empat

1516 Words
"Makan malam di luar? Alby memberi kabar kalau kau berkunjung ke kantor." Di ruang tengah, ibunya menyapa. Biasanya Alicia akan pergi ke apartemen. Bersantai di sana dan enggan menyentuh rumah. Mansion ini mewah, ukurannya lebih besar dari rumah lain dan memiliki basemen sendiri untuk menyimpan koleksi mobil mewah ibunya. Alicia tidak tahu berapa banyak uang yang orangtuanya keluarkan demi sebuah bangunan berskala besar yang hanya dihuni beberapa orang. "Kenapa diam?" "Aku mengunjunginya," balas Alicia datar. Merasakan suasana dingin yang belum berubah sejak bertahun-tahun lalu. "Itu yang mau Mama dengar, kan?" "Putriku masih bisa bersikap ketus rupanya," ujar ibunya miris. "Kau kembali untuk menetap, kan? Selamanya? Kau sudah memikirkan masa depanmu di sini, bukan?" "Aku kembali untuk diriku sendiri." Alicia menukas tanpa ekspresi. "Tidak karena sedang menghindari masalah atau siapa pun. Bisnisku berjalan baik di luar sana." "Mama tahu," ibunya menimpali dengan desahan. "Kau sukses dan mandiri. Kau bisa membiayai kehidupan mahalmu di sana. Tapi Alicia, kau tidak lupa dengan campur tangan orang tuamu di sini." Bibirnya mengatup ketat. Rahangnya tiba-tiba mengeras. Bisnis yang sempat naik turun, modal yang kurang, serta kecenderungan sifat anti sosial dan takut perundungan. Alicia terlahir untuk menyendiri. Dan kemudian dipaksa keadaan untuk menjadi lebih dewasa. "Mama menolak uang yang kuberikan. Alih-alih memakai belanja, uang itu dialihkan untuk investasi jangka panjang." Alicia menegur ibunya yang tersenyum. "Aku ingin membalas budi." "Dengan uang, Sayang?" Ibunya tersenyum. "Mama tidak butuh uangmu. Tidak sama sekali. Aku bangga karena kau bisa menghasilkan pundi uangmu sendiri." "Aku berutang pada kalian." "Kami tidak butuh apa pun. Lagi pula, rasanya asing karena pewaris satu-satunya tidak ada di rumah. Aku dan bibimu kebingungan mencari penerus dan kami tidak menemukannya." "Alby memegang kendali." "Dia bisa saja melemparmu sewaktu-waktu. Kau akan diberi mandat untuk menjalankan perusahaan besar. Kau harus siap. Kami tidak percaya pada orang lain selain dirimu, penerus murni keluarga ini." Ibunya memaparkan cukup jelas. Selama bertahun-tahun, Emily Grice tidak akan pernah lelah mencecar putrinya dengan nasihat-nasihat kolot. "Papa punya anak lain di luar sana," kata Alicia dingin. Yang membuat air muka ibunya berubah. "Dia tidak pantas?" "Tidak." Ekspresi sang ibu berubah lebih tajam. "Tidak ada yang boleh menyentuh bisnis besar keluarga dari pihak lain. Tidak siapa pun. Hanya kau satu-satunya. Aku tidak akan mati dengan tenang." "Oke." Senyum ibunya kembali terulas. Dia bangun untuk mendekati sang anak. Membawanya ke dalam pelukan dan menghirup aroma dalam-dalam. Alicia serupa dirinya di masa muda. Ambisius dan mandiri. Emily hanya berkaca dengan putri semata wayangnya. "Aku bertaruh demi dunia dan isinya, kalau kau bisa diandalkan." Alicia hanya tidak bisa bersuara saat sorot itu terlampau lekat menatapnya. "Putriku bisa menjalankan segalanya. Tidak perlu orang lain." "Aku mengerti." Alicia hanya bisa mundur. Memberi senyum seadanya dan memandang sang ibu sebentar, sebelum memutuskan untuk naik ke atas. Kemudian melihat ayahnya yang sibuk menghubungi seseorang melalui ponsel. Mata mereka bertemu, dan Alicia sama sekali tidak merasa dirinya sudah pulang. Ayahnya hanya memberi senyum tipis, melambai seolah dirinya teman lama. Dan Alicia hanya tidak bisa bereaksi sewajarnya. *** "Kakakmu suka bertaruh. Khususnya untuk beberapa hal." Darius memindahkan tatapannya dari kartu pada Dannes yang meringis, menyikut lengan Leon dengan sorot sinis. "Kau sebaiknya diam," tegur Dannes pada pria satu itu. "Darius tidak suka membahas hal ini." "Aku bukan orang suci," sahutnya. "Tapi kau masih gemar berjudi?" "Kita bisa menyebutnya bertaruh, bukan berjudi." Sang kakak menyela tanpa bersalah. "Aku tidak akan merugikan kalian. Tidak kau, ibu atau ayah. Tidak keluarga kita. Aku berjanji." "Kita tidak akan bisa bertaruh mau sampai kapan kau sukses dan terus mencoba peruntunganmu sendiri." Darius menggeser pandangannya ke arah Leon. "Berapa banyak yang dia mainkan?" Bola mata Leon melirik sebentar pada si putra sulung keluarga kedokteran ternama. Mimiknya yang pasrah hanya membuat Leon terkekeh. "Lima puluh juta dolar." Darius terlihat syok, tetapi ekspresinya kembali datar. "Dalam hal apa dia berani bertaruh sejauh itu?" "Darius," tegur Dannes. "Aku tidak memintamu bicara," pungkas sang adik dingin. Ibunya telah memperingati Dannes berulang kali. Hobi kakaknya dari muda tidak kunjung berubah. Dannes terbilang berprestasi dengan nilai yang terbaik. Tapi lagi-lagi, sisi manusia itu sendiri tidak ada yang tahu. "Klub bola. Terakhir sebesar itu untuk piala dunia." "Bukan untuk saham atau perempuan?" "Aku tidak segila itu!" Leon mengambil napas panjang. "Kupikir dua pria dari penerus konglomerat farmasi ini punya masalah dengan s**********n. Kalian punya disfungsi seksual atau apa karena tidak pernah terlibat dengan perempuan sama sekali?" "Aku normal," kata Darius tanpa minat. "Kau bisa bertanya pada Dannes apa alasannya." "Aku juga normal." Dannes membalas dengan seringai. Sembari bersidekap dan memandang adik serta rekannya. "Mungkin hanya terlalu malas. Dan sejauh ini hanya sebatas teman kencan satu malam." "Aku berharap kau mau berubah." Darius memutuskan untuk bersuara. Ia tidak ingin menghakimi Dannes di depan Leon atau di tempat umum. "Judi tidak selamanya berimbas baik. Kau bisa saja melarat secara tiba-tiba dan menyeret keluargamu ke sana." "Yang perlu kita pastikan di sini hanyalah tentang ibu dan ayah, bukan? Keluarga besar tidak akan tahu hal ini. Mereka tidak akan dirugikan karena kesenanganku." Dannes membalas lebih dingin. Leon memandang kedua kakak-beradik itu tanpa suara. Sudut bibirnya tertarik, menepuk bahu Darius yang terlihat kaku. "Jangan cemas, Darius. Kakakmu mungkin berengsek. Tapi dia tidak akan membuat keluarga kalian malu. Uang kalian sudah cukup banyak, bukan?" Darius sama sekali tidak bersuara. Ia memilih untuk diam, menghela napas dan membiarkan Leon serta Dannes kembali bercengkerama satu sama lain. "Aku melarang kerabatku bertaruh untuk Alicia. Karena mereka sinting. Kau tahu, tidak waras." Darius menautkan alis. Topik tentang Alicia lagi-lagi mengambil minatnya cukup serius. "Taruhan untuk berkencan?" "Apa lagi memangnya?" Leon menyahut murung. "Mereka itu gila. Para i***t itu tidak berpikir hal yang bisa saja terjadi di masa depan seandainya memaksakan taruhan." "Alicia tersinggung?" "Bukan, Alicia. Tetapi sepupunya yang sering mengotori tangannya dengan darah orang lain, Alby." Dannes menyela dengan ekspresi dingin. "Dia cukup terkenal untuk beberapa kalangan atas dan bawah. Koneksi Alby mengerikan. Beberapa orang menduga Alicia lebih dingin semisal mengambil alih perusahaan utama. Tetapi itu belum dibuktikan kebenarannya." "Gosip lagi?" "Gosip hanyalah kebenaran yang tertunda. Beberapa gosip dibenarkan secara langsung oleh tindakan mereka," sahut Leon datar. "Seperti Alicia yang menjadi simpanan pria tua berdompet super tebal di luar negeri." *** Seperti Alicia yang menjadi simpanan pria tua berdompet super tebal di luar negeri. Gosip macam apa yang merusak nama Alicia sampai sejauh itu? Dirinya sudah terlahir kaya. Bahkan dari rahim ibunya, Darius menyadari bahwa gadis itu akan hidup bergelimang harta. Investasi orang tuanya, bisnis yang terus merambat ke area lain. Tidak segan menerima kekalahan dan berhasil menang. Secara logika, itu sama sekali tidak masuk akal. Tidak bisa Darius nalar sebagai seorang manusia biasa. Alicia berpendidikan bagus. Tentu saja, semua omongan orang membuatnya penasaran tentang profil gadis itu. Darius melihatnya secara jelas. Alicia dibesarkan dari keluarga super kaya. Yang mementingkan bisnis dan reputasi di atas apa pun. Alicia tidak akan berbuat sembrono. Mungkin beberapa hal seperti merokok dan kebiasaan minum, itu sebagai bentuk pelampiasan. "Tuhan, aku tertolong." "Hana." Darius memanggil sepupunya dengan geraman. Ibu Hana meminta tolong padanya untuk mencari putrinya. Hana takut mendapat ocehan, maka dari itu dia menghubungi Darius. Memintanya untuk datang selepas bekerja. Hana pamit untuk pergi ke perpustakaan bersama temannya. Sedangkan Darius menjemput gadis muda itu di sebuah bar malam. "Kau tahu berapa usiamu sekarang?" Hana menciut mendapati tatapan tajam itu mengiris nyalinya. "Ya Tuhan, aku bisa menjelaskannya padamu." Darius tampak kacau. Dirinya mengamati sekitar ruangan dan melihat sesosok gadis dengan rambut terikat tinggi dengan warna mencolok duduk seorang diri. Melipat kaki, memandang lurus pada bartender yang ahli memamerkan skill mencampurkan minuman. "Alicia di sini," bisik Hana antusias. "Aku tidak bisa berpaling darinya. Apa dia tahu aku di sini?" "Kurasa tidak." Darius mengakui dengan datar. Menarik tangan sepupunya dan menyeretnya pergi dari sana. Sebelum akal gilanya membawanya kembali pada perempuan misterius itu. "Kau harus pulang." "Aku memintamu menjemput karena aku ingin pulang," gerutu Hana pelan. "Darius, jangan bilang pada ibuku. Aku berjanji akan belajar lebih rajin. Mulai dari sekarang." "Untuk apa kau pergi ke bar malam?" Hana tampak bimbang. Sorot kelamnya berwarna sedikit lebih redup. "Aku hanya ... penasaran. Kau tahu, yah, aku tidak memesan bir atau apa pun. Jus jeruk." "Kau tahu ibumu mencari?" "Aku tahu." Hana terlihat pasrah. "Dia bisa saja merantaiku di kamar jika tahu putrinya pergi ke bar malam. Aku tidak bersenang-senang. Tidak sama sekali. Aku tidak bisa. Tiba-tiba merasa takut." "Kau sendirian?" tanya Darius mendesak. "Aku tidak—," Hana lantas mengatupkan bibir. "—sendirian." "Hana." "Aku sendirian." Kepala gadis itu meneleng. Remaja yang mencoba mencari jati diri, pikir Darius muram. Hana bisa saja membahayakan dirinya sendiri jika terus-menerus mencoba melarikan diri demi menuntaskan rasa penasarannya. "Teman-temanku tidak mau berurusan dengan keluarga kita." Darius menyerah. Ia membuka pintu Jaguar miliknya, meminta Hana untuk masuk ke dalam dan memasang sabuk pengaman. "Aku akan mengantarmu pulang." "Kau akan kembali ke sini?" "Buat apa?" "Bertemu Alicia si peri, semisal?" Hana memberi seringai licik. "Oh, Tuhan. Sepupuku yang tampan. Sebutanmu pangeran. Tapi kau terlihat cupu dalam kasus asmara." "Aku mencoba memahami." "Kau terlalu banyak belajar. Buku-buku kedokteran bisa membuatmu sepuluh tahun lebih tua," ujar Hana memberi nasihat. "Bung, cobalah belajar menyukai lawan jenis. Kalau kau tertarik pada Alicia, aku memberi dukungan sepenuh hati." Darius tidak lagi bersuara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD