Prolog

1725 Words
30.000 Tahun Sebelumnya.  FallenHeim, Wilayah Selatan Atheria Selama 30.000 tahun lamanya, untuk pertama kali matahari bersinar seperti cahaya bulan purnama di musim panas memperlihatkan semburat kemerahan. Dengan bayang-bayang kegelapan mulai jatuh di bawah garis cakrawala di semenanjung barat. FallenHeim adalah negeri tanpa malam dan siang. Negeri Para Dewa yang Maha Agung dan menawan. Namun untuk pertama kali, 30.000 tahun sejak kedatangan manusia, FallenHeim jatuh di bawah kegelapan. “Untuk Para Dewa, Malapetaka apalagi ini” Gumam seorang Dewi Minor dengan tongkat sakti bertengger di tangannya. Rambut emasnya yang seperti jalinan benang laba-laba tidak lagi tersanggul di kepala, namun sudah berjatuhan dengan berantakan. Terdapat luka-luka kecil di bagian pipi dan dahinya. Wajah sang Dewi dulunya bersinar dengan kecantikan yang tidak akan pernah luntur oleh apapun. Namun kini telah padam oleh bayang-bayang ketakutan. “Ini tidak seharusnya terjadi, jika bukan ulah Bangsa Mortal licik itu!!” sembur Dewi Minor lainnnya dengan suara ngeri. Menambah kemelutan yang sedang terjadi. “Bagaimana bisa ini ulah kami? Kami bahkan tidak melakukan apapun” Balas seorang Bangsa Mortal dengan pedang bersimbah darah. Namanya Warrendale, panglima perang yang memimpin Bangsa Mortal. Nantinya akan menjadi Raja Pertama di FallenHeim. Dia duduk di kuda hitam. Lengkap dengan baju zirah perak menutupi seluruh tubuhnya. Tidak ada bagian yang terlihat, Kecuali dua mata biru laut. Tidak gamang. Tidak kenal takut.  “Seharusnya, sudah sejak lama aku musnahkan kalian” kata Dewi Freyja dengan nada dingin yang mampu menghentikan detak jantung Bangsa Mortal. Jika saja mereka tidak berada dalam keberkahan Para Dewa, mungkin kemenangan sudah ada di tangan sang Dewi. “HENTIKAN PERANG INI, WAHAI SAUDARAKU” teriak seorang Dewa dengan lantang. Kelantangan suaranya bahkan mampu menembus seantero FallenHeim. Dewa tanpa nama yang memiliki pangkat tertinggi di antara seluruh Bangsa Immortal lainnya. “INI ADALAH PERTANDA, FALLENHEIM JUGA BAGIAN DARI BANGSA MORTAL” lanjutnya memandang kubu sebelah dengan mata menantang. Sang Dewa merasa sangat kelelahan. Untuk pertama kali selama masa eksistensinya di FallenHeim, dia merasa kalah. Bukan karena perang yang saat ini sedang dia coba hentikan. Melainkan Bangsa Immortal yang seharusnya tampak agung dan bercahaya terlihat tidak ada bedanya dengan iblis-iblis pemangsa sedang kelaparan. Bagi sang Dewa, saudara-saudara yang ada di hadapannya saat ini, dengan pedang terhunus menghadap pada pasukan yang dia pimpin tampak lebih mengkhawatirkan daripada Matahari yang mulai menghilang di ufuk barat. Perlahan-lahan digantikan oleh kegelapan. Sang Dewa Agung tahu, tidak seharusnya cahaya di FallenHeim berganti dengan kegelapan. Karena itu adalah negeri Para Dewa. Negeri Para Dewa tidak tampak terang juga tidak tampak gelap. Negeri dengan cahaya lembayu yang menentramkan dan begitu indah. “JIKA KEGELAPAN DATANG MENGGANTIKAN CAHAYA, INI ADALAH PERTANDA. WAKTU KITA TELAH HABIS DI FALLENHEIM” lanjut Sang Dewa Agung dengan sama lantangnya. Suaranya membahana dengan kekuatan yang dashat. Membuat Bangsa Immortal terdiam membisu. Tidak berdaya melawan Sang Dewa. “Ini adalah negeri kita! Kenapa kita harus menyerahkan kepada Bangsa Mortal yang tidak tahu cara merawatnya?” balas Dewi Freyja tidak gentar. Sang Dewa tersenyum getir. Merasa kasihan pada sang Dewi berambut merah terang dengan paras paling menawan. Namun di mata sang Dewa, kini dia terlihat seperti malapetaka yang kehilangan keagungan seorang Dewa.  “Untuk apa pemberontakan ini, Wahai Saudariku?” tanya sang Dewa dengan lembut. Mencoba meluluhkannya dengan cara lain. “kita adalah mahkluk agung yang pertama kali menghuni FallenHeim. Namun setelah mereka datang, negeri ini menjadi negeri porak poranda. Selalu ada perang di antara mereka. Penuh dengan kedengkian, perebutan kekuasaan. Perebutan wilayah. Pertengkaran hampir setiap waktu. Mereka malas. Mereka hanya tahu merusak. Lalu, kenapa kita harus mengalah dengan mahkluk seperti itu?” balas Sang Dewi. Matanya berbinar-binar dengan semburat bayang-bayang kegelapan.  Yang lainnya mungkin tidak bisa melihat dengan jelas. Mereka mungkin masih buta dengan paras sang Dewi, atau bisa saja mereka memang ingin melakukan pemberontakan. Bukan karena mereka suka mengikuti Dewi Freyja, melainkan karena ingin menunjukkan diri sebagai bangsa yang lebih hebat daripada Bangsa Dewa. Sang Dewa tanpa nama, dapat melihat. Jauh ke dalam jiwa yang bersemanyam di balik perwujudan sang Dewi. Terdapat kegelapan disana. Jiwa yang seharusnya murni tanpa cela, sekarang bercampur dengan sesuatu yang tidak seharusnya ada.  “Hanya dengan alasan itu, Kau menghancurkan hubungan antara Para Dewa dengan Bangsa Immortal? Pantaskah kau disebut golonganku Wahai Saudariku? Kau sudah menimbulkan perang dengan keluargamu sendiri”. Dewi Freyja cukup tertohok, dengan kata-kata sang Dewa. Akan tetapi, ada sesuatu di dalam dirinya. Tidak dapat dia jelaskan. hingga membuat kata-kata sang Dewa tampak seperti angin lalu di telinganya. dIa memiliki keyakinan, apa yang dia lakukan adalah seuatu yang benar. Meskipun terkadang dia juga masih bertanya-tanya, sebandingkah pemberontakan itu dengan apa yang ingin dia capai? Namun sebelum hati kecilnya bersuara lebih jauh, hasrat sang Dewi untuk memenangi perang dengan Para Dewa dan Bangsa Mortal jauh lebih kuat.  Dewi Freyja tidak menjawab sang Dewa, tidak bergidik ketika pandangan Sang Dewa menusuknya dengan amarah. Dewa yang dahulu dia kagumi, hormati dan sayangi, kini terlihat letih dan lemah di mata Dewi Freyja. dia membalas tatapan sang Dewa dengan cemoohan, lalu memberikan aba-aba kepada pasukannya. “WAHAI, SAUDARAKU! WAKTUNYA UNTUK MEMPERTAHANKAN NEGERI KITA!!” teriak sang Dewi lantang. Mengangkat tombak runcing dengan sulur-sulur hijau mengelilinginya. Kekuatan sang Dewi Perang begitu mengerikan. Beracun untuk para Dewa dan Pemusnahan untuk Bangsa Mortal. ‘SERANG MEREKA!”  Maka perangpun pecah. Dewa melawan Dewa. Bangsa Immortal melawan Bangsa Immortal. Bangsa Mortal melawan Bangsa Immortal. Dan Sang Dewa Agung tanpa nama memberikan keberkahannya kepada Bangsa Mortal. Melindungi mereka dari amukan perang yang dapat memusnahkan mereka hanya dalam satu kali sapuan.  Perang Para Dewa berlangsung sangat lama, namun makhluk-makhluk immortal tidak akan pernah merasa letih. Dan Bangsa Mortal menjadi kuat karena berkah sang Dewa Agung. Tombak saling baku hantam dengan pedang. Bergemerincing ketika menghantam baju perang para Dewa. sedangkan Bangsa Mortal tertutup penuh oleh baju zirah perak. Tidak terlihat apapun, kecuali suara-suara teriakan mereka yang bergema.  Energi-energi Para Dewa saling baku hantam menciptakan warna-warna yang kemudian pecah dan merusak seluruh area perang. Sang Dewa menyaksikan keadaan di hadapannya dengan pilu. dIa berdiri di atas puncak bukit. Dengan satu tongkat bersinar kebiruan. Energi untuk memberikan perlindungan kepada Bangsa Mortal yang sedang berperang. Mempertahankan nyawanya. Lembah yang dilihat sang Dewa tidak lagi berbentuk seperti negeri FallenHeim yang indah. Akan tetapi seperti sarang iblis penuh dengan api, lahar dan Bau busuk kematian. Tempat yang dahulunya indah oleh perbukitan hijau, rumput-rumput liar, dan bunga-bunga langka yang hampir sebagiannya dapat dijadikan obat kini sudah gersang terbakar. Seolah sang Dewa pun dapat merasakan teriakan dari lembah. Darah bersimbahan. Terserap ke dalam tanah. Mungkin itu adalah pemandangan yang akan terpatri di dalam eksistensinya sampai batas waktu yang tidak dapat ditentukan. Sang Dewa begitu putus asa. Melihat saudara-saudarinya saling baku hantam. Teriakan-teriakan amarah, kecewa dan rasa sakit memenuhi lembah. Ada sekitar 750.000 jiwa Bangsa Mortal yang ikut berperang. Laki-laki. Wanita. Bahkan mirisnya lagi, anak-anak yang baru beranjak dewasa terpaksa menghunus pedang. Meskipun di sisi mereka ada para Dewa yang membantu, ada makhluk-mahkluk immortal dengan berbagai macam wujud binatang, ada bangsa-bangsa langka yang ikut bergabung dalam perang itu, namun tidak cukup untuk memberikan kemenangan kepada Bangsa Mortal. Seolah lembah tampak seperti ladang p*********n dari pada perang.  Ketika Sang Dewa Agung dan pasukannya berada dalam masa-masa genting. Munculah keajaiban yang tidak pernah terduga. Cahaya yang paling terang dan membutakan muncul di ufuk timur. Sangking bersinarnya, sampai-sampai perangpun terhenti sejenak. Tidak ada kata-kata yang keluar. Kecuali rasa takjub dan Rasa takut. FallenHeim tidak pernah melihat cahaya seterang itu. Tidak pernah mendengar siang. Dan tidak pernah melihat malam. Negeri itu adalah negeri tanpa malam dan siang. Tanpa matahari dan bulan. Hanya satu cahaya yang tidak terang. Namun juga tidak gelap. Dan kini sudah bergantikan dengan cahaya yang paling terang yang pernah dilihatnya. Sampai-sampai membuat para dan wujud Bangsa Immortal terlihat begitu agung dan bersih. Dan saat itu pula, muncul delapan burung bersayap putih memenuhi langit yang cukup familiar bagi Sang Dewa Agung. Seketika seluruh Bangsa Immortal terjatuh bersimpuh. Tidak peduli itu lawan atau sekutu. Seluruhnya tampak Ketakutan dengan perasaan yang mereka tidak mengerti.  Sang Dewa cukup mengerti. Apa yang mereka rasakan. Karena itu adalah Eksistensi yang tidak mampu mereka jelakskan namun juga tidak mampu mereka pertentangkan. “Hentikan Perang Ini, atau kalian akan musnah tanpa tersisa” ucap Burung-Burung itu dengan suara membahana menembus sampai ke relung benak mereka. Membuat seluruh Bangsa Immortal berteriak kesakitan. Bahkan Sang Dewa Agung pun tersimpuh tidak berdaya. “Kalian harus membayar untuk setiap jiwa yang kalian musnahkan hari ini, Wahai Para Dewa” lanjut mereka seraya memandang Sang Dewa Agung. “Kalian Harus Membayar Konsekuensi untuk Perang ini". “Kami hanya mempertahankan hak kami” kata salah satu Bangsa Alfar dengan parau. Tidak peduli dengan rasa takutnya. Menantang burung-burung yang tampak asing bagi mereka. “Beraninya Kau menantang kami” balas sang burung dengan membahana. Lalu bangsa Alfar yang melawan tersebut, berteriak sangat kencang, kesakitan Lalu meledak bagaikan buah yang di peras. Bangsa Immortal seharusnya tidak bisa mati. Sekarat iya. Tapi tidak dengan eksistensinya. “Itu adalah Contoh untuk penantang berikutnya” Balas Sang Burung “Satu kesempatan untuk kalian. Perbaiki apa yang telah kalian hancurkan hari ini”. Perang berhenti begitu saja. Bangsa Dewa, dan Bangsa Immortal saling bekerja sama untuk memperbaiki FallenHeim yang luluh lantak. Maka untuk pertama kalinya sejarah mencatat. Sebagai bentuk Kompensasi Para Dewa terhadap Bangsa Mortal, mereka menciptakan 10.000 Prajurit Wanita dari Jiwa-Jiwa Bangsa Mortal yang masih suci dan gugur dalam perang pada masa itu. Prajurit yang kelak akan melindungi FallenHeim. Tidak Tertandingi. Abadi. Dan Menawan. Mereka disebut dengan Valkyrie. Setelah perang berlalu, maka munculah matahari dan siang. Lalu malam dan bulan. Dengan Para Valkyrie memenuhi langit biru. Memakai baju zirah berwarna perak. Pedang dan tombak sebagai senjata mereka. Burung putih yang disebut Claudius sebagai kendaraan mereka. Lalu paras cantik dengan kulit sebening dan seputih salju. Bersinar keemasan. Rambut berwarna perak. Seperti benang-benang laba-laba yang terjuntai sampai ke punggung mereka. Bersinar ketika diterpa cahaya matahari. Dan sepasang mata perak laksana warna cahaya bulan purnama di musim panas. Selama ribuan tahun lamanya, mereka menjaga dan melindungi FallenHeim dari perang. Dari serangan monster-monster, bangsa-bangsa immortal yang masih memendam dendam dan pengaruh-pengaruh buruk, sampai pada suatu masa mereka menghilang dan musnah tanpa jejak. Tidak sejarah yang mencatat bagaimana mereka menghilang. tidak ada kabar berita yang mengetahui keberadaan mereka. Kecuali harapan terakhir FallenHeim yang menembus ruang dan waktu. Tersembunyi dengan aman. Bahkan Dewi Takdirpun tidak mampu mengjangkaunya. Ia yang tidak terikat oleh takdir. Jauh di alam yang berbeda. Tanpa jejak dan Tanpa pengetahuan.                                                                                               
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD