5. Tak Terduga

1136 Words
"Mama, Kak Ara baru bangun. Kakak belum bersiap." Kalisya melapor pada sang ibu usai menyelesaikan tugas melihat kondisi kakak perempuannya yang baru datang dari perantauan. Mendengar penuturan anaknya, Marsha melihat jam tangan di tangannya sembari berpikir akan waktu yang dibutuhkan Ara untuk bersiap, waktu sampai di restoran terdekat tempat pernikahan untuk sarapan karena ia sengaja tidak memasak sarapan hari ini supaya bisa makan bersama anak-anaknya di luar kemudian datang ke tempat acara. Marsha merasa waktunya akan sangat mepet sekali, belum lagi kondisi di jalanan. Sangat jarang terhindar macet di ibu kota ini. Sudah begini, Marsha menyesal tidak membangunkan Ara tadi. Marsha pikir anaknya itu bisa bangun pagi seperti biasanya tapi, ternyata tidak. Mungkin karena efek dari kelelahan. "Harusnya aku membangunkan dan memastikan Ara sebelum bersiap tadi." Andrean yang berada di samping sang istri bertindak merangkul bahu istrinya itu, ia mencoba menenangkan dengan memberikan elusan ringan di sana. "Jangan menyalahkan diri sendiri. Keadaan tak terduga bisa saja terjadi. Tak apa, kita tunggu Ara sebentar lagi," ucap Andrean pada sang istri yang tampak gelisah pagi ini. "Anak-anak belum sarapan. Kita tidak tahu seberapa lama acara nanti." Marsha mengungkapkan kegelisahannya. "Ada sedikit waktu membuat roti oles selai, aku akan membuatnya untuk mengganjal perut," lanjut Marsha usai terlintas solusi dalam pikirannya. Ia pun melangkah untuk melaksanakan pemikirannya itu tapi sebuah tarikan di bahunya melarang dirinya melangkah pergi. "Tidak perlu, Sayang. Terlambat sedikit di acara, tidak akan membuat Andrew marah. Dia pasti mengerti. Untuk makan, kita beli sesuatu saja di luar kita bisa sarapan di mobil," usul Andrean, sebagai kepala rumah tangga tentu ia harus bisa memberi solusi di keadaan tidak terduga seperti ini. Selain alasan itu, ia tak ingin istrinya yang sudah repot dari pagi-pagi buta membersihkan rumah dan mengurus anak-anak, harus repot lagi menyiapkan sarapan di kondisi yang sudah berdandan rapi serta cantik ini. "Tapi--" "Tidak apa. Kita tunggu Ara saja." Lama menunggu, Ara tak kunjung menampakkan batang hidungnya. "Saya--" "Tuan, Nyonya!" seru asisten rumah tangga. "Ada pesan dari Nona muda, katanya Tuan dan Nyonya bisa berangkat lebih dulu. Nona muda ada Tugas dadakan dari kampus. Di usahakan nanti segera menyusul. Dan minta tolong untuk menyampaikan maaf pada Paman Andrew karena akan telat datang ke pernikahannya." Andrean dan Marsha saling berpandangan kemudian keduanya kompak mengangguk. Berangkat lebih dulu, begitulah keputusan mereka. Tak ada kecurigaan atau apapun, semua berjalan begitu saja dengan mudah. "Baiklah, nanti minta salah satu penjaga untuk mengantar Ara. Siapkan kendaraan juga mulai dari sekarang." Asisten rumah tangga itu menundukkan kepalanya. Mengiyakan permintaan sang Tuan rumah. Kendaraan yang dikendarai Andrean pun melewati pagar rumah diikuti beberapa kendaraan yang lain. Tak hanya melewati pagar rumah tapi, mereka juga melewati salah satu penjaga yang berpenampilan tertutup di pos satpam. Tak lama setelahnya sebuah kendaraan tanpa plat nomor masuk ke halaman rumah menampilkan sosok pria berkemeja hitam dan berkaca mata keluar dari kendaraan itu. "Jalanan sudah aman," katanya begitu seseorang tersembunyi di pos satpam tadi menghampirinya. "Aku tahu." "Kau yakin." Lawan bicara pria berkemeja hitam terdiam sejenak, sebelum menganggukkan kepalanya seraya menatap dua orang di sana. Ada asisten rumah tangga yang belum pergi. "Tak pernah seyakin ini." "Kalau itu keputusanmu, aku tidak akan mencegah. Hutangku sudah lunas." "Kalian berdua, jangan libatkan aku lagi," ucap asisten rumah tangga itu seraya berlalu pergi. Kondisi rumah ini sudah sepi, itulah yang terjadi saat ini. Dan yang terjadi setelahnya, tentu sudah bisa ditebak sebelumnya. Taktik pasaran, mungkinkah benar-benar akan berhasil dan tidak ketahuan? Ara duduk dengan tenang di kursi belakang, pandangan matanya tertuju ke arah luar. Diam, merenung, atau melamun, entahlah sebutannya apa, ia tengah melakukannya sekarang. Dalam hati Ara merasa, ia tidak lagi memiliki harapan. Penyemangat dalam hidupnya selain kedua orang tuanya memutuskan pergi meninggalkannya demi meraih kebahagiaan bersama pendamping hidup pilihannya. Menerawang jauh, Ara rasa ia tidak memiliki keyakinan akan hidup baik ke depannya. Akankah ia bisa menjalani dengan baik-baik saja? cukup meragukan, sebab di jalannya kini tak lagi ada persimpangan melainkan sebuah tembok tinggi tak berujung yang menghalangi langkah kakinya. Haruskah ia hancurkan tembok itu untuk meraih masa depan lebih baik atau memilih bersandar sembunyi dibalik tembok tanpa peduli akan masa depannya. Mungkin pilihan kedua, pasrah tanpa usaha. Usaha, pengkhianat. Kata orang tidak ada usaha yang sia-sia nyatanya, itu bohong. Jalanku tetap sulit, susah, gelap, sama sekali tidak ada titik terang. Hanya kebuntuan. Rasanya ingin sekali menyerah. * "Apa tempat pernikahannya jauh? kenapa lama sekali sampainya?" terlalu asik melamun membuat Ara tak sadar akan kondisinya sendiri. Pertanyaan yang keluar sekarang pun ia dapat usai merasakan pegal di punggungnya. Ah, melamun memang bisa membuat lupa segalanya. Lama menunggu, Ara tidak mendapat jawaban apapun. Ia tentu merasa bingung, tiba-tiba pula ada sedikit rasa takut di hatinya. "Kenapa kau tidak menjawab ku?" tanya Ara penasaran. Rata-rata orang yang bekerja di bawah kendali ayahnya tidak ada yang berani diam ketika ditanya. Sebab, kesetiaan mereka pada sang ayah tidak perlu diragukan lagi. Mendadak rasa takut yang timbul dalam hati Ara membesar. Ia akan berbuat ceroboh dan panik berlebihan saat logikanya tidak berjalan. Untungnya, ia tidak melakukan itu. Setakut apapun dirinya sekarang, ia mencoba untuk tetap tenang. Tenang tapi tangannya bergerak. Perlahan ia bergerak mengambil ponsel dalam tas tangannya tanpa mengetahui bahwa orang di depannya terus mengawasi setiap gerak yang ia lakukan Sepasang mata Ara membulat terkejut. Hal tersebut menampilkan wajah lega pada raut sang sopir. Ara merasa lemas seketika saat benda yang ia cari tak ia temukan di dalam tasnya. Ara merutuki dirinya sendiri yang sangat ceroboh. Ia tak menyangka dirinya bisa seceroboh ini, astaga. "Kau membawaku ke pelabuhan? kau ingin membawaku ke mana?" sorot mata Ara kian menunjukkan kepanikannya, ia sudah tidak bisa tenang lagi sekarang. Lagi dan lagi tak ada jawaban. "Tolong lepaskan aku. Jika kau ada dendam karena keluargaku, aku mewakili mereka untuk meminta maaf. Papaku pasti akan menebus kesalahannya di masa lalu kalau memang dia pernah menyakitimu. Jadi, tolong lepaskan aku." Tidak ada hal lain dalam pikiran Ara selain memohon. Tak ada yang ia pikirkan alasan dari seseorang menculik seseorang selain butuh uang tentu saja dendam pribadi. Ara tahu ayah dulu bukanlah orang baik. Tidak salah jika ia berpikir demikian. "Aku mohon lepaskan aku," lirih Ara dengan nada suara syarat akan keputusasaan. Bagaimana tidak? kendaraan ini begitu mudah naik kapal. Kapal pun berlayar tak lama setelah kendaraan ini masuk. Tidak ada jeda waktu cukup baginya untuk kabur. Lagi, kendaraan yang ia tumpangi pun masih terkunci. Airmata Ara jatuh, ia lagi-lagi menangis tapi, kali ini karena hal lain. Ia sangat berharap kedua orang tuanya bisa segera menemukannya. Harapan lainnya, penculik ini tidak melakukan hal buruk padanya. "Jangan menangis." Setelah sekian lama, akhirnya Ara mendengar suara dari si penculik yang menyamar sebagai sopir untuknya. Akan tetapi, suara itu seperti tidak asing. "Bukankah ini yang kau mau, Nona Ara?" Ara syok mendapati kenyataan sosok di depannya. Topi, kaca mata dan masker sosok itu telah terlepas. Menampilkan sosok pria yang semalaman ini ia tangisi. "Paman A!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD