satu

3142 Words
Pesta-pesta bermula dari kegemaran para manusia berdompet tebal untuk memamerkan seberapa banyak mereka bisa menghabiskan uang untuk menjamu para tamu. Memberikan mereka kesan terbaik untuk dibicarakan pada khalayak. Yang paling penting adalah reputasi. Sisanya akan tertinggal untuk bagian akhir. Dan Darius terpaksa datang atas nama keluarganya. Sebagai pemilik rumah sakit ternama, tentu saja daftar keluarganya ada di posisi sekian yang menjadi keharusan untuk diundang. Tidak jarang, dirinya selalu menemukan kesempatan untuk datang selagi ibu dan ayahnya memaksa. Darius hanya tidak punya pilihan. "Oh, astaga. Tampan sekali. Putra Nyonya Evelyn memang yang terbaik." Sebuah sapaan mampir. Berasal dari kerumunan para ibu yang melingkar, membentuk kelompok dan senang bergosip. Mata mereka seperti elang. Yang gemar mencari mangsa untuk memamerkan kemampuan putri mereka dalam bersolek dan seberapa hebat di bidang akademis. Darius tertarik dengan perempuan pintar. Tetapi alangkah baiknya dia memilih sendiri calonnya. Ia sedikit beruntung karena ibu dan ayahnya tidak sama sekali mendorongnya dan sang kakak pada ikatan perjodohan. Memperbolehkan penerus mereka mencari cinta yang sepadan. "Wajahmu suram sekali malam ini." Darius menghela napas. Mencium aroma anggur dari tepi gelas. "Pesta bukan hal yang ingin kudatangi." "Bukan keinginan, tapi keharusan. Ibu tidak akan membiarkan kita tidur nyenyak seandainya bolos." Kakaknya meneguk champagne dari gelas lain. Mengangkat alis saat barisan pria lain menyapa dari meja seberang. "Kau kenal mereka?" "Keluarga mebel ternama. Kenapa memangnya?" "Anak bungsu satu-satunya berjenis kelamin perempuan. Aku dengar pesta dijadikan ajang debut. Untuk menarik perhatian orang-orang kaya, tentunya." Rasa mulas menggerogoti Darius seperti rayap pada kayu. Dia tidak percaya banyak orang kaya berpikiran sempit untuk memperluas bisnis mereka. Tapi toh, dia berasal dari golongan kaya yang sama. Mempertahankan kekuasaan sangat amat diperlukan. Untuk melindungi harga diri dan reputasi. "Kau tidak ingin berkenalan?" "Tidak." "Siapa perempuan yang menarik perhatianmu?" "Tidak ada." Kakak sulungnya mendengus. Meneguk champagne terakhir dari gelas dan menatap camilan manis di atas meja. "Benar-benar. Kau tidak anti perempuan, kan? Aku mendengar selentingan gosip tentangmu di kampus." "Kau konyol sekali." Seringai kakaknya melebar. Dannes hanya gemar bergurau dan menggoda. Keluarga besarnya sebagian besar berdedikasi untuk kesehatan umum. Kakaknya seorang dokter spesialis jantung. Sementara dirinya masih di tahap paling dasar, dokter umum. "Apa ibu sedang membicarakan kita sekarang?" Alis tebal Darius tertaut. Kepalanya berpaling hanya untuk menatap perempuan cantik berusia setengah abad yang masih tetap sehat dan bugar. Ibunya rutin mengikuti kelas yoga dan olahraga mingguan. Mengambil keputusan untuk pensiun selagi membiarkan suaminya bekerja adalah hal yang tepat. "Aku tidak tahu," sambut Darius acuh. Tidak terlalu peduli semisal ibunya membesar-besarkan prestasi kedua anaknya. Ibunya kadang terlalu hiperbola. "Biarkan saja." "Yah, dia memang begitu." Dannes meringis tanpa ingin menyalahkan. "Guys, what's up? Kalian datang?" Itu Leon. Putra kedua dari pemilik real estate terkemuka di Jepang. Ayahnya seorang milyuner yang membangun banyak tempat pariwisata bernilai milyaran dolar pertahun. "Kau meremehkan kemampuan ibu kami?" Dannes membalas dengan senyum. "Senang melihatmu, Leon. Apa kabar?" "I am really fine, brother. Darius?" "Halo." "Masih belum berubah," sahut Leon dengan tawa. "Aku beruntung karena datang malam ini." "Kenapa?" Darius menemukan dirinya tidak senang dengan percakapan yang menjurus pada perempuan dan isi lemari mereka. Beberapa dari pria sangat senang bersuara selera gaun dan tatanan rambut. Beberapa lagi mengurus pakaian dalam yang mereka kenakan. "Kudengar Alicia akan datang." "Alicia?" Dannes membeo. "Alicia Grice?" "Of course. Apa ada perempuan dengan nama secantik itu di negara ini? Nope. Tidak ada. Satu-satunya hanya si putri tunggal pewaris raksasa bisnis nomor satu di Asia." Darius mendapati dirinya tertarik sekarang. *** Secara pribadi, Darius tidak mengenal gadis itu dengan spesifik. Tapi saat Leon menyebut marganya, ia tersentak dengan fakta cukup keras. Seolah sesuatu yang keras baru saja menghantam belakang kepalanya dengan sangat menyakitkan. Keluarganya termasuk bagian dari keluarga kaya baru yang cukup disegani. Generasi dokter yang melegenda dan sampai di dirinya adalah baru menginjak generasi ketiga. Keluarganya sudah sesukses ini membangun usaha farmasi terkemuka sampai menembus beberapa negara tetangga. Sementara keluarga Grice termasuk dalam golongan orang kaya lama. Yang berarti penguasa, menguasai seluruh aspek tanpa terkecuali. Persaingan bisnis di antara mereka mungkin bisa berakibat pertumpahan darah. Banyak orang yang memilih mundur daripada menantang keluarga tersebut untuk maju. Mereka memilih hidup secara sederhana daripada tekanan luar biasa karena bersinggungan dengan keluarga super kaya. Bisnis yang menggurita sejak puluhan tahun merupakan salah satu landasan dasar mengapa keluarga dengan marga Grice cukup kaya. Semua orang tunduk pada mereka. Kekayaan yang tidak terbatas. Keluarga yang telah memberi pondasi bagi pengusaha lain untuk mengeruk duit dengan cara yang sama. Yang mencari keuntungan dari setiap celah lengah segelintir manusia hidup tanpa akal. Alicia menjadi satu-satunya pewaris tunggal. Karena yang Darius tahu, keluarga Grice tidak punya pewaris perempuan. Kebanyakan pria, yang akan meneruskan kerajaan bisnis mereka. Dan mendengar cerita gadis itu sekarang, dirinya penasaran. Bagaimana cara Alicia bertahan dari semua gunjingan yang menyertai kehidupannya dari lahir sampai dewasa. "Dia sangat kaya dan juga jelita. Semua orang sepakat, keluarga Grice selain diberi kemampuan otak mumpuni, juga genetik rupa yang sempurna. Mungkin para pria akan menempel seperti lebah pada madu." Leon dengan berapi-api bercerita. "Apa pekerjaannya?" "Kau hidup di zaman apa?" pria itu menukas pahit. "Darius, dia bekerja sebagai desainer. Pewaris itu juga punya wedding organizer yang cukup terkenal dan sedikit berharga miring daripada lawannya." "Berharga miring?" Dannes menimpali dengan senyum. "Apa dia tidak peduli dengan uang lagi karena sudah terlalu banyak?" Leon terbahak karena hal itu. "Kau tidak berniat mengencaninya?" "Oh, aku sempat berpikir hal itu. Saat aku bertanya pada ayahku, dia menolak. Berpikir kalau aku sudah tidak waras. Lagi pula, selentingan gosip tentangnya juga tidak terlalu bagus." "Begitukah?" Darius mendapati dirinya bereaksi. "Gosip hanya gosip. Sekadar kabar yang belum tentu kebenarannya." "Ini terlalu ramai dibahas. Kau tinggal di pulau mana sampai berita menghebohkan ini tidak terdengar?" Leon berdecak. Tidak bisa menahan diri untuk bergurau pada si dokter muda. "Darius memang belum berubah." "Abaikan saja dia," kata Dannes dengan senyum. "Dia terlalu sibuk belajar. Aku pikir kepalanya sekarang bercabang." "Seperti Gidora? Aku asumsikan kau jarang melepas setres seperti teman-teman sebayamu yang lain, Darius." "Aku pergi." Darius menaruh gelasnya dan Leon kembali tertawa. Menarik tangan pria itu untuk kembali bergabung bersama mereka. "Aku tidak suka percakapan yang menyudutkan diriku." "Pujaan para ibu memang tiada duanya." Dannes meringis. Sementara Darius masih tampil biasa dengan raut datarnya. Menolak memandang para perempuan berpakaian mahal yang bisa saja mencoba menarik perhatiannya. Terutama setelah atensinya tersita berkat segerombolan para ibu yang lagi-lagi berminat meminangnya menjadi menantu. *** Leon mungkin benar. Dirinya yang terlalu apatis atau memang enggan untuk berjalan ke arah yang lebih jauh lagi demi menjadi seperti orang lain. Ibunya kerap bercerita tentang perempuan-perempuan yang dirasa menarik. Bukan untuk mengikatnya pada perjodohan, tetapi lebih pada kagum. Darius hanya menjadi pendengar kala itu. Dan berpikir untuk tidak terlalu menanggapi. Sementara Alicia, ibunya tidak pernah bersuara. Meski pengetahuan Darius tentang gadis itu sangat minim, rupanya hampir sebagian besar tahu tentang gadis itu. Termasuk Leon. Dan Dannes sepertinya juga pernah mendengar walau dia memilih diam. "Dia debutan desainer muda. Mengawali karier di kota gemerlap, Los Angeles. Yang kudengar, Alicia punya beberapa apartemen mahal sebagai aset. Dia terlanjur sukses di negara orang. New York, Las Vegas, Washington D.C hanya sebagian kecil dari kota yang pernah ditaklukkan." Karena menurutnya, bisnis Grice Group tidak pernah menyentuh fashion sama sekali. Jika bicara dunia entertainment, perusahaan multi-raksasa ini pernah mencakar beberapa televisi nasional dan radio kenamaan. Serta agensi-agensi yang banyak menelurkan para aktor serta aktris berbakat. "Kau melamun." "Kau pernah mendengar tentangnya?" "Alicia?" Dannes menghela napas. "Tentu saja. Dia seusia denganmu. Aku belum pernah bertemu langsung karena Alicia terhitung sangat jarang muncul di publik." Leon mendesah. "Karena Alicia tidak menjadi pewaris tunggal seutuhnya. Kita belum lupa kalau Alby siap menjadi sandungan. Dia laki-laki." Darius mengangkat alis. "Alby?" "Sepupu Alicia," balas kakaknya. "Dia anak tertua sekaligus putra tunggal. Sebagian besar lagi garis keturunan itu pengacau dan berandal. Berulang kali pernah mendapat masalah karena menembak seseorang di bar dan tertangkap memakai sabu di toilet pria. Bahkan dari dalam keluarganya sendiri, semua tersapu habis. Mereka tidak pernah ada. Seolah tidak pernah hidup dan bernapas. Pengacau sudah mati." "Lantas, mengapa dia kembali?" "Bertarung. Untuk apa lagi?" celetuk Leon dengan seringai. "Alby tidak tersentuh. Sama halnya dengan Alicia. Dia tidak terkalahkan. Perempuan bertangan dingin. Kau pikir sebagai desainer dia murah hati? Nope. Iblis sesungguhnya masih menjadi rahasia." Dannes berdeham. Lekas meneguk sampanye terakhir dan menyenggol bahu Leon. Pria itu terlalu berapi-api. "Kau sendiri berniat mendekatinya?" "Aku merasa seperti bunuh diri," kata Leon pahit. "Tapi kalau Alicia tertarik, dia mungkin siap mengarungi samudra bernama Grice untukku." "Semua orang memujanya. Tidak lain juga pada perempuan. Beberapa orang menjadikannya panutan, sebagian lagi membenci." Manusia dengan dua sisi kepribadian, pikir Darius murung. Memainkan gelasnya dan memandang sekitar. Sepupunya melambai dari meja minuman, meminta agar Darius mendekat dan pria itu menolak. Ia hanya tidak mau sepupu berisiknya mengenalkan dirinya pada remaja labil yang menyebalkan. "Hana," sembur Dannes pahit. "Mau apa dia memintamu ke sana?" Leon memberi seringai. "Hana terlihat dewasa. Dia kuliah semester berapa sekarang?" "Dua. Dan tiba-tiba ingin pindah ke akuntansi. Dasar bocah sinting," sungut Dannes karena sepupunya senang menjahili mereka. "Aku dan Darius perlu menahan diri untuk tidak menjitak kepalanya." Darius tidak terlibat percakapan penuh canda antara Leon dan Dannes. Ia lebih suka merenung, melamun dan larut dalam pikirannya sendiri. Sampai pada suara terkesiap yang cukup keras. Dan Leon berbisik secara sadar. "Here we go. Grice Alicia yang sebenarnya muncul." Dan saat gadis itu menunjukkan eksistensi dirinya yang nyata, Darius hampir tidak bisa membedakan mana realita dan mimpi. *** "Oh my God! Alicia di sini! Astaga. Dia peri atau apa? Cantik sekali." Darius bisa mendengar suara Hana, sepupunya yang mendekat dengan mulut terbuka lebar. Calon dokter di masa depan itu terang-terangan memuja Alicia. Yang lebih menjengkelkan, Hana dan teman-temannya merapat seperti barisan para semut pada ratunya. "Hana." "Sebentar, bung. Alicia cantik sekali. Sosial media hanyalah sampah. Aslinya dia malaikat." Hana bergumam takjub. Tidak tahan mengeluarkan ponsel dan diam-diam memotret Alicia yang berjalan bersama seseorang. Itu bukan Alby. Karena Darius tahu rupa Alby yang terkenal bengis di kalangan pebisnis. "Hai." Hana mencoba menyapa dan Darius terkejut akan keberanian sepupu kecilnya. Saat Alicia menoleh, meluruskan kedua tangan dan memberi senyum tipis. "Hi, there." "Dia ramah sekali!" Dannes memutar mata. Saat Leon menyapu semua barisan dan meminta mereka agar membebaskan diri sebelum Alicia merasa tidak nyaman. "Aku pernah melihatnya sesekali dan hampir lupa tepatnya kapan. Setelah melihatnya kembali, dia luar biasa." Leon memberi seringai puas. "Debutan desainer ternama yang terbaik. Aku berani bertaruh para perempuan di sini akan merasa insecure karena harga gaunnya melebihi dua tahun harga penginapan termahal di Los Angeles." "Dia model atau apa?" "Desainer. Kau tidak mendengar Leon bercerita tadi?" Kakaknya yang menyahut bosan. "Ayo, cari tempat duduk. Aku pegal terlalu lama berdiri. Usia memang bicara realita." Leon tergelak karena tawa. Sementara Darius masih berdiri membisu. Tidak sama sekali bergerak dari tempatnya berdiri. Hanya memutar-mutar gelas tanpa arah. Membiarkan matanya yang tajam menganalisa Grice Alicia. Yang dipandang kagum sekaligus penuh cela dari orang-orang. "Siapa gadis pirang di sebelahnya?" "Kau tidak tahu?" Leon lagi-lagi meringis. Menatap Darius seperti manusia goa. "Dia, Cecil Gloria. Si pirang licik yang bisa menebas siapa saja. Dia dan Alicia adalah satu. Kalau Alicia dan Alby seperti minyak dan air, Cecil adalah api." "Keluarga Gloria?" "b***k. Keluarga mereka bukan keluarga kaya lama. Keluarga kaya baru. Keluarga Gloria punya bisnis pusat perbelanjaan terbesar di kota ini." Dannes berdeham. "Yang kudengar, berkat Alicia keluarga itu terbebas dari jerat hutang dengan keluarga kaya baru lain." "Exactly. Alicia yang membantu keluar dari jurang kemiskinan. Kau tahu, saat uang bicara semua masalah terselesaikan. Grice adalah jawaban kalau kau putus asa terhadap bisnismu." Darius mendapat kesimpulan malam ini. Mereka yang datang ke pesta besar ini bukan dari golongan yang terlanjur biasa-biasa saja. Semua orang di sini memiliki pride dan privilege mereka sendiri. "Tidak akan ada yang berani mengajak mereka bicara. Aku berani bertaruh." Leon memberi senyum menang. Saat menegak sampanye dan menunjuk pada Alicia yang berbincang bersama Cecil. "Wajah Alicia masih terbilang normal. Tetapi matanya sangat menusuk. Aku harus menjaga jarak. Bisa saja aku terbakar nanti." Darius mendesah berat. Mata gadis itu sangat cantik. Hijau hutan yang mengingatkannya akan kenangan lama. Berkat pengalaman melancong ke pelosok demi tugas, Darius menemukan banyak memori terbaik untuk dikenang di masa depan. Dan mata Alicia berhasil membawanya mundur pada kenangan tersebut. "Kau salah. Coba tebak, siapa yang berani mengajaknya bicara?" "s**t. Hana!?" Leon tidak percaya. *** "Hai." Hana dengan gugup menghampiri meja Alicia. Yang sibuk berbincang dengan si pirang, sahabat terbaiknya. Senyum Hana melebar, walau gadis manis itu sedikit meringis. "Hai," ulangnya. "Kami mendengarmu, Sayang." Cecil mencebik dengan seringai miring. "Kau butuh sesuatu?" "Hm, ya. Aku butuh penyemangat karena tidak berminat pada dunia perkuliahan sekarang." Hana mulai berbicara. "Aku ingin minum sampanye dan ibuku melarang. Aku hanya diperbolehkan meneguk jus jeruk murah." Alicia menaruh perhatiannya pada Hana dengan seulas senyum samar. "Well, gadis dengan pembicaraan yang menarik. Siapa namamu?" "Hana. Aku mengenal kalian!" Suaranya terdengar ceria. "Ibu mungkin akan membunuhku karena mengajak kalian bicara." "Apa yang salah dari kami?" "Kau terlalu berkuasa," sahut Hana tanpa dosa. "Semua orang berbicara tentangmu. Dan aku tidak mau peduli akan hal itu. Menurutku, kau luar biasa." "Oh, ya? Bicara tentangku atau Cecil?" "Kau, Alicia." Hana menunjuk lesu. "Orang-orang senang bergosip. Mereka juga bergosip tentangku yang pemalas dan galak. Aku tidak peduli. Buatku, itu hanya haters." Cecil tergelak karena tawa. Sampai memegang perutnya dan beberapa orang melirik ke arah mereka. Sama halnya dengan ibu Hana. Berusaha memanggil Darius atau Dannes bergantian demi menarik anaknya pergi. Cemas tiba-tiba melanda. Bagaimana kalau Hana membuat kesalahan? "So, aku punya telinga. Lupakan saja. Aku tidak terlalu peduli, my dear." Alicia menegak segelas anggur dingin. "Namamu, Hana. Dan kau sangat manis. Berapa usiamu?" "Delapan belas tahun." "Fakultas?" "Kedokteran." Alicia menautkan alis. "Kau berasal dari keluarga yang sebagian besar berkarier sebagai dokter?" "Yap. Dan—," Hana menyeringai ketika melihat sepupu tampannya datang mendekat. "—itu sepupuku. Darius! Keluarga kami yang terbaik di bidangnya. Tapi aku sama sekali tidak bangga pada diriku sendiri. Hai, Darius. Kau mau apa?" "Hana," tegur pria itu. "Ibumu memanggil." Hana memberengut sebal. Saat menatap Alicia dan Cecil bergantian. Gadis itu terpaksa berpamitan dan melengos pergi. Menyisakan kesedihan di wajah Cecil yang muram. "Oh, sayang sekali. Kami terhibur sekali berkatnya. Kau siapa?" "Darius, Darius Foster." Yang mengejutkan adalah Alicia sama sekali tidak terperdaya atau merasa tertarik padanya. Lain halnya dengan perempuan lain di dalam ruangan ini. Semua bereaksi karenanya. Dan Alicia masih sedatar, masih sekaku, dan tampak dingin. Darius hanya kehilangan suaranya secara mendadak. "Foster, ya?" Alis rapi Cecil tertaut satu sama lain. "Ah, aku tahu. Pemilik beberapa cabang rumah sakit besar di negara ini. Keluargamu juga sebagai pendiri perusahaan farmasi terbaik. Produsen obat-obatan terlaris. Oh, well. Senang melihatmu. Aku, Cecil Gloria." Darius mengangguk canggung. "Ah, hubungan sepupu?" "Hana sepupuku yang paling kecil. Apa dia bicara buruk pada kalian?" Darius bisa melihat mata hijau gadis itu melirik ke arahnya. "Tidak, Sir. Santai saja. Anak itu bersikap sebagai remaja pada umumnya. Aku lupa kalau dia sudah legal. Terlihat seperti anak usia empat belas tahun." "Aku minta maaf seandainya sepupuku mengacau." Darius memberi sapa terakhir sebelum memutuskan untuk pergi. Menghampiri meja ibunya dan berusaha melirik sekali lagi. Mendapati Alicia menatapnya datar. Tidak ada kilat emosi dalam mata itu. Yang membuat Darius gemetar, tiba-tiba merasa rapuh sekaligus penasaran. "Kau mengacau." "Apanya? Aku penggemar Alicia Grice. Kapan lagi aku berbicara dengannya? Ini terbatas! Aku menjadi followers ** sejak lama. Kenapa ibu membuatku kesal?" "Hana," tegur sang bibi. "Pamanmu yang mesti membereskan masalah." "Aku tidak memaki mereka. Bibi Evelyn, Alicia dan Cecil sangat ramah. Mereka mendengarkanku dengan baik. Orang-orang saja yang selalu bicara buruk tentang mereka." Darius mendengarnya dengan baik. Semua ucapan Hana dan seketika membuatnya bergeming. *** "Sudahlah, teman-teman. Darius tidak suka dengan bocah seperti kita." Hana menyudahi semua sesi fangirl temannya dengan gelengan kepala. Menyadari Darius tidak akan menanggapi mereka hanya membuatnya lelah. "Lantas, seleranya seperti apa?" "Seperti Bibi Evelyn. Yang murah hati dan lemah lembut serta rajin menabung. Aku tahu kalian semua bar-bar dan suka berteriak. Tidak cocok sama sekali," kata Hana lelah. "Kalau bibiku tahu, kalian mungkin sudah tersapu dari rumah. Sudahlah. Cari laki-laki lain saja. Darius hanya mimpi di siang bolong." Darius mendengus mendengar celotehan Hana yang ada benarnya. Untuk tipikal perempuan, tidak ada yang spesifik. Ibunya hanya menerapkan beberapa hal dasar. Seperti perempuan pada umumnya. Santun dan punya tata krama. Yang paling penting, berdedikasi dan pintar. "Yang seperti Alicia?" "Halah, terlalu jauh. Bagaikan langit dan tanah becek. Alicia terlalu bagus untuk sepupuku," sungut Hana agak sebal. Tidak suka kalau idolanya terseret pada lingkaran absurd ini. "Darius tidak cocok dengan siapa-siapa." "Ah, malang sekali kalau harus bernasib sendirian sampai mati." Hana hampir tergelak karena tawa. Saat melirik Darius yang membisu, memilih memeriksa ponsel daripada meladeni obrolan para bocah. "Kau lebih baik pergi. Sana, dengan kakakmu. Telingamu sebentar lagi meledak." Darius merengut sebal. Mendesah berat saat bangun dari kursi. Mencari kemana Dannes dan melihat sang kakak sedang berbincang bersama teman lama. Ia tidak akan sampai hati untuk ikut mengobrol. Atau mencari mati pada sekumpulan ibu-ibu yang meliriknya lapar. Siap sedia menyeretnya untuk dikenalkan pada putri mereka. Lagi pula, tidak ada kisah menarik yang pantas dibagikan pada siapa pun. Darius tidak seperti Dannes yang supel dan mudah berbaur. Kemampuan adaptasi kakaknya terlampau bagus. Yang kadang-kadang membuatnya kurang percaya diri. Ia kemudian berlalu ke belakang hotel. Menemukan beberapa pelayan sibuk mengobrol dan berhenti setelah melihatnya ada. Darius hanya mengangguk singkat, sebelum memutuskan untuk bergeser dan berjalan-jalan mencari udara segar. Lalu mengerti arah percakapan para pelayan berdasi yang sedang berbincang satu sama lain. Mereka berbicara soal Grice Alicia dan bagaimana kehadiran gadis itu merubah atmosfir. Merebut semua perhatian dengan penampilan spektakulernya. Atau yang bisa Darius lihat sekarang. Alicia duduk di sebuah batu tepat menghadap air mancur. Hanya memperlihatkan gaun bagian belakang. Rambutnya dibuat menyampir ke sisi sebelah kiri. Alicia bermain-main dengan kedua kakinya yang terayun. Bersama sebatang rokok di sela jemari. Seharusnya, fakta tentang perempuan yang merokok tidak lantas membuat Darius terkejut. Tetapi kadang kala, imej perokok yang tersemat pada kaum hawa jelas menjatuhkan. Padahal tidak ada yang salah karena hal itu. Rokok itu menyala. Dan Darius bisa melihat jelas berulang kali Alicia mengembuskan asap ke udara. Bermain-main dengan asap rokok dan terbatuk sendiri. Sama sekali tidak berniat untuk berhenti. "Dia merokok. Reputasinya benar-benar buruk. Yang membuatnya beruntung hanya marga dan uang yang terlampau banyak." Darius bisa mendengar percakapan itu semakin kuat berembus. Ketika Alicia menyudahi kegiatannya, membuang puntung rokok ke tempat sampah dan membuka permen mint dari dalam tasnya, mata mereka bertemu. Mata gadis itu melirik ke arah pelayan yang masih setia bergunjing. Seolah sama sekali tidak peduli, Alicia menuruni taman dengan langkah ringan. Berjalan menghampirinya dengan ekspresi datar yang terlanjur keras. "Aku berharap tidak mendapat komentar yang sama darimu. Karena kau terlihat tenang sejak tadi." Alicia memperhatikannya? "Aku tidak terlalu peduli tentangmu. Juga dengan obrolan yang membahas reputasimu." "Great." Alicia berbalik dengan senyum yang hampir membuat jantung Darius terlambat bekerja. "Aku suka mendengar kejujuran itu darimu." Lalu kembali pergi saat Cecil melambai kecil padanya. Meminta agar Alicia segera bergabung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD