Bersedia Menikah

2084 Words
“Tidak ada kata maaf, kecuali kamu bersedia jadi istriku. Titik!” Apa? Gila! Rasanya satu kata yang bisa mewakili gambaran sikap yang aku tangkap dari anak Ny. Nurlisa. Enak saja satu kesalahan kecil membuat aku harus menikah dan menjadi istrinya. Aku menarik napas agar tetap tenang menghadapi pemuda tampan dengan tatapan yang begitu menyebalkan saat melihatku. Sepertinya otak dia hanya berisi pikiran mes*m sehingga sorot matanya tak pernah jauh mengarah ke paha dan dad*. Benar-benar tampak seperti serigala yang lapar. Hanya saja aku tidak mungkin lari dari hadapannya sekarang. Aku harus tetap bersikap profesional di hadapan kedua orang tuanya meskipun rasanya aku ingin mencolok mata dai yang sedari tadi jelalatan tidak pada tempatnya. Entah apa yang dia pikirkan, tapi rasanya seringai jahilnya membuat aku sedikit ngeri kalau harus melayani Ny. Nurlisa beserta dengan putranya yang saiko lebih lama lagi. “Maaf Kak Cathy, anak saya memang sedikit jahil,” kata suami dar Ny. Nurlisa. “Tidak apa-apa Tuan, mari saya antar ke ruangan Nyonya Laudya,” ajakku mempersilakan mereka untuk berjalan di depan karena hanya ada satu ruangan di butik ini sehingga aku tidak perlu berjalan di depan mereka. “Aw …,” pekikku yang kaget karena tiba-tiba tangan kekar pemuda menyebalkan yang entah siapa namanya menarik badanku sehingga posisi tubuh kami menempel dekat. “Yohan, lepaskan!” hardik suami Ny. Laudya yang langsung membuatku bernapas lega karena pemuda yang ternyata bernama Yohan langsung melepaskan tangan kanannya dari pinggangku. Aku langsung menjauh darinya setelah menunjukan ruangan Ny. Laudya dan mempersilakan Nyonya Nurlisa sekeluarga berjalan di depan. Namun, baru saja kami melangkah lagi, si pria cab*l yang ternyata bernama Yohan kembali membuatku kaget. Dia tiba-tiba berbalik dan memilih kembali berjalan di sampingku, tapi parahnya tangan usilnya dengan tanpa berdosa hinggap di bagian tubuhku. Kali ini dia meremas pantatku dengan gemas. “Tuan Yohan yang terhormat, saya menghormati anda sebagai pelanggan toko ini dan tolong anda hormati saya sebagai pekerja di sini,” geramku dengan suara agak kencang sehingga langkah Ny. Nurlisa dan suaminya berhenti dan mereka langsung membalikkan badan dan melihat Yohan yang cengengesan dengan menggaruk tengkuknya. Dia benar-benar keterlaluan dan tidak bisa didiamkan begitu saja, aku tidak mau kalau lama-lama dia melakukan tindakan pelecehan seksual lebih dari itu padaku. Aku ini pelayan butik, bukan wanita pekerja seksual yang bisa dengan mudah dia perlakukan seenaknya. Dia pikir aku SPG plus-plus yang menerima tawaran pelangg*n yang berotak mes*m seperti dia. “Yohan!” geram Ny. Nurlisa dengan tatapan tajam penuh kemarahan. “Apa lagi yang kamu lakukan!” sambungnya membentak Yohan. “Aku hanya ….” “Bukan hanya! Dia seenaknya meremas bok*ng saya Nyonya,” selaku tidak membiarkan dia seenaknya membela diri. “Lagian salah sendiri, kamu SPG, tapi layaknya b*tch,” sahutnya cepat tak mau mengalah beradu argumen denganku. “Tuan Yohan! Penampilan saya ini sudah sesuai dengan peraturan butik. Anda bisa lihat kalau kami memakai seragam yang sama,” telunjukku mengarah pada rekan kerja yang kini mulai memperhatikan kami. “Tapi mereka tidak menggoda sepertimu.” “Cukup Yohan!” Nyonya Nurlisa. “Tunggu di mobil kalau kamu masih bikin keributan di sini,” ancam Ny. Nurlisa, sedangkan suaminya terlihat berdecak dan menggelengkan kepala melihat tingkah anaknya. “Dia terlalu menggoda, Pa. Lihat saja dadanya bulat, bokongnya padat. Mana bisa aku membiarkannya begitu saja. Sebagai pria Papa pasti mengerti kalau tipe wanita seperti dia pasti sangat memuaskan di ranjang.” What the hell! Sungguh dia pria saiko bin gila yang benar-benar membuatku ingin menamparnya detik ini juga. “Yohan! Tidak sepantasnya kamu berkata seperti itu!” tegur Papanya dengan raut wajah yang menahan amarah pada Yohan yang memang sudah sangat menyebalkan, bahkan aku yakin kedua orang tuanya mungkin malu sudah memiliki anak berotak mes*m seperti dia. “Tubuh saya anugerah Tuhan tuan Yohan, tapi bukan untuk anda pegang-pegang sesuka hati,” geramku dengan suara yang aku tekan sebisa mungkin agar tidak berteriak di depan pria b*****t di depanku. “Kalau gitu ganti pakaianmu. Kamu sengaja menggodaku dengan lekuk tubuhmu yang … sek-si dan menggiurkan.” Yohan mendekatkan bibirnya ke telingaku saat berdesis mengatakan kata seksi dan menggiurkan. Aku langsung mendorongnya untuk menjauh. Gila! Di depan kedua orang tuanya dia seolah ingin menelanku bulat-bulat. Ini adalah pelangg*n pertama butik Ny. Laudya yang terlalu blak-blakan tergoda dengan keseksian tubuhku. “Ada apa ini Cathy?” tanya Ny. Laudya saat mendengar keributan di depan pintu ruangannya. “Astaga, Ny. Nurlisa, Tuan Bara, selamat datang di butik saya,” ucap Ny. Laudya langsung merubah suara tegasnya dengan suara yang begitu lembut menyambut tamu spesialnya. Dia memang selalu berusaha terlihat ramah di hadapan para calon pembeli yang datang. Apalagi calon pembeli yang akan memesan batik eksklusif di butiknya. Kadar keramahan Nyonya Laudya akan naik seratus delapan puluh derajat. Tidak seperti saat mendapati para pekerja yang terlihat berleha-leha. Dirinya akan mengaum bak singa dengan omelan yang tak kunjung reda hingga pembeli yang masuk ke butiknya, “Terima kasih sambutannya Nyonya, maafkan anak saya karena berlaku tidak sopan dengan Nona Cathy,” balas Ny. Nurlisa yang memintakan maaf untuk perbuatan anaknya padaku. “Cathy …?” Ny. Laudya menatapku penuh tanya. “Pertama dia menarik pinggangku hingga menempel ke tubuhnya. Dia juga meremas ….” Aku tak menyelesaikan kalimatku dan menggantinya dengan gerakan tangan yang mengusap pantatku. Ny. Nurlisa dan Tuan Bara membelalakkan mata mendengar penuturanku, sementara Si gila Johan menggaruk-garuk tengkuknya dengan cengengesan dan parahnya, Ny. Laudya justru menyunggingkan senyum dengan ekspresi wajah yang menahan tawa. Seolah apa yang terjadi ini benar-benar lucu menurutnya. “Yohan!” Kembali aku dengar geraman bernada kesal dari mulut tuan Bara saat menyebut nama Yohan. “Kalian ingin menyuruhku cepat nikah, kan? Hayo lah, nikahkan saja aku dengan si seksi ini. Tidak rugi aku, aku malah sudah tidak tahan mencicipi kenyalnya buah d*da dia yang begitu besar dan menggoda.” Plak. Satu tamparan keras aku layangkan di wajah Yohan. Dia teramat blak-blakan mengatakan apa yang dilihat matanya tanpa mempedulikan aku yang merasa dia permalukan. “Tangan dia saja begitu lembut, Pa. Pasti bagian lain jauh lebih lembut. Ayolah, nikahkan aku dengan dia. Aku pasti kecanduan meremas b****g dan payudaranya yang besar membulat.” Plak. “Memalukan,” teriak Tuan Bara yang kini menampar sang putra. Keributan yang Yohan buat bukan hanya mengundang rasa penasaran dari teman-temanku, tapi juga para pelanggan di butik yang sedang berkeliling mencari outfit terbaik yang disediakan di sini. “Nyonya, Tuan, mari selesaikan masalah ini di dalam,” ajak Ny. Laudya mempersilakan mereka bertiga masuk. Kecuali aku, kali ini aku enggan ikut masuk ke dalam. Keberadaanku di depan Yohan mungkin hanya menjadi objek fantasi liarnya. Eh, aku ralat. Bukan objek fantasi liar, melainkan objek fantasi gila. Kenapa gila? Karena bisa-bisanya dia berfantasi menikmati tubuhku di depan kedua orang tuanya. Aku berbalik meninggalkan ruangan Ny. Laudya dan berjalan ke belakang dimana ada dua kamar yang dipisahkan dengan pintu kaca serta ada sebuah pantri di samping kamar mandi besar untuk pelanggan di depan dua kamar yang berjajar, kamarku dan kamar milik Naura. Aku selalu menguncinya saat siang hari karena takut ada pelanggan yang iseng membuka kamar kami. “Cathy ….” Suara panggilan Evin membuatku menghentikan gerakan mendorong pintu kaca butik yang selalu terkunci saat toko sudah tutup. “Kenapa?” tanya Evin dengan mimik wajah yang begitu penasaran. “Gila ….!” Geramku pada Evin. “Apanya yang gila?” tanya Evin yang mungkin bingung melihat wajahku yang begitu terlihat kesal. “Pria bernama Yohan itu gila! Dia menarik pinggangku, dia meremas bokongku. Dia juga minta orang tuanya menikahkan dia denganku,” cerocosku menjawab pertanyaan Evin dengan suara yang ditekan penuh kekesalan karena kalau tidak, sudah kupastikan yang keluar adalah sebuah teriakan. “Kok bisa?” “Bisa, orang gila mah bebas,” kataku kesal meninggalkan Evin yang masih bengong mencerna semua perkataanku. Namun, sedetik kemudian dia kembali mengejarku hingga kini kami berhadapan di depan pintu kamar yang belum aku buka. “Terus? Kamu mau menikah dengannya?” tanya Evin yang justru membuat aku berteriak di depannya. “Tidak!” “Kamu juga gila! Mana mau aku nikah dengan pria saiko yang blak-blakan ngomong pengen remas dadaku lah, pengen remas bokongku. Fantasi seksnya gila. Ogah aku dikangkangin dia, yang ada gempor,” jawabku yang justru membuat Evin tertawa. “Ko kamu ikut-ikutan -” “Terserah, sana kerja!” perintahku sebelum membuka pintu dan masuk ke dalam kamar tanpa lupa aku menarik selot kunci agar tidak ada yang seenak jidat masuk ke dalam kamar ini. Aku berhenti di depan cermin, kembali berdiri melihat pantulan badanku. “Seksi,” desisku dengan perasaan miris. Miris karena sebentar lagi aku akan menyerahkan tubuhku, bahkan hidupku pada seorang pria yang datang melamarku pada Mama. Sekuat apapun aku ingin menolak permintaan Mama, aku tetaplah anak perempuan yang tidak akan tega membuat Mama menangis karena penolakanku untuk menikah dengan pria yang entah itu siapa. Aku jatuhkan badanku di atas kasur empuk yang disediakan Ny. Laudya untuk kami, aku dan Naura. Mataku terpejam, tapi tidak lama. Aku langsung mengambil ponsel untuk menghubungi Mama. Satu panggilan terlewat tanpa diangkat, aku pun mengulanginya. “Cathy …,” sapa Mama setelah sambungan terhubung. “Aku pulang lusa,” putusku. Ucap syukur seketika keluar dari mulut Mama dengan disertai kata maaf dan ucapan terima kasih atas keputusan yang aku ambil secepat ini. Aku sendiri pun tidak tahu kenapa bisa berubah secepat kilat hanya karena kejadian tadi. Aku takut penolakanku pada permintaan Mama justru akan membuatku menyesal dan terkena azab. Bagiku Mama adalah sosok yang begitu mulia, keinginannya adalah doa, tangisnya adalah nestapa. Sebagai anak, baktiku memang harus sempurna. “Mbak Cathy ….” Terdengar ketukan pintu disertai suara Milly yang memanggilku. Aku pun kembali menutup telepon, setidaknya dengan perasaan yang lebih tenang karena nada bicara Mama terlihat begitu bahagia. “Apa?” tanyaku saat membuka pintu dan melihat Milly dengan sunggingan senyum aneh. “Itu, dipanggil Nyonya ke ruangan,” ringis Milly. “Males,” jawabku singkat. “Tamunya yang laki-laki sudah keluar berdua, tinggal yang perempuan saja,” kata Milly dengan takut-takut. “Baiklah,” putusku yang langsung kembali menutup dan mengunci pintu kamar kemudian berjalan di depan Milly. “Mbak memang menggoda pantas saja ….” Aku lihat Milly menutup mulutnya saat aku berbalik dan melempar tatapan tajam padanya. “Pantas saja apa?” tanyaku yang membuat dia menggeleng dan melangkah kabur dari hadapanku. “Parah,” gerutuku sebelum kembali berjalan menuju ruangan Nyonya Laudya. “Selamat siang, Nyonya,” ucapku sembari membuka pintu. Ny. Laudya langsung mempersilakan aku masuk dan duduk. Aku tersenyum dan membungkukkan badan pada Nyonya Nurlisa sebelum duduk di single sofa yang berada di depannya. “Cathy, saya minta maaf untuk kelakuan Yohan tadi,” sesal Nyonya Nurlisa. Dia kemudian mengungkapkan alasan Yohan bertindak seperti tadi memang sengaja membuat dia dan suaminya malu. Yohan menolak perjodohan dengan kolega bisnis tuan Bara, pertemuan keluarga sudah terjadi semalam dan memutuskan pertunangan mereka akan diadakan dua minggu ke depan. Untuk itu Nyonya Nurlisa datang ke butik ini dan memesan rancangan busana batik spesial untuk mereka kenakan di acara pertunangan Yohan. ‘Oh’ hanya itu komentar yang terucap saat aku tahu alasan sikap Yohan tadi. Setelah mendengar penjelasan dari Nyonya Nurlisa, kami langsung membahas rancangan busana yang dia inginkan di acara pertunangan Yohan nanti. Aku yang lupa membawa buku kecilku terpaksa membuat coret-coretan pada selembar kertas HVS yang aku ambil dari meja printer di ruangan ini. Cukup lama kami mendiskusikannya, hingga pintu ruangan kembali terbuka. Tuan Bara dan Yohan kembali masuk ke dalam ruangan, hal itu tentu saja membuatku tak nyaman. Namun, beruntung aku dan nyonya Nurlisa sudah selesai membahas motif, model dan bahan yang dia pilih untuk acara sang putra. “Ehem ….” Tuan Bara berdehem menatap ke arah istrinya, aku dan Nyonya Laudya secara bergantian. Tiba-tiba perasaanku tak menentu, seperti ada sesuatu yang sangat penting yang ingin dia sampaikan padaku. Di sampingnya, Yohan terlihat menundukkan kepala, tanpa berani menatapku. Ada apa ini? aku mulai bertanya-tanya melihat ekspresi papa dan anak di hadapanku. “Nona Cathy … atas nama Yohan saya minta maaf,” katanya mengawali pembicaraan. Aku pun mengangguk karena sebelumnya Ny. Nurlisa juga sudah berkata hal yang serupa sehingga rasanya tidak perlu lagi Tuan Bara mengulang kata maaf untuk putra mereka. “Sebelumnya saya mita maaf kalau permintaan ini menyinggung Nona Cathy.” Tuan Bara terlihat menarik napas sembari melirik Yohan yang duduk di sampingnya. Entah apa yang sudah mereka bahas saat keluar dari ruangan Nyonya Laudya, sehingga Yohan kini terlihat lebih kalem dan terlihat terus menunduk tanpa berani menatapku seperti sebelumnya. “Nona Cathy, apa nona bersedia menikah dengan anak saya?” What?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD