Bab 3 Kehilanganmu.

1267 Words
"Ini! besok di pasar pasti kamu butuh uang buat kembalian, kamu bawa ya, kamu gunakan baik baik." Ucap sang nenek sembari memberi gepokan uang seratus ribuan pada Qiran, saat itu Qiran merasa sangat aneh dengan tingkah neneknya, kenapa sang nenek bisa sampai memberi uang padanya, dan uang tersebut tidaklah dalam jumlah sedikit atau receh, melainkan lima puluh ribuan dan seratus ribuan, dan bakhan jika di total semua sayuranya yang ia akan jual esok, masih berlipat lipat uang yang sang nenek berikan padanya. "Ini tabungan nenek ya? kan Qiran ada uang receh nek, nanti dipakai dulu aja, ini nenek sembunyikan lagi ya!" Ucap Qiran sembari menolak uang yang sudah neneknya sodorkan tersebut. "Kalau kamu nggak mau ambil nih uang, akan nenek buang!" Ucap sang nenek dengan nada yang marah, dan akhirnya Qiran pun menerima uang dari sang nenek dan membawanya menuju ke kamar. "Ini uang banyak banget, kenapa nenek berikan padaku? pasti nenek udah ngumpulin uang uang ini dalam waktu yang lama." Ucap Qiran sembari menghitung uangnya yang ternyata lebih dari dua juta disana, setelah itu memasukanya kedalam dompet dan menyimpanya. "Akh tidur, biar esok bisa bangun jam tiga." Ucap Qiran sembari berbaring dan berusaha memejamkan matanya. Mungkin seumur umur Qiran, baru besok lah ia akan bangun pukul tiga dini hari. Namun, ia tak kunjung mengantuk, hatinya tak karuan, perasaanya tak enak, tapi ia berusaha menepisnya, akhirnya ia pun tertidur dengan sendirinya. Udara dingin menyeruak masuk menembus celah dinding yang hanya terbuat dari anyaman bambu, membuat Qiran yang masih setia diatas ranjangnya meringkuk karena kedinginan. "Astaga! Hampir saja!" Ucap Qiran seketika sembari membuka lebar kedua matanya karena teringat pagi itu ia harus membawa dagangan sayuran sang nenek untuk di jual ke pasar. Dengan mata yang masih menyipit, ia pun terbangun, terjaga dari tidurnya, mencoba perlahan bngkit dari atas ranjngnya dengan kedua tangan yang mengucek ucek kedua matanya yang masih sepat ia buka, ia pun berjalan menuju ke kamar mandi, sesaat ia terhenti ketika melewati kamar sang nenek, menyibakan sedikit kelambu dan memastikan sang nenek tidak kedinginan, dan ia baru melanjutkan aktivitasnya setelah memastikan keadaan sang nenek baik baik saja, terlihat nyenyak dan pulas tidurnya. Setelah ia menyelesaikan aktivitasnya, ia pun bergegas untuk membawa semua dagangan sayuranya ke pasar, untuk menjualnya, biasnya sang nenek berangkat pukul tiga dan pulang setelah daganganya habis pukul tujuh pagi, itupun neneknya sekalian membawa pulang makanan sarapan untuknya, sengaja Qiran tidak membangunkan sang nenek atau berpamitan padanya saat akan berangkat ke pasar, karena nenek terlihat pulas dalam tidurnya. Qiran pikir, nanti setelah ia pulang dari pasar pun sang nenek belum bangun juga, jadi ia putuskan untuk pergi begitu saja tanpa pamitan. Qiran tidak membawa serta uang yang nenek nya berikan padanya kemarin malam, karena memang ia merasa uang recehannya sisa pendapatan jualan gorenganya saja sudah cukup jika hanya untuk uang kembalian pembeli. Tanpa terasa waktupun berlalu dengan cepatnya, nenek yang sudah mempunyai pelanggan tetap pun membuat Qiran dengan mudah menjual habis seluruh daganganya, bahkan Qiran lebih cepat setengah jam dari waktu yang nenek biasanya tempuh. Dengan wajah senang dan sumringah, Qiran sudah tak sabar sampai rumah, ia ingin memberi tahu sang nenek secepatnya, bahwa daganganya sudah habis bersih tak tersisa, Qiran melangkahkan kakinya dengan cepat menuju ke rumah. Namun saat dijalan ia berpapasan dengan penjual bubur ayam keliling, ia pun lalu membelinya karena teringat kondisi sang nenek, pasti neneknya itu susah untuk menelan nasi biasanya yang ia masak, karena kondisi yang kurang enak badan. Qiran membeli dua bungkus bubur ayam, satu untuknya dan satu lagi untuk sang nenek, namun saat ia sudah dekat dengan gang rumahnya, nampak banyak orang yang berlalu lalang disana, saat itu Qiran tak berpikir macam macam, ia pikir ada kerja bakti atau semacamnya yang mengharuskan banyak orang di Desanya untuk terjun langsung ke sana. "Bu...ada apa ya?" Tanya Qiran pada salah satu ibu ibu yang berkerumun setelah pulang dari gang yang menuju rumahnya. "Yang sabar ya Qiran..." Ucap ibu ibu itu, dan barulah saat itu hati Qiran benar benar sangat tak enak, ia pun segera berlari menuju rumahnya, meninggalkan kerumunan ibu ibu yang berada di pinggir jalan dekat gang. Langkah kakinya tiba tiba terhenti, saat menyaksikan kerumunan orang itu ternyata berada di luar rumahnya, beberapa ibu ibu terlihat menggelar tikar dan mengumpulkan sumbangan dari para tetangga yang datang. Saat itupun perasaan Qiran belum sepenuhnya menyadari, dan ketika ia melihat bendera kuning yang melambai di depan rumahnya barulah saat itu kakinya lemas seketika, ia ingin berlari masuk namun langkah kakinya gontai karena lemah, untung masih mampu bisa menyangga tubuhnya. "Apa ini nenek ku?" Ucap Qiran saat ia sudah sampai di depan pintu rumah reyotnya, menatap ke depan, di atas meja panjang dapur yang dipasang disana, diatasnya terbujur kaku tubuh yang berselimut kain kafan warna putih. "Iya nak...lihat lah wajah nenekmu untuk yang terakhir kali nak...sebelum di bawa ke pemakaman dan di kebumikan." Ucap salah seorang ibu ibu tetangga rumah Qiran, sembari dengan lembut mengelus kedua pundak Qiran dengan elusan menenangkan. "Nenek!" Teriak Qiran tiba tiba saat ia benar benar menyadari yang terbujur kaku diatas meja depan matanya adalah neneknya, nenek yang semalam ia pakaikan selimut banyak berlapis lapis, nenek yang sempat dipeluknya meski untuk yang terakhir kali, seketika Qiran menjatuhkan dua bungkus bubur dari tanganya. Qiran berhambur mendekat kearah tubuh neneknya, ia memeluknya dengan isakan kehilangan, ia tidak ingin menangis kala itu, karena sang nenek tidak suka saat melihat Qiran menangis, apa lagi menangisinya, namun air matanya keluar dengan sendirinya. Hingga dua jam prosesi menuju pemakaman, Qiran dengan setia menunggui sang nenek, ia terduduk disamping meja yang ditempati tubuh nenek. "Ayo nak...sudah waktunya, nenek sudah berpulang dari subuh tadi nak, saatnya kita bawa kepemakaman." Ucap ibu ibu tetangga yang mencoba membantu Qiran berdiri dari duduknya, Qiran pun mengikuti prosesi pemakaman sampai selesai. Hingga semua pelayat pergi meninggalkan makam sang nenek, hanya tinggal Qiran yang terduduk disamping pusara. Saat itu sang nenek di makamkan tepat di sebelah makam kakek nya. Qiran mengetahui cerita neneknya berpulang dari salah satu tetangga yang pagi itu mengira Qiran bangun kesiangan, karena Qiran ada janji akan membantu masak serta sekaligus mengantarkan pesanan nasi kotak milik tetangga ke pemesanya, saat itu lah diketahui neneknya telah pergi untuk selama lamanya. "Akh...nenek jahat kek! Katanya mau nemani Qiran sampai Qiran nikah dan punya anak, masak iya baru kemarin Qiran lulus sekolahnya sudah main tinggal aja kek? terus Qiran harus ngobrol sama siapa kalau dirumah?" Ucap Qiran saat semua orang sudah pergi meninggalkan area pemakaman Desa, ia berbicara sendirian seperti orang gila. Hingga tanpa terasa langit mulai terlihat gelap, mendung menggulung seakan mau runtuh, namun Qiran masih setia berada di samping pusara sang nenek yang masih basah, dan kakeknya, sampai, terlihat tetesan tetesan air yang turun itu pun kini semakin deras dan lebat mengguyur. "Akh." Teriak Qiran sambil menengadahkan wajahnya keatas, membiarkan air hujan yang jatuh menyapu air mata di wajahnya, saat itu lah Qiran bisa menangis sejadi jadinya, ia membiarkan derasnya air hujan menghilangkan semua air mata yang ia keluarkan, hingga puas Qiran menangis, dengan tubuh yang basah kuyup, dan lemas, akhirnya ia pun memutuskan untuk pulang kerumah. "Kakek, nenek, Qiran pulang dulu ya...Qiran akan kemari sesering mungkin, doakan Qiran kuat menghadapi semua sendirian ya kek...nek...pasti nenek senang sekarang sudah bersama dengan kakek, Qiran harus sedih apa senang sekarang?" Ucap Qiran dengan senyumanya namun di kedua pelupuk matanya mengeluarkan air mata. Ia berjalan dengan langkah gontai hingga sampai depan rumahnya, ia teringat kemarin saat hari hujan, dimana Qiran masih melihat sang nenek yang memasang baskom baskom disana, di depanya, di tempat air hujan yang menetes dari celah genteng bocor. Bayangan sang nenek terus mengusiknya, namun tidak ada pilihan lain selain ia masuk kedalam rumah, menuju kamarnya untuk mengganti pakaian basahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD