Chapter 10

1878 Words
“Kemana?!” Teriak Alvyna di tengah gemuruh Tornado yang sekarang memang mulai mengejar mereka. Alvyna dan Pangeran Regan, dengan tertatih-tatih berlari menyusuri gundakan-gundakan kecil yang tersebar di seluruh gurun tandus. Tanahnya retak-retak meninggalkan celah sebesar 5 cm. dari retakan itu, keluar asap panas yang sesekali menyebur Bersama larva merah pekat dan kental. Tidak ada tempat yang tidak retak di sana. Sebuah keajabaiban setiap langkah Alvyna dan Pangeran Regan tidak membuat retakan itu semakin membesar. Dia tidak pernah melihat tempat seburuk dan semengerikan ini selama berada di Fallenheim. Mereka seperti berjalan di atas kerak larva yang mengeras alih-alih sebuah daratan. “Tidak jauh di depan, ada Gua! teruslah berlari” Jawab Pangeran Regan. Alvyna ingin membalas, memangnya apa yang dia lakukan sejak tadi? Tapi, dia diam saja. Tidak mau membuat sang Pangeran melempar dirinya ke dalam Tornado, kalau-kalau dia kesal dengan sikap Alvyna. Tidak bisa di pungkiri, terkadang jika dia terjebak ke dalam keadaan yang genting, dia suka berubah menjadi menyebalkan. Alvyna menengok kebelakang. Dia mengernyit bingung ketika melihat tingkah Tornado yang mengejar seolah-olah dapat melihat mereka. Bahkan di mata Alvyna terkesan para Tornado sedang main kejar-kejaran dengan mereka. “Apa hanya perasaan saya saja, atau sepertinya Tornado bisa melihat kita?” kata Alvyna ragu-ragu. Pangeran Regan terdiam sesaat sebelum menjawab. “Hanya perasaanmu saja” “Yang benar saja?” Teriak Alvyna tidak percaya dengan kata-kata Pangeran Regan, “Tornado macam apa yang bisa melihat?” Pangeran Regan tidak mengubris Alvyna. Mereka terus berlari menyusuri gurun yang semakin lama semakin menurun. Mereka berzig-zag di antara gunadakan-gundakan bukit kecil yang semakin lama semakin tinggi. Tidak ada lagi gurun rata, melainkan daratan yang di penuhi dengan bukit-bukit kecil setinggi dirinya dan Pangeran Regan. Alvyna bahkan tidak dapat melihat area di depannya. Semuanya tertutup dengan bukit-bukit. “Seberapa jauh lagi?!” Tanya Alvyna panik. Bagaimana tidak? Kondisi sang Pangeran Yang Terkutuk semakin parah sedangkan dirinya masih bertanya-tanya apakah perjalanannya ini hanya sebuah mimpi ataukah tubuhnya benar-benar berada di tempat asing? Lagi-lagi Alvyna menengok ke belakang, entah sejak kapan Para Tornado yang mengejar mereka, sekarang sudah membelah-belah diri. Jumlah mereka mungkin sebanding dengan satu batalion pasukan kerajaan. Dengan jumlah yang sebanyak itu, dia tidak dapat lagi melihat celah di antaranya. Para Tornado tampak seperti dinding tinggi yang sangat besar, menjulang sampai menutup langit-langit kelabu dan bergerak semakin cepat ke arah mereka. Seolah hal itu belum cukup mengerikan, di setiap centi yang dilewati oleh Para Tornado, semburan larva merah kini menyatu di dalam putaran. Membentuk dinding kerak api raksasa yang dapat di pastikan, Para Dewa pun akan musnah di lahapnya. “Ada sesuatu yang ingin saya tanyakan pada anda, Yang Mulia” Kata Alvyna buru-buru. “Sayangnya, waktu kita tidak banyak. Saya akan mencari anda lagi” sambung Alvyna melepas Pangeran Regan. “Kita bisa mengobrol setelah sampai ke dalam gua,” Pangeran Regan memandangi Alvyna dalam-dalam. Sampai-sampai d**a Alvyna berdenyut. Dia tidak suka dengan hal-hal yang ditimbulkan oleh Pangeran yang satu ini. “Bantu aku lari kesana!” Tambahnya. “Apakah anda tidak bisa berlari kesana sendiri?” “Bagaimana denganmu?” Tanya Pangeran tajam. Alvyna terdiam sesaat. Dia memalingkan wajahnya berhadapan dengan Para Tornado. Dia tahu, rasanya konyol melakukan hal apa yang akan dia lakukan. Namun, dia tidak punya pilihan. Bisa di pastikan jika dia tidak melakukan apa pun, mereka akan musnah di lahap oleh mereka. “Saya akan mengelabui mereka sampai anda benar-benar aman” Jawabnya menengok Pangeran. Mata mereka saling bertatapan. Tanpa perlu dia jelaskan panjang lebar, Pangeeran tahu maksud Alvyna. “Tidak!” Katanya tegas, “Kau bisa mati!” Alvyna tersenyum kecut. jika pun dia mati, Alvyna yakin Para Dewa akan melakukan apa pun untuk membangkitkan dia kembali. Dia melakukan hal gila ini bukan karena dia ingin mati. Hanya saja, kali ini dia ingin mempercayai instingnya. Lagi pula, dia ingin mencoba mencari tahu sesuatu. Hal yang telah dia curigai sejak 1 tahun yang lalu. “Percayalah pada saya, Yang Mulia.” Alvyna tersenyum. Pertama kali dia tersenyum dengan tulus pada Pangeran. “Mereka tidak akan semudah itu membiarkan saya mati.” “Aku tetap tidak bisa membiarkanmu terluka,” geram Pangeran Regan. “Anda pasti sudah tahu siapa saya. Apa menurut anda, saya orang yang lemah?” Wajah Pangeran Regan yang pucat semakin pucat. Hampir tampak terlalu perhatian kepada keselamatan Alvyna, yang tentu saja mustahil. Dia tidak percaya bahwa dirinya dapat menjadi berharga di mata seseorang. Terutama tidak dengan nya. Setiap orang yang melihat mata peraknya, hanya menunjukkan dua hal. Pertama mereka ketakutan dan kedua mereka seolah melihat cahaya dalam kegelapan. Tidak ada yang benar-benar menatap dirinya sebagai dirinya saja. Dia berharga hanya karena mata peraknya, yang entah sejak kapan perlahan-lahan mulai dibencinya. “Jangan menatapku seperti itu” Bisik Alvyna tertunduk. Dia membenci tatapan Pangeran Regan sekarang ini. Raut wajah yang tampak asing bagi Alvyna namun membuat batinnya risau. Tatapannya yang seolah seluruh dunianya akan direnggut dari tangannya namun dia tidak berdaya melakukan apa pun. Ya, keputusasaan yang sekarang di tampakkan oleh seorang Pangeran Terkutuk untuk Alvyna tampak absurd. Seperti ilusi yang sedang mencoba mengelabui matanya. “Ikutlah bersamaku,” Pangeran Regan menjulurkan tangannya. Alvyna menatapnya datar. “Kita bisa pergi bersama”. Lagi-lagi. Pangeran tampak terdesak. Alvyna menggeleng-gelengkan kepalanya dengan perlahan. “Pergilah! Kita tidak punya banyak waktu!” Teriak Alvyna. Menjauh dua langkah dari Pangeran Regan. “Sampai bertemu lagi, Yang Mulia Putra Heimidalr” kata Alvyna sesaat sebelum melesat lalu berlari ke arah selatan dari tempat Pangeran Regan berdiri dan meneriaki nama Alvyna. Berkali-kali. Seolah itu adalah pertemuan terakhir mereka. Teriakan itu seperti teriakan yang akan kehilangan orang yang berhaga dalam hidup mereka. Aku hanyalah Putri Dewa, kenapa kau tampak bersedih? Pikir nya muram. Dia tidak mau mengakuinya. Tatapan Pangeran Regan berbeda. Dia tidak melihatnya sebagai objek. Dia melihat dirinya sebagai Alvyna. Anak manusia biasa. “Alvyna__” dari tempat Alvyna berlari, samar-samar dia masih mednegar teriakan putus asa dari Pangeran Regan. Dia tidak punya waktu untuk mencari tahu perasaan apa itu. Yang dia tahu saat ini, Para Tornado sinting itu mulai fokus mengejar dirinya. Serta tidak mengubris Pangeran Regan. “Huh! Sejak awal aku incaran kalian?!” Teriak Alvyna geram. Dia masih berlari, melesat di antara retakan-retakan lahar seraya berusaha tidak terjungkal di atas gundukan kepala Para Raksasa yang di tebas oleh Pangeran Regan. Sejak tadi, dia penasaran sekali, bagaimana Para Raksasa itu tidak punya badan? Dan yang tertinggal adalah kepala dengan rambut yang terbuat dari kerak lahar. Alvyna tidak tahu tempat dia berada, dia bahkan tidak sempat bertanya kepada Pangeran Regan. Hasilnya, dia tidak lagi melihat arahnya berlari. Tubuhnya secara otomatis bergerak. Melesat sejauh mungkin dari kejaran Para Tornado yang semakin mengganas. Di penghujung jalan, dia melihat sebuah jurang. Luar Biasa, tidak bisakah lebih menggenaskan lagi? Oh! Nasibnya! Alvyna terpaksa berhenti. Lalu berpaling berhadapan dengan Para Tornado Api. Dia terengah-engah kehabisan napas, uap panas yang menggempul dari sekelilingnya membuat keringat mengalir dari seluruh tubuhnya. Dia belum pernah menghadapi yang lebih buruk dari Tornado Api. Dia hampir yakin jika tubuhnya terlempar ke dalamnya, Para Dewa pun mungkin tidak akan mampu membangkitkannya lagi. Tapi, seseorang seperti dia tidak akan mudah mati. Dia masih punya tujuan yang belum dia capai. Tekadnya untuk kembali ke negerinya mungkin dapat mengalahkan kehendak apa pun. Termasuk hal-hal yang tidak masuk logika dia sebagai manusia yang terlahir di dunia biasa. “Baiklah! Fokus Alvyna!” katanya pada dirinya sendiri. “Kua harus bisa menghadapi mereka” Alvyna menarik napas panjang-panjang. Lalu berkosentrasi memanggil kekuatan dari dalam dirinya. Dia sudah mempelajari hal itu sejak ditinggal oleh Daisy. Dia pikir tidak ada Daisy lagi yang akan menolongnya setiap kali dia berteriak memanggilnya. Alvyna tidak punya pilihan selain mempelajari kemampuan yang di elu-elukan oleh seluruh Fallenheim dan Para Dewa. Maka sejak saat itu, dia belajar memanggil kekuatannya. Atau dengan kata lain kekuatan Valkyrie yang bersemanyam di dalam dirinya. Seperti biasa. Setiap kali kekuatan itu terpanggil, tubuhnya seperti menanggung beban sakit yang tidak sanggup dia perkirakan lagi. Alvyna berteriak. Teriakannya memenuhi tanah tandus. Dia merasakan, ketika sebuah aliran seperti sebuah sengatan perlahan-lahan mulai menjalar dari dalam dirinya. Lalu cahaya perak kebiruan, meledak dari tubuh Alvyna. Menghantam Para Tornado. Kekuatan yang keluar dari tubuhnya sangat besar. Dia tahu tidak ada yang mampu bertahan dari kekuatan Valkyrie, termasuk hal-hal ajaib seperti Para Tornado. Alvyna terjatuh ke tanah, dia bertumpu dengan kedua lututnya. Para Tornado yang tadinya bergerak dan berputar-putar dengan ganas, sekarang mulai melemah. Di dalam kubangan api merah pekat itu mengalir kekuatan Alvyna. Saling mendominasi. Mata Alvyna terbelalak ngeri ketika melihat Tornado yang ada di hadapannya akan meledak karena kekuatannya. “Saya tahu anda melihatnya, jika Anda tidak ingin tubuh saya hancur, tolong bawa saya pergi dari sini” Bisik Alvyna lemah. Alvyna mulai merasakannya sekitar satu tahun yang lalu. Keanehan, seolah dia sedang diawasi oleh sesuatu. Anehnya sesuatu itu selalu datang menyelamatkannya di saat-saat dia sedang dalam marabahaya. Alvyna tidak yakin siapa dan apa yang mengawasinya, namun dia tidak ambil pusing. Dia tidak merasakan aura negatif dari makhluk itu, oleh karena itu, Alvyna tidak pernah benar-benar mencari tahu siapa yang mengawasinya. Beberapa bulan akhir, dia baru mulai penasaran. Mungkin saja, dia punya jawaban atas situasi Alvyna di Fallenheim. “Aku harap kau lebih menyayangi tubuhmu, wahai Putri Dewa” Bisik sebuah suara di dalam benak Alvyna. Dia tersenyum kecil mendengarnya. Sudah diduganya, dia ada bersama Alvyna. Lalu hal berikutnya yang dia ketahui sebelum menutup matanya adalah rasa sakit yang luar biasa. Alvyna berteriak jauh lebih kencang dari sebelumnya. Sesuatu seperti percikan lahar panas mengenai di beberapa bagian tubuhnya. Rasa panas yang teramat melesak melelehkan daging-dagingnya. Tubuhnya mulai mati rasa oleh rasa sakit. “Maafkan aku” bisik suara yang sama. Alvyna mendengar sebuah teriakan. Dari suara yang berbisik padanya. Sebuah ratapan yang sangat pilu. Lalu berulang kali dia mendengar kata-kata permintaan maaf. Maafkan aku__ maafkan aku. Dia terlalu sakit dan lemah untuk membuka matanya, apalagi membalas kata-kata itu. Setidaknya, sekarang dia tahu. Selain Daisy ada seseorang yang sedang mencoba melindunginya. Satu detik Alvyna merasakan panas yang membara, lalu di detik berikutnya dia merasakan tetesan air menghujani tubuhnya. Samar-samar dari pandangannya yang mulai buram, Alvyna melihat gerbang pintu kayu tua dan kumuh. Sebuah papan nama yang hampir jatuh betengker di atasnya, bertuliskan “Selamat Datang Di Roasi Nagan”. Rasa lega membanjiri tubuhnya. Entah bagaimana caranya, dia telah kembali ke penginapannya. Alvyna tidak bersuara, dia tidak punya lagi tenaga untuk membuka suara, dalam gelap malam dan hujan yang mengguyur dirinya, Alvyna hanya mampu melihat ke arah pintu. Berharap si kembar menghambur ke pelukannya. Dia tidak ahu berapa lama terbaring di bawah hujan. Sampai seseorang berteriak. “Vyna!” Suara Kian yang panik terdengar mengalahkan derasnya suara hujan. Dengan cekat Kian menarik tubuh Alvyna ke dalam pelukannya. Meskipun hujan membasahi mereka berdua, Alvyna masih dapat melihat tangisan Kian yang tersedu-sedu. “Kenapa? Kenapa kau selalu terluka?” Bisiknya parau. “Sampai kapan kau harus hidup seperti ini?” Tanyanya dengan pilu. Alvyna tersenyum pahit. Lalu menutup matanya sebentar. “Ti,,,dur, aku ingin ti,,,dur Ki,,,an” Jawab Alvyna patah-patah. “Tidurlah, kami ada disini bersamamu”Kata Kian lembut, lalu Alvyna menutup matanya kembali. Dia masih sadar ketika Kian mengangkat tubuhnya. Dan bergerak. Dalam keadaan kesadarannya yang timbul lalu menghilang, Alvyna mendengar suara teriakan dan tangisan Kara yang pecah. Bahkan Suara Sila Morten untuk pertama kalinya selama tiga tahun dia mengenalnya, terdengar ketakutan.                      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD