2

1226 Words
Alara pernah mendengarkan semua teman-temannya membahas tentang pernikahan. Pun dengan mereka yang sebagiannya telah menikah. Lantas, bagaimana dengan Alara? Jika pertanyaan itu ditujukan untuk Alara, maka jawabannya ‘ya dan ingin’. Alara perempuan. Tentunya mencintai dan dicintai menjadi satu kesatuan yang takkan terpisah. Alara ingin melakukannya. Sungguh, bahkan sebelum bertemu dengan Bahtiar Gema, Alara ingin menikah. Dengan seseorang yang bersamanya bisa Alara percayai tentang kata-kata jatuh cinta di setiap harinya. Sayangnya, setiap jalan saja memiliki titik di mana bisa menjatuhkan para pengendara mobil, motor, bahkan yang bermuatan besar. Maka sama halnya dengan Lara yang mempunya titik terlemah dalam hidupnya. Di samping harus mengalah dan mengakui kekalahannya di medan perang, Lara tutup semua pintu untuk mengakses hatinya. Ketika menyukai seseorang, hanya ada di sebatas mengagumi yang diam-diam Alara pendam. Ketika ada yang datang untuk mendekati, akan Alara coba sekuat tenaga menjauh secara perlahan. Hidup Alara sudah sangat hambar ketika seseorang yang paling berharga merenggut ‘kepemilikannya’ dan berpindah ke lain hati. Namun juga ada fakta lain yang tidak bisa Alara singkirkan mengingat bagaimana dirinya sudah rusak sejak dulu. Melihat rekam jejak bagaimana dunia membuatnya terpojok dan meratapi nasibnya sendiri. Alara tidak punya kesempatan untuk bahagia. Jika pun bisa Alara gapai bahagianya, olokan demi olokan akan mengiringi perjalanannya. Dan seseorang yang Alara anggap rumah, akan pergi secara perlahan membiarkan dirinya kembali sendirian. Di selimuti sepi, di kelubungi embun gelap dan menelannya. Teman-teman Alara yang sudah menikah juga bercerita. Tidak perlu mencari pasangan yang sempurna. Itu belum tentu nyata. Kadang kita pun perlu tertipu ilusi mata. Mudah menjatuhkan pada seseorang yang terlihat ‘sempurna’ meski kala itu telah memiliki satu yang sanggup mengisi separuh jiwa. Karena pada akhirnya yang menjadi tujuan terakhirnya hanya satu; yang sanggup menyediakan rumah untuk di tinggali. Dan jika sudah di temukan pun dengan satu yang menjadi kepercayaannya untuk memulangkan segala cerita dan sanggup berbagi banyak hal sampai menua bersama dalam usia. Damai sekali, ya, kalau bisa menemukan satu orang yang bersedia bersama-sama menua dalam usia. Yang sayangnya dalam benak Alara itu hanya bagian dari mimpinya. Entah kapan saat-saat seperti itu akan tiba menyambangi dirinya. Katanya, jika bukan kita yang bertindak dan keluar dari zona nyaman kehidupannya, takkan ada yang datang menghampiri. Tapi Alara terlalu takut untuk mencoba. Alara terlalu takut jatuh kembali. Alara terlalu takut untuk sakit hati kembali. Senyum Alara terbit. Sangat kecil terkesan samar. Kedutan di sudutnya menghantarkan denyutan sakit padahal matahari belum tinggi sepenuhnya. Musim kemarau mulai menyapa bumi dan panasnya tidak tanggung-tanggung. Hanya berdiri beberapa menit di luar ruangan, telah merembeskan seluruh cairan ke bajunya. “Masuk.” Vokal dari dalam yang memerintah tidak Alara hiraukan. “Ayo Ara.” Sekali lagi dan Alara masih melirik-lirikkan matanya ke segala penjuru. Pasalnya, ini masih di lingkungan kantor. Akan sangat berbahaya jika ada pegawai lain yang melihatnya. “Kamu yang masuk atau saya yang turun.” Ancamannya berlaku. Sehingga Alara bergegas masuk dan mengembuskan napasnya lega. Astaga! Tadi itu jantungnya hampir copot dari tempatnya. Aduh, Alara mulai berlebihan. “Bapak tuh kayak jailangkung. Datang sesuka hati, pergi juga seenak jidat,” gerutu Alara. Tidak merasa bersalah dengan omongannya meski Gema mengerutkan dahinya. “Jangan berhubungan di jam kantor, sih, pak.” “Kamu malah lebih berani.” Omo?! Apa ini? Kenapa Alara merasa sangat terancam. Jilid II setelah tadi Gema serukan tindakannya yang hendak membongkar hubungan keduanya. “Kamu datang ke ruangan saya dan menawarkan seks yang lebih dari saya menyuruh kamu untuk masuk ke mobil.” Benar juga. Kalau di pikir-pikir, tindakan Alara lebih frontal dari Gema. Alara bahkan menyodorkan buah dadanya untuk Gema pegang dan di mainkan dengan s*****l. Ya Tuhan, di mana muka Alara saat itu? Bisa-bisanya berbuat demikian kepada atasannya sendiri. “Ya itu kan karena memang perlu.” Gema menahan tawanya. Dengan mengalihkan pandangannya dari fokusnya menyetir dan berdeham setelah di rasa suaranya normal. “Bapak ketawain saya?” “Enggak. Ngapain saya ketawain kamu?” Tapi memang Alara Senja memiliki tingkat keunikan yang belum pernah Gema temukan bersama perempuan mana pun. Bahkan perempuan-perempuan yang menjadi penghangat ranjang mau pun mantan-mantan pacarnya. Rata-rata mereka dewasa dan tahu bagaimana cara mengimbangi Gema. Sedang Alara … dia memang unik dan memiliki daya pikat tersendiri. Sehingga Gema pun mulai goyah pertahanannya. “Pasti …” Jeda yang Alara lakukan membuat kepala Gema menoleh secara spontan. Telapak tangannya mendadak basah dan pikirannya buyar. “Saya kelihatan kayak bocah di mata bapak.” Oh, Gema pikir apa. Soal itu memang iya. Terpenting dari segalanya, Gema bisa merasai Alara. Tidak peduli bocah tidaknya. “Enggak juga.” Artinya: iya. Begitu kira-kira yang Alara simpulkan. Maklum, sih. Bahtiar Gema menuju usia 33 tahun yang sudah mapan dan matang. Tinggal pendamping saja yang belum ada—hadir kembali maksudnya. Dan Alara tidak bisa mengharapkan itu di saat kondisinya tidak memberinya dukungan. Pernah Alara bayangkan. Sekali dalam sekelebat bayangan kosongnya. Ketika sudah dirinya temukan satu orang yang sanggup menyediakan rumah bagi hati dan juga jiwanya. Alara ingat akan impiannya beberapa waktu yang lalu. Katanya cinta adalah rumah bagi jiwa. Saat nanti telah Alara temukan rumahnya, takkan sibuk dirinya mencari apa lagi untuk berpindah. Mungkin benar, sebab untuk banyak hari yang akan dilewati, cinta butuh kekuatan lebih dari sekadar rasa aman dan nyaman. Apakah Bahtiar Gema masuk ke dalam salah satu nominasi yang Alara Senja angankan? Tidak—tidak tahu. Alara hanya sedang menjajaki hatinya. Meraba perasaannya. Apakah benar ini yang dirinya mau atau hanya soal obsesi semata? Entah juga jika itu karena omongan orang-orang yang mengatakan seberapa kuatnya Gema di atas ranjang. Satu yang pasti, Alara ingin membuat kenangan—meski tidak banyak—dan jika itu bisa di kabulkan, tema tentang pernikahan ingin dirinya ambil. “Jatuh cinta butuh waktu nggak, sih pak?” Pertanyaan Alara random. Tidak tahu juga mengapa ingin bertanya tentang cinta. Padahal jelas-jelas tidak boleh ada perasaan yang terlibat di antara keduanya. “Butuh waktu. Sama halnya dengan kamu yang menggenggam cinta. Tahu nggak, perkara cinta saja kamu bakal nemuin yang namanya rasa bosan.” Alara menggeleng. Gema tanggapi dengan senyuman. “Namun yang kita butuhkan adalah kita sanggup menemukan dia yang tidak akan memberi selamat tinggal.” Ah, kenapa perkataan Gema sama saja dengan apa yang Alara pikirkan? Mendadak sesuatu yang aneh menyusup masuk tanpa permisi. Membiarkan harapan tumbuh di sana. Alara bawa perasaan. Ada yang paham sampai sini? “Bahagia pasti kalau menemukan pasangan yang kayak gitu.” Netra Alara lari ke luar jendela kaca. Menyaksikan penuh sesak mobil-mobil yang berhenti total terhalang macet di jam sore menuju rumah. “Kalau bapak, kenapa dulu cerai?” Pertanyaan macam ini sudah sering Gema dapati. Ingin marah rasanya tidak pantas. Menjawab masa kelam yang sudah dirinya kubur juga bukan solusi yang tepat. Sebagian orang akan terus mengoreknya. Alih-alih mendengarkan seperti apa luka yang Gema dapatkan. “Nggak ada manusia yang sempurna, right?” Kepala Alara mengangguk tanpa mau menatap Gema. “Dengan begitu, kita tahu seberapa perlunya intropeksi diri untuk sebuah kehidupan yang lebih baik.” “Cuma milik Tuhan semisal bapak terlalu mengharapkan sebuah perubahan. Kalau perubahan itu bapak tujukan untuk manusia, wasalam saja pak. Beda lagi kalau bapak niatnya demi diri sendiri.” Kenapa Alara berkata demikian? Karena tahu Gema sedang menghindari jawaban atas tanya yang diajukan. Nilainya akan jadi satu sama dan terlihat imbang. Sedang bagi Gema itu terkesan menohok dan tepat sasaran. Yang Gema anggap bahwa Lara adalah bocah cilik, nyatanya berpikiran terbuka dan dewasa. Gema tertampar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD