Pulang dan Menikah

1648 Words
“Aku juga lapar melihatmu ….” Seketika Cathy menghentikan langkahnya. Sekelilingnya masih sepi. Dia memang tinggal di kawasan perkantoran yang akan ramai kala jam sudah menunjukan pukul delapan lewat. Tatapan mata Rudy begitu menikam seolah menguliti setiap bagian tubuh Cathy yang pasti akan menggoda pria manapun. Apalagi kebaya embos lengan pendek yang digunakannya sangat press body sehingga dadanya yang besar tercetak dan membusung menggoda tatapan pria hingga berimajinasi dan membuat mereka lapar. “Maksud kamu apa, Rud?” tanya Cathy yang berjalan mundur. Seringai mengerikan tampak di wajah Rudy yang justru melangkah maju bersamaan dengan Cathy yang terus berjalan mundur. “Kamu pikir aku pria b***t apa, takut banget sih,” kekeh Rudy sembari menyentil kening Cathy. “Hufft ….” Cathy menghembuskan napas lega dengan mengusap dadanya. “Usap-usap d**a itu maksudnya apa coba?” protes Rudy yang langsung terpekik kesakitan saat kaki Cathy menginjak sepatu yang dia pakai dengan begitu keras. “Gila, cantik-cantik preman,” gerutu rudy yang berusaha mengejar langkah Cathy. “Jalannya biasa saja, itu p****t ngundang orang buat ngangkangin kamu, Cat,” ledek Rudy dengan tawa terbahak. Namun, Cathy tak menanggapinya. Dia terus saja berjalan hingga sampai ke kedai sarapan yang dia tuju. “Bu, nasi uduk pakai telor dadar satu, dibungkus,” pinta Cathy pada si penjual. “Sama ya, Bu, tapi makan di sini,” kata Rudy yang kini sudah berdiri di samping Cathy. “Makan di sini saja Beib, temenin Abang Rudy,” bujk Rudy dengan suara yang terdengar memuakkan di telinga Cathy. “Ogah, males banget,” cebik Cathy. Dia mengulurkan uang sepuluh ribu rupiah, kemudian langsung berbalik untuk kembali ke butik. “Cantik, kamu benar-benar menggoda,” bisik Rudy dengan mencekal tangan Cathy untuk menghentikan langkah perempuan yang sudah membuatnya begitu tergila-gila hingga tiap malam imajinasi liarnya selalu membayangkan bisa mengeksplore tubuh seksi dan sintal milik Cathy tanpa sehelai kain pun yang menutupinya. “Apaan sih, m***m!” desis Cathy dengan suara yang dia tekan. Tangannya dengan kasar menghempaskan cekalan tangan Rudy dan langsung melangkah cepat meninggalkan Rudy dengan tawa jahilnya. “Si Abang, jahilin si Eneng mulu. Kalau suka dipepet, bukan dibuat marah kayak tadi,” komentar ibu penjual nasi uduk yang memang sudah sering melihat Rudy setiap pagi selalu menggoda Cathy. ______I.S_____ “Cathy, ke ruangan saya,” perintah Laudya, pemilik butik sebelum jam istirahat Cathy tiba. Cathy mengikuti langkah Laudya menuju ke ruangannya. “Sempurna,” puji Laudya dengan memperlihatkan sebuah obrolan yang membahas pujian pelanggan untuk karyanya. “Terima kasih, Bu.” Senyum Cathy merekah, kepuasaan pelanggan akan membuat dompetnya kembali menggendut setelah dia mengirimkan seluruh uang di rekeningnya minggu lalu karena Mamahnya kembali ditagih utang oleh salah satu tetangga yang meminjamkan uang padanya sepuluh juta rupiah untuk biaya pernikahan Joshua Carlos, sang kakak. “Cash, dua juta,” ujar Laudya sambil memberikan dua puluh lembar  uang seratus ribuan pada Cathy. “Terima kasih, Bu.” Lagi-lagi hanya kata terima kasih yang bisa dia ucapkan dengan binar mata yang begitu bahagia menerima uang pemberian dari Laudya. “Kamu bisa istirahat, jam satu nanti ada tamu spesial dari Malaysia yang akan memesan gaun batik, entah lah untuk acara apa,” kata Laudya dengan mengangkat kedua bahunya. “Baik, Bu. Saya permisi,” pamit Cathy yang langsung keluar dari ruangan Laudya dengan membawa uang dua juta digenggaman tangannya. “Milly, ini beli makan siang buat kita berlima,” suruh Cathy dengan memberikan dua lembar uang yang dia bawa pada salah satu rekan kerjanya. “Wuih, ditraktir Mbak Cathy nih makan siang kita,” seru Milly membuat Naura, Evin dan Shiren mendekat, begitu juga Elsih, si office girl yang matanya langsung berbinar mendengar kata traktiran yang diucapkan Milly. “Ye … makan gratis lagi,” teriak Elsih begitu heboh hingga Shiren membekap mulut si bungsu dari mereka berlima yang berkerja di sana. “Berisik, tuh pelanggan jadi pada ngelihatin kita,” desis Shiren dengan suara yang ditekan. “Sudah … sudah, bubar. Nanti ketahuan Nyonya Laudya,” perintah Evin membubarkan semuanya. “Thank you, Cathy,” ucap Evin sebelum mengajak Shiren dan Elsih menjauh. “Dapat royalti desain lagi?” tebak Naura yang diangguki oleh Cathy. “Wouw, sana Mill, cepetan beli yang enak-enak ya,” perintah Naura yang  langsung ditanggapi Milly dengan memamerkan dua lembar uang yang dia terima dari Cathy. “Rugi loh, satu gambar dua juta mau ditinggal nikah,” bisik Naura. Dia memang sudah hapal kalau sahabatnya akan memberikan jatah traktiran sepuluh persen dari uang yang dia terima. Tanpa Cathy memberi tahu jumlah uang yang dia terima, Naura sudah bisa menebaknya saat Milly memperlihatkan uang tadi. “Berisik, Lo. Gue mau baringan bentar. Nanti siang ada customer dari negeri Jiran,” ucap Cathy yang langsung membuat Naura melongo. “Wouw, dari Malaysia beli batik di sini. Ih keren,” gumamnya. Semakin banyak pelanggan spesial datang, semakin banyak bonus yang akan mereka terima dari Ny. Laudya. Gaji mereka memang sesuai dengan upah minimum regional. Namun, Laudya berbaik hati memberikan bonus setiap ada pelanggan yang memesan desain khusus di butiknya. Begitu sampai di kamarnya, Cathy langsung meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas. Dua panggilan dari sang Mamah dan satu panggilan dari Joshua Carlos, sang kakak. [Cathy, Mamah menyuruhmu pulang.] Satu pesan dari Joshua dia baca, tanpa ada niat untuk membalasnya. Pulang …. Menikah …. Dua kata yang belum pernah terpikirkan sekalipun oleh Cathy setelah dua tahun berada di kota ini. Hidupnya terlalu nyaman di sini. Baru dua kali dia pulang untuk sesaat melebur rindu pada sang mamah. Namun, yang terjadi di setiap kepulangannya, para saudara dan tetangga yang pernah memberikan pinjaman pada Martina akan datang menagih utang padanya. Padahal dia dan Joshua sudah berusaha mencicilnya. Namun, sakit yang diderita sang papah sebelum kepergiannya memang membuat Martina menanggung hutang lebih dari seratus juta. Ditambah lagi pernikahan Joshua dua tahun lalu membuat utang Martina bukan malah berkurang, tapi terus bertambah. “Mah ….” Cathy menahan napasnya sebelum mengucapkan apa keinginannya. “Aku belum ingin menikah,” putus Cathy yang membuat sang mamah mendesah kecewa. “Aku masih ingin mengembangkan karirku, Mah. Aku yakin bisa melunasi semua utang kita tanpa harus menikah sekarang,” sambungnya membuat Martina terdiam beberapa saat. Dia tahu, anaknya bukan hanya bekerja sebagai penjaga butik, tapi juga perancang busana, Martina tidak meragukan itu karena sejak kecil, bakat menggambar sang putri sudah terlihat. Namun, orang-orang yang awam hanya berpikir kalau putrinya menjual diri di kota besar hingga bisa mengirimkan banyak uang untuk Martina. “Mamah tidak sanggup mendengar mereka terus menebak, bergunjing dan memfitnah kalau kamu ….” Martina tidak mampu melanjutkan ucapannya. Hanya isakan yang didengar Cathy. “p*****r,” desis Cathy yang sudah sering mendengar keluhan dan cerita dari sang mamah. Tentu saja bukan orang lain yang menuduhnya menjadi p*****r di kota besar ini. Orang lain tidak akan pernah memandang dirinya sehina itu. Cathy yakin kalau tuduhan itu bersumber dari keluarga dekatnya, adik dan kakan dari kedua orang tuanya yang memang tinggal di satu kampung yang sama. “Mamah hanya perlu yakin kalau Cathy tidak pernah menjual diri Cathy, peduli apa dengan omongan mereka.” “Tapi telinga Mamah tidak tuli. Mamah hanya ingin kamu pulang dan menikah,” mohon Martina di tengah isakannya. Sebuah permohonan yang terdengar begitu memilukan di telinga Cathy. “Tolong kasih waktu buat Cathy berpikir, seminggu saja,” pintanya pada sang Mamah. Martina hanya bisa menghela napasnya, mengusap d**a yang terasa begitu sesak. Dia tidak tega memaksa Cathy menikah dengan seorang yang belum tentu Cathy cintai. Namun, dia tidak tahan mendengar semua hujatan saudaranya tentang pekerjaan Cathy. Apalagi, pihak keluarga dari pria yang akan dinikahkan dengan Cathy bersedia melunasi semua utang Martina. ‘Aku seolah menjual anakku pada keluarga Ny. Velleria, tapi aku yakin ini pilihan terbaik daripada membiarkan Cathy terus dihujat,’ batin Martina setelah Cathy menutup obrolan mereka saat mendengar panggilan seseorang yang juga didengar oleh Martina. “Mbak Cathy ini makanannya.” Milly datang mengulurkan satu kotak makan dari restauran ternama yang berada tidak jauh dari butik mereka. “Thank you, Mill.” “Kami yang harusnya ber-thank you sama Mbak, jarang-jarang makan enak. Satu kali makan empat puluh ribu,” kekeh Milly menunjukan kotak makan yang sudah berada di tangan Cathy. “Doain banyak pelanggan spesial datang, biar sering makan enak.” “Siap, Mbak. Semangat ngegambar Mbak kyuuuu,” seru Milly sebelum berbalik meninggalkan kamar Cathy. “God, aku yakin teman-temanku pun tidak akan rela aku tinggalkan. Apalagi aku yang harus melepas semua kenyamanan ini,” gumam Cathy dengan menaruh kotak makan di atas meja kerjanya, kemudian berbaring sejenak di atas kasur untuk memikirkan permintaan sang ibu. ______I.S_____ Cathy sudah rapi kembali dengan wajah yang semakin berseri. Dia siap menerima pelanggan spesial yang sudah diberitahu Laudya akan datang jam satu siang. Sebuah mobil mewah berhenti di depan butik mereka. Bukan satu mobil yang ada di sana, tapi mobil yang baru berhenti itu tentu menjadi pusat perhatian Naura yang menjadi resepsionis butik ini. “Selamat datang di butik batik Ny. Laudya, ada yang bisa saya bantu,” ucap Naura dengan begitu ramah pada sepasang tamu di depannya juga seorang pemuda gagah yang Naura tebak sebagai anak mereka. “Selamat siang saya ada janji dengan Ny. Laudya dan desainernya,” jawab si ibu yang langsung membuat Cathy yang berada tidak jauh dari tempat mereka langsung mendekat. “Selamat siang Nyonya, saya Cathy perancang busana di butik ini,” ucap Cathy memperkenalkan diri dengan mengulurkan tangannya. “Saya Nurlisa dan ini suami dan anak saya,” jawab si ibu dengan menjabat tangan Cathy. Cathy membungkukkan sedikit badannya pada suami dan anak Nurlisa tanpa mengajak mereka berjabat tangan. “Kamu single?” “Hah?” Cathy terperanjat mendengar pertanyaan yang tiba-tiba terlontar dari mulut pemuda yang diakui Nurlisa sebagai anaknya. “Maaf Tuan, Nyonya, saya sedikit kaget,” sesalnya sembari membungkukkan badan saat mengucapkan maaf. “Tidak ada kata maaf, kecuali kamu bersedia jadi istriku. Titik!”  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD