lima

1776 Words
Hana mungkin bertaruh pada dirinya sendiri sekarang. Karena Darius membelokkan mobil kembali ke bar. Mengharap dengan cemas kalau Alicia masih tinggal dan ada di sana. Di ruangan VVIP yang agak tertutup, gadis itu duduk menyendiri dengan segelas bir besar di meja. Yang menyisakan separuh isi dan terdapat bungkus rokok mahal di sana. Darius perlahan mendekat. Merasakan sesuatu bergejolak dalam dirinya tidak lagi tertahankan. Meski akal sehatnya memaksa untuk mundur, hatinya meminta yang lain. Iris hijau sebening telaga di tengah hutan memandangnya. Alicia terlihat bingung selama beberapa detik. Sebelum memberi senyum dan memandang Darius dengan respon terbuka. "Oh, well. Ini kebetulan atau ada hal lain?" "Sepupuku ada di sini," kata Darius membalas pertanyaan. "Dia masih terlalu muda untuk merasakan gelapnya dunia bar malam." "Hana?" tanya Alicia. "Dia bersama seorang pria." Darius tersentak. "Bisa kau jelaskan?" Alicia memasang ekspresi santai, memangku dagunya dengan sebelah tangan. "Tentu. Dia pria, dan aku rasa usianya lebih tua cukup jauh dari usia Hana. Mungkin awal tiga puluhan atau akhir? Hana dalam krisis jati diri. Dan itu berbahaya." Air muka Darius berubah. Dia semestinya memberitahu sang bibi untuk mengawasi Hana lebih ketat lagi sebelum terjerumus dan membuat mereka semua menyesal di kemudian hari. "Terima kasih untuk informasinya." "Sama-sama. Ingin minum apa?" Alicia menawarkan dengan senyum. "Bir atau vodka?" "Air putih saja. Aku mengemudi." "Oh, aku juga." Gadis itu mengangkat tangan. "Tapi tidak masalah dengan minuman apa pun." Bartender menghampiri dengan segelas air putih dingin. Darius benar-benar meminumnya sampai separuh gelas. Sementara Alicia mengamati dalam lamunan, meneliti paras rupawan itu dengan senyum. Darius dibuat salah tingkah karenanya. "Ada yang salah?" "Pangeran. Itu julukanmu, kan?" "Aku tidak berasal dari keluarga bangsawan," kilah Darius datar. "Itu sebutan dari teman-teman Hana untukku." "Nope. Tidak hanya teman Hana, tapi para gadis. Tempo hari perempuan di pesta menyebutmu begitu." Alicia mengangkat bahu. "Aku pikir tidak ada yang salah. Karena fisikmu sempurna." Kau juga. Darius hanya tidak bisa mengucapkannya. "Aku rasa kita punya ikatan untuk tertarik satu sama lain. Why? Apa karena kau penasaran seperti yang orang-orang bilang?" Lidah Darius terasa kaku. Ruas-ruas bibirnya terlihat tegang. Ia hanya berharap ekspresinya masih sedatar biasa. Tidak terpengaruh atas apa pun. "Kau menyadari gosip itu, bukan?" "Aku punya telinga. Kedua mataku masih sehat." Alicia tersenyum. "Tentu saja, aku tahu. Tapi, toh, tidak ada gunanya bersuara. Biarkan saja." "Bahkan dengan mengencani pria tua?" Alicia bungkam seribu bahasa. Sementara Darius menyibukkan diri dengan mengutuk mulutnya yang lancang. "Tidak perlu merasa bersalah, pangeran." Alicia tertawa singkat. "Aku tahu kau hanya penasaran." "Aku bersikap bodoh," tukas Darius penuh sesal. "Lagi pula, aku bukan orang suci." "Tapi terlihat kalau kau cukup polos," ucap Alicia geli. "Aku bisa melihatnya dari matamu." Darius bergeming. Barangkali Alicia merasa tersinggung akan hal itu. Tapi dia sama sekali tidak merasa demikian. Gadis itu hanya mendesah, meminum bir dari gelas dalam beberapa tegukan. "Kau mau berkencan? Hanya satu hari." Darius tidak bisa menahan rasa terkejutnya. "Beri aku nomor teleponmu. Aku yang akan menghubungimu nanti." *** Jika ada predikat cowo terbodoh di dunia, Darius mungkin pantas menyandang gelar tersebut untuk satu hari. Dengan kesan lain yang membekas untuk waktu lama. Alicia lagi-lagi meninggalkannya tanpa kata. Tidak ada salam perpisahan, tidak ada kalimat penutup atau apa pun. Begitu saja, serupa saat kebetulan pertemuan mereka di Starbucks kemarin malam. Dan mendapati gadis itu menghubungi dua jam setelahnya, Darius terguncang dengan adrenalin yang terjun deras membasahi tubuhnya. Darahnya seakan berhenti berdesir. Begitu pula dengan fungsi otaknya. Saat mendengar suara gadis itu lagi, semua organ vitalnya terasa tidak sinkron satu sama lain. Alicia memintanya bertemu. Ajakan kencan itu masih terngiang dalam benaknya. Suara lembutnya bagaikan beludru. Madu yang mematikan. Gadis itu bukan lagi sekadar racun, tapi serupa bisa yang membunuh. Darius mengiakan. Berhubung akhir pekan dan dirinya mendapat jatah libur dua kali dalam seminggu. Dan disinilah dia berakhir. Sebuah tempat wisata yang tidak terlalu ramai. Yang mendominasi adalah anak-anak bersama keluarga mereka. Tamasya di akhir pekan dengan melihat satwa adalah jalan terbaik. Kebun binatang. Darius hanya benar-benar tidak mengerti jalan pikiran gadis itu secara langsung. Alicia mungkin menyukai pusat perbelanjaan, berbelanja barang-barang mahal atau sekadar menonton fashion show untuk memamerkan busana kelas atas. Tapi, dia tidak melakukannya. Alicia membawanya ke kebun binatang. Memintanya menunggu selagi dia berada di dalam perjalanan. Dan Darius benar-benar menunggu. Menanti dengan cemas. Berharap Alicia datang dan membunuh rasa penasarannya. "Oh!" Darius melihat sesosok gadis muncul dari pintu masuk bersama beberapa antrian. Gadis itu melambai. Terlihat sama sekali tidak mencolok dengan pakaian serba mahal yang melekat. Atau orang-orang hanya tidak tahu perihal kelas. Dia tampil apa adanya, sempurna dengan pakaian kasual. Rambutnya diikat. Kaos bertuliskan New York City dengan warna emas mencolok membuat pakaiannya terlihat berkilau diterpa sinar matahari. Mata Darius memicing, mengamati gadis itu saat berlari menghampiri. "Kau menunggu lama?" "Tidak. Baru sebentar." Ini kejujuran. "Jam sembilan. Aku terlambat sepuluh menit." Alicia melirik jam Rolex di tangan. "Kau pergi dengan apa?" "Mobil. Kau?" "Sama. Aku bingung bagaimana cara memarkirkan Porsche di antara mobil lainnya. Kau membawa Jaguar, bukan?" Alis Darius berkerut. "Kau tahu?" "Aku parkir di sebelahmu." Alicia mengedipkan mata jenaka. "Kupikir tidak ada orang kaya yang berniat mampir ke kebun binatang umum karena mereka memiliki kebun binatang sendiri." Darius mendesah. "Aku tidak memilikinya." "Mendiang kakekku memiliki dua macan tutul jantan dan satu betina dari ras macan putih. Ketiganya masih hidup. Luas kandang mereka melebihi luas kamarku di rumah." Alicia tertawa. "Kakek punya hobi aneh yang mencengangkan." "Mengapa kau membawaku kemari?" "Berjalan-jalan," kata gadis itu. "Kau tidak senang?" "Bukan. Ini mungkin tidak pernah terpikirkan," akunya jujur. "Kupikir kau lebih senang berkeliling sebuah mall dan belanja?" "Aku menghabiskan banyak waktu di tempat yang sama selama belasan tahun. Aku bosan dengan rutinitas yang sama terus-menerus." "Kau mencari pelarian?" "Yap." Alicia tersenyum lebar. "Senang rasanya memiliki teman yang mau mengerti. Aku punya yang terbaik, Cecil." "Hanya dia?" "Yang lainnya berjalan sesuai garis profesional," balas Alicia muram. "Mereka tahu siapa aku. Dan aku tidak perlu membersihkan diri dengan mengenalkan sosok baru pada orang lain." "Aku tidak mengerti." Gadis itu terkekeh ringan. "Ah, lupakan saja. Kita harus melihat singa-singa itu sekarang." *** "Jadi, kau benar-benar menghasilkan uang sendiri?" "Apa yang bisa kau harapkan dari keluarga yang mengedepankan bisnis di atas apa pun?" tanya Alicia dingin. "Aku hanya perlu merasa mandiri. Kadang-kadang kekuatan keluargaku terlalu besar. Mereka tidak akan marah hanya karena aku membuang uang. Tapi ada baiknya aku ikut berkontribusi memberi mereka pendapatan." "Bukan murni untukmu?" Alicia mengangkat bahu. "Untukku. Tapi setelah kau berhasil membangun nama dan perusahaan, mereka akan berinivestasi. Itu keuntungan yang masuk. Aku membagi keringatku dengan mereka." Darius berpikir lingkaran kehidupan para orang-orang kaya memang begitu adanya. Anak diibaratkan sebagai investasi masa depan. Dipersiapkan sematang mungkin untuk meneruskan bisnis gurita keluarga. Keluarga Darius telah membuktikannya. Termasuk keluarga Alicia, yang berkuasa lebih lama. "Hampir semua pebisnis mengenal keluargaku. Yang berkuasa selama puluhan tahun, atau mungkin leluhurku telah kaya ratusan tahun lalu. Sebagai pedagang sekaligus penimbun emas." Darius terdiam. "Bagaimana kehidupanmu?" "Berjalan sesuai garis. Semestinya. Karena d******i keluarga dokter menjadi satu-satunya yang membawa kami ke puncak. Aku hanya perlu belajar lebih keras untuk menggantikan posisi orang lama." Alicia mengambil napas panjang. Kehidupan yang rumit membawa mereka berdua pada sesuatu yang sebanding. Dengan privillege keluarga dan koneksi yang banyak, membuat segalanya berjalan lebih mudah. "Kau tinggal di rumah atau apartemen?" "Keduanya. Aku punya rumah. Tetapi kadang-kadang pulang ke rumah orangtua." Darius membalas dengan lirikan. "Kau?" "Kalau kita bicara properti, aku memiliki satu rumah sewa dan apartemen dalam puluhan unit atas namaku sendiri. Tapi jujur, aku menyukai sensasi apartemen. Aku hanya pulang dan tidur di kamarku sendiri, di rumah orangtuaku." Alicia mengerutkan hidung. "Kita sama." Darius menatapnya cukup lama. Dan gadis itu sama sekali tidak memberikan ekspresi berarti. Mungkin kalau Alicia perempuan lain, kasusnya akan berbeda. Darius hanya merasa dirinya tertantang. Leon benar, Alicia adalah sebuah pertaruhan besar. "Kau menyebut ini kencan?" "Kau tidak suka?" Alicia bertanya dengan raut terkejut. "Aku mengira kau menikmatinya. Kau banyak tersenyum hari ini." Darius berdeham. Tampak salah tingkah sendiri dengan tatapan menuduh gadis itu. "Aku tidak menyadarinya sama sekali." Alicia lepas karena tawa. Kepalanya meneleng mengamati paras rupawan sang dokter yang cukup terkenal di beberapa kalangan gadis sebagai orang terpopuler. "Ya Tuhan. Aku tahu kau bukan orang suci, tapi kau cukup polos. Aku ingin tahu siapa yang pernah menodaimu." "Tidak ada." "Kakakmu, atau teman dekat. Aku mendengar reputasi Dannes dari beberapa kalangan." Alicia mengendik bahunya saat sorot kelam Darius memandangnya. "Mungkin kau ternoda berkat dia, atau tidak sama sekali." "Aku banyak menyibukkan diri demi menyita waktu." Darius berkilah datar. "Kakakku punya dunianya sendiri. Selama itu tidak membuat kami kesulitan, keluargaku membiarkannya." "Karena dia juga menguntungkan." Darius hanya mengernyit. Alicia sama sekali tidak membahas tentang keluarganya sama sekali. Gadis itu menutup rapat-rapat informasi tentang keluarganya. Yang beredar di kalangan luas, maupun selentingan gosip yang mungkin membuat banyak orang takut mendapat masalah. "Kuharap kita tidak akan bertemu lagi." Seperti sesuatu yang mirip palu godam menghantam teluk belakangnya. Darius tercengang, memandang gadis itu dengan sorot aneh yang canggung. "Kenapa tidak?" "Karena ini berbahaya," Alicia mengakui dengan terbuka. "Kau tahu, demi dirimu sendiri. Ini demi kebaikanmu. Bukan demi aku." "Tapi mengapa?" Alicia meneleng, menolak memberi alasan lebih. "Kita tidak aman. Kau terutama. Kehidupanku disorot, kehidupanku diawasi. Aku hanya tidak mau kau terlibat. Dokter muda, kau berbakat dan menyenangkan. Lupakan saja tanggapan orang lain yang bilang kau membosankan." Darius tersentak dengan kejujuran gadis itu. Mata Alicia memancarkan kehidupan baru untuknya. Seolah seperti menemukan sumber mata air segar di tengah padang gurun. "Seseorang mengawasi kita." Alicia mengangguk. "Aku tidak akan bicara siapa pelakunya. Karena aku perlu melindungi keluargaku sendiri. Sebaiknya kita selesaikan ini sekarang." Keduanya bangun setelah sama-sama menutup kalimat dengan canggung. Alicia mengambil napas, menelisik raut tampan itu sekali lagi sebelum berjalan pergi. "Tanpa salam perpisahan lagi?" Alicia berbalik. Memandang ragu pada pria yang berdiri tegak di depannya dengan ekspresi gundah. "Kau ingin salam perpisahan?" "Aku memaksa kali ini." Dorongan untuk membawa gadis itu menjauh ke tempat yang lebih sepi sempat terlintas. Darius mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat, mengambil napas berat. "Sebagai kenangan terakhir, mungkin?" Alicia mendesah pendek. Melintasi jalanan untuk menarik Darius pergi dan mendorong pria itu sampai ke bangunan tempat parkir. Membiarkan tinggi tubuh mereka yang kontras terlihat. Sementara dirinya harus berjinjit, memberi ciuman singkat sebagai pemanis di bibir. "Kau puas?" Mimik gelap Darius mengundang sinyal bahaya. Alicia melihat pria itu menggeleng, mengulurkan tangan untuk mengusap pipi dan berhenti di ikat rambutnya. "Belum." Lalu menunduk untuk membenamkan bibirnya dalam-dalam. Mencicipi rasa dan menguak dorongan penasaran yang terlalu membuncah. Mereka berciuman. Dan bukan ciuman singkat yang membuat Darius akan terbayang dalam waktu sebentar. Tapi benar-benar berciuman yang memerlukan hasrat dan tenaga. Yang ia yakini akan bertahan lama. Alicia menyudahinya dengan pipi merona. Menurunkan tangan Darius dari rambutnya. Sebelum memutuskan untuk mundur, memilih untuk pergi tanpa lagi menoleh ke belakang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD