dua

1539 Words
Satu-satunya hal yang paling membosankan selama sepak terjang kehidupannya adalah menghadiri pesta dan kumpul keluarga. Alicia tidak bisa berkata tidak seandainya sang ibu sudah meminta. Kehadirannya diperlukan. Tetapi untuk beberapa kasus yang mengharuskannya mengelola bisnis pribadi, ia tidak akan segan menolak. Dan untuk kasus ini, pesta benar-benar membuatnya lelah. Cecil mengernyit dengan ekspresi muram. Sebentar lagi si pirang enerjik yang terlampau sinis akan menjadi buah bibir. Risiko Cecil karena mau berteman dengan manusia sepertinya. "Terlalu banyak sampanye hanya membuatmu muntah di akhir acara," tegur Cecil pendek. Kembali mengalihkan tatapan ke seluruh penjuru ruangan. "Well, banyak orang mencoba menarik perhatian lawan jenis. Ini pesta atau ajang mencari teman kencan?" "Both." Alicia berdeham. Meminta pelayan untuk mendekat dan berbisik karena dia butuh air putih, bukan minuman pewarna. "Teman tidur bisa dibilang." "Ew." Mimik mengernyit jijik dari sahabatnya lekas membuat Alicia tersenyum. Ia mungkin tidak terlalu pandai dalam mengelola ekspresi wajah selain formal dan santai. Bahkan kadang-kadang tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri dalam bertingkah atau berekspresi. Semua sudah lahir secara alamiah. Orang-orang akan menegurnya sombong. Toh, Alicia tidak bergabung dengan grup yang berisi manusia pamer harta. "Semua orang bergosip tentang kita." Cecil berbisik di bahunya. Tersenyum tipis pada beberapa orang yang secara formal melintas di depan mereka. "Senyum dan terus tersenyum. Aku iri pada patung di toko busana karena tidak perlu tersenyum pada pelanggan yang sengaja menyentuh p******a mereka." "Mereka hanya manekin," kata Alicia datar. "Manekin atau tidak, itu pelecehan. Yang sakit ada pada otak manusianya." Cecil mencibir pelan. "Ini berlaku untuk mereka semua yang bersikap kurang ajar." Alicia bersidekap. Mengamati seisi ruangan dalam diam. Iris hijaunya terpaku pada beberapa sosok yang tidak asing. Selintas, mungkin mereka pernah bertemu atau bertegur sapa secara formal. Dan selebihnya, dia tidak ingat. Bukan kapasitas otaknya mengingat orang asing secara baik. Terutama mereka yang berpenampilan biasa-biasa saja. "Gadis itu lucu," tunjuk Cecil pada Hana yang heboh di antara kerumunan. "Dia berasal dari keluarga kedokteran ternama." "Pria yang mengajakku bicara tadi." Alicia menyahut pelan, memainkan ujung sepatunya di karpet tebal. "d******i keluarga mereka baru sebentar. Tapi cukup membuat beberapa lawan baru menciut." "Ah, orang kaya baru." "Lumayan menghasilkan banyak uang." Air putih hadir ditengah percakapan. Alicia meneguk segelas air karena merasa tenggorokannya kering setelah merokok. Cecil meliriknya tanpa suara. "Kau kehabisan kalimat karena menegurku merokok?" "Hah. Itu bukan lagi menjadi urusanku," balas Cecil sarkatis. "Kita berdua sama-sama melakukannya." "Kau sempat, dan aku masih melakukannya." Membiarkan gelas air itu tandas. "Atau kadang-kadang kau menghisapnya?" "Saat setres atau butuh hiburan," ujar Cecil sumringah. "Aku tidak akan menceramahimu. Itu pelarian terbaik. Mungkin aku bisa menghisap sabu lain kali di kamar." "Lakukan saja." Alicia menipiskan bibir ketika matanya bertemu sosok Darius yang tegap dan tampak canggung berbaur dengan satu kelompok pria. "Tidak ada yang melarangmu melakukan apa pun." "Kita sedang tidak membandingkan kehidupan siapa pun," tambah Cecil datar sebelum sahabatnya terlewat batas. "Lebih baik berhenti. Aku tidak akan membahasnya." Alicia memberi senyum tipis. Memilih untuk tidak bersuara dan memandang sosok yang dengan gugup mengajaknya bicara beberapa menit lalu. Darius mungkin bukan manusia suci. Tetapi dia tergolong manusia terbelakang yang sulit tersentuh. *** Bahkan para ibu juga membicarakan Alicia Grice. Penampilannya yang spektakuler malam ini mengundang decak kagum sekaligus ironi dari beberapa orang. Alicia tampil glamor sesuai kelasnya. Semua atribut serta aksesoris yang melekat di kulitnya bukan sesuatu yang bisa disandingkan dengan apa pun. Hana, sepupunya yang paling kecil dan berisik di keluarga begitu memujanya. Mengapa Darius baru benar-benar melihat gadis itu sekarang? Leon mugkin benar. Ia terlalu banyak menghabiskan waktu untuk mengejar pendidikan dan belajar banyak hal. Selain itu, kisah asmara dan segala t***k-bengeknya tidak terlalu ia pedulikan. Tidak sama sekali. Bukan mengusik, Darius hanya mau fokus. Darius merasa tidak nyaman ketika para pria kembali membahas betapa Alicia berhasil merebut atensi semua orang di sini. Selain dari marganya yang besar, penampilan gadis itu sesuai yang mereka bicarakan. Cantik, berkelas, dan sinis. Dari jarak sejauh ini, Darius bisa melihat bagaimana paras itu bersinar. Riasannya tidak terlalu tebal, tetapi cukup membuatnya tampil sesuai dengan tema pesta malam ini. Ekspresinya terlampau biasa-biasa saja, justru terlihat datar. "Kita semua tidak akan mau mengambil risiko untuk mendekatinya. Mengingat siapa keluarganya, siapa yang menjadi dalang di balik semua kekacauan." Darius mendesah. Berjalan menjauhi para pria dan sekali lagi tidak peduli kalau dirinya dicap sebagai manusia tidak seru atau manusia paling membosankan. Dia dengan bangga akan berkata ya, bahwa dia benar-benar membosankan sebagai seorang makhluk hidup. "Aku melihatmu." Hana menghampiri dengan segelas jus jeruk di tangan. "Serius, brother. Aku melihatmu." "Melihat apa?" "Kau memelototi Alicia." Hana menukas dengan kikikan geli. "Kau ini naksir atau hanya tertarik karena ada peri jatuh dari kahyangan?" Mulut lancang Hana memang tiada duanya. Darius sudah diperingati ibu Hana dan ibunya sendiri. Meski begitu, Hana cenderung menjadi nilai positif dan berwarna bagi keluarga besar mereka yang suram. Gadis muda ini punya semangat dan celetukan lucu yang membuat mereka tertawa. Tidak heran Hana menjadi kesayangan banyak orang, termasuk keluarga besarnya sendiri. "Dia bukan peri." Karena peri hanya ada dalam dongeng. "Di surga ada peri," timpal Hana dengan senyum geli. Pendar matanya yang kelam mengingatkan Darius sebagai genetik khas keluarga mereka. "Tapi di dunia nyata tidak ada. Alicia sedang berkamuflase menjadi peri sekarang." "Kembalilah ke teman-temanmu, Hana." Darius melirik datar pada sepupunya yang keras kepala. Hana malah memberinya tatapan jengkel berbalut olokan. "Mereka akan mencarimu." "Mereka tidak mencariku karena aku tidak bisa membawa dirimu," balas Hana agak kesal. "Tidak apa-apa. Kau memang tidak suka dengan daun muda seperti kami. Aku tidak akan menyalahkanmu." "Bicaramu terlalu tinggi," tukas salah satu dari mereka dan Hana meninju bahu seseorang dengan sebelah tangannya yang bebas. "Ya Tuhan, gadis ini sangat liar. Kau ingin aku mengadu pada ibumu?" "Adukan saja!" Dannes tertawa geli melihat sepupunya berbalik dan berlari untuk menghampiri sang ibu yang berbincang. Ibunya lekas memberi rangkulan, menjaga anaknya tetap di tempat. Yang paling membahayakan, seandainya gadis ceroboh itu kembali pada Alicia. Satu keluarga pucat pasi akan hal itu. "Apa kita terlalu berlebihan?" "Apa?" Dannes menyahut setelah mengambil minuman dari nampan pelayan. "Mengecap Alicia dengan banyak asumsi yang belum tentu adalah kebenaran?" Dannes tidak bersuara selama beberapa saat. Matanya mengawasi sekitar dan melihat Alicia yang formal berdiri untuk memandangi orang-orang. "Aku tidak tahu. Tapi berurusan dengannya sama saja siap bertemu pintu neraka." *** "Kau di mana?" "Rumah sakit." "Serius?" Alicia mendesah. Sahabat pirangnya sedikit berlebihan ketika dirinya menyebut rumah sakit dan obat. Demi Tuhan, ini hanya pemeriksaan rutin dan bukan karena dirinya sakit parah. "Pengar. Aku butuh sesuatu." "Tidak memakai dokter pribadimu?" "Tidak." "Oke. Kau harus hati-hati." "Kau tidak perlu cemas. Pertama, aku berjalan dengan kedua kaki. Kedua, aku masih bisa mengemudi. Kututup teleponnya." Alicia melintasi pintu masuk dan pergi menuju meja pendaftaran. Orang-orang menyapanya ramah, terutama mereka yang memakai seragam khas rumah sakit tertentu. "Selamat pagi. Mendaftar atas nama siapa?" Alicia berdeham. "Alicia Grice." "Keluhan?" "Tidak ada yang spesifik. Hanya butuh dokter umum. Oh, aku akan mengantri." Gadis itu memberi senyum karena melihat tatapan terpukau dari staf yang menatap dirinya. "Tina, berikan gadis itu akses masuk secepatnya ke dokter umum terbaik di rumah sakit ini. Kita tidak bisa membuatnya menunggu!" Alicia mendengus kecil. Menahan cibiran tertahan di langit mulutnya dengan sorot datar. "Santai saja. Apa keluargaku sering berobat di sini?" "Oh, itu—," perempuan itu tampak bingung. "—ah, ya, mungkin. Tapi silakan masuk. Dokter telah siap." "Kalian sedikit berlebihan." Melirik beberapa orang yang duduk dengan nomor antrian. "Tapi yasudahlah, aku tidak bisa menolak. Terima kasih." Perempuan bertubuh mungil itu bangun dan memberi senyum semanis mungkin. "Sama-sama." Medical Center adalah rumah sakit swasta yang dikelola salah satu konglomerat keluarga farmasi. Di Jepang, banyak konglomerat farmasi yang menguasai beberapa rumah sakit ternama di kota maupun tempat lain. "Silakan." Seorang perawat membawakan profil baru untuknya setelah mengetuk dan membuka pintu. Alicia terdiam, melirik pada plang nama di atas pintu dan melihat pintu terbuka, menunggunya untuk masuk. "Pasien kedua hari ini, dokter." Alicia bisa mendengar suara pintu lain terbuka dan sosok Darius yang semalam membayangi pesta muncul di sana. Medical Center adalah rumah sakit yang merajai pasar dari segi fasilitas dan peralatan. Keluarga besarnya yang memilikinya. Marga yang terkenal sebagai generasi orang kaya baru bisa menancapkan kuku ke tanah untuk generasi mendatang. "Kau boleh pergi." "Baik, dokter." Kecanggungan melintasi udara dalam embusan ringan. Alicia mengambil napas, menarik kursi untuk duduk tepat di depan sang dokter. Meja menjadi satu-satunya pemisah di antara mereka. "Jadi?" "Tatapanmu cukup meresahkan," tegur Alicia dengan senyum. Sedang mengagumi keindahan Tuhan yang tercipta dari paras seorang Darius Foster di depannya. "So, dokter Darius? Dokter umum?" "Kau datang untuk berkonsultasi atau?" "Atau?" Alicia mengangkat alis. "Medical Center termasuk bisnis keluargamu, bukan?" "Ya." "Persaingan bisnis rumah sakit dan farmasi tidak mudah. Banyak konglomerat membangun bisnis yang sama. Tapi Medical Center lebih dulu ada." Alicia menjelaskan dengan senyum tipis. "Keluargamu berkesan untuk beberapa pebisnis lain." Darius mendengus kecil, memainkan pena di atas meja dengan kening berkerut. "Pasien lain menunggu." "Alergi. Pengar sehabis mabuk." "Kau minum-minum?" "Ya. Di bar." Alicia bisa melihat cara pria itu menulis resep dengan luwes. "Kau tidak perlu memberikan pemeriksaan normal padaku sesuai prosedur." "Aku tidak berniat melakukannya, memang." Tulisan tangan semua dokter terbilang sama saja. Bahkan dari jarak sedekat ini, Alicia sama sekali tidak bisa membaca atau meresapi makna kalimat di selembar kertas. "Terima kasih." Darius hanya bisa membiarkan peri dalam bayangan itu pergi meninggalkan ruangan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD