1

1292 Words
Bagi Bahtiar Gema, ini tentang menciptakan kenikmatan. Sedang bagi Alara Senja, ini tentang mengumpulkan kenangan. Dan bagi para juri yang memberi nilai, ini tentang simbiosis mutualisme. Di mana keduanya sama-sama membutuhkan dan saling menguntungkan. Gema dengan kebutuhan biologisnya dan Alara dengan rekaman terindah dalam memorinya. Sebatas itu saja—mestinya. Tapi hal semudah ini pun masih di ributkan terus-menerus. Bukan lewat tuturan kata sarkas atau kasar. Bukan juga saling meneriaki satu sama lain. Hanya lewat tatapan mata yang memancarkan sinyal masing-masing, sudah tercipta sinyal penolakan di salah satu pihak. Manusia—terkadang—bertindak di luar nalar. Memperumit keadaan yang jelas-jelas mudah saja untuk dilakukan. Gema pelaku utamanya. Bukan bermaksud menolak hanya saja ini gila. Sepanjang perjalanan hidupnya menjadi seorang pengacara yang bergonta-ganti asisten, hanya Alara yang berani berlaku kurang ajar. Ah, tidak juga. Oho! Bagaimana enaknya Gema katakan ini. Karena jika dianggap lancang, ya, Alara masuk ke dalam kategorinya. Tapi jika boleh Gema acungkan jempol dan memberi nilai, Alara ini cukup berani dan bernyali. Alara semestinya tahu—atau malah sudah tahu—karena dengan menawarkan apa yang di milikinya adalah suatu risiko riskan di mana Gema tidak melibatkan perasaan di dalamnya. Oke. Nilailah Gema rusak. Memang begitu adanya cara pandang beberapa orang. Dan Gema, tidak sekali pun mau berpusing-pusing ria memikirkan penilaian orang terhadap dirinya. Apa yang dirinya punya dan apa yang telah dirinya capai, semuanya tak lepas dari peran orang tua dan dukungan keluarganya. Jadi, seburuk apa pun nama dan citranya di mata masyarakat luas, selama dorongan dari keluarga menjadi penopang kemajuannya, semuanya takkan menjadi masalah. Namun karena Bahtiar Gema juga menyombongkan diri … tidak tahu saja dia apa yang menjembatani Alara Senja sehingga berbuat yang demikian. Tentunya demi kata simbiosis mutualisme tadi. Dasar manusia! Begini. Bahtiar Gema akan menceritakan sedikit tentang seorang Alara Senja. Karena ini bab pembuka, tidak etis jika secara menyeluruh harus Gema tuangkan. Otaknya takkan bisa menampung keseluruhan bagaimana Alara yang sebenarnya. Hanya lewat kaca mata besarnya yang terlihat di kehidupan sehari-harinya. Tuh, 'kan, manusia memang kebiasaan sekali begitu. Menilai cuma dari sampulnya doang. Heran! Perempuan itu masih muda. Gema lupa berapa umurnya. Ketika melamar menjadi asistennya di kantor pengacaranya yang baru, jujur saja, Gema asal comot. Bukan tanpa sebab. Hari itu, baru terjadi kehebohan yang mengharuskan Gema mengganti asistennya langsung tanpa penghalang. Masalahnya sederhana. Ada banyak kasus yang harus Gema urus, segera dan secepatnya, mengingat menumpuknya item yang harus dirinya jamah. Belum lagi sidang yang menyita waktunya. Maka, kandidat Alara Senja, Gema setujui. Dan selama tiga bulan berada di sini, Alara cukup berguna mengingat perempuan itu masih berstatus sebagai mahasiswa. Tidak bisa Gema bayangkan—awalnya—bagaimana Alara membagi waktu antara bekerja dan berkuliah belum lagi dengan tugas-tugas yang minta di belai. Ehm, sekarang Alara sedang mencari pelampiasan lain untuk di belai. Gema targetnya. Setan di otak Gema memang patut di ceburkan ke j*****m. Tapi … tetap saja. Kehadiran Alara yang mengunjungi ruangannya di mana kondisi kantor sudah sepi total dan hanya tersisa mereka berdua. Mau tahu apa yang diinginkan Alara? Ini gila. Itu saja. Lebih gilanya lagi, Gema tidak bisa menolak. Bukankah mereka berdua sama-sama gila? Bayangkan saja dulu. Dua orang gila bertemu, kira-kira apa yang akan terjadi. Selain … yeah, you know what I mean? “Kenapa?” Alara mengaburkan berbagai penilaian Maha tentangnya yang sudah setara dengan ‘Classy Woman’. Yang begitu mandiri dan tidak pernah merengek mengenai pekerjaan yang selalu Gema berikan. “Kamu muda dan cerdas. Kenapa Alara?” Diam. Bibir Alara terkunci rapat. Jika ditanyai macam itu, jawaban Alara pun tidak ada. Di samping nekat dan alih-alih ingin mencoba adrenalinnya—uhh, atasannya itu menggiurkan. Menyilaukan pasang mata perempuan dalam sekali pandang. Dari awal mendaftar ke kantor ini, Alara sudah tergila-gila pada atasannya yang duda. Iya duda. Bayangkan! Selera Alara unik. Lain dari yang lain. Di saat semua teman-temannya mengejar yang pure melajang—bukan artinya duda tidak sendirian—tapi maksudnya yang perjaka gitu loh. Dan otak cantiknya dengan waras menginginkan si duda yang ada di hadapannya kini. “Karena saya suka.” Spontan jawaban Alara mengerutkan dahi Gema. Aigoo! Panas dingin di buatnya tubuh Alara. Merinding disko melihatnya. Kerutan dahi Gema di mata Alara seolah sedang mendesahkan namanya dan mengerangkan kenikmatan yang tercipta di dalamnya. Travelingnya kejauhan atau Alara yang terlalu dekat dengan dosa? Entahlah. “Otak kamu kotor.” “Eh?” “Kamu … bisa-bisanya membayangkan sesuatu yang jorok ketika saya ada di depan kamu.” Oke, sip. Alara ketahuan. Tapi kalau sudah ketahuan mau di elak pun percuma. Jadi lanjutkan saja walau dalam diam. Bibir Alara mengerucut ke depan. Yang dalam pandangan Gema itu sangat menggiurkan. Ingin segera dirinya terkam, merajut benang-benang saliva di sana, menggerayangi seluruh inci di tubuhnya dan—STOP! Sama kotornya. Mari kita bengek bersama. Tidak bisa! Ini larangan. Alara bukan tipenya. Tapi sesuatu yang kenyal bersentuhan dengan telapak tangan besarnya. Uhm, itu apa ya? Kok rasanya tidak asing dan oke baik, mata Gema melotot sempurna. “Ini pas, 'kan?” Ya Tuhan! Hukum saja Gema. Yang mesti menyebutkan serapah dalam hati tapi enggan menyingkir dari sana. Ekspresi wajah Alara memberinya dukungan mengundang Gema untuk menjamah lebih jauh lagi. Semburat kemerahan yang tercetak di wajah putih Alara di sertai buliran keringat yang mengucur kian mempersilakan Gema menikmati. Apa ini sudah waktunya berbuka puasa? Lah, kok? Perasaan bulan ramadan masih jauh deh. Masa ujug-ujug waktunya berbuka saja. “Kamu keterlaluan!” “Dan bapak menikmatinya.” Sialan, itu benar. Sesuatu yang berada di kedua pahanya juga terbangun. Terasa mengganjal dan sempit. Dan gerakan Alara yang tanpa di duga-duga membuat Gema sesak napas. Perempuan itu duduk di atas pangkuannya, menggesekkan bokongnya dengan gerakan s*****l. Hei, tunggu?! Ini gimana bisa cuma di senggol dikit langsung—Gusti. Gema malu tapi juga suka sensasinya. Bahkan jantungnya sudah jedag-jedug berdisko. Dan tahu-tahu itu karena Alara Senja. “Turun, Ara!” Terabaikan. Dan Alara terus melakukan pekerjaannya dengan baik. Hingga terdengar geraman tertahan dari tenggorokan Gema, barulah perempuan itu berhenti. Sialnya, belum sempat Gema membuka kedua matanya, bibirnya sudah teraup sempurna dalam bibir hangat yang membungkamnya. Alara juga menjalankan jari-jari lentiknya untuk membuat bulatan-bulatan abstak di d**a Gema. Ini benar-benar pembukaan yang tiada taranya untuk Gema tolak. “Bapak terlalu banyak membuang waktu,” bisiknya serak. “Harusnya kita sudah di menu utama dan nggak perlu terlalu lama bernegosiasi.” Negosiasi katanya. Gema mendengus. Tapi rekaman memorinya sungguh baik saat menangkap desahan tertahan dari Alara. Perempuan ini sangat jago membuat dirinya gila. Benar-benar perempuan gila. Dan dirinya jauh lebih gila lagi jika tidak menyentuh Alara detik ini juga. “Kamu melemparkan sesuatu yang nggak seharusnya.” “Saya tahu.” “Risikonya?” “Lebih dari siap.” Ah, kenapa kata-kata yang Gema ajukan justru memberi Alara dukungan untuk maju? Sedang hati dan otaknya tak bisa bekerja sama dengan baik. Hatinya menginginkan penolakan sedang otaknya memberi dukungan untuk menyeret Alara ke dalam ruang pribadinya. “Jangan melibatkan perasaan.” “Oke.” Kembali jari-jari Alara menyusuri kulit rahang Gema. Menghantarkan desiran aneh di dadanya. “Ini tentang seks bukan bercinta.” “Aku tahu.” “Terikat?” Terlipat Alara berpikir dan menimang. Membutuhkan waktu berapa lama untuk mencapai tujuannya. “Tiga bulan, bagaimana?” Meski begitu Alara ragu-ragu ketika menyampaikannya. Karena … apakah bisa secepat itu? “Deal!” Dan sore itu, resmi Alara miliki ‘Abang Dudanya’ yang menjadi sumber obsesinya sejak beberapa bulan yang lalu. Yang dengan bangga Alara gaungkan dalam hati perasaannya—walau salah telah melanggar perjanjiannya. Namun ini tidak ada hitam di atas putih untuk Alara memakai perasaannya. Selama Gema tidak mengetahui isi hatinya. Lalu setelah ini apa? Sudah Alara dapatkan Bahtiar Gema—meski tidak untuk selamanya. Sudah Alara bulatkan obsesinya—walau hanya sebentar. Sudah ada di depan matanya bahwa impiannya akan segera tercapai. Setelahnya apa?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD