5

1721 Words
POV Lana Aku memberanikan diri memandang suamiku sekaligus saat ini sedang sangat malu. Kak Adam-dadaku selalu berdebar tiap memanggilnya Kak, karena biasanya aku memanggilnya Pak sebab dia adalah bosku. Kak Adam sama sekali tak menjawab, membuatku menyimpulkan bahwa aku memang berat baginya. "Pasti aku berat, yaa?" Aku memandangi wajahnya dengan d**a bergemuruh. Selalu saja salah tingkah, tiap bertemu tatap dengannya. Ia mengulum senyum, jari telunjuknya menyentil hidungku. "Tidak sama sekali, Sayang. Adik seringan kapas," sahutnya namun aku tak percaya begitu saja. Kalau ringan gak mungkin jatuh, kan? Kak Adam lagi-lagi tersenyum. "Sebenarnya, tadi kakak kesandung gaun adik, jadinya jatuh." Dia nyengir. Diusapnya lembut kepalaku. "Sakit, ya?" tanyanya. "Huk um." Kuanggukkan kepala karena memang sakit sih, pas jatuh tadi. Kaget juga. Kukira aku jatuh dari ranjang eh ternyata dijatuhkan oleh Kak Adam. Siapa yang gak kaget saat membuka mata mendapatinya di atas tubuhku? Kak Adam bergerak mengikis jarak, ia meniup ubun-ubunku perlahan. Tatapannya terlihat penuh kasih sayang. "Bagaimana? Apa sudah tidak sakit?" tanyanya yang kujawab anggukan kecil. Wajahku perlahan merona karena dia terus memandangku. "Udah gak sakit, kok, sekarang," kataku saat ia kembali meniup pucuk kepalaku. "Yang benar?" "Iya, serius." Aku mengangguk salah tingkah. "Syukurlah." Diusapnya kepalaku. "Adik sudah salat isya?" tanyanya. Dia beranjak berdiri kemudian mengulurkan tangan. Begitu aku menyambutnya, Kak Adam langsung menarikku hingga berdiri. Ia menatap ke bawah tangga sebelum menarikku perlahan menuju kamar pengantin kami yang penuh bunga-bunga. Di sudut-sudut kamar, di dinding, di ranjang, tampak bunga-bunga segar harum semerbak. "Mau salat dulu, apa mau malam pertama dulu?" tanyanya yang membuatku membeliak tak percaya. Ada-ada saja pertanyaannya. Aku sedikit mendelik saat lelaki di hadapanku ini tersenyum. "Jawab dong, Sayang. Adik ingin, kita salat dulu atau malam pertama dulu?" Ia mendongakkan daguku, mengerling menggoda yang membuatku langsung mencubit lengannya. "Kakak apaan, siiih." "Ya adik, ditanya diam saja." "Mau salat." Buru-buru aku menjawab. "Baiklah, kalau begitu kita salat dulu. Jamaah, ya?" Kuanggukkan kepala. Lalu karena malu dia terus memandangiku, segera aku masuk kamar mandi, segera mengambil wudu lalu keluar. Kak Adam menuding ke arah lemari gantung. "Baju ganti adik ada di situ. Mukena juga ada di situ." Tunjuknya. "Iya, Kak." Aku pun menuju lemari, Kak Adam tersenyum. Ia lantas masuk ke kamar mandi. Tanpa membuang waktu aku membuka lemari gantung, tertegun mendapati banyak baju-baju perempuan semua yang kebanyakan dres semata kaki, semuanya masih baru dengan bandrol yang tertera harganya. Diantara baju-baju ada lingeri warna pink dan ungu. Aku meraih yang warna pink, menatapnya sambil nyengir. Apa aku harus pakai ini? Tapi benda ini ada di sini pasti disiapkan untukku. Pasti mama yang membeli ini. Pakai, tidak. Pakai, tidak? Aku menimbang-nimbang dan akhirnya memutuskan memakainya. Kini, aku berlama-lama memandang tubuhku di cermin. Ya ampun, kenapa aku jadi malu sendiri melihatku tampil begini? Walau sering memakainya dulu saat masih menjadi istri Bang Rivan, tapi sekarang situasinya berbeda. Lebih baik, lepas saja. Tapi baru saja mau melepasnya, pintu kamar mandi bergerak membuka. Cepat kusambar mukena lalu mengenakannya cepat dengan jantung berdetak kencang. Aku tak ingin Kak Adam melihatku memakai ini. "Kenapa, Sayang?" Kak Adam berjalan mendekat. Aku menggelengkan kepala. "Enggak papa, Kak," sahutku, sepertinya ia tak sempat melihatku pakai lingerie. "Ya sudah kita salat, yuk, keburu pagi," katanya dengan bibir mengulum senyum. Sepertinya ia sengaja sekali menggodaku. "Iya, Kak, ayo." Kak Adam menggelar dua sajadah, tanpa membuang waktu kami pun salat berjemaah. Begitu selesai, ia mengulurkan tangan yang segera kusambut, lalu mencium punggung tangannya. Kak Adam menangkup wajahku, kami bersitatap dalam diam. Aku memejamkan mata saat ia mendekatkan tubuh mendekat, lalu mengecup bibirku lembut. Ciuman kami terlepas dan ia terus memandangiku. "Lepas ya, Sayang, mukenanya?" "Iya." Aku menunduk. Duuh, aku pasti akan sangat malu saat ia melihatku memakai lingerie. "Kak," kataku saat ia hendak melepas mukena. "Aku tutup pintu dulu," kataku sambil buru-buru berdiri. Aku menutup pintu kamar lantas membuka lemari gantung, mengambil dres bunga-bunga semata kaki. Kak Adam berjalan mendekatiku terlihat heran. "Mau apa, Sayang?" tanyanya. "Mau ganti baju, Kak," sahutku gugup. Kak Adam kini berdiri tepat di hadapanku. "Kenapa harus ganti baju? Tidak usah. Kita kan, akan menikmati surga dunia," katanya yang membuatku tersipu. Dilepasnya mukenaku dan ia berlama-lama memandangiku. Aku yang malu diperhatikan segera mengalihkan pandang. Tapi Kak Adam memaksaku menatapnya. "Tidak perlu malu, Sayang. Kakak kan sudah jadi suami adik sekarang. Adik sudah jadi milik kakak, begitu pun sebaliknya kakak adalah milik adik." "Iya." Aku menunduk. Kak Adam mendongakkan daguku, kami bersitatap lekat. "Kakak benar-benar masih tidak percaya sekarang kita sudah menikah." "Aku juga." Kak Adam mendekat merapatkan jarak. Ia mengusap ubun-ubunku, aku terlonjak saat tiba-tiba tubuhku di angkat, ia menggendongku menuju ranjang pengantin kami penuh bunga yang membentuk hati. Tubuhku di turunkan pelan ke pembaringan, lalu Kak Adam duduk di sebelahku, kami berpandangan. Tak ada kata-kata yang terucap di antara kami, Kak Adam mengecup lembut keningku, pipi, bibir, lalu ia merebahkanku di pembaringan. Aku memandangi suamiku dengan d**a berdebar. Terheran saat ia, memandangi kain yang baru ia lepas dari tubuhku. "Sayang, apa kamu sengaja?" tanyanya. "Sengaja apa?" Aku mengerutkan kening heran. Menutupi tubuhku tanpa busana dengan selimut lantas beranjak duduk. Celana dalam yang dipegangnya terdapat noda darah. "Bagaimana adik menjelaskan ini?" tanyanya, memberikan celana dalamku yang membuatku jadi malu. "Ini artinya aku kedatangan tamu bulanan, Kak." Aku menatapnya tak enak hati. "Tapi tadi adik baru saja salat." "Tadi gak ada darah di celana pas aku ke kamar mandi." Aku menyahut lirih. Kupandang dia yang menggaruk rambut. Ia pasti sudah sangat ingin melakukannya, itu terlihat dari raut wajahnya. "Maaf ya, Kak?" kataku. "Adik tidak sengaja kan?" "Tidak disengaja, tidak disengaja bagaimana maksud kakak? Ya tentu saja gak disengaja, Kak." "Ya mungkin adik sengaja datang bulan karena kakak memaksa adik menikah dengan kakak. Karena kesal pada kakak, adik jadi sengaja datang bulan." Mataku melebar. Kucubit pahanya kuat-kuat sampai ia meringis. "Sakit, Sayang." Ia melepas tanganku. "Ya gak mungkinlah aku sengaja, Kak. Kalau aku pura-pura sakit, aku pura-pura sakit perut, pura-pura lapar, itu namanya sengaja. Tapi kalau datang bulan, mana bisa disengaja? Aneh." Aku menggelengkan kepala. "Yakin tidak disengaja?" Ia menatapku sangsi. Aku mendelik. "Iya, laah." Karena aku merasakan seperti ada sesuatu yang jatuh dari tubuhku, buru-buru aku bangkit dari ranjang. Seprei terkena tetesan darah. Pak Adam bergantian menatap darah di seprei lalu menatapku. "Aku akan mengganti sepreinya, Kak," kataku, buru-buru masuk ke kamar mandi dengan selimut menutupi tubuh. Aku kembali keluar karena lupa membawa baju ganti. Segera saja setelah memakai baju aku pun keluar. Kak Adam memandangku yang yang berjalan ke arahnya. "Aku ganti dulu sepreinya," kataku tak enak hati. Saat tanganku menyentuh sudut seprei, ia menggenggam pergelangan tanganku, menarikku hingga berdiri menghadapnya. "Tidak usah tidak papa. Toh hanya sedikit," katanya, tangannya melingkari pinggangku. Aku mengangguk, menatapnya tak enak hati. "Emp, Kak." "Ya, Sayang?" "Kira-kira, mama punya simpanan pembalut gak, ya?" "Kakak tidak tahu, Sayang. Coba kakak tanya mama dulu." Ia melepas pelukan, segera berjalan menuju pintu. Aku ikut menuju pintu, memperhatikan suamiku yang menuruni tangga dengan cepat. Dari sini terlihat ia mengetuk pintu kamar mama, lalu saat pintu kamar dibuka, suamiku itu menggaruk-garuk rambut, mama tampak menatapnya heran. Aku buru-buru menuju ranjang saat akhirnya Kak Adam membalikkan badan. "Yang kamu minta, Sayang," ucapnya begitu masuk. "Makasih, Kak." Aku menerimanya, lantas masuk ke kamar mandi. Begitu keluar, aku tersentak saat tanganku tiba-tiba digenggam lalu Kak Adam menarikku hingga aku menabrak tubuhnya. "Kakak membuatku kaget." "Masa?" Dia melingkarkan tangannya ke pinggangku. "Iya." Kak Adam memperat pelukan. Ia lalu mengecup leherku. "Kak, aku sedang datang bulan." Aku memperingatkannya. "Tahu, Sayang, hanya cium saja." Lalu tubuhku diangkatnya, ia turunkan ke pembaringan. Yang terjadi kemudian tak usah ditanyakan. Yang jelas bukan sesuatu yang melanggar larangan agama, aku tahu hubungan suami istri tidak boleh dilakukan saat sedang haid. POV Rivan Aku mengerutkan kening heran saat melihat Rini melintas menaiki motornya. Bukannya dia pergi ke Bandung bersama Ila? Apa tidak jadi pergi? Ya mungkin tidak jadi pergi. Saat aku pulang jam 12 siang tadi, ibu bilang katanya Ila pergi ke Bandung bersama Rini. Ibu menjelaskan mulanya tidak mengijinkan Ila pergi, tapi karena Rini sedang ngidam dan tampak sangat ingin pergi ke Bandung, akhirnya ibu mengijinkan. Aku terus menunggu konter sampai jarum jam menunjukkan pukul 21:00. Karena sudah sepi, aku memutuskan pulang ke rumah, ingin memberi uang pada Fani sekaligus memastikan apa Ila benar-benar tidak jadi pergi. Jika tidak jadi pergi, maka seperti beberapa hari ini aku bermalam di toko. Sebenarnya aku keberatan tidur di sini, tapi ibu menjelaskan bahwa aku dan Ila bukan suami istri lagi jadi tidak boleh tinggal serumah. Nanti jika aku sudah rujuk dengan Ila, maka aku akan kembali tinggal di rumah ibu. Walau konter lumayan ramai membuatku bisa menabung sedikit-sedikit, tapi aku tak mungkin mencari kontrakan untuk kutinggali dengan Rifani karena ibu hanya tinggal sendiri. Kasihan kan sudah tua tinggal sendiri? Nanti jika kenapa-napa tidak ada yang tahu. "Assalamualaikum." Aku mengetuk pintu rumah. Tak lama, pintu mengayun membuka. Ibu yang membukanya. "Fani sudah tidur belum, Bu?" tanyaku karena ingin memberikan uang belanja pada istriku itu. "Kamu lihat saja sendiri! Ibu tidak tahu!" sahut ibu jutek. Ibu selalu tak suka pada Rifani. Kata ibu, Rifani penyebab aku berpisah dengan menantu kesayangannya, Ilana. Aku yang menyesal gara-gara pernikahan siriku dengan Rifani rumah tanggaku dengan Ila jadi retak, sangat setuju saat ibu meminta agar aku kembali rujuk dengan Ila. Sayangnya Ila tak mudah dibujuk. Tiap aku mengajaknya rujuk demi Umi anak kami, Ila terus saja menolak. Tentu saja aku tahu dia sangat terluka karena aku menikah dengan Rifani tanpa sepengetahuannya, jadi aku harus pelan-pelan mendekatinya agar mau membuka hati untuk mantan suaminya ini. Aku yakin jika terus-terusan didekati, Ila pasti akan luluh. Aku hapal benar siapa Ila. Dia mudah luluh dengan hal ringan seperti diberi bunga dan cokelat. Aku menghela napas menatap wajah ibu yang terlihat jengkel. "Masak saja Fani tidak becus! Selalu saja asin! Sepertinya dia sengaja agar ibu cepat mati karena darah tinggi!" "Yang sabar, Bu, nanti lama-lama dia pasti bisa masak." "Sampai kapan?! Pokoknya kamu harus dapatkan hati Ila lagi, nikah dengan Ila dan ceraikan Fani!" ucap Ibu dengan wajah sebal. "Iya, Bu. Aku akan membujuk Ila agar mau rujuk denganku." Ibu menghela napas. "Hanya tiga bulan Ila mau tinggal di sini, Van. Itu pun karena ibu pura-pura sakit. Kamu harus bisa membujuknya. Percuma ibu selama ini pura-pura sakit jika kamu tidak bisa membujuk Ila rujuk. Jangan sia-siakan pengorbanan ibu yang sampai rela pura-pura sakit agar kalian bisa rujuk, Van." "Iya, Bu. Iya. Aku akan membujuk Ila menikah denganku. Aku janji, Bu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD