Chapter 1

3308 Words
Tahun 145 Kerajaan Atheria, Fallenheim   “Jadi, siapa yang dimaksud dengan dia yang tanpa takdir dan harapan terakhir Fallenheim?” Tanya Pangeran Pertama kerajaan Atheria yang masih berusia 12 tahun. dia menatap ibunya, Ratu Morlena dengan mata berbinar-binar penasaran. “Hush, jangan keras-keras Erasmus!” Bisik ibunya lalu menengok ke kanan dan ke kiri, memastikan tidak ada yang mendengar pembicaraan mereka. “Ini, rahasia antara kau dan aku. Janji? Kau tidak akan memberitahu siapa pun?” “Kenapa? Bukankah ini kabar gembira untuk Fallenheim?” Tanya Erasmus bingung. “Tidak, Erasmus! Ini akan menjadi malapetaka untuk Kerajaan Atheria” Jawab Ibunya dengan mata tertunduk dan semburat khawatir. Sudah 30 tahun lamanya dia melihat kesedihan di wajah ibunya. dia tidak begitu paham, awalnya dia pikir karena keadaan Fallenheim yang semakin buruk. Namun Erasmus curiga, raut kesedihan yang selalu membayangi wajah ibunya berhubungan dengan desas-desus di dalam istana tentang istri baru Raja. “Baiklah, aku tidak akan bicara dengan siapa pun” Balas Erasmus dengan lirih. “Anak Pintar” Ucap ibunya seraya mengecup kening Erasmus. “Kelak, Kau harus menjadi Raja Atheria” Tambahnya menatap Erasmus dengan mata berkaca-kaca. Tiba-tiba saja seorang pelayan istana berlari ke arah mereka, wajahnya terlihat panik, “Yang Mulia Ratu, Maafkan saya. Ada sesuatu yang sangat penting terjadi di Istana Bagian Dalam” Katanya kepada Ratu Marlena, dia seolah lupa Erasmus masih berdiri di samping ibunya. “Sudah waktunya?” Tanya Ratu Marlena cemas. Sang Pelayan membalas dengan anggukan kecil. Lalu seolah-olah dia baru menyadari, Erasmus masih berdiri di sana dengan wajah bingung. “Apa yang terjadi, Ibunda?” Tanya Erasmus. “Ibunda, harus pergi. Tinggallah di sini Erasmus” Kata ibunya buru-buru, lalu tanpa menunggu jawaban Erasmus, dia berlari mengikuti pelayannya. Karena penasaran, Erasmus ikut menyusul. Diam-diam menuju ke dalam Istana Bagian Dalam. Sejauh yang dia tahu, Istana Bagian Dalam hanya boleh dimasuki oleh Ratu dan Raja. Hanya beberapa pelayan terpilih yang boleh menginjakkan kaki di sana, bahkan Erasmus tidak izinkan berada di sana. Selama ini, dia tidak pernah mencari tahu. Bukan karena dia tidak ingin tahu, hanya saja pengawalan di sana jauh lebih ketat daripada ruang tidur sang Raja. Hari ini, untuk pertama kali. Tidak ada pengawal yang biasanya selalu berjaga di sana. Beberapa pelayan sibuk berlalu lalang. Saling meneriakkan perintah-perintah yang tidak masuk akal di telinga Erasmus. “Ambil selimut yang lebih banyak lagi” Teriak seorang pelayan yang tampak seperti pertengahan 60 . “Dan air hangat” Tambahnya. “Darahnya, banyak sekali. Apa yang harus kita lakukan?” Ucap pelayan yang satunya lagi. Dari parasnya, dia masih terlihat 20. “Apa beliau akan selamat?” “Hanya Para Dewa yang tahu” Balas pelayan yang lebih tua dengan lesu. Matanya berkaca-kaca seolah dia sedang berduka untuk orang terkasih. Lalu keadaan kembali genting. Mereka berdua berlari ke dalam sebuah ruangan yang terdapat di ujung lorong. Mereka bahkan tidak melihat jika Erasmus, bersembunyi di balik pilar besar mendengarkan mereka. Erasmus sama sekali tidak tahu, apa yang sedang terjadi. Lorong yang biasanya di penuhi oleh beberapa pengawal, kini tampak kosong. Kecuali beberapa pelayan yang berlalu lalang keluar masuk ruangan yang ada di ujung lorong. Ketika Erasmus melihat suasana sudah cukup sepi baginya untuk masuk lebih dalam, dia berjinjit menuju ruangan di mana ibunya menghilang. Pintu ruangan tidak tertutup rapat, sepertinya para pelayan terlalu sibuk sampai-sampai mereka melupakan hal yang paling penting. “Lakukan sesuatu, Pendeta Agung Arculios” Bentak Raja dengan suara putus asa. Setengah mendesak dan setengah memelas. Erasmus tampak asing dengan sang Raja. Terakhir kali dia bertemu dengan ayahnya adalah Tepat pada hari pemberkatan untuknya yang saat itu berusia 10 tahun. Raja Atheria adalah sosok ayah yang sangat bijaksana bagi Erasmus. Ayahnya mengajari banyak hal padanya. Terkadang sebagai seorang raja dan terkadang murni dari seorang ayah untuk putranya. Namun beberapa tahun ini, dia hampir tidak pernah bisa melihat ayahnya. Bahkan bayangannya pun tampak asing. Erasmus mengintip ke dalam ruangan. Yang pertama kali menangkap perhatiannya adalah sosok wanita berambut perak terbaring di atas tempat tidur. Bersimbah darah. Kulitnya yang seputih salju, tergenang oleh warna merah pekat. Para pelayan yang dia lihat tadi, kini tengah sibuk mengelap darah. Erasmus tidak dapat melihat wajah wanita itu, tapi dia cukup pintar untuk tahu. Wanita berambut perak tampak sedang sekarat. Ayahnya, sang Raja bersimpuh di ujung kaki tempat tidur. Di sampingnya Ratu Morlena ikut bersimpuh. Mereka menghadap seorang tetua. Jika di lihat dari pakaian Tunik Putih dengan garis biru dan mata emas. dia adalah seorang Pendeta Agung penguasa Dataran Eddas. “Maafkan saya, Yang Mulia” ucapnya dengan hati-hati. “Yang Mulia, Harja sudah tidak dapat tertolong. Kami hanya dapat mengusahakan kelahiran Pangeran” Sebagian dari percakapan itu, tidak dapat dia mengerti. Erasmus hanya bersandar di balik pintu. Mendengar raungan kesedihan ayahnya, Rajanya. Dengan bisikan-bisikan lembut ibunya, menenangkan ayahnya. Lalu di susul rapalan-rapalan doa permohonan dari sang pendeta. Dan teriakan seorang wanita yang kesakitan. Kemudian, tangisan bayi. Erasmus tidak melanjutkan lagi intaian nya. dia berjalan menjauh dari ruangan yang memberi rasa sesak di dadanya. Sedikit demi sedikit dia paham, dari mana asal kesedihan di wajah ibunya. Dan bersama siapa ayahnya ketika tidak bersama dengannya atau ibunya. Perlahan-lahan, dia mulai dapat mencerna apa arti semua ini. Tangisan bayi. Pangeran Kedua Kerajaan Atheria. Erasmus berjalan dengan kepala tertunduk. dia menengadahkan kepala kepada langit yang sekarang berwarna kelabu. Mengguyurkan hujan yang cukup deras. Bahkan petir saling sambar menyambar. Angin bertiup sangat kencang. Dari kejauhan terdengar suara lolongan Para Serigala yang sahut menyahut. Seolah-olah alam ikut menyambut kelahiran seorang pangeran. Erasmus tidak tahu bagaimana mencerna perasaannya. Kini bercampur aduk. Rasa takut kah? rasa sedih? Rasa kecewa? Ah, mana mungkin dia tahu. Bisa dibilang, dia hanya anak kecil yang tidak tahu apa pun. Erasmus berlari. Menembus hujan. Menghempaskan seluruh kegelisahannya. Semakin jauh. Sejauh yang dia mampu. Mengosongkan hatinya lalu mengosongkan pikirannya. * * *   Tahun 422 Wilayah Barat Dataran Ashland   “Dasar Roh breng,,,,blup,,,blup,,,” Maki Alvyna sesaat sebelum dia tenggelam ke dasar telaga, dengan mulut di penuhi air. Alvyna memang berkata akan mengikuti Daisy ke negeri yang bernama Fallenheim. Tapi tidak pernah terpikir olehnya, pergi ke Fallenheim harus terlebih dahulu di tendang ke Telaga. Bahkan sebelum Alvyna berkata oke, Daisy menariknya tanpa aba-aba terlebih dahulu. Jika saja dia dapat melihat, Daisy harusnya berdoa agar Alvyna tidak membuat Daisy menjadi Roh untuk kedua kalinya. Dia menyesali melakukan perjanjian dengan makhluk halus terutama dalam keadaan buta. Harusnya dia bisa saja membatalkan perjanjian secara sepihak, lagi pula orang waras mana yang membuat janji dengan makhluk halus yang terobsesi dengan misi penyelamatan untuk negeri antah berantah yang belum tentu ada. Atau mungkin saja halusinasi yang tidak ada dasarnya. Meski pun begitu. Disinilah Alvyna. Tenggelam ke dalam telaga yang tidak dia ketahui seberapa dalam. Air yang sangat dingin tidak menambah keadaan menjadi semakin baik. Dalam keadaan panik, Alvyna berusaha menggapai-gapai agar naik ke permukaan. Sekeras apa pun dia mencoba, arus beputar-putar di sekelilingnya. Menariknya semakin ke dasar, menuju ke kehampaan. Alvyna bingung. Karena sepengetahuannya, telaga yang ada di belakang Manor House Weininger tidak memiliki arus yang dapat menariknya sekeras arus lautan pada saat badai. Ketakutannya cukup wajar. Mengingat dia tidak tahu apa-apa tentang ilmu supernatural Daisy. Terlebih lagi, dia dapat merasakan ada sesuatu yang aneh dengan tempat ini. Sesuatu yang sedang mencoba mengubah hidupnya. Jika seandainya dia masih hidup untuk melihat perubahan apa yang akan di dapatkannya. Semoga saja bukan kematian pikirnya kalut. Alvyna terbawa semakin dalam ke dasar telaga. Seolah-olah dia jatuh dari tempat yang sangat tinggi. Ketika Alvyna akan menyerah dengan membiarkan dirinya tenggelam semakin dalam, ada sesuatu yang lebih hangat dari air yang melingkupinya. Sesuatu yang dia harap bukanlah monster-monster yang ada dalam mimpi-mimpi buruknya. Apa pun makhluk yang menarik dirinya keluar, sungguh sangat kasar terhadap seorang perempuan. dia ditarik begitu cepat, sampai-sampai dia mengira sedang meluncur ke bawah alih-alih ke atas. Dan dalam waktu singkat, Alvyna dapat merasakan keluar dari air. Makhluk itu melempar Alvyna, meluncur dengan cepat dan kemudian dia terjatuh di atas tanah dengan bunyi gedebuk yang cukup keras.  Alvyna mengerang kesakitan. terengah-engah, berusaha menghirup udara sebanyak-banyaknya untuk mengisi paru-paru yang terasa hampir meledak. “DAISY!!!!” Teriak Alvyna. Terbatuk-batuk karena sisa air yang masuk ke hidungnya. “Apa kau mau membunuhku?!” Tidak ada balasan. Tidak ada suara apa pun. kecuali semilir angin yang berhembus hangat. Alvyna panik. Bagaimana jika Daisy meninggalkannya?  Pikir Alvyna ketakutan. “Daisy? Kau masih disana?” Panggil Alvyna. “Jangan main-main, Daisy. Ini tidak lucu!” Lagi-lagi, tidak ada suara cempreng tapi merdu yang sudah terbiasa dia dengar sejak pertama kali Daisy berbicara dengannya. Pertemuan pertama Daisy dengan Alvyna adalah saat dia berusia 8 tahun di musim panas. Saat itu, Alvyna sedang belajar meraba-raba menghafal area di seputar Manor House Weininger. Tanpa bantuan para pelayan yang biasa membantunya. Atau pun bantuan ayahnya yang selalu panik ketika dia menghilang dari pandangan orang dewasa. Saat itu, Alvyna tidak tahu jika dia tersesat di area hutan. Ketika dia panik lalu menangis sangat kencang, maka untuk pertama kali Daisy berbicara dengannya. Suaranya merdu tapi sedikit cempreng. Seperti suara angin di padang rumput. Begitu bebas dan halus. “Apa, Kau butuh bantuan Nona Muda?” Tanya Daisy saat itu. Ketika mendengar suara Daisy untuk pertama kali. Alvyna sangat bersyukur. Di tengah keputusasaannya, ada seseorang yang menolong Alvyna. Meskipun beberapa waktu kemudian dia baru tahu, penyelamat hidupnya adalah Roh dari negeri lain. Maka sejak saat itu pula, Alvyna memberi nama Daisy dan hidup bersamanya selama bertahun-tahun. “DAISY! DAISY!” Teriak Alvyna. Lagi-lagi tidak mendapat balasan. “Kumohon, katakan sesuatu. Aku janji tidak akan galak lagi” Sambung Alvyna putus asa. “KAU TIDAK BISA MENINGGALKAN AKU BEGITU SAJA! KAU SUDAH JANJI! KITA SUDAH JANJI! DAN BUKAN BEGINI CARANYA MEMPERLAKUKAN SESEORANG YANG TERIKAT JANJI DENGANMU!” Teriak Alvyna kembali. Tidak peduli siapa yang mendengar. Dia panik. Alvyna mencari-cari sosok Daisy dengan mengandalkan indera pendengaran dan insting yang cukup jitu. Dia sungguh berharap dapat melihat. Setidak-tidaknya dia tahu, bagaimana cara bertahan di mana pun dia berada. “Anda mencari saya, Yang Mulia?” kata sebuah suara. Dimana pun dan kapan pun, pasti Alvyna kenali dengan baik. Satu-satunya suara yang menceritakan dongeng dari negeri Fallenheim selama bertahun-tahun sebelum dia tertidur. Sampai-sampai seluruh cerita Daisy sudah ada di luar kepala. “Kau, adalah Roh Air yang paling menyebalkan sepanjang sejarah kehidupanku” jawab Alvyna. “Bagaimana mungkin, kau meninggalkan seorang gadis buta sendirian?” “Maafkan Daisy, Yang Mulia” Ucap Daisy lalu memeluk Alvyna. Sesuatu yang dia lakukan untuk membuat Alvyna tenang. Pelukan Daisy sama saja seperti memeluk gumpalan angin yang hangat. sulit dirasakan, di saat yang sama sangat menenangkan. “Daisy sedang memanggil Para Nimfa lainnya” Sambungnya sedikit lesu. Nimfa adalah golongan Roh Air. Bangsa Daisy lainnya. Sedikit banyak, Alvyna sudah tahu seperti apa rupa Nimfa. Fallenheim, apalagi tentang Prajurit Wanita bernama Valkyrie. Berkat rentetan cerita Daisy yang tidak putus-putus. Dan mimpi yang di alami Alvyna sejak dia berusia 15 tahun. dia menyakini, mimpi-mimpi itu adalah memori ibunya. “Kau berhasil menemukan mereka?” “Sepertinya kita terlalu jauh dari tempat mereka biasanya berkumpul. Ada sesuatu yang menghalangi Daisy memanggil mereka” Jawab Daisy lirih. “Daisy tidak mengerti,,, bagaimana Fallenheim berubah begitu drastis dalam kurun waktu beberapa abad saja? Ini tidak mungkin,,, pasti ada yang keliru. Dimana yang lain?” Daisy bergumam tanpa henti. Hal-hal yang dia bicarakan semakin membuat Alvyna tidak sabar. Selain karena dia tidak mengerti, tapi ada sesuatu yang lebih penting untuk mereka luruskan. “Hei,,hei,, Daisy! Tenanglah!” Panggil Alvyna. “Bukankah, kau melupakan sesuatu?” “Lupakan?” Tanya Daisy bingung, Alvyna hampir dapat membayangkan mata Daisy yang besar, bulat dan tajam menatap Alvyna berbinar-binar. Seperti genangan air beriak di antara bebatuan. “Lupakan? Lupakan? Apa yang Daisy lupakan?” Ucap Daisy berulang-ulang. Alvyna dapat merasakan, Daisy terbang mengelilingi Alvyna. Menghembuskan similir angin yang cukup keras. Seperti tornado kecil. Sejak dulu, Alvyna sering bertanya-tanya. Bagaimana Roh Air bisa hangat? jika disentuh, dia seperti kumpulan angin yang berwujud daripada air. Toh, Daisy sendiri tidak mengerti kenapa dia berwujud seperti itu. “Lupakan? Lupakan? Daisy melupakan sesuatu?” Ucap Daisy kembali mengulang kata-kata. Salah satu kebiasaan Daisy ketika dia tidak bisa fokus. “Daisy!” Panggil Alvyna cukup keras. “Fokus! Kau lupa dengan janji kita?” “Oh! Janji! Janji!” kata Daisy lalu tertawa. Iya, Daisy tertawa. Bukan pertama kali Alvyna mendengar Daisy tertawa. Tawanya seperti suara angin dari bukit yang tinggi menghempas daratan. Ringkikan panjang yang terkadang membuat Alvyna ngilu. “Hentikan, Daisy! Kupingku sakit!” “Janji! Daisy punya janji dengan, Yang Mulia” balasnya kembali serius. Terkadang Daisy itu seperti anak kecil yang terlalu bersemangat. Kelebihan energi. Namun Anehnya, dia bisa sangat bijaksana di waktu-waktu yang tidak terduga. “Iya, janji” Balas Alvyna. Dia tengah duduk di atas tanah. Bersila dengan pandangan lurus ke depan. Seolah-olah dia sedang berbicara dengan Daisy di hadapannya. “Dan Berhentilah memanggilku, Yang Mulia, kau sudah lama tidak menggunakannya”. “Tidak Bisa, Yang Mulia! Ini adalah tanah Para Valkyrie. Anda adalah Valkyrie” “Tapi, sejak dulu kau tidak keberatan?” “Itu karena dunia Yang Mulia lahir berbeda dengan Fallenheim” “Terserah! Tetap saja, jangan panggil aku Yang Mulia” ucap Alvyna keras kepala. Dia tidak mau mengakui, panggilan itu membuatnya merasa jauh dan asing dengan Daisy. Seolah dia harus mengakui mengenai asal-usulnya bukanlah sebuah dongeng. “Tidak! Tidak!” Balas Daisy tegas, lalu kembali terbang mengelilingi Alvyna yang semakin membuatnya gusar. Alvyna mendesah kuat-kuat. Menyerah menyakinkan Daisy. “Baiklah, Tapi hentikan berputar-putar seperti lalat!” hardik Alvyna sangat kesal dengan kebiasaan Daisy yang tidak pernah hilang sejak dulu sampai sekarang. Seolah-olah hal itu adalah bagian dari karakter Daisy. Terkadang Daisy bahkan lebih berkarakter daripada Alvyna yang seorang bangsa Mortal. “Bagaimana dengan kesepakatan kita?” Tanya Alvyna lagi kembali mengingatkan Daisy, kalau-kalau kebiasaan menyebalkannya kembali lagi. dia mendesah panjang. Cukup lelah dengan drama tenggelam di dalam Telaga. Berkat pelukan Daisy, rasa dingin yang dia rasakan selama berada di dasar Telaga tidak lagi begitu mengganggunya. “Tentu saja, bagaimana mungkin Daisy lupakan hal penting! Yang Mulia, tunggu di sini, Daisy akan kembali ke dalam Telaga dan memanggil Sang Dewi” “Sang Dewi? Dewi mana yang kau maksudkan Daisy?” Tanya Alvyna panik. “Kau mau meninggalkan aku lagi?” “Tenang Yang Mulia, Telaga ada di belakang Yang Mulia. Satu-satunya yang dapat menyembuhkan mata anda, hanya Dewi Agung Norn” “Maksudmu, Dewi yang kau ceritakan itu? Dewi yang memintamu menyelamatkan ibuku?” “Betul, Yang Mulia. Tunggu disini” “Kau tidak akan lama, kan? Kau tahu aku takut di tinggal sendiri” kata Alvyna setengah merengek. Dia tidak akan malu mengakuinya, karena kebutaannya dia selalu takut di tinggal sendiri. Hampir 24 jam selalu ada saja yang menemani Alvyna di Manor House Weininger. Jika siang dia bersama Arron dan malam hari dia bersama para pelayan dan Daisy. Arron, batin Alvyna nelangsa. Salah satu alasan kenapa dia berada di sini dan membuat kesepakatan yang tidak masuk akal dengan mahkluk halus dari dunia asing. “Tenang saja, Yang Mulia. Daisy akan segera kembali” balas Daisy tanpa basa-basi lalu menghilang dengan bunyi wuuss dan percikan air terdengar dari arah belakang Alvyna. Lagi-lagi dia mendesah. Entah sudah berapa kali dia mendesah. Alvyna tidak bergerak sesenti pun. dia takut, bisa-bisa dia terjebur kembali ke dalam Telaga. Dia dapat merasakan, area disekelilingnya tampak begitu asing. Sangat berbeda ketika dia berada di belakang Manor House Weininger. Yang sudah mampu dia hafal setiap sentinya. Bagaimana tidak? Daisy dan Arron melatih Alvyna cukup keras. Jika Arron menuntun dia setiap sore, maka Daisy melatih Alvyna seperti sedang melatih prajurit perang di setiap pagi. Siapa sangka, Roh seperti Daisy sangat keras dalam mendidik Alvyna. “Aku merindukannya” Gumam Alvyna pelan pada dirinya sendiri. Alvyna masih duduk di tempat yang sama, lalu menekuk kedua lututnya. Memeluk erat tubuhnya. Meski pun udara yang dia rasakan tidak dingin, dia tetap bergidik. Saat dia sendiri seperti ini, orang yang pertama kali dia ingat adalah Arron. Jika Daisy tidak bersama dengan dirinya, ada saja pikiran-pikiran aneh yang datang. Mengabuti pikirannya. Alvyna tidak sempat berpamitan dengan Arron, dia mulai merasa gelisah dengan pikiran-pikiran lain. Bagaimana reaksi ayahnya jika tiba-tiba saja dia menghilang? Lalu bagaimana dengan Arron?. Alvyna tidak memberitahu siapa pun. Kepergiannya sangat dadakan. Seharusnya dia sedang duduk di tepian hutan. Tempat yang selalu dia datangi ketika dia sedang memikirkan banyak hal. Tiba-tiba, Daisy datang menuntun Alvyna ke tepian Telaga. Daisy hanya berkata, “Dewi, memanggil. Kita harus segera pergi! Pintu hanya dapat terbuka beberapa saat”. Tanpa menjelaskan apa pun, Daisy mendorong Alvyna ke dalam Telaga. dia memang sudah membuat kesepakatan dengan Daisy pada hari ulang tahunnya yang ke 18. Tepatnya 3 bulan yang lalu. Ketika itu, Daisy menawarkan “Bagaimana jika membuat kesepakatan dengan Daisy?” Tawarnya saat itu. Dari percakapan itu berlanjutlah kepada dua hal. Pertama, Daisy akan menyembuhkan mata Alvyna dengan syarat Alvyna harus datang ke Fallenheim. Katanya dia tidak mampu menyembuhkan Alvyna di dunia dia lahir. Dan yang kedua, Daisy ingin Alvyna bertemu dengan Dewi Agung sahabatnya, lalu dia berjanji akan mengembalikan Alvyna kembali ke dunia di mana Arron berada. Alvyna sempat ragu dengan Daisy. Dia tidak mau menjauh dari Arron. Ya, dia memang ingin mengetahui negeri kelahiran ibunya. Dia juga ingin datang ke negeri yang selalu dia lihat di dalam mimpinya. Itu adalah konsep yang paling sulit dimengerti Alvyna. Dia buta ketika terbangun, tapi anehnya dia dapat melihat ketika di dalam mimpinya. Menurut Daisy, Alvyna melihat ingatan ibunya. Melalui mata ibunya. Apa yang dia lihat di dalam mimpinya, terkadang membuat dia begitu sengsara. Setelah dia terbangun dari mimpinya, terkadang muncul sebuah rasa hampa. Seolah-olah ada lubang kosong yang menganga di dalam hatinya. Seolah, dunia yang dilihatnya di dalam mimpi adalah tempat di mana dia seharusnya berada. Namun itu semua tidak cukup menggerakkan Alvyna rela membuang seluruh hidupnya bersama ayahnya dan Arron untuk melemparkan dirinya ke dunia asing. Lalu semua keraguannya menghilang. 1 minggu yang lalu, Alvyna tidak sengaja mendengar percakapan antara ibu tirinya, ayahnya dan Arron. Saat ini Arron sudah berusia 21 tahun. Cukup dewasa untuk menikah. Ibu tiri Alvyna, Rose ingin menjodohkan Arron dengan Putri dari keluarga House Adrian. Namnya Leyna. Menurut gosip yang di dengarnya dari para pelayan, Leyna gadis muda yang cantik. Usianya baru 19 tahun, tapi memiliki pengaruh di golongan rakyat atas. Leyna sendirilah yang datang ke Rose, lalu meminta Arron sebagai pendamping hidupnya. Berdasarkan gosip yang beredar, Leyna jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Arron, ketika dia melihat Arron di lapangan pelatihan prajurit. Yah, siapa yang tidak akan jatuh cinta dengan pria seperti Arron? Dari cara Selvi, salah satu pelayan Alvyna menggambarkan perawakan Arron, orang buta seperti Alvyna saja juga paham, Arron lelaki yang tampan. Tingginya mungkin sekitar 187 cm, ramping tapi dengan otot-otot yang bisa membuat wanita terperangah, kulitnya seperti pasir di bawah terik matahari, warna rambutnya hitam pekat. Tulang pipinya tinggi, rahangnya kecil. Mukanya tidak terlalu besar juga tidak terlalu kecil. Maskulin tapi juga ada sisi cantiknya. Dihiasi sepasang mata coklat madu dan berwarna emas di bawah terik matahari. Lengkap dengan alis tebal dan bulu mata tebal. Ini menurut penuturan Selvi. Alvyna tidak dapat membayangkannya sama sekali, dia bahkan tidak tahu warna langit bagaimana mungkin dia dapat membayangkan seperti apa wajah Arron. Dia cukup tahu, para wanita mengganggap Arron tampan dan suka mengejar-ngejar dia. Tapi bagi Alvyna, semua itu tidak penting. Dia tidak bisa menerima Arron akan menikah dengan wanita mana pun. Dia tahu, suatu saat dia harus melepaskan Arron untuk seseorang. Dia dan Arron tidak mungkin bisa menikah. Pertama mereka satu keluarga. Dan kedua, siapa yang mau menikahi seorang gadis buta? Setelah mendengar percakapan ibu tirinya dan Arron, dia putus asa. Cepat atau lambat dia akan kehilangan Arron, tapi bukan berarti saat itu. Setidaknya  Alvyna ingin melihat wajah Arron satu kali saja sebelum Arron meninggalkannya. Dengan tekad itu, Alvyna nekat menerima tawaran Daisy. Tidak pernah terpikir olehnya, pilihan Alvyna akan mempengaruhi nasib suatu bangsa, apalagi nasib untuk orang-orang terkasihnya.                      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD