4

1146 Words
"Kenapa, Pak?" Lehan menyipitkan sebelah mata. "Bapak terlihat sedang terbebani," ucapnya sambil mencomot kudapan di piring. "Tidak juga." Aku menggelengkan kepala. Lehan celingukan. Dia terus menatap ke sana kemari membuatku jadi heran. "Ada apa Han?" "Saya baru sadar ternyata sudah sepi, Pak. Hanya ada kita," katanya sambil nyengir. Itu dia tahu sudah sepi, tapi tetap saja mengajak mengobrol bukannya pamit pulang. "Sudah dari tadi sepi, Han, sejak kamu datang." Lehan mengangguk. Lagi-lagi dia mengambil kue di piring. Apa sebegitu kelaparannya dia? "Kamu belum makan dari pagi, Han?" tanyaku saat dia dengan tak berperasaannya kembali makan. Semoga bidadariku itu belum tidur. Lehan tertawa sampai tersedak mendengar ucapanku. "Bukan dari pagi, Pak. Tapi dari siang. Saking ramainya sampai saya lupa makan. He, he." "Oh, begitu. Ya silahkan dimakan kalau begitu." Tanganku bergerak mempersilakan. "Dari ekspresi bapak sepertinya bapak tidak senang aku terus makan kuenya." Dia memandangiku dengan wajah ... seolah aku benar-benar tidak rela dia makan kue. Padahal aku sama sekali tidak keberatan tapi ada hal lain yang membuatku ingin dia segera pulang. "Maaf ya, Pak, saya jadi menghabiskan kue bapak," ucapnya dengan wajah bersalah yang membuatku jadi gemas ingin meremas tubuhnya. "Saya tidak mempermasalahkan kamu makan kue, Lehan. Silakan dimakan habiskan saja. Atau kalau mau, silakan bawa pulang tidak masalah. Masih ada nasi dan lauk juga, kamu boleh bawa juga." "Yang benar, Pak? Saya belum makan dari siang, eee." "Ya, benar. Saya suruh simbok bungkuskan ya?" Kedua tangan Lehan terjulur ke udara menghalangiku berdiri. "Tidak usah, Pak. Saya bawa kuenya saja. Makannya di sini saja." "Ya sudah makanlah," kataku, menghela napas saat dia berdiri, mengambil piring untuk makan. Setelah mengambil nasi juga lauk di meja prasmanan, Lehan berjalan mendekat ke arahku. "Bapak tidak ingin makan sekalian?" tanyanya sambil duduk di sampingku. "Tidak, tidak, saya sudah makan tadi. Kamu makanlah yang banyak." "Baiklah, Pak, ini saya mau makan." Dia menyendok nasinya, aku menungguinya sampai selesai makan. Lehan meletakkan piring yang sudah kosong ke bawah lalu menusukkan pipet ke gelas plastik air mineral. "Alhamdulillah kenyaaang." "Ya tentu saja kenyang karena kamu baru saja makan, Haan," ucapku dengan gemas. Dia mengangguk-angguk. "Tadi itu Pak, warung geprek sangat ramai sampai saya kewalahan. Sepertinya bapak harus menambah karyawan lagi, Pak, karena warung geprek semakin ramai saya." Aku menggaruk rambut. Benar-benar frustrasi aku dibuatnya. Kenapa dia malah menyambung obrolan yang tadi? Astagaa, aku benar-benar harus sabar menghadapi karyawanku yang ini. "Apa bapak akan menambah karyawan lagi?" "Ya boleh juga, Han." "Saking ramainya sampai saya takut tidak bisa menghadiri pernikahan bapak. Untung saja pas saya datang bapak belum tidur." "Ya ya." Aku mengangguk. Dia memandangiku. "Lehan, saya sudah sangat mengantuk," kataku akhirnya. "Apa bapak mau minum kopi agar tidak mengantuk?" tanyanya. Aku menghela napas. Sepertinya dia harus diberi tahu agar mengerti. "Kopi menghilangkan kantuk tapi tidak menghilangkan lelah, Han. Saya gerah sekali rasanya ingin segera mandi lalu tidur agar lelahnya hilang." "Oh, begitu. Iya, Pak." Lalu dia mencomot kue di piring. "Kalau bapak ingin istrirahat, saya pamit pulang, Pak." "Ya, ya." Lehan pun berdiri. Dia mengambil kue lagi, sepertinya dia sangat menyukainya karena sejak tadi, hanya kue itu yang dimakannya. "Bawa saja, Han. Saya ambilkan tempat dulu." Lalu aku masuk ke dalam rumah mengambil rantang susun Mama. Tanpa membuang waktu segera memasukkan gulai, tongseng, juga sambal ikan nila ke dalamnya. "Kuenya saja, Pak." Lehan menghampiriku. "Bisa kamu hangatkan untuk sarapan, Han." Karena aku tahu dia tinggal di kontrakan sendiri. Lehan bilang bahwa dia memutuskan ngontrak karena rumahnya jauh di Tanggerang, lelah kalau pulang pergi dan tidak terkejar waktunya. "Terima kasih, Pak. Saya akan hangatkan untuk sarapan." Aku mengangguk. Dua rantang kuisi gulai dan tongseng, dua rantang lainnya kuisi kue-kue. "Terima kasih, Pak," ucap Lehan lagi saat kuulurkan rantang padanya. Dia lalu menjabat tanganku dan tersenyum. "Selamat menempuh hidup baru, Pak. Semoga menjadi keluarga bahagia selamanya." "A-miiin." "Pulang dulu ya, Pak?" katanya. "Ya, ya." Aku mengangguk-angguk. Aku mengantarnya sampai ke depan, begitu motor yang dinaikinya melesat pergi, aku segera masuk ke dalam. Ah malam pertama, sungguh tidak sabar rasanya. Aku menutup pintu lantas menaiki tangga yang pegangannya dihias bunga-bunga segar. "Adam." Suara mama membuatku menoleh. Wajah mama terlihat segar dengan rambut basah, tampaknya ia baru selesai mandi. Pasti ia ingin menyegarkan diri dengan berendam di bathtub. Aku pun ingin mandi juga agar tubuh menjadi rileks dan segar. Mandi berdua dengan Lana pasti menyenangkan. Aku tersenyum sendiri membayangkannya. Mama mengerutkan kening. "Kenapa, Dam?" tanyanya keheranan. Aku menggeleng. "Tidak papa, Ma. Adam ngantuk ingin segera tidur." Mama mengangguk. "Tidurlah, Dam, sudah malam." "Iya, Ma, lelah mau tidur. Selamat malam, Ma," ucapku lalu buru-buru menaiki tangga takut digoda mama. Sampai di dalam kamar berhias bunga-bunga segar dengan simbol hati memenuhi ranjang yang juga dari bunga, aku celingukan karena tak mendapati Lana. Apa dia tidur di bawah dengan Umi? Iya jangan-jangan. Aku pun menuruni tangga, tersenyum saat bersitatap dengan mama yang tengah menyisir rambutnya. "Lana ada di kamar tamu, Dam, sama Umi. Selamat malam, Sayang." Mama mengedip menggoda. "Apa yang mama pikirkan? Jangan berpikir macam-macam, Ma, Adam lelah jadi jangan berpikir macam-macam." "Mama kan hanya bilang selamat malam. Lana ada di kamar tamu, kalau-kalau kamu mencarinya." "Tidak, Ma, Adam hanya mau minum." Aku menuju dapur karena tak ingin mama berpikir macam-macam. Kutuang air ke gelas dan meminumnya. "Galon di kamarmu apa sudah habis, Nak?" U-huk! Air muncrat dari mulutku. "Ada apa denganmu, Ma?" "Mama mau minum. Pasti simbok lupa pesanan mama. Padahal tadi pagi mama sudah suruh simbok agar pesan galon buat di kamarmu." Aku menghela napas. Mama menuang air minum ke gelas, meminumnya hingga tak bersisa. "Selamat malam, Sayang." Lalu Mama buru-buru melangkah pergi. Begitu melihat pintu kamar mama sudah tertutup rapat, aku pun menuju kamar tamu, mendorongnya perlahan. Tampak pengantinku terlelap di ranjang di samping Umi. Ia masih mengenakan gaun pengantin warna krem yang dipakai habis magrib tadi, dengan kerudung berhias bunga-bunga terletak di samping kanannya. Rambut Lana tergerai berantakan, membuatnya terlihat begitu seksi menggoda. Tanganku bergerak ke arah pipinya. "Sayang," ucapku lirih. Dia sama sekali tak menjawab, pasti kelelahan. Aku pun berinisiatif menggendongnya, nanti dibangunkan setelah sampai di kamar pengantin kami. Satu tangan kususupkan di belakang lehernya, satu di bawah paha lalu aku mulai mengangkatnya. Aku berjalan sambil sesekali memandangnya yang tampak begitu menggoda, sungguh betapa cantiknya ciptaan-Nya. Sampai di tengah tangga, terdengar bunyi pintu kamar dibuka, aku pun mempercepat langkah karena tak ingin mama tahu aku sedang menggendong Lana untuk dibawa ke kamarku. Karena cepat-cepat, kakiku menginjak gaun Lana, aku terjatuh menimpa tubuh Lana yang meringis, pasti sakit kepalanya membentur lantai. "Ka-kak," katanya. Kami terjatuh persis di depan pintu kamar. Aku nyengir kecil karena Lana terus memandangiku dengan mata terlihat heran. "Kakak berat," lirihnya. "Oh, ya benar." Aku buru-buru menyingkir dari tubuhnya. Lana bangkit duduk, dia memandang sekeliling kebingungan. "Kakak gendong adik ke sini." "Iya," ucapnya. Dia menunduk terlihat malu. "Emp, aku berat, ya, Kak?" Dia memandangiku. Aku hanya bisa menggaruk rambut, tak mungkin mengatakan bahwa tadi aku mendengar bunyi pintu dibuka makanya jalan cepat-cepat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD