 bulan lagi, Kak." Lana lagi-lagi memperhatikanku. Aku yang tadinya sedikit kesal pada ibu mertua Lana karena permintaannya pada Lana membuatku akan tidur terpisah dengan istriku, akhirnya bisa tersenyum saat ide melintas di benakku. "Kita tetap bisa bertemu pas jam jemput sekolah Umi, Sayang. Juga, kakak bisa menemui adik di rumah ibu mertua adik secara diam-diam." Aku mengedip pada Lana. Rini tertawa kecil. "Ah kalian sungguh membuatku malu," ucapnya yang membuatku dan Lana sama-sama tersenyum. Umi memandangku sambil ikut tersenyum. "Umi seneng, deh, bunda senyum terus. Bunda pasti bahagia banget," ucap Umi dengan wajah penuh kebahagiaan. Aku mengusap kepalanya. Lana ikut mengusap kepala Umi. "Umi juga bahagia, kan, bunda nikah sama ayah?" ucapku. Umi mengangguk-angguk. Mata Lana berkaca-kaca. Kebahagian Umi adalah kebahagiaan Lana juga. Aku akan menyayangi Umi, Sayang, karena Umi adalah kebahagiaanmu. "Emp." Rini terlihat ragu berucap. Dia memandang Lana lantas berganti menatapku terlihat tak enak hati. "Katakan saja," ucapku. "Begini. Karena aku sudah terlanjur bilang pada mantan ibu mertua Lana bahwa aku, Lana dan Umi jalan-jalan ke Bandung, jadi bisakah Umi malam ini menginap di sini?" Aku tertawa kecil. "Tentu saja bisa. Banyak kamar di sini. Pertanyaanmu aneh sekali." Rini menghela napas tampak lega. Mungkin dipikirnya, aku hanya mau ibunya tidak mau menerima anaknya. Aneh sekali. Tentu saja aku dengan senang hati menerima Umi sebagai anakku, karena dia sumber kebahagiaan Lana. Jika Lana bahagia, aku pun bahagia. "Emp, yaudah. Lebih baik aku pergi deh biar gak ganggu kalian. Sepertinya makanannya enak-enak ada sate, ada ayam bakar, ada gulai, ayo, Um." Rini segera menggenggam pergelangan tangan Umi. "Bukannya kamu lagi mual-mual, ya, Rin?" Lana menyipitkan sebelah mata. Rini membeliak, dia spontan menudingku. "Sebenarnya Pak Bos yang nyuruh aku pura-pura hamil, La." Aku mendelik pada Rini, Rini nyengir. Buru-buru dia keluar kamar dengan menarik tangan Umi. Sepeninggal mereka, Lana terus memperhatikanku yang cengengesan. "Kalau tidak begitu, kita pasti belum menikah, Sayang." Kutoel pinggangnya. Lana melebarkan mata tampak sebal. "Kakak benar-benar melakukan berbagai cara." "Iya," jawabku. Lana menggelengkan kepala. Sang foto grafer masuk lalu mengarahkan gaya. Kami berganti-ganti pose, tersenyum juga foto seolah sedang tertawa. Selesai foto-foto, kami duduk di depan menyambut para tamu bersama Mama. Tamu terus saja berdatangan silih berganti sampai menjelang larut. Begitu acara akhirnya selesai pukul sebelas lewat lima menit, Lehan datang mengajak mengobrol membicarakan warung ayam gebrek yang semakin ramai. Benar-benar tidak pengertian sama sekali dia, pengantin baru terus diajak ngobrol. Sementara Lana, dia lebih dulu masuk ke dalam. "Jadi, Pak, menurut saya sebaiknya bapak membuka cabang. Saya sudah survei dekat terminal Kampung Melayu, sepertinya cocok untuk buka outlet ayam geprek," ucapnya dengan wajah antusias. Aku mengangguk. "Ya ya." Benar-benar tidak pengertian dia, pengantin baru terus saja diajak mengobrol. "Saya baru datang ke sini karena baru saja tutup, Pak. Saking ramainya sampai baru tutup." "Ya ya." Aku kembali mengangguk. Tanpa diberitahu, aku sudah tahu karena dia masih memakai seragam merah kombinasi kuning dengan tulisan ayam geprek di punggungnya. "Jadi, apa bapak mau buka cabang?" tanyanya tampak bersemangat sekali. Dia meraih kudapan di piring lalu memakannya. "Ya, saya mau." Berharap dengan bicara begitu dia lalu pamit pulang. "Apa bapak ingin survei dulu lokasi yang sudah kusurvei?" "Tidak perlu, saya percaya padamu." Aku menggaruk rambut. Jarum jam di pergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul 11:35 sekarang. Semoga Lana, belum tidur. "Untuk karyawannya, Pak, bapak ingin cari sendiri atau saya yang cari?" Aku memijit kening. Pasti bakal terus berlanjut pertanyaannya. "Kenapa, Pak?" Lehan menatapku heran saat aku lagi-lagi memijit kening. "Tidak papa. Kamu tidak lelah sehabis jualan? Tidak ingin segera istirahat, begitu?" tanyaku berharap dia mengerti ke mana arah ucapanku. "Lelah, Pak, ini sedang istirahat makan kudapan. He he." Dia nyengir. Diambilnya lagi makanan di piring, lagi dan lagi sambil terus mengajak mengobrol. Sungguh ingin rasanya aku, meremas tubuhnya. Oh andaikan saja dia kerupuk. Lehan, Le-han.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD