tiga

1600 Words
"Kau ke rumah sakit?" Alicia mengamati ruangan yang besarnya melebihi satu kamar di apartemen miliknya di New York. Alby Grice membuat kantor miliknya serasa di atas awan dan surga. Satu ruangan khusus untuk dirinya sendiri terlihat megah dan glamor. Berisi perabotan mahal dan barang-barang bernilai fantastis. Sesuai kegemaran sepupunya, berbelanja. "Kau tidak punya pekerjaan lain?" tanya Alicia dingin. "Selain membuntutiku?" "Tidak ada." Alby meneleng dengan senyum. "Aku selalu penasaran tentangmu, tentang kehidupan berjalan di sekitarmu. Ah, hanya kau satu-satunya yang hidup mewah tanpa beban." "Simpan komentar itu untuk dirimu sendiri." Alby tergelak karena tawa. Kedua matanya menyipit saat dirinya bersandar pada jendela, memantulkan siluet matang yang terlihat kekar. "Aku serius, Alicia. Kau ke rumah sakit? Medical Center? Kita punya dokter pribadi yang datang tergopoh-gopoh dalam waktu kurang dari satu jam." "Mencari dokter baru itu perlu. Terutama karena dokter keluarga telah tua." Alicia membalas sembari membuka majalah yang ada di atas meja. "Ganti dengan yang muda." "Oh, bukan karena menemui seseorang?" "Berhenti curiga padaku," kata Alicia ketus. "Kau tidak dalam kapasitas bisa menaruh rasa penasaran terhadap apa pun." "Bisnis rumah sakit yang kau datangi, itu milik keluarga Foster. Konglomerat yang merajai bisnis farmasi dan rumah sakit. Golongan mereka masih orang kaya baru. Dan dia tidak bersahabat dengan kita." Alby memaparkan sembari menatap wajah cantik sepupunya. "Kau mendengarku." "Aku mendengarmu." Alicia menutup majalah dengan kasar. "Aku tidak peduli dengan siapa kita bermusuhan. Bisnis rumah sakit sejak awal tidak ada dalam daftar akuisisi." Alby memutar mata. "Dengar, bidadari. Kalau aku akan mengganti dokter untuk keluarga kita, Foster itu tidak akan masuk ke dalamnya." "Terserah." "Kau tidak pernah peduli tentangku? Aku yang tidur dengan siapa, bagaimana aku menjalankan bisnis keluarga seorang diri sementara mengawasimu. Oh, astaga. Benar-benar ketimpangan yang tidak adil." "Berhenti ceramah," balas Alicia sinis. "Aku tidak memintamu mengawasiku, memberi aturan seolah kau pewaris murni hanya karena kau seorang pria." Sepasang mata Alby memicing. "Kau baru kembali dari luar negeri dan mulutmu benar-benar lancang ternyata. Kau semakin pandai. Orang tuamu pasti bangga." "Aku sudah memperingatimu," ujar Alicia. "Aku tidak pernah peduli dengan barisan Alby's Doll yang langsing, ramping, dan bermata hijau atau biru. Mereka semua melakukannya demi uang dan hidup mapan. Apa sebutannya? Bekerja keras demi hasil maksimal." "Aku tidak bermain-main dengan istri seseorang." "Are you sure?" Seringai licik terpatri di wajah Alicia. "Kau mungkin butuh bahu bersandar karena patah hati terbesarmu ada di perempuan yang sudah bersuami?" Ekspresi Alby berubah lebih keras. Sementara Alicia baru saja menggenggam kemenangan di kepalan tangannya. "Kau benar-benar berbisa." "Keluarga kita yang mengajarkan untuk saling menjegal satu sama lain. Bisnis tetap bisnis. Ikatan hanya sebagai pemanis. Kau tentu belajar hal itu, bukan?" Alicia belajar bertahun-tahun untuk mengontrol dirinya di depan banyak orang. Ibunya yang menaruh perhatian pada putri semata wayang agar bisa mengatasi segala masalah dengan dagu terangkat. Alby tidak lagi bersuara. Kedua tangannya terangkat naik, memandangi Alicia yang merangkul Christian Dior di bahu, kemudian melambai saat gadis itu berjalan pergi. *** Pemandangan kota dari lantai dua Starbucks tempat Alicia bersantai menjadi primadona bagi kalangan setempat. Berhubung ini sore dan jam kerja, kafe tidak terlalu ramai. Hanya beberapa remaja yang sedang bercengkerama, beberapa lagi sibuk mengerjakan tugas dan yang lainnya bersantai untuk menikmati hari. Sama seperti dirinya. Ipad telah tergeletak di atas meja. Alicia bersantai setelah dirinya mengunjungi sepupu lama. Tidak menemui alasan yang bagus mengapa keluarga besarnya sangat enggan membangun keluarga yang benar-benar berisikan banyak orang. Berbagai penerus bisa saja mengambil alih perusahaan dan memajukan berbagai sektor demi menghimpun banyak pundi-pundi uang. Suara Christina Aguilera menemani sore yang senggang. Alicia menatap pemandangan jalan yang sepi. Beberapa pedagangan menggelar lapak mereka sebelum sore berganti malam. Bis-bis besar bergantian untuk memasuki halte. "Aku menduga kau di sini." Cecil menyapa dengan dengusan kecil. Perempuan berambut pirang yang menghabiskan sisa hidupnya untuk meratapi kegagalan. Sebagai putri dari pebisnis yang hampir pailit, Cecil mencoba menjadi berguna untuk keluarga serta masa depan perusahaan. Alicia memuji keteguhan sahabatnya meski jalannya tidak mudah. "Kau sudah selesai dengan urusanmu?" "Sudah." Cecil memberi senyum. "Yah, tidak berjalan baik awalnya. Aku sudah mengajukan perizinan. Sebentar lagi aku akan mendapat jawaban." "Semoga sukses." Alicia mengangkat gelas kopinya dan Cecil tertawa. "Aku membayangkan semua urusan akan berjalan mudah seandainya memakai namamu. Tapi toh, cukup. Aku tidak akan menjadi benalu." "Kau bukan benalu," tukas Alicia datar. "Lupakan saja soal Alby. Dia hanya asal bicara." Sebuah tawa miris meluncur dari bibir sahabatnya. "Alicia, sepupumu bicara kebenaran. Keluargaku benalu. Mereka menempel pada inang yang membutuhkan. Kadang-kadang aku merasa malu, tapi terkadang bersyukur. Aku tidak bisa membayangkan hidup terlunta-lunta di pinggir jalan." Alicia mendesah panjang. "Ayahmu mencari masalah?" "Semoga tidak. Tuhan, aku akan bertengkar seandainya dia berbuat ulah. Mama dan aku sudah cukup menderita." "Ibumu tidak bisa hidup susah," kata Alicia. "Dia mencoba berbagai cara meski dengan menurunkan sedikit egonya. Menurutmu, sikapnya sudah sepadan?" Mata biru Cecil berkilat gundah. "Sepadan. Ibu banyak mengeluh beberapa bulan sebelum kami dinyatakan pailit. Aku tidak tahu bagaimana kehidupan bisa menurun drastis dan membuatku putus asa." "Segalanya terlihat sempurna di mata orang lain." Alicia mengakui dengan miris. Sedangkan sahabatnya memasang raut tanpa ekspresi. "Aku bisa membantumu sebisaku. Kalau itu belum cukup, kau hanya perlu meminta." "Aku menggadai nyawaku padamu," balas Cecil dengan tawa. "Aku serius, Alicia. Kau sahabatku, tapi aku berutang budi padamu. Segalanya. Materi, jasa, keberuntungan." Sudut bibir Alicia tertarik naik. "Kadang kau bertingkah seperti pengacara keluarga. Berlebihan." "Aku bersikap sebagai diriku," tukas Cecil memberi seringai. "Kau pergi ke rumah sakit mana?" "Medical Center." "Punya keluarga Foster?" "Ya." "Dan?" "Ah, aku pergi ke dokter umum. Dokter Darius. Si bungsu yang melayaniku." Alicia mengangkat bahu. "Keluarganya mendapat gelar spesialis. Dia sepertinya cukup nyaman menjadi dokter umum." "Sesuai bakat, mungkin? Atau panggilan dari hati?" Kepala Alicia meneleng. "Aku sendiri tidak terlalu yakin. Hampir semua keluarganya diarahkan pada pendidikan yang sama." "Kita juga mengalaminya." Cecil menimpali muram. Dan Alicia tidak punya kekuatan untuk bereaksi. *** Darius mengangkat alis saat melihat eksistensi perempuan yang duduk menyendiri di ujung ruangan. Kepalanya bersandar pada daun jendela. Yang lebih menarik perhatiannya adalah bungkus rokok dan korek di atas meja. Alicia ingin merokok, tetapi lantai dua Starbucks ini ber-ac. Ketika mata mereka bertemu, Darius hanya tidak bisa mengalihkan perhatian dari paras yang seminim mungkin menunjukkan riasan. Alicia tampil kasual dengan kaos polos sebahu dan celana jins hitam. Ada jaket serta tas berlabel Christian Dior yang tersampir di bangku sebelah. "Dokter, duduk di sini saja." Darius melirik sekitarnya dan menurut dalam diam. Menaruh mantelnya sendiri di tempat yang kosong, menatap Alicia datar. "Kau sendiri?" "Tadinya bersama Cecil dan dia pulang karena urusan. Kau?" "Sendiri." "Sendirian?" "Ya, sendiri." Ekspresinya berubah dingin. "Apa kau tersinggung karena aku tidak percaya?" Alicia menggoda dengan dengusan. "Toh, kau ini tampan, pangeran. Lihat saja parasmu. Orang-orang percaya kau punya cinta dan pasangan." "Aku tidak punya pasangan. Tetapi punya cinta." Alicia bereaksi dengan kerutan. "Oh?" "Keluarga." "Keluarga inti atau besar?" "Mungkin, semuanya?" Darius hanya tidak tahu mengapa Alicia tiba-tiba tertawa dan seringai gadis itu tampak dingin. "Ada yang salah?" "Tentu saja, dokter. Kau ini naif atau apa? Kau mencintai keluargamu? Oh, keluarga besar. Yang lebih kompleks dan suka menuntut." Alicia tergelak dengan kekehan. "Kita bisa menyebutnya banyak omong." "Keluargaku lebih santai untuk beberapa hal." "Kakakmu, Dannes, belum menikah." Alicia menilai ekspresi sang dokter di depannya. "Apa dia dituntut untuk berumah tangga secepatnya?" "Aku rasa kau punya masalah terhadap itu." Alicia tersenyum santai. "Tidak ada, Sir. Aku hanya bertanya. Keluargaku juga santai. Terutama untuk beberapa kasus. Kami berusaha mempertahankan kekayaan agar hanya melingkupi keluarga sendiri dan tidak meluncur ke rekening orang lain." Darius terpaku. Diam-diam mengangkat alis dengan tatapan penuh tanya. "Pernikahan antar keluarga?" "Gambaran kasarnya, kami tidak sudi uang itu mengalir ke rekening orang lain. Orang asing yang tiba-tiba memasuki kehidupan dan mendeklarasikan sebagai bagian dari keluarga." Darius tersentak oleh kenyataan kejam yang mengikat aturan keluarga kaya lama. "Aku pernah mendengarnya. Dan kupikir itu hanya kebohongan?" "Gosip." Alicia menimpali dengan senyum. "Aku sering mendengarnya. Kali ini, kubiarkan kau tahu kebenarannya. Karena orang-orang senang mendengarkan gosip sebagai fakta yang tertunda." Darius masih bisa mempertahankan ekspresi datarnya. "Aku tidak akan bicara pada siapa pun." "Kau baik sekali." Kembali memberinya senyum manis. Yang membuat Darius menunduk, berdeham menahan rasa malu. "Semua orang tahu keluargamu. Bersama kebanyakan asumsi yang mengekori. Kau dan sepupumu, Alby. Para pebisnis mengenal keluarga kalian cukup baik." "Cukup baik sebagai orang asing," ujar Alicia. "Aku dan Alby cukup santai. Terutama sebagian kabar miring berembus untukku. Mengapa? Karena aku perempuan dan semua hal buruk pantas dilimpahkan padaku." Darius kesulitan bersuara. "Kadang-kadang kesalahan sistem pada diri manusia itu sendiri yang membuat mereka condong menyalahkan sesama." "Aku punya telinga dan aku tidak menyalahkan mereka." Alicia mendesah panjang. "Biarkan saja. Gosip akan berlalu seiring waktu. Tanpa gosip, bisnis entertainment akan sepi. Berita digital tidak akan mendapat iklan dari traffic views yang tinggi. Mereka harus mencari cara untuk mendatangkan keuntungan." "Aku setuju," ucap Darius datar. "Aku suka sepupumu. Lain kali, bawa dia untuk bertemu denganku." Alicia melihat ekspresi pria itu tampak terkejut. "Yah, kalau ada waktu. Bisa saja besok atau lusa aku mendorongmu menjauh." "Untuk alasan?" "Keselamatan dan kenyamanan." Darius benar-benar perlu mengacungi kedua jempolnya karena Alicia berhasil mengendalikan diri dengan sangat baik. Dimulai dari gestur, gelagat, bahkan ekspresi yang terkontrol. Mimik wajahnya tidak pernah menggambarkan sesuatu yang berlebihan. "Dari?" "Keluargaku. Karena mereka sensitif." Senyumnya terulas manis. Yang membuat Darius lagi-lagi hampir kehilangan napas. "Keluarga kaya lama yang alergi terhadap keluarga kaya baru." Alicia tertawa hambar. "Tidak semua, dokter. Tapi berhubung keluargamu punya sedikit masalah dengan keluargaku, ini tidak akan mudah." Darius hanya terpaku. Saat Alicia meraih jaket dan tasnya. Memasukkan rokok serta korek dan membuang gelas ke tempat sampah. Meninggalkan Darius tanpa sapaan dan berjalan pergi begitu saja. Darius tidak pernah merasa perasaannya tercabik sampai separah ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD