2| Mencoba Lagi

1012 Words
Seminggu yang lalu … "Cobalah untuk relaks, Sa. Jangan berpikir macam-macam. Biarkan tubuhmu menikmatinya." Mario mengungkung tubuh istrinya yang mulai gelisah. Ini percobaan yang ke 279 dalam setahun usia pernikahan mereka. Semuanya gagal. Jangankan penetrasi, membuka kaki jenjang istrinya saja sangat sulit. Tubuh molek itu mengkerut seperti janin setiap Mario selesai mencumbu dan bersiap menyemai benih-benih di ladang yang sehat. Bulir-bulir keringat sebesar biji jagung mulai keluar dari pelipis Marisa. Entah apa yang salah. Awalnya begitu sempurna. Mereka berciuman penuh gairah dan saling mendamba. Semua sempurna hingga Mario berusaha memasukinya dan dia mulai tegang. Entah apa yang ditakutkan, mereka pasangan sah. Bukan dua insan yang curi-curi waktu untuk melakukan perbuatan dosa. Meski Mario sudah membujuknya dengan kata-kata yang membuai, tetap saja tubuh istrinya sekaku papan. Wanita itu seperti tidak mengizinkannya masuk. Pintunya terkunci rapat dan sekuat apa pun Mario mendobraknya, yang dia temukan adalah dinding dingin dan keras. Jika biasanya Mario menghentikan aksinya setelah tubuh istrinya menunjukkan tanda-tanda penolakan, kali ini dia tidak mau menyerah. Marisa adalah miliknya. Dia suami yang punya hak untuk mendapatkan apa yang seharusnya didapatkan sejak awal pernikahan. Dua tahun bukan waktu yang singkat untuk menunggu. Jika akhirnya dia tidak bisa memiliki istrinya seutuhnya, untuk apa mereka menikah? Dia lelaki normal dengan gairah sehat lelaki dewasa. Sudah cukup baginya bersabar selama setahun. Menunggu dan hanya menunggu. Ini sudah masuk tahun kedua dan Marisa masih sekaku malam pertama mereka. Mau sampai kapan dia harus bersabar? Sementara desakan ibunya membuat telinganya panas hampir setiap hari. "Demi Tuhan, Sa! Kita sudah dua tahun sah dan masih kayak orang pacaran. Apa yang kamu takutin, sih? Masa takut nggak sembuh-sembuh? Aku laki-laki normal. Pikirlah gimana perasaanku selama ini!" Mario menyambar pakaiannya dan mengenakannya cepat. Dia keluar kamar dengan membanting pintu. Meninggalkan Marisa yang memeluk lutut sendirian di atas kasur sambil terisak. Apa ini salahnya? Salah tubuhnya? Sama seperti Mario, dia juga menginginkan nikmatnya hubungan suami istri. Namun mengapa tubuhnya menolak? Di mana salahnya? Udara dari pendingin ruangan menggigiti kulit mulus Marisa. Dingin. Namun hatinya lebih dingin. Tidak biasanya suaminya bersikap kasar seperti tadi. Biasanya Mario akan membujuk dan mengatakan kalau mereka bisa mencoba lagi besok. Namun Marisa merasa, kali ini tidak ada besok bagi mereka berdua. Apa yang harus dia lakukan? =*= "Yo, aku mau pulang ke rumah Mama sebentar. Mungkin seminggu. Buat nenangin pikiran. Boleh?" Mario tidak menjawab. Dia sibuk dengan sepiring nasi gorengnya. Semalam dia pulang Subuh dan langsung merebahkan diri di samping Marisa yang masih terjaga. Mereka saling memunggungi. Mario mendengkur, Marisa terisak. "Yo?" ulang Marisa. Sama seperti suaminya, dia juga jenuh dengan situasi ini. Namun dia tidak tahu harus bagaimana. Selama ini dia memendam sendiri apa yang dirasakannya. Berdiskusi dengan suaminya pun percuma. Mario selalu bilang kalau itu kesalahannya. Mungkin ini waktunya untuk meminta tolong pada orang lain. Orang yang dia percaya. Mama. "Terserah," jawab Mario pendek. Dia memasukkan suapan terakhir nasi goreng ke mulutnya dan mengunyah cepat. Setelah menghabiskan segelas air putih, Mario bangkit dari meja makan dan mengambil kunci mobil yang tergantung di dinding. "Mau ke mana?" tanya Marisa heran. Ini hari Sabtu dan suaminya libur. "Ke mana saja asal bukan di depanmu. Malam ini nggak usah tunggu aku pulang. Besok kalau mau pergi, nggak usah nungguin aku," katanya ketus. Membuat d**a Marisa berkedut-kedut nyeri. Dia semakin menyalahkan dirinya. Tak tahan menunggu esok, Marisa memutuskan pergi ke rumah Mama hari ini. Toh, Mario juga tidak akan pulang. Dia tidak mau semakin tenggelam dalam perasaan bersalah dan mengambil keputusan yang sesat. Kepalanya kini penuh dengan cairan bening yang menuntut keluar melalui mata. Marisa berkemas dengan pandangan berkabut lalu menangis meraung memeluk tas bepergiannya. Apa dua tahun pernikahan mereka akan berakhir? =*= Seminggu di rumah Mama, membuat perasaan Marisa mencair. Seminggu dengan diskusi dan berakhir dengan solusi. Mama memang yang terbaik. Mama tahu apa yang terjadi pada tubuhnya bukan kesalahannya. "Kamu bisa sembuh. Nanti ngobrol baik-baik sama suamimu dan ajak dia konsultasi, ya," pesan Mama. Marisa mengangguk. Mama juga tahu kalau sebelum peristiwa ini, Mario sudah konsultasi ke dokter masalah kesuburan dan mereka sedang menunggu hasil. Tapi Marisa tahu kalau ini bukan salah Mario. Salah dia yang tidak bisa dimasuki bukan salah benih yang ingin masuk. Sudah baik Mario mau menutupi keanehan kondisinya selama hampir dua tahun ini. Tapi kalau hasil itu keluar, mereka akan tahu siapa yang salah dan mereka mulai menuding kepadanya. Mereka juga pasti meminta dia untuk melakukan tes kesuburan. Dan itu menakutkan. Seminggu di rumah Mama membuat perasannya lebih ringan sekarang. Selama seminggu ini juga, Mario tidak menghubunginya walau dia rajin menanyakan kabar melalui WA. Tak apa. Mungkin Mario butuh waktu, sama sepertinya yang juga butuh ketenangan. Setelah pulang dari rumah Mama, dia dan Mario akan menghadapi masalah ini berdua. Selama perjalanan dengan travel dari rumah Mama ke Jakarta, Marisa diselimuti perasaan rindu. Dia dan Mario sudah menjalin kasih selama awal semester di Yogya. Cintanya pada lelaki bermata cokelat itu tak teralihkan. Meski hubungan mereka kerap diwarnai pertengkaran layaknya pasangan labil, tapi cinta yang besar selalu membuat keduanya saling mencari dan kembali lagi. Marisa memandang layar ponsel dengan wallpaper foto pernikahan mereka. Belum ada balasan dari suaminya. Masih centang satu. Apa Mario masih tidur? =*= Marisa memandang ruangan kosong di rumahnya. Dia berharap, ada sosok Mario dan senyum yang dirindukan menyambut kepulangannya. Namun ruangan itu kosong. Bahkan aroma Mario pun tak terendus. Ruangan itu benar-benar kosong. Perabot menghilang. Tirai-tirai pun tak tergantung lagi. Lantai berdebu. Sampah teronggok di sudut, seolah rumah itu sudah lama ditinggalkan tanpa kehidupan. Marisa berjalan masuk dan membuka pintu kamarnya dengan Mario. Tumpukan baju dan sebagian barang miliknya teronggok di lantai. Kasur king size, meja rias, dan juga tirai penutup jendela menghilang. Marisa menjelajah ruangan lagi. Meja tulis dan berkas pekerjaannya masih ada. Seolah tak tersentuh. Masih sama seperti kali terakhir dia tinggalkan. Bahkan tas kerjanya juga masih di tempat yang sama. Hanya itu. Yang lainnya menghilang. Koleksi tasnya, sepatunya, perhiasan dan alat mandinya pun tak ada. Juga jemuran dan peralatan mencuci di belakang. Semuanya lenyap. Apa yang terjadi? Mengapa Mario pindah tanpa memberitahu dirinya? Dan mengapa barang-barang pribadinya ditinggalkan? Kepalanya kini penuh dengan pertanyaan. Marisa menghubungi Mario untuk meminta jawaban.©
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD